Kali ini cuma mau posting pendek saja. Beberapa hari yang lalu, aku mendapat “pembagian” beras seberat 90 gram dari guru penitipannya Kai. Katanya, “Waktu musim panas yang lalu, anak-anak pergi menanam padi, dan oleh pertanian itu kami dikirim hasil panennya sedikit. Jadi kami bagi-bagi sedikit-sedikit kepada semua anak. Silakan dicoba. ” (Kai waktu itu tidak ikut pergi menanam, tapi kebagian juga).
Kadang ingin tertawa juga ya mendapatkan “pembagian” seperti itu. Kalau cuma seuprit begitu, ngapain sih dibagi-bagi? Tapi aku tahu mereka tidak akan “mengantongi” pemberian-pemberian dari luar, semua dilakukan transparan. Jadi ada beras sedikit aja, dibagi kepada semua anak. Mungkin kalau lebih sedikit lagi akan dipakai, dimasak untuk makan siang anak-anak (Di penitipan ini, makan siang disediakan oleh seorang koki yang ahli gizi. Jadi soal kesehatan benar-benar diperhatikan. Kalau mau makan malam juga bisa, yang diberikan pukul 6 sore, seharga 500 yen….. muahal!)
Tapi, beras yang dibagikan itu adalah beras “langka”, yang aku baru tahu juga. Namanya Kodai-mai 古代米 (Kodai = purba, mai = beras). Weks masak beras purba sih? Yang pasti warnanya tidak putih! Bahkan boleh dikatakan berwarna-warni. Ada yang hijau, ada yang hitam seperti ketan hitam, ada putih kusam dll. Dan di bungkusannya tertuliskan cara memasaknya. Rupanya cukup 2-3 sendok saja untuk 2 omplong (aku selalu bilang omplong untuk gelas nasi yang 180 cc itu, bahasa Indonesianya apa ya? Karena setelah aku cari omplong itu bukan bahasa Indonesia loh) nasi putih. Jadi masaknya dicampur dengan nasi putih.
Memang sekarang di Jepang banyak sekali jenis beras yang katanya menyehatkan. Ada beras yang bercampur gandum, ada beras hijau yang mengandung warna chlorophyl, lalu beras merah mengandung warna tannin, ada juga beras hitam mengandung warna anthocyanin. Terutama beras hitam banyak mengandung vitamin C, Mangan dan Zyncum. Tapi kenapa beras yang aku terima itu bernama Beras Purba?
Beras Purba berarti jenis beras yang dipanen sejak dulu kala atau bermutu seperti “beras liar” dari jaman dulu. Tentu saja bukan berarti bibitnya dari dulu kala, tapi memakai bibit yang bukan bibit varietas baru apalagi dari bibit beras dari luar negeri. Sehingga nama “Beras Purba” juga hanya merupakan “trade mark” saja.
Aku belum coba masak sih, karena ternyata cukup mendokusai (merepotkan) untuk menanaknya. 2-3 sendok itu harus dicuci 2 kali, lalu direndam sehari semalam, baru dicampur dengan beras biasa yang mau dimasak. Jadi kalau aku cuci sekarang baru bisa masaknya besok dong. Duh, bisa-bisa aku lupa deh hehehe. Katanya sih nasi yang dicampur beras Kodai mai ini akan terasa “kenyal” … Nanti deh kami buktikan.
Bagaimana teman-teman, apakah memperhatikan kesehatan dengan memilih beras “sehat”? Aku ingat aku pernah bertandang ke rumah teman yang satu keluarganya dokter semua, dan dia juga selalu mendapat nilai 9/10 di SMA. Makannya nasi merah setiap hari euy…. makanya pintar ya? hehehe