Cerita Kelas : Tiga Mahasiswa

2 Mei

Setelah satu tahun mengadakan kuliah daring/online, akhirnya semester ini tiga sekolah/universitas tempatku mengajar mengadakan kuliah tatap muka. Karena sudah lama tidak pergi ke kampus, satu hari terasa sangat melelahkan. Apalagi ada satu universitas yang jaraknya HANYA 60 km dari rumah dan makan waktu 2 jam naik kereta. Daaaan… aku ke sana setiap hari Jumat (akhir minggu gitu loh :D).

Satu lagi yang membuatku sangat lelah setiap hari Jumat itu karena aku harus membawa laptop ke kampus. Tidak seperti sekolah lainnya, di universitas ini tidak tersedia laptop di ruang kelas. Ngerti sih, karena jumlah kelasnya banyak sekali, jadi tidak bisa menyediakan untuk setiap kelas. Kalau mau pakai komputer harus “ambil dan kembalikan” ke Information Center yang cukup jauh juga letaknya. Mendokusai めんどくさい merepotkan! Jadi aku terpaksa deh bawa laptop.

Kenapa perlu laptop? Karena sistem di universitas ini, memberlakukan kelas tatap muka untuk mahasiswa tingkat 1, dan kelas online untuk tingkat 2 ke atas. Jadi jam ke-2 aku harus online dari kampus dan jam ke-3 tatap muka. Tidak mungkin aku online dari rumah kemudian ke kampus yang letaknya 2 jam perjalanan, kan?

Nah, untuk mengadakan kelas online, aku ke kelas yang sudah ditentukan. Untung saja wifi di universitas ini kencang :D. Daaan, minggu lalu waktu online dari kelas, ternyata ada dua mahasiswa yang juga online dari kelas yang sama. Karena mereka ada kelas tatap muka setelah jam pelajaranku. Jadi hybrid deh. Aku sendiri tidak suka kelas hybrid karena perlu konsentrasi ke dua tempat, laptop dan kelas. Saiaku 最悪 kata orang Jepang. Menyebalkan sekali.

Jika kamu online bersamaan dari satu tempat, maka jika berbicara di Zoom, yang lain harus mematikan pelantang (mic) nya karena akan bergaung. Bahkan ada kalanya kamu harus mematikan volume suara, supaya gaungnya tidak mengganggu. Kalau aku mengadakan webinar dengan dua laptop pun demikian. Hanya satu laptop saja yang dinyalakan suaranya, yang satunya hanya berfungsi sebagai pemantau keseluruhan (baca chat, atau meyakinkan bahwa berbagi layar sudah terlihat) saja.

Ada kejadian yang menarik setelah aku mengadakan kelas online minggu lalu. Salah satu dari dua mahasiswa yang berada di kelasku, datang kepadaku dan bertanya, (aku sebut Mahasiswa ke-1 deh)

“Sensei, bagaimana caranya supaya saya bisa hafal kata-kata bahasa Indonesia. Ini tahun kedua saya (kelas menengah) tapi saya belum hafal banyak kata-kata”.

Tentu kujawab macam-macam, dan yang penting dia harus menyukai dulu baru semuanya bisa maju. Lucunya dia tidak beranjak setelah aku selesai bicara, padahal aku sudah mau makan siang dengan onigiri yang kubawa. Kelihatan sekali dia mau bicara. Jadi sambil makan, kutanya dia tinggal di mana, asalnya dari mana dan lain-lain. Rupanya dia dari Shizuoka dan kost dekat kampus. Yang menarik, temannya (yang diam saja) ternyata berasal dari SMA yang sama, masuk fakultas yang sama tapi kost berbeda tempat. Aku kemudian tanya, kamu tidak beli bento/makan siang (sembari mengusir halus sih :D). Eh dia berkata, tidak sempat beli dan malas beli. Sepertinya dia lebih mau berbicara denganku daripada pergi beli. Di situ dia berkata,

“Sensei tahu, saya kemarin malam kerja di konbini dari jam 11 malam sampai jam 6 pagi tadi. Jadi saya juga sudah malas melihat makanan yang dibeli dari konbini”

“Tapi kamu harus makan, kan?”

Kemudian temannya, rupanya membawa dua onigiri dan satu roti (yang dia beli dari konbini sih) dan menawarkan untuk makan salah satu. Si mahasiswa ke-1 kemudian mengambil satu onigiri dan makan. Dan setelah makan dia ambil dompetnya dan membayar seharga 1 onigiri.

Melihat itu, aku trenyuh juga. Dua mahasiswa yang jauh dari keluarga, harus cari makan sendiri, tapi juga tidak mau bergantung pada kebaikan orang lain. Dia bayar ke temannya, karena tahu bahwa temannya juga sama-sama kost dan perlu uang. (dan kemudian aku teringat pada anak sulungku yang seumuran dengan mereka, yang masih bisa berbahagia karena tinggal dengan orang tua). Minggu depan aku mau bawa makanan lebih ah….

Karena judulnya 3 mahasiswa, aku masih harus bercerita tentang mahasiswa ke 2 dan ke 3. Mahasiswa ke-2 ini tiba-tiba datang di kelas tatap muka jam pelajaran ke-3, hari Jumat kemarin. Waktu itu aku dan mahasiswa lainnya sedang makan siang sebelum kuliah dimulai. Aku sedang mengunyah kentang goreng waktu dia datang.

“Sensei, konnichiwa. Sensei suka kentang?”
“Ya, suka. kamu sudah makan siang?”
“Sudah, tadi beli di konbini. Onigiri dan roti.”
“Bisa kenyang? Bento yang dijual di universitas itu mengenyangkan loh. Cuma 350. Kalau beli di konbini berapa?”
“380 yen”
“Nah kan, dari pada onigiri dan roti, lebih baik makan nasi dan sayur meskipun sedikit. Tapi kalau untuk saya kebanyakan, tidak bisa habis”

Yang lucu lagi, ternyata si mahasiswa ke-2 ini BUKAN mahasiswaku. Dia mengambil bahasa Cina yang kelasnya di depan kelasku. Kebetulan dia masuk kelasku untuk bertemu temannya yang mengambil kelas bahasa Indonesia. Aneh, kan? KOK dia mau berbicara dengan aku yang BUKAN senseinya? Kelihatan sekali dia mau bicara macam-macam, jadi aku tanya dia tinggal di mana dsb. Ternyata dia tinggal di kota sebelah rumahku, jadi butuh 2 jam juga ke kampus. Enaknya aku ada kereta cepat, sedangkan dari rumahnya tidak ada. Sebagai penutup, aku berkata,

“Minggu depan kalau mau ngobrol lagi, bawa saja makananmu ke kelas ini dan kita makan sama-sama”

Dua mahasiswa baru yang … kesepian. Mereka baru saja jadi mahasiswa (tingkat satu) dan karena pandemi lebih banyak kuliah yang online dan juga bermasker. Bagaimana kamu bisa akrab atau mencari teman baru padahal kamu tidak tahu mukanya? Muri 無理, imposible apalagi orang Jepang memang sulit untuk menjadi akrab.

Cerita tentang mahasiswa yang ke-3, hanya berselang 5 menit dari mahasiswa ke-2. Tiba-tiba ada pemuda masuk ke kelasku dan berkata,

“Ah, untung keburu! Sensei ohisashiburi お久しぶり (long time no see) “

Aku heran … dan waktu melihat mukanya (yang setengah tertutup masker) langsung ingat. Dia mantan mahasiswaku yang pernah mengambil kuliahku. Langsung saya bertanya, kamu sekarang tingkat berapa?

“Sensei, saya sudah lulus kemarin. Mulai Mei saya ada training di perusahaan baru yang kantornya dekat sini. Hari ini saya pergi ke kantor itu dan mampir ke kelas sensei. Untung pas waktunya”

Jadi, dia waza waza わざわざ dengan sengaja datang untuk menyapaku hari ini. SENANG SEKALI. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mahasiswa yang masih mengingat dosennya, meskipun dia sudah lulus. Dan aku ingat, dia memang mengambil kelasku 3 tahun dan pernah hadir dalam acara RBI di kedutaan. Setelah bertukar id LINE, dia pun pulang dan aku harus memulai kuliahku. Mahasiswa ke-3 ini memang sudah mantan mahasiswa, tapi di mataku dia tetap mahasiswa. Ada apa ini, kok aku menjadi tempat curhat mahasiswa-mahasiswa ini, ya? Tapi aku senang, karena berarti aku dipercaya untuk menjadi “teman” mereka, bukan hanya sebagai guru mereka.

Sedang menunggu apakah ada mahasiswi yang akan mendekatiku? 😀

Tulisan yang panjang, tapi aku memang ingin meninggalkan cerita ini dalam TE. Terutama pada hari Pendidikan tanggal 2 Mei ini. Pendidikan penting, tapi pendidikan akhlak dan keseimbangan mental sangat perlu, terutama di masa pandemi ini.

Selamat Hari Pendidikan.

Remember Me

24 Apr

Remember me, though I have to say goodbye
Remember me; don’t let it make you cry
For even if I’m far away, I hold you in my heart
I sing a secret song to you each night we are apart
Remember me, though I have to travel far
Remember me, each time you hear a sad guitar
Know that I’m with you the only way that I can be
Until you’re in my arms again, remember me…..

Lagu remember me adalah theme song dari film Coco (Disney) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang menjadi Remember Me リメンバーミー. Aku teringat kembali lagu ini kemarin malam.

Kemarin malam, aku mengikuti zoom doa rosario bersama teman-teman masa SMA untuk mendoakan suami salah satu teman yang meninggal 2 hari yang lalu. Ini merupakan kali ke 3 kami berkumpul untuk mendoakan teman/keluarga teman waktu SMA. Dua untuk mohon kesembuhan dan satu untuk kematian. Aku merasa kedekatan seperti ini sangat menghibur. Berkumpul secara virtual untuk berdoa dan mendoakan….. meskipun rasanya sedih kalau kami berkumpul kok hanya untuk yang sedih-sedih saja, dibandingkan untuk yang gembira. Tapi, hei…. justru di saat sedih kita butuh dikuatkan, bukan?

Kembali berbicara mengenai film Remember Me. Aku memang sudah lama tahu tentang film itu yang dikeluarkan tahun 2017. Tapi entah mengapa, aku malas menonton. Memang dari sononya, aku malas menonton film (atau video clip). Menurutku menonton film itu buang waktu karena harus terpaku di depan monitor/tv 😀 Segitunya aku tak punya waktu ya? hehehe. Tapi kalau Gen atau anak-anak pasang film tentu aku sering terhanyut menonton juga. Kalau tidak mau terganggu, biasanya aku pasang headset dan terus konsentrasi mengetik saja. Jadi kalau mau dikatakan tidak suka menonton, ya tidak juga.

Nah, aku mendapat kesempatan menonton di dalam pesawat, dalam perjalanan (entah pergi atau pulangnya) ke Eropa musim panas tahun 2019. Perjalanan berjam-jam itu memang membosankan, makanya biasanya aku bawa laptop untuk kerja 😀 Tapi kali ini aku tidak buka laptop di perjalanan tapi sengaja menonton film. Untung di pesawat KLM itu film-filmnya cukup menarik. Yang kuingat aku menonton 3 film: Tonde Saitama翔んで埼玉, Garden of Words 言の葉の庭 dan Coco リメンバーミー. Ketiga film ini cukup menarik tapi yang paling meninggalkan kesan adalah Coco.

Kenapa? Ya karena dalam satu penerbangan itu aku menonton Coco sampai 3 kali 😀 Tentu sambil mewek… hihihi. Apalagi dalam ceritanya ada nama Imeldanya hahaha. Mama Imelda Rivera.

Mama Imelda

Menonton film itu, aku merasa bahwa kebiasaan untuk mendoakan dan menghormati leluhur itu sangat baik. Dan dalam semua agama yang kutahu, memang mengajarkan untuk menghormati leluhur. Aku jadi teringat kotbah seorang pastor dalam misa. Ada seorang lansia pria yang ingin dibaptis secara katolik. Waktu ditanya mengapa dia mau dibaptis, dia mengatakan, “Pastor saya ingin didoakan setelah saya meninggal nanti. Saya melihat orang katolik dalam misa pasti mendoakan mereka yang sudah mati, jadi saya juga ingin didoakan.” Suatu keinginan yang sederhana, tapi mengena kan?

Dan kemarin malam dalam doa virtual, kami juga mendoakan orang tua-orang tua kami yang sudah meninggal dunia. Termasuk mama…. How are you ma…. <3

Oh ya, persis minggu lalu aku juga bermimpi mengadakan pesta di Jakarta yang dihadiri saudara-saudara dekat seperti biasanya. Dan aku memeluk seorang oom, kakak mama Oom Lody yang sudah meninggal. Erat sekali sampai waktu bangun aku masih merasakan kehangatan pelukannya. Rupanya kerinduan untuk bertemu saudara-saudara semua sudah mencapai puncaknya ya?

Rindu itu pasti. Jenuh pun manusiawi. Tapi ingat, Tuhan tidak akan meninggalkanmu sendirian. Peluk dan doa untuk semua yang sedang kesepian.

Hand Gel

14 Feb
ハンドジェル アルコール洗浄タイプ 500ml 2本セット

Sejak tahun lalu, awal pandemi dinyatakan, barang ini dicari-cari. Sempat menghilang tapi sekarang sih sudah banyak tersedia di mana-mana. Jel untuk sanitasi tangan. Beruntung di Jepang, hampir di setiap toko, atau sekolah pasti disediakan hand gel ini. Aku pun rajin memakai setiap melihat keberadaannya. Kalau di rumah sih cukup dengan cuci tangan.

Aku mau cerita saja sedikit tentang hand gel yang membuatku sedih dan menangis hari ini. Entah kenapa aku kok cengeng sekali tadi.

Begini, pagi ini aku mengikuti misa online berbahasa Jepang. Biasanya berbahasa Indonesia, sehingga tidak begitu aku perhatikan apakah ada pengumuman ini. Yang pasti aku memang melihat pastor akan memakai hand gel pada awal misa dan sebelum membagikan komuni untuk yang hadir di kapel/gereja tersebut. Untuk kami yang online, kalau misa di Indonesia pasti ditayangkan lagu Komuni Batin, yang amat menyentuh juga (sering nangis juga sih sambil menyanyikannya).

Nah, tadi pagi ini, misa di katedral Tokyo. Saya memperhatikan bahwa misdinar memakai hand gel sebelum komuni. Pastor dan diakon juga memakai hand gel. Ini memang S.O.P nya begitu. Namun yang membuat aku terharu itu justru pengumuman dari lektornya.

“Dalam pembagian komuni, umat tetap berada di tempat. Pastor yang akan menuju Anda. Harap memakai hand gel yang disemprotkan oleh misdinar, dan selama menunggu hostia, jangan menyentuh apa-apa”.

Duuuh, terus terang aku baru pertama dengar pengumuman itu. Dan aku merasa sebal sekali. Kan pastor sudah pakai gel? Kenapa umatpun sampai harus pakai gel lagi persis sebelum menerima hostia. Hostia kan bukan metal yang bisa tertempel virus, dan tidak menularkan? Kesal karena situasi ini jarang aku alami. Karena aku tahu, kita harus menerima kondisi dalam New Normal ini. Dan ya, aku memang tidak bisa ke gereja tatap muka karena pilihan sendiri, karena mengurangi interaksi dengan orang lain setidaknya sampai akhir bulan Februari. Selepas itu, aku ingin kembali misa offline.

Dan ya, mungkin tidak lama lagi, manusia harus memakai baju astronot ke mana-mana seperti cerita-cerita science fiction itu? Jangan sampai deh 🙁

*galau di hari Minggu*

8 Besar dari Sayama

13 Jan

Tiga belas hari sudah berlalu sejak kita memasuki tahun 2021. Tahun 2020 kurang memuaskan bagi sebagian orang, atau bahkan menjadi tahun yang sial bagi dunia. Tetapi dari “kesialan” itu, aku mau menulis tentang 8 besar yang terjadi pada keluargaku pada tahun 2020 sebagai bahan refleksi dan melanjutkan kebiasaan yang sudah dimulai sejak tahun 2010.

  1. Si Bontot, Kai 13tahun. Lulus SD tanpa ada acara wisuda, tapi untung ada acara penerimaan murid baru di SMP dan saya hadiri. Untuk ke sekolah barunya dia harus berjalan 20 menit dari rumah, karena memang rumah kami pinggiran dari rayon sekolahnya. Yang dari wilayah kami (SDnya sama) hanya 3 orang. Tapi untungnya dimasukkan dalam satu kelas yang sama.
    Wali kelasnya guru OR. Sudah dua kali aku bertemu dalam acara mendan 三者面談, dan selalu berpikir, “Pak, beli jas gedean dikit dong” hehehehe. Abis jasnya mededet gitu 😀 (Bahasa apa lagi mededet :D)

    Bagi Kai, tahun ini merupakan tahun menyebalkan. Karena kami memasukkan dia ke sebuah bimbel yang agak jauh dari rumah (harus naik sepeda). Konon bimbel ini terbagus di daerah kami. Kecil, bukan chain seperti KUMON. Dan dia mengikuti kelas Bahasa Inggris dan Matematika. Ini wajib bagi semua murid bimbel. Bukan bahasa Jepang, karena biasanya Bahasa Jepang sudah aman… Dan untuk Kai disarankan untuk mengikuti kelas “Baca Cepat” 速読. Tentu Kai malas-malasan. Tapi di luar dugaan dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik, bahkan dinaikkan satu tingkat di atasnya. Bimbel ini khas memang, membuat peringkat murid yang berdampak pada posisi tempat duduk. Ranking satu pasti duduk paling depan, dan yang terjauh dari guru berarti nilainya terburuk dalam kelas itu. Kata kepala Jukunya, “Anak-anak harus dilatih untuk bersaing, kalau tidak dia tidak akan belajar!”…. Hmmm aku sih setuju saja, karena aku tahu anakku bisa. Dan pengalaman si sulung, dia baru mau belajar serius setelah masuk SMA. Sayang waktunya. Coba dari SD dia sudah punya perasaan bersaing, pasti hasilnya jauuuh lebih bagus dari sekarang.

    But anyway, kita tidak akan tahu kalau belum dijalankan, kan. Dan setiap anak itu berbeda. Bulan Desember Kai mendapat level 4 untuk Baca Cepat, suatu prestasi yang katanya sulit dicapai orang yang baru ikut kursus setengah tahun. Anak-anakku mah semua tukang baca, jadi no problem lah. Masalahnya hanya di bahasa Inggris 😀 Emang japanis banget deh anak-anakku. Untuk rapor skeolah juga tidak bermasalah. Dan dibandingkan dengan kondisi waktu dia SD, di SMP dia banyak teman dan kata gurunya termasuk anak yang bisa memimpin. Jadi gurunya ingin dia mencalonkan untuk menjadi pengurus OSIS (anaknya sih ogah 😀 )
  2. Si Sulung, Riku, 17. Well, sulungku ini diam-diam menghanyutkan. Yang pasti aku tidak menyangka dia itu tukang belajar :D. Tukang Buku iya, tapi belajar? Dari SD, SMP dia selalu santai. Tidak ada perasaan untuk menjadi nomor satu di kelas. Tapi ternyata aku salah. Begitu kelas 1 SMA, dia sudah punya rencana. Dia yang mengajukan proposal untuk pergi ke luar negeri kelas 2 sehingga dia punya “cambuk” untuk belajar bahasa Inggris. Dan ya, aku dan dia, berdua saja akhirnya tahun lalu bisa ke London selama 2 minggu.

    Apakah bahasa Inggrisnya canggih? Tidak! cukup saja. Tapi dia berusaha dan menunjukkan hasil. Masih kurang beberapa point untuk bisa lulus tingkat pre-1. Tapi tak apa. Karena dia punya bakat bukan ke bahasa Inggris, tapi bahasa Jepang. Kokugonya nomor 1 di sekolahnya, dan bahkan dalam ujian-ujian tryout masuk universitas, dia bisa sampai ranking 18 dari 17.000-an peserta! Bangga sekali, dan dia juga akhirnya mengetahui bahwa kalau dia belajar, dia sungguh-sungguh pasti bisa mencapainya. Sudah sejak kelas 2 awal dia mempersiapkan diri untuk masuk universitas pilihannya. Sulit, tapi kalau tidak berusaha ya terpaksa hanya bisa memilih universitas level menengah. (Universitas di Jepang tentu ada peringkatnya, nanti saya akan tulis juga mengenai itu). Sebentar lagi dia akan ujian masuk universitas, dan semoga hasilnya memuaskan dan dia bisa masuk ke universitas pilihannya.

    Selain pelajaran, dia lagi suka masak spagheti. Awal tahun dia minta aku masak nasi dari genmai (beras yang masih coklat/bukan beras putih) dan dada ayam. Ceritanya dia mau kontrol kalorinya. Eh pertengahan tahun dia getol masakan italia, dan bisa 2 dari 3 kali makan sehari itu spagheti beraneka rasa :D. Yang paling sering masak spaghetti mackerel… hiiii aku sih kurang suka karena amis. Tapi lumayan juga kalau aku malas masak, dia yang masak deh sekarang.
  3. Si Emak, alias saya 😀 Sejak dinyatakan sebagai pandemi, tetap mengajar bahasa Indonesia dengan online, dan saya sendiri merasa saya Ratu Zoom :D. Sejak Februari sudah membeli akun Zoom dan sangat mengandalkan si Z untuk melakukan pembelajaran. Untuk mengajar tentu saja, bahkan di organisasi APPBIPA, kami bahkan membuat beberapa pelatihan bagi guru-guru bahasa Indonesia mengenai pemakaian aplikasi-aplikasi yang bisa dipakai untuk PJJ (Pengajaran Jarak Jauh).

    TAPI saya juga belajar banyak dalam masa Pandemi ini, dan berbayar! Karena lain rasanya jika mengikuti kursus gratis dan berbayar. Beda mutu, beda konsentrasi juga. Paling sedikit ada 15 kursus yang aku ikuti. Ada beberapa hal yang aku perhatikan dalam mengikuti webinar atau kursus dari Indonesia. ① Jarang yang tepat waktu mulai, apalagi pesertanya sudah hadir sebelum acara. Aku sendiri selalu biasakan hadir 15-10 menit sebelum acara mulai. ② Baru acara dimulai, sudah tanya “Absensinya mana?” “Kapan dapat sertifikatnya?”, “Nanti bisa dapat bahannya tidak?”… dooohhh masih di awal loh? Tujuannya CUMA untuk kumpulin sertifikat ya? Pasti dong setelah absensi, keluar dan nunggu bahan dan sertifikat saja. Ilmunya? Ah ngga perlu. Sedih deh pada kondisi begitu. Kadang bahkan aku curiga, mereka itu alasan tidak pakai video camera itu pasti karena sambil dengan kerjaan lain, bukan karena koneksi. Kasihan pada yang memang benar-benar mau belajar tapi tidak bisa 🙁
  4. Online dan Offline atau hybrid. Untuk online, aku pikir memang cara yang tepat dalam masa seperti sekarang, daripada mengambil resiko tertular corona. Tapi ada beberapa kali aku harus offline, pergi ke tempat kerjaan, atau untuk bertemu dengan pihak lain. Takut? Ah, asal sudah jalankan tindakan preventif kurasa tidak apa-apa. TAPI aku punya kebiasaan untuk memegang handrail, pegangan di tangga waktu turun, karena takut jatuh setelah lututku bermasalah. Nah, untuk itu aku perlu membawa hand gel selalu, atau waktu musim dingin, aku pegang pakai lengan baju supaya tidak langsung kena tangan.

    Ada sekolah yang mengadakan kelas hybrid, dan aku sama sekali tidak setuju. Lebih baik offline 100 persen atau online 100%. Susah bagi guru untuk memecah konsentrasi mengajar ke online dan offline sekaligus. Khusus untuk pelajaranku, mengarang dan membaca, memang sebetulnya lebih enak kalau dilakukan secara online saja. Tapi karena kebijakan sekolah seperti itu, ya mau tidak mau harus dijalani. Pemecahannya, saya hanya konsentrasi pada anak-anak yang berada di kelas. Untuk anak-anak yang online, saya suruh kerjakan tugas saja. Sebetulnya sekolah membagi dua shift kedatangan mahasiswa ke kelas, menjadi grup A dan B yang secara bergantian datang ke sekolah. Tapi pada kenyataannya yang datang yang itu-itu saja, dan ada 2 anak yang sama sekali tidak pernah datang, dan saya tahu dia juga hanya masuk zoom, tapi tidak mendengarkan kuliah. Hasilnya, satu masih mau berusaha ikut ujian dan saya berikan waktu khusus, tapi yang satunya sama sekali tidak menyerahkan tugas, sampai terpaksa aku buat ujian susulan. Sepertinya sih dia tidak akan aku beri sks :D. Masa bodo deh. Tidak ada usaha sih.

    Tapi sepertinya untuk beberapa saat ke depan, saya harus lebih beradaptasi dengan kelas hybrid. Karena sistem ini yang akan dikembangkan di beberapa universitas untuk tahun ajar 2021.
  5. Hasil tahun 2020? Sampai memasuki bulan Desember 2020, belum ada hasil yang terlihat secara nyata, tapi berkat usulan dari Bapak Atdikbud yang baru, saya bersama teman-teman dari APPBIPA Jepang berhasil mencetak buku pengayaan untuk kelas menengah, lengkap dengan pertanyaan (dan jawaban) serta audio. Buku ini bisa diunduh dari website, meskipun audionya masih dalam garapan. Sulit mendapat waktu yang tenang untuk merekam tanpa gangguan.

    Selain buku, hal yang kecil, saya bisa membuat beberapa presentasi untuk Rumah Budaya Indonesia termasuk tentang sastra Indonesia, untuk pengajaran bahasa Indonesia, dan yang terakhir tentang literasi di Jepang. Berkat sebuah undangan untuk mengajar tentang literasi di Jepang, membuatku teringat akan sebuah rencana yang belum sempat direalisasikan. Semoga tahun 2021 bisa terlaksana.
  6. Silaturahmi. Hubungan antar manusia di masa pandemi tercabik-cabik, karena kesempatan untuk bertemu jadi berkurang. Saya bersyukur akhir Januari 2020 sempat lari ke Jakarta selama 10 hari, sendirian, semi keluarga. Ya, adik saya harus masuk RS untuk operasi besar, dan tanpa pikir panjang, saya meninggalkan rumah 10 hari kepada 3 boys. Begitu mendengar kabar, lusanya langsung berangkat, tanpa memberitahu siapa-siapa, hanya orang terdekat saja. Selama di Jakarta waktu itu pun tidak update apa-apa, dan hanya bertemu dengan teman penting saja karena 80% waktu dipakai di RS. Saat seperti itu saya bersyukur mempunyai orang tua yang mengajarkan persaudaraan di atas segala. Memang ada friksi antar saudara dan tidak bisa dihindarkan. Tapi saat salah satu ada yang susah, kami bisa berkumpul, dan berdoa bersama sehingga saat kritis bisa terlewati.

    Kita tidak tahu apa yang ada di depan sana. Kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Karena itu saya juga sekarang lebih mengikuti insting, jika ingin mengirim sesuatu kepada seseorang, langsung dilaksanakan. Kalau terpikir tentang seseorang, langsung saya hubungi. Jangan sampai terlambat. Ada seorang teman dari SD sampai SMA yang tiba-tiba meninggal, padahal paginya masih bicara akan pindahan rumah hari itu. Eh, ternyata pindah rumahnya di alam lain. Sedih, dan karena dia single mother, kami berinisiatif membuat peringatan 3 hari, 7 hari, 100 harinya secara daring.

    Dan saya bersyukur mempunyai papa yang kuat, dalam arti tidak “merengek” untuk bertemu, kangen dsb. Malah papa yang cerewet mengingatkan kami untuk prokes, jangan sampai tertular. Papamu malah tetap pakai masker di rumah, kalau berbicara dengan adik yang berkunjung. Tidak ada pelukan atau dekat-dekatan deh. Bayangkan jika papa yang merengek? Anak-anak kan sulit untuk tidak mengabulkan permohonan orang tua. Ah, papaku memang ketjeh! 😀
  7. Dua puluh delapan tahun tinggal di Jepang, dan sudah membeli 8 laptop 😀 Bener deh, tanpa laptop, saya tidak bisa bekerja. Dan saya masih ingat komputer pertama yang saya beli dengan uang sendiri, adalah IBM ukuran B5, dengan Windows 3.1 . Saat itu harganya 250.000 yen! Karena saat itu masih sedikit laptop ukuran kecil (tapi tebal, dan memang masih berat). Saya beli karena perlu untuk menulis thesis. Tidak bisa kalau memakai wapro saja.

    Waktu mulai pekerjaan membuat kamus saya mengganti komputer Sony-Viao yang berukuran A4 dengan Lenovo Yoga. B5, tipis, canggih, bisa dilipat sebagai tab, bisa touch screen juga. Karena ringan bisa dibawa kemana-mana, sehingga bisa mengerjakan kamus di mana-mana, ceritanya. Komputer Yoga ini juga yang selalu saya bawa dalam acara RBI di kedutaan, untuk disambungkan dengan in focus, untuk presentasi. Sudah banyak jasanya.

    Tapi, semenjak harus dipakai untuk Zoom, terasa sekali leletnya. Terutama jika saya harus share video atau presentasi yang banyak menyedot memorinya. Berkali-kali harus distart supaya tidak macet. Virtual Background? Tentu tidak bisa. Sampai saya membeli kain hijau untuk dipasang sebagai latar belakang. Nah, hingga suatu kali ketika sedang zoom untuk acara ulang tahun saudara, komputerku mati. blek! gitu saja. Untung masih bisa nyala, dan saya mulai siap-siap migrate, menyimpan semua file dalam HD dan cloud.

