“Ashitamo omachishiteimasu“, adalah frase yang tertulis dalam mangkok ramen (mie kuah) yang kami makan. Tulisan itu baru terbaca jika kita sudah menghabiskan setengah mangkuk ramen itu. Hmmm sebuah iklan atau usaha pemasaran yang cukup menarik. Karena semua mangkuk restoran itu tertulis demikian, dan tidak “shitsukoi“, tidak “memaksa”, tidak “keterlaluan”.
Ya sejak kejadian gempa Tohoku itu, ada beberapa kata bahasa Jepang yang dianggap “shitsukoi“. Pertama adalah kata “Gambattekudasai“. Memang kata gambattekudasai ini bagus untuk memberikan semangat, tapi dalam situasi seperti sekarang ini rasanya pengungsi juga tidak tahu mau gambaru bagaimana lagi. Sesekali mungkin boleh, tapi jika terlalu shitsukoi/ memaksa begitu esensi kata itu sendiri menjadi hilang. Mereka (pengungsi) juga bisa lelah jiwa dan raga. Karenanya ada seorang yang menyampaikan pesan begini, ” Saya tidak akan pakai kata Gambatekudasai, tapi Amaete kudasai. Ya bermanjalah pada kami kali ini. Kami akan berusaha sekuat tenaga membantu kalian. Kami ingin melihat kalian sehat dan tersenyum kembali……”
Ah, suatu pesan yang begitu mengharukan. Ya, bermanjalah selama masih bisa bermanja. Orang Jepang terkenal tidak mau bermanja pada orang lain, sehingga terlalu memaksakan diri. Mungkin inilah (sikap terlalu memaksakan diri) yang menghubungkan dengan tingkat bunuh diri yang begitu tinggi di Jepang juga. Mereka tidak biasa bermanja pada orang lain.
Kali ini pemerintah Jepang juga mulai membuka diri, “bermanja” pada negara lain. Aku baru tahu bahwa waktu gempa di Kobe 16 tahun lalu, pemerintah Jepang menolak bantuan dari luar negeri, dan mengatakan bahwa “Kami bisa mengatasinya sendiri”. Tapi untuk gempa Tohoku kali ini, pemerintah membuka dirinya terhadap bantuan negara lain. Dan terus terang itu bagus. Dalam hubungan antarmanusiapun adakalanya kita menjadi pihak kuat yang memberikan bantuan terus menurus, tapi dengan kita menjadi korban, dan menerima bantuan serta perhatian dari orang lain, saat itu juga kita mengetahui dan merasakan hubungan yang lebih intim.
Kata kedua yang juga dirasakan shitsukoi saat ini adalah “Gokyoroku onegaishimasu“, yang diteriakkan di stasiun-stasiun, pusat pertokoan dan di depan gedung-gedung terkenal. Meminta sumbangan dengan berbaris dan memegang kotak dana. Memang tidak memaksa seperti kegiatan beberapa oknum di Indonesia yang sampai menghentikan mobil di tengah jalan untuk meminta sumbangan pembangunan rumah ibadah, tapi suasana seperti ini memang jarang terjadi di Jepang. Kegiatan ini dilakukan per kelompok dan tidak pernah hanya sendirian/2-3 orang saja. Minimum 10 orang, sambil juga mengucapkan terima kasih pada orang yang baru memasukkan uang ke kotak. Hmmm risih juga rasanya. Well, selama bisa mengumpulkan banyak dana, tidak apalah.
Gempa bumi kali ini memang yang terbesar dalam sejarah Jepang. Perlu banyak dana untuk membangun kembali kota-kota dan infrastruktur yang hancur akibat tsunami. Dan dari koran pula kami mengetahui betapa banyak orang (baca artis dan orang terkenal) yang concern pada keadaan pengungsi. Aku cukup kaget membaca seorang mantan pembawa acara TV yang terkenal menyumbangkan 200juta Yen sebagai sumbangan pribadi untuk kegiatan penggalangan dana gempa Tohoku ini. Wah, pembawa acara bisa punya uang “lebih” sebanyak itu ya…. (Lalu dijawab mertuaku, dengan memberikan uang sumbangan, dia juga tidak usah bayar pajak banyak atas hartanya kan, hehehe iya juga sih)
Hari Minggu lalu, kami sekeluarga pergi ke misa pukul 12 siang di gereja Kichijoji. Naik bus dari rumah kami, sudah cukup banyak orang yang bepergian dengan bus, sehingga kami menunggu kedatangan bus berikut, supaya bisa duduk. Kami sampai di gereja 10 menit sebelum misa dimulai.
