Tulisan ini sambungan dari posting sebelumnya: SW 1 Transportasi.
Dari Shibuya kami naik kereta Minato Mirai Line. Dulu namanya Toyoko line, singkatan dari Tokyo – Yokohama. Tapi karena kemudian diperpanjang sampai ke kawasan pinggir pantai termasuk pecinan, maka diberi nama Minato Mirai line. Natsukashii….. (membangkitkan kenangan lama) apalagi waktu melewati stasiun Gakugei Daigaku, tempat tinggalku dulu. Karena naik dari terminal awal (Shibuya) kami bisa mendapat tempat duduk. Tapi tidak sadar ternyata gerbong yang kami masuki adalah gerbong khusus wanita.
Gerbong khusus wanita ini baru sekitar 4-5 tahun terakhir ini disetting pada jalur-jalur padat penumpang baik perusahaan kereta api JR (dulu BUMN) dan swasta lainnya. Biasanya gerbong paling depan atau paling belakang, dan hanya berlaku untuk jam sibuk dari pagi sampai pukul 10 pagi dan setelah jam 5 sore. Waktu saya mencari keterangan tentang gerbong khusus wanita ini, ternyata menurut sejarahnya sudah lama sekali ada, dan tidak ada. Dulu dibuat gerbong khusus wanita karena ada kesan tabu dalam masyarakat untuk menyatukan kaum wanita dan kaum pria. Seiring dengan modernisasi, gerbong khusus tersebut dihapus. Akhir-akhir dibuat kembali, dengan tujuan untuk menghindari chikan – pria yang tidak bertanggung jawab (pernah saya tulis di sini) . Hmmm saya sendiri tidak begitu setuju dengan adanya pembedaan gerbong seperti ini. Karena toh akhirnya saya (dan banyak wanita karir) juga tidak pernah pakai (masuk) gerbong khusus ini . Kesannya malah justru sebagai pembenaran pemisahan gender dan berlawanan dengan feminisme yang seharusnya dong. Sama juga seperti yang akhir-akhir ini saya lihat di jakarta, yaitu pemisahan space parkir khusus wanita. Kalau saya sih malah merasa “terhina” dengan pemisahan ini. Emangnya kita diragukan kepiawaian menyetirnya? atau ngga bisa jalan ya sampai ke pintu masuk kalau dapat tempat parkir yang jauh. Oi wanita Indonesia…. jangan manja ah!
Menurut wikipeda bahasa Jepang, di Indonesia ada juga gerbong khusus wanita di jalur jabotabek, dengan latar belakang agama islam, yang membedakan wanita dengan pria yang bukan muhrimnya. Tapi memang tidak diketahui prakteknya bagaimana.
Setelah 25 menit berada dalam kereta api, kami turun di Stasiun Yokohama. Padahal sebetulnya jika kami ingin pergi ke acara Y150 atau 150 tahun pembukaan pelabuhan yokohama, kami bisa turun di Bashamichi (perhentian sesudah Sta. Yokohama). Tapi waktu kami lihat peta dari stasiun Bashamichi ke tempat berlangsungnya acara Y150 itu cukup jauh jalannya. Yang paling dekat berjalan dari Red Brick Warehouse (Aka renga soko) . Dan untuk sampai ke Gudang Batubata itu, kami bisa menggunakan jalan laut.
Tapi sebelum itu, karena sudah menjelang jam makan siang, kami pergi menuju sebuah restoran yang bernama “Tsubame Grill” di dalam stasiun Yokohama. Dulu saya dan Gen, jaman masih “pacaran” sering pergi ke restoran ini. Dan terakhir kami pergi ke restoran ini waktu Riku berusia 2 tahun, jadi 4 tahun yang lalu. Sekalian tapak tilas, kami berempat makan di sini. Speciality restoran ini adalah vrikadel saus beef stew (rasanya seperti rolade di Indonesia deh) yang dibungkus dalam alumunium. Dan senang sekali melihat Riku dan Kai makan banyak. FYI, aku selalu share makanan dengan Kai. Dengan asumsi, kalau dia tidak suka, aku bisa makan. Tapi lebih sering Kainya suka sekali, sehingga bisa makan lebih dari setengah porsi. Bayangkan! Kai yang 2 tahun itu makan setengah porsi orang dewasa! Jadilah aku tidak pernah kenyang kalau makan di luar. But pikir-pikir bagus juga sih buat diet hahahah. Riku? Hmmm dia sudah bisa makan satu porsi orang dewasa! Aku cuma ngebayangin nanti kalau Riku dan Kai sudah teenager… bisa mabok deh aku masak terus hahhaha.
Karena kami melihat begitu banyak orang mengantri untuk masuk restoran itu, maka kami cepat-cepat menyelesaikan makan dan bersiap untuk pergi melanjutkan perjalanan. Perjalanan melalui laut! Dari Stasiun Yokohama berjalan ke arah Sogo, kami menuju ke terminal Sea Bass, sebuah layanan bus air yang menghubungkan point penting di Yokohama, bahkan juga menyediakan angkutan dari Yokohama ke Tokyo.
Well, jalan jauh (untuk ukuran orang Indonesia) dari stasiun Yokohama ke terminal Sea Bass ini. Riku sempat mendorong kereta Kai sampai mendekati Sogo. Tapi kami sempat juga nyasar mencari-cari terminal, yang ternyata terletak di lantai 3 nya Sogo, dan harus melewati jembatan.
Sea Bass ini memang tidak pernah terlambat. Ya di perairan gitu kan tidak macet, dan tidak ada lampu merah. Kecuali ada badai, biasanya mereka berangkat tepat waktu. Waktu kami naik pukul 13:45 siang seluruh tempat duduk yang kapasitas 80 penumpang sudah penuh terisi, dan banyak penumpang yang berdiri di deck kapal (memang disediakan tempat di deck bagi yang mau).
Lima belas menit mengarungi perairan menuju ke Gudang Batubata, kami bisa melihat pemandangan Yokohama ke arah darat tanpa halangan. Sayang saya tidak bisa memotret Yokohama Bridge karena harus menggendong Kai, dan posisi yang tidak pas untuk memotret. Spot terkenal lain yang merupakan simbol Yokohama adalah Landmark Tower dan Yokohama Cosmo World, ferrish wheel ciri khas pelabuhan Yokohama.
Aku selalu suka Yokohama, karena ada laut dan ada gunung! Perpaduan yang indah sekali. Universitas Yokohama terletak di gunung, tapi untuk pergi ke laut pun tidaklah jauh. Tapi jangan harap bisa naik sepeda di Yokohama…tanjakan bo!
Sekitar pukul 2 siang kami sampai di terminal Gudang Batubata (Akarenga Soko). Terus terang ini pertama kalinya aku pergi ke Gudang Batubata ini. Banyak orang di sini karena Gudang Batubata juga sudah direnovasi, dari fungsi dulu sebagai gudang, menjadi pertokoaan dan restoran. Ah romantis sekali di sini. Nanti kalau ada waktu aku ingin datang lagi malam-malam ah… pasti romantis dan… menakutkan juga hehehe.