Tentu tahu dong bagaimana rasanya sembelit. Bukan yang sembelit dengan arti :sem·be·lit n kantong atau pundi-pundi yg dibelitkan di pinggang: perempuan itu memakai — tapi dalam arti tidak bisa buang air besar.
Nah ternyata si Riku itu mengalami “sembelit” selama 26 hari berada di Jakarta. Dan itu ketahuannya kemarin waktu Tatsuya kun, murid aku di Senshu University datang ke rumah. Terima kasih ya Tatsuya kun yang mau menjadi obat pencahar bagi Riku.
Pertamanya Riku enggan berkenalan dengan Tatsuya kun. Mungkin karena dia masih bermain dengan Dharma, Sophie dan Kei. Tapi waktu aku ajak semua pergi makan di luar, Riku bertindak sebagai host yang baik untuk Tatsuya-kun. Dia menjelaskan semuuuuuuuuuua dalam bahasa Jepang kepada Tatsuya-kun. Mulai dari naik mobil, di dalam mobil, sesampai di restoran, selama makan, seselesai makan, dalam mobil menuju rumah, dan sampai Tatsuya kun pulang naik taxi ke Jaksa, tempat dia menginap. Bener-bener deh….. nyerocos terusssssss dalam bahasa Jepang. Ternyata dia “sembelit” tidak bisa berbahasa Jepang selama ini, membuat dia bertindak seperti itu.
Berikut sedikit percakapan dia dengan si Tatsuya kun yang tentu saja dalam bahasa Jepang,
“Om dulu punya teman banyak?”
“Temanku ada yang namanya Hiro, Ryo, …tapi Ryo ini yang paling suka ngerjain aku.”
“Om suka dengan TK nya om dulu?”
Tatsuya kun: “Saya ada 2 kakak laki-laki loh”
“Wahhh 3 anak laki-laki? Kasihan ibunya ya…repot pasti” Dari jauh aku terbahak-bahak, you bet it must be difficult.
Tatsuya kun :”Iya ibu saya memang repot”
“Kan ibu kamu harus mengurus 4 laki-laki…susah ya” (Dalam hati aku bilang…YA IBU HARUS MENGURUS 4 BAYI…lucuuuuuu)
………
dalam mobil:
“Om dulu waktu TK punya pacar?”
“Pacar ya? mmmm pernah suka anak perempuan sih”
“Aku ya… aku suka sama yang namanya M.O, dia manis sekali loh. Dan aku selalu deg-degan ketemu dia. Abis dia manis sekali (huh manis apaan…masih ada yang lain yang lebih manis rikuuuuuu). Aku pikir nanti aku kalau besar mau kawin sama M.O.”
“Asyik ya…seneng memang kalau sudah ada pacar….”
(Dan aku harus menahan tawa supaya Riku tidak marah bahwa aku mendengarkan percakapan dia)
26 hari tak bisa berbicara bahasa Jepang, kecuali sama papanya di telepon… dan sama aku. Rasanya seperti sembelit mungkin ya. Tapi di lain pihak aku membayangkan juga…. Aku sudah hampir 16 tahun penuh tinggal di Jepang. Di negara yang aku sukai, dan aku anggap kampung halaman kedua-ku. Dan aku sangka aku senang dikatakan “Imelda sudah seperti orang Jepang” dalam tindakan dan perkataan aku selama ini. Bangga bisa menjadi “Orang Indonesia yang menguasai bahasa dan kebudayaan Jepang dan tinggal lama di Jepang”.
BUT sekarang aku sadari, bahwa aku sebenarnya terlalu memaksakan diri… terlalu berusaha dengan sungguh-sungguh, terlalu banyak beradaptasi dengan lingkungan, dan tidak sadar bahwa aku sudah sampai pada titik jenuh…. bagaikan air gula yang sudah tidak bisa ditambahkan lagi gulanya tanpa harus memanaskannya, atau membuatnya menjadi kental. Dengan satu kata aku ini CAPEK.
Karena ternyata aku juga masih orang Indonesia, yang mempunyai sifat-sifat seperti orang Indonesia umumnya, dan merasa kehilangan kehangatan, kebersamaan, persaudaraan antar manusia yang LUMRAH ada di Indonesia, tetapi sulit sekali didapat di Jepang. Aku juga kehilangan rumah besar yang aku huni selama 24 tahun pertama hidupku, untuk harus tinggal dalam “Usagi goya” —rumah kelinci. (Kalau ini sih kesalahan orang tua saya (perusahaan tempat papa bekerja deh), kenapa sih rumah besar begini…sampai kalau panggil orang harus teriak, atau mengebel ….. benar-benar mengebel dengan kode tertentu, karena tombol bel ada dibagian dalam rumah dan bagian luar, sehingga kalau mau panggil mbak-mbak yang tinggal di pavilyun belakang pakai bel dengan kode dua untuk si mbak A dan 3 untuk si mbak B). Sedangkan rumahku di Tokyo hanya sebesar kamar tamu saja (Itupun sudah cukup besar untuk ukuran tokyo)….
Sekitar 2 minggu berada di Jakarta, Riku pernah tanya…”Ma, kapan kita pulang, aku rindu semua orang Jepang…” kataku, “Yah kamu hitung saja 10 kali tidur, kita sudah akan pulang ke Jepang)
Tapi seminggu sesudahnya, “Ma, kita pulang sebentar ke Jepang. Lalu kembali lagi ya. Aku mau sekolah sama Dharma di sini saja…..” Aku tidak bisa berkata apa-apa (hey nak, kamu orang Jepang)
Dan kemarin aku bilang, “Riku, tinggal dua kali tidur, kita kembali ke Tokyo loh. Riku harus tidur siang, supaya riku tidak tidur malamnya waktu kita masuk pesawat ya. Kalau Riku ketiduran malamnya, mama bisa mati gendong kamu dan Kai (25+12kg =37kg)”
“Asyik ma…kita harus beli oleh-oleh untuk semua loh. Buat Riku, buat papa, beli tas untuk Riku, beli alat-alat tulis untuk ke TK…. “Oi oi,,, itu bukan oleh-oleh namanya…itu BEKAL buat kamu sendiri hihihi.
Setiap orang pernah mengalami krisis identitas. Dan aku tahu Riku dan Kai juga pasti akan mengalami krisis identitas kelak. Semoga saja kedua anakku bisa melewati masa itu dengan baik.
Pagi tadi jam 2 pagi, aku telepon gen … waktu aku cerita Riku mau sekolah di jakarta, dia malah bilang, wah Riku hebat…bisa pikir begitu. Dan waktu aku cerita, bagaimana kalau aku misalnya bekerja di suatu universitas di Yogyakarta sebagai dosen tamu, Gen bilang…asyik…aku jadi pembantu kamu aja deh. Weleh… gaji dosen mana bisa nyewa pembantu kayak kamu. Aniway, aku juga bersyukur mempunyai keluarga yang masih bisa fleksible tinggal di manapun….. Apa kita sekeluarga bermigrasi ke Selandia Baru saja ya? Maybe ada kerja yang cocok untuk aku dan Gen? who knows….
Semoga aku juga bisa mendapatkan obat pencahar yang bisa menyembuhkan aku dari penyakit yang namanya Capek dan Bosan itu, seperti Riku yang bebas dari Sembelitnya tadi malam.