    Karena mata juga semakin memburuk, akhirnya bulan November saya membeli komputer baru. Dan terbawa nostalgia dengan komputer pertama, saya membeli IBM Think Pad, ukuran A4, dengan RAM 16GB. Harganya memang dobel dari komputer biasanya, hampir sama dengan komputer pertama. Tapi untuk zoom asik punya 😀 Virtual background tokcer, dan yang heran, bisa memuat 49 orang dalam galery view di Zoom. Jadi sering bisa memotret seluruh peserta karena biasanya komputer dulu hanya bisa 25 orang. Satu saja kekurangannya: tidak ada Power Point 😀 Ternyata waktu aku minta pasang option Office, hanya ada Word, Excel dan Acces saja 😀 Setiap mau beli PP baru yang terpisah, diarahkan untuk ikut Office 365. OGAH! mahal atuh :D. Penyelesaiannya: pakai Google Slide saja. yeay. murmer.
  8. Rencana tahun 2021? Lebih banyak menulis dan mewujudkan ide-ide yang ada di kepala. Mumpung masih bisa berpikir dan masih bisa bergerak, karena tanpa disadari umur akan bertambah terus. Tidak ada waktu untuk bersedih, atau stress. Harus memikirkan apa yang bisa dikerjakan dalam segala keterbatasan, supaya bisa survive. Dan semoga tahun 2021 bisa bertemu papa lagi di Jakarta.

Ditulis tanggal 13 Januari 2021 pukul 23:13

love this picture taken by Gen <3

Kecelakaan Lalin

4 Jan

Yomiuri Shimbun

Kepolisian Jepang pada tanggal 4 Januari 2021 mengumumkan bahwa jumlah korban meninggal akibat kecelakaan tahun lalu sebanyak 2839 orang menurun 376 orang dari 3215 pada tahun sebelumnya, dan itu berarti turun 11,7%. Ini berarti sejak 1948 pertama kali turun sampai di bawah angka 3000.  Selain dari tindakan pencegahan yang dilakukan kepolisian daerah, diperkirakan penurunan ini juga terjadi karena tidak banyak orang yang keluar rumah dalam rangka pencegahan penyebaran virus corona.

Akan tetapi jumlah kematian di Tokyo meningkat 22 orang menjadi 155 orang dan angka ini adalah angka terburuk se-Jepang setelah 53 tahun berlalu. Kecelakaan akibat mengendarai sepeda motor meningkat 12 orang, menjadi 40 orang tewas. Ini dipengaruhi karena peningkatan orang yang mengendarai sepeda motor untuk menghindari kerumunan orang di kereta/bus. Kalau dilihat sejarahnya, angka kematian karena lalu lintas terburuk terjadi pada tahun 1970 dengan jumlah 16765 orang, setelah itu mulai tahun 1996 menurun di bawah angka 10.000 dan terus menurun sampai sekarang.

Dalam Kenangan dan Doa

29 Okt

Kemarin dulu di WAG keluarga, adik saya bertanya, “Mel, tolong kasih tahu nama- nama saudara yang sudah meninggal dan mau kita doakan. Karena aku akan buat daftarnya untuk diberikan dalam misa nanti. Nama mama sudah pasti aku tahu, tapi banyak saudara yang lain, aku banyak tidak tahu nama benarnya siapa”. Lalu kami membuat daftar nama-nama saudara-saudara kami, dengan nama benarnya.

Nama benar? Ya, nama aslinya, karena biasanya orang memanggil saudara-saudaranya dengan nama panggilan, kan? Aku ingat kami waktu kecil selalu memanggil opa-oma kami dengan opa-oma Bogor dan opa-oma Makassar. Baru setelah besar mengetahui nama mereka yang asli. Ada lagi yang nama singkatan misalnya Oma Poel itu nama aslinya Pauline. Tapi yang asyik sepupu kami yang bernama Uud, nama aslinya Barend. Jauuuh banget kan?

Sambil menuliskan nama-nama mereka, kami mengenangkan mereka dan nanti pada misa hari Minggu akan mendoakan mereka. Kami bisa mendoakan saudara atau teman agama apapun dalam kesempatan itu. Saya senang agama kami mempunyai kebiasaan seperti itu, meskipun tentu setiap hari kami bisa berdoa untuk yang sudah mendahului kami. Saya teringat juga pada kotbah seorang pastor, yang mengatakan bahwa ada seorang Jepang laki-laki yang sudah tua mau belajar katekismus dan mau dibaptis menjadi katolik. Ketika ditanya kenapa mau masuk katolik, dia menjawab, “Saya senang mendengar dalam setiap misa, pastor dan umat mendoakan semua yang sudah meninggal. Saya juga mau didoakan jika saya mati kelak”. As simple as that, tapi itu adalah keinginannya yang murni.

Sembari menulis daftar nama itu, aku memasukkan nama teman dari SD yang baru meninggal. Juga teringat dengan teman-teman yang kehilangan pasangan hidupnya dalam masa pandemi ini. Bahkan teringat pada teman yang menceritakan soal temannya yang meninggal. Semoga mereka semua beristirahat dalam damai.

Pesta Halloween memang lebih dikenal dalam masyarakat, sama seperti pesta valentine. Tapi justru yang penting malahan pesta peringatan Semua Orang Kudus pada tanggal 1 November dan peringatan semua arwah orang beriman pada tanggal 2 Novembernya.

Halloween merupakan malam sebelum hari suci Kristen Hari Para Kudus (All Hallows’ Day), yang juga disebut Hari Semua Orang Kudus (All Saints’) atau Hallowmas, tanggal 1 November dan Hari Semua Jiwa (All Souls’ Day) tanggal 2 November, sehingga tanggal 31 Oktober yang merupakan hari libur di beberapa negara ini secara lengkap dinamakan Malam Para Kudus (All Hallows’ Eve, yaitu malam sebelum All Hallows’ Day). (wikipedia)

Oktober sudah hampir habis, dan kami di sini bersiap-siap untuk menikmati perubahan warna daun-daun sebelum akhirnya semuanya luruh dan meranggas.