Dalam misa kami mengetahui bahwa ternyata gereja kami itu dipakai sebagai tempat penampungan 40 orang Filipina dari daerah bencana. Sebagian dari mereka akan pulang ke negaranya, dan sebagian akan ditampung di tempat lain. Tapi untuk sementara mereka datang menginap di gereja selama 2 malam. Untung saja gereja memiliki pengurus dari umat, sehingga proses penampungan dan persiapan logistik mereka dapat tercukupi. Jadi selain kegiatan penggalangan dana untuk korban Gempa yang disalurkan melalui Caritas Jepang, umat juga dimohon bisa membantu penyediaan logistik/finansial pengungsi yang mungkin juga akan datang lagi.
Selesai misa, kami mampir makan di sebuah rumah makan di samping toko sate minggu lalu. Kami baru pertama kali ke situ, dan tempatnya cukup bagus. Karena selama seminggu kami juga berhemat, dan aku tidak bisa berbelanja bahan makanan mentah, kami memilih makan sashimi (ikan mentah). Perlu diketahui bahwa harga makanan di restoran Jepang, berbeda harganya antara lunch dan dinner. Aku rasa hampir semua restoran di Luar Negeri (selain Indonesia) semua begitu ya? Untuk lunch di restoran biasanya maksimum 1000 yen, sedangkan kalau dinner sulit untuk bisa 1000 yen. Kalau di Tokyo per orang budget untuk dinner minimum 3000 yen.
Sambil makan, Gen bertanya apakah kita bisa pergi ke Yokohama, rumah ayah ibunya. Naik kereta memang lebih dekat dari Kichijoji. Aku sih tidak apa-apa, meskipun aku sudah tahu kalau pergi ke Yokohama, kami ada kemungkinan besar harus menginap 😀 (Senin adalah hari libur Equinox di Jepang). Rencananya memang selalu pulang hari, tapi…. suamiku ini biasanya tertidur dan akhirnya kemalamam, dan akhirnya terpaksa menginap hehehe.Tapi kupikir tidak apalah, toh rumah sudah dikunci dan tidak ada yang harus ditangani dalam waktu dekat (bisa menunggu sampai esoknya)
Jadi begitulah, kami pergi ke Yokohama melalui Shibuya. Pertama kali aku keluar sampai Shibuya sesudah gempa. Aku juga ingin tahu bagaimana sih keadaan kota saat ini. Ternyata? …semua teram temaram 😀 Ya semua menghemat listrik, sehingga peron hanya separuh lampu dinyalakan. Pintu masuk peron otomatis juga hanya berfungsi separuh. Lampu-lampu iklan/ billboard tidak dinyalakan. Lampu dalam kereta juga tidak dinyalakan, kecuali waktu melewati terowongan. Toko-toko selain tidak menyalakan semua lampu juga tidak memasang heater. Semua berhemat, dan kupikir itu baik adanya. Karena selama ini Tokyo TERLALU BOROS dengan pemakaian listrik.
Karena hari Minggu, maka kereta yang dioperasikan juga hanya kereta lokal, yang berhenti di setiap stasiun. Tidak ada kereta ekspress. Bagi yang bepergian jauh pasti butuh waktu dua kali lipat dari biasanya. Jadi kupikir bagus juga deh, dengan kondisi seperti ini memaksa orang Jepang juga untuk slowdown, tidak usah lari-lari 😀
Selama di rumah mertua, kami benar-benar bisa relaks. Rumahnya juga lebih luas dari apartemen kami, sehingga anak-anak bisa berlarian dan … teriak-teriak :D. Bapak mertua juga memasang video dan program TV yang BUKAN berita sehingga memaksaku juga untuk mengistirahatkan otak. Aku juga enjoy menonton film Peter Pan yang direkam oleh bapak mertua khusus untuk cucu-cucunya. Program televisi mengenai seorang wanita Inggris yang tinggal di Kyoto. Rumah khas Jepang tapi dikelilingi dnegan kebun Inggris. Wah benar deh, kebun Inggris itu benar-benar penuh dengan bunga dan kehijauan yang berbeda dengan taman Jepang.
Dan yang pasti, semalam menginap di rumah mertuaku itu membuatku juga beristirahat dari masak hehehe. Sebelum kembali ke rumah hari Senin malam itulah kami makan ramen di Kichijoji. Meskipun tidak seperti Bakmi GM, cukuplah untuk melengkapi hari libur kami. Dan perjalanan kami naik kereta juga cukup bisa menghibur kami. (Belum bisa naik mobil, karena sulit bensin nih 😀 bisa hemat BBM deh)
Oh ya. Besokpun Aku Tunggu kehadiran teman-teman semua di TE yah 😀