Aku Anak Singkong & Keju :D

27 Okt

Diih, maksa 😀 Dalam lagunya mesti pilih kok, kalau anak keju, sukanya yang serba luar negeri. Sedangkan yang suka singkong, itu sukanya yang dalam negeri. Nah kalau yang tinggal di luar negeri tapi sukanya barang dalam negeri, bagaimana dong?

Tidak usah sampai zaman dulu waktu baru pertama datang ke Jepang deh, kira-kira 5 tahun lalu saja, kalau kami mau makan masakan Indonesia ya harus pergi ke restoran Indonesia yang ada. Dan di restoran Indonesia di Tokyo, belum ada yang bisa menyediakan pempek atau bakso bahkan singkong rebus.

Sejak pandemi Covid ini, baru aku getol belanja bahan-bahan masakan Indonesia secara online. Juga memesan masakan Indonesia home industry yang dibekukan dan dikirim ke rumah. Kadang mahalan ongkos kirimnya, jadi biasanya aku gabung dengan dua teman yang sering ke rumahku, mencoba masakan-masakan Indonesia yang bermacam-macam. Supaya tidak rugi ongkirnya, dan bisa menilai rasa masakan itu bersama. Ada beberapa yang sudah diulang pesan, dan itu berarti enak (menurutku ya). Aku punya langganan bakso dan pempek, dan selalu stock di freezer. Pokoknya sekarang jauuuh lebih enak dari dulu deh, kalau soal makanan.

Nah, selama ini yang jual singkong cuma dua tempat. Singkongnya itu sudah direbus dulu, baru dibekukan. Harganya lumayan mahal menurutku sih. Tapi kalau emang lagi ingin, mahal juga dibeli, kan? Kebetulan aku punya teman di Niigata, yang rupanya mempunyai lahan cukup besar dan sekitar bulan Agustus membuka p.o. pemesanan siapa yang mau singkong mentah. Dia sudah bilang sih sekitar bulan Oktober. Langsung dong aku beli 10 kg sekaligus, karena tidak tahu kapan lagi bisa panen kan? Jepang gitu loh, negara 4 musim, sehingga untuk tanaman tropis hanya bisa tumbuh selama musim panas saja. Terbayang dong buat combro, lemet, getuk dsb dsb. Ehhh tapi begitu barangnya datang kemarin, langsung potong satu batang yang panjangnya kira-kira 60cm itu, dan langsung goreng begitu saja. Yummy!

Aku suka keju, tapi aku juga suka singkong. Tapi aku tidak suka singkong keju (nama kue) hehehe. Kalau dalam lagu sih memang kesannya keju mahal, singkong murah. Tapi di sini… terus terang mahalan singkong dari keju loh.

Besok mau rebus singkong dan makan dengan mentega gula pasir ah, seperti zaman dulu makan bareng dengan mama.

Biar deh dibilang Anak Singkong 😀 soalnya emang aku masih anak Indonesia, kan? Dan aku juga blogger Indonesia loh, karena masih sesekali menulis blog 😀 Selamat Hari Blogger Nasional 27 Oktober 2020 ya…

Tetangga

30 Sep

Dulu, waktu masih tinggal di Nerima, aku cukup mengenal tetangga kiri dan kananku. Yang kanan, cuma tahu bahwa mereka punya dua anak perempuan. Kami jarang bicara. Yang kiri, aku tahu mereka dari suatu aliran agama yang sangat saya hindari di Jepang, setelah mendengar dari sahabat yang “terpaksa” masuk ke agama itu karena menikah. Bukan, bukan agama Y. Tapi suatu agama lain, yang berprinsip “sama rasa sama rata” dan mewajibkan “umat”nya untuk memberikan seluruh kekayaannya untuk kepentingan agama. Tentu si Ibu gigih mengajakku ikut acara-acara mereka, tapi bisa saja aku tolak karena memang aku bekerja. Selain soal agama, kami baik-baik saja dan sering saling mengirimkan buah tangan.

Aku sudah tinggal di Sayama sini, hampir 2 tahun. Waktu pindah, tentu kami “aisatsu” memperkenalkan diri kepada tetangga kami. Karena rumah kami paling pojok, ujung jalan bentuk L , aku mempunyai tetangga di depan rumah kami ada dua kiri dan kanan. Keduanya cukup saling tahu saja, meskipun tetangga depan kiri itu agak aneh menurutku. Mungkin kebanyakan uang sehingga dalam dua tahun kami di sini sudah ada 2-3 kali dia memperbaiki tembok pagarnya. Mending kalau berubah model. Tidak! Sama saja modelnya, tembok batu yang mulus :D. Waktu dia membongkar tembok batu yang mulus itu, aku tidak bisa mengajar secara online karena ribut!

Nah, kami tidak punya tetangga kiri, karena parkiran, tapi ada tetangga kanan. Sebut saja Bapak KW. Rumah dia satu-satunya yang hampir menempel pagar kami. Jadi kalau aku buka pintu rumah, pasti terdengar karena begitu dekat. Untung saja Bapak KW sudah tidak peka pendengarannya, sehingga dia mungkin tidak pernah terganggu teriakanku pada Kai di lantai dua setiap pagi. “Kai bangun!” 😀

Bapak KW ini sudah berusia 86 tahun (lupa juga tepatnya, tapi pasti lebih dari 80 tahun). Dia hidup sendirian. Kalau teman-teman berpikir dia itu “loyo”, wih ngga deh. Dia itu masih sehat, jalan tegap, daaaaan… Dia pernah keluar rumah berjalan di depan rumahnya dengan baju training tanpa kaus kaki pada musim dingin. Ampun deh.. aku saja kedinginan melihatnya.

Awal pindah, pernah aku bertemu dengannya waktu hendak ke stasiun. Tiba-tiba saja, “Miyashita san..” Maklum karena baru pindah, belum kenal siapa-siapa. Waktu itu aku jalan dengan Kai, dan dia menyapa mengajak bicara. Untung waktu itu kami tidak buru-buru sehingga masih bisa bertukar sapa.

Kadang aku bertemu di depan supermarket, lalu biasanya aku sapa, “Okaimono? (Berbelanja?). Dan dia akan berkata, “Iya, sekaligus olahraga”. Padahal aku pernah bertemu dengannya di sebuah supermarket yang jauh, yang jalan kaki butuh waktu 20 menit! Tanjakan lagi. Hebat deh. Aku so pasti dong, naik sepeda yang assist lagi. Duh! Tapi urusan belanja memang aku tidak bisa tanpa sepeda, karena kalau belanja pasti untuk 1 minggu sekalian. Berat booo.

Terakhir aku bertemu dia sekitar bulan April, saat aku berbelanja pakai masker. Eh, dia bisa kenali aku (ya iyalah, siapa lagi yang badannya besar pakai batik hihihi. Masih kutanya, “Sehatkah?” Dan dia menjawab, “Sehat. Kalian juga sehat-sehat ya!” Dia memang selalu menyapaku, setiap melihatku. Kadang dia laporan kalau melihat anakku sedang jalan, tapi tidak mau menegur, karena takut mengganggu.

Aku mengganggap dia tetangga yang kawaii, yang menarik. Ingin rasanya aku mengetuk pintu rumahnya, dan tanya “Apa kabar?” Tapi … sungkan, karena tidak ada kebiasaan begitu di sini. Dan memang aku pun jarang keluar rumah, kecuali ke supermarket, kan?

Jadi, kemarin ada yang mengebel rumahku. Rupanya keponakan Bapak KW. Dia minta izin untuk parkir di depan rumahku. Katanya, “Bapak KW kan sudah pikun, jadi kami mau melihat kondisinya. Mungkin perlu bawa ke RS”…. aku jadi sedih. Kukatakan, “Silakan parkir saja. Dan sampaikan salamku ya. Kemarin malam aku masih lihat lampu di kamar tamunya menyala. Semoga dia baik-baik saja.”

Dan…. semalam….. lampu kamar tamunya tidak menyala. Gelap. Dingin. Dan aku sedih. Mungkin dia dibawa ke RS Khusus lansia. Rumah Jompo. Meskipun aku tahu itu yang terbaik untuk dia, daripada tinggal sendiri dan berbahaya. Tapi tetap sedih. Sayang aku tidak bisa mendengar sapaannya lagi, “Miyashita san….” Semoga Bapak KW sehat-sehat saja ya.

NB: Hari ini keponakan si Bapak KW datang lagi, dan ternyata benar Bapak KW kena stroke dan tidak bisa digerakkan setengah badannya sehingga kemarin masuk RS. Keponakan datang untuk membersihkan rumah bapak KW. Sedih rasanya 🙁

Kemewahan

8 Sep

Dalam bahasa Jepangnya adalah Zeitaku 贅沢, tapi kemudian berubah menjadi investasi. Persis sebelum Tokyo belum ditutup dan dinyatakan dalam situasi darurat pada bulan Maret, tepatnya tanggal 24 Februari 2020, kami mendapatkan kemewahan yang kalau kami kenang lagi, semua memang sudah tepat pada waktunya.

Riku ulang tahun tanggal 25 Februari, tapi itu hari kerja. Tanggal 24 Februarinya Senin, tapi hari libur di Jepang. Jadi kami katakan pada Riku bahwa lebih baik rayakan sebelumnya saja. Tapi hari itu sebetulnya dia harus arbaito, kebetulan ada permintaan untuk menjadi figuran dalam iklan Indonesia, yang diambil di Akihabara.

Berempat menuju Akihabara.

Jadilah kami berempat pergi ke Akihabara naik kereta, sambil menunggu Riku “kerja” selama 1-2 jam, kami berpisah dan jalan-jalan di Akihabara. Tujuan kami adalah mencari komputer yang cocok untuk Kai. Kai lulus SD dan akan masuk SMP. Sama seperti kakaknya waktu lulus SD, kami ingin membelikan dia laptop.

Awalnya dia tidak mau. Tahu alasannya? Dia mau MERAKIT sendiri! hahaha. Jaman now, merakit sendiri. Yang ada jatuhnya lebih mahal. Dan yang pasti makan tempat dong. Eh, tapi ada loh paket rakitan sendiri, sudah dipilihkan oleh orang tokonya motherboard, casting, display, keyboard dsb. Tapi tanya-tanya pada tante Titin, disarankan untuk pelajari lama dulu, atau beli notebook saja.

Yang membantu Riku pilih-pilih juga mahasiswa, jadi dia beritahu hints banyak.

Setelah naik turun cari yang cocok buat dia (Dia maunya sih yang bisa untuk gaming…. no no no deh), akhirnya kami belikan DELL. Terus terang aku belum pernah pakai Dell, dulu pernah beli IBM, Fujitsu, NEC, HP, dan terakhir lenovo sampai 5 biji (untuk beberapa orang loh). Keburu cinta sama lenovo sih hehehe. Kata orang tokonya specnya bagus karena harganya miring. Rupanya seminggu sebelumnya ada Dell Fair. Karena anaknya suka, ya kami belikan. Langsung bawa pulang.

Janji untuk bertemu Riku lagi di kedai teh. Aku dan Kai menunggu di kedai teh itu, sambil pesan es untuk Kai dan teh untukku. Nah es itu didalam cone, tapi ditaruh dalam gelas. Nah si pelayannya waktu akan menyerahkan ke aku, akunya belum siap, sehingga esnya jatuh. Kasihan! Karena aku juga sebetulnya bersalah di situ. Eh diganti es nya dengan yang baru. Padahal aku sudah bilang tidak usah. Pelayanan di Jepang sih memang begitu.

Ginza pada hari libur menjadi CFD Car Free Day

Begitu Riku selesai, kami lalu naik subway menuju Ginza. Karena memang aku ingin mengajak nostalgia mengenang mama, di restoran Shabu-shabu yang ada di Ginza. Dulu setiap mama dan papa datang, pasti makan di sini. Jadi ceritanya pesta ultahnya dirayakan dengan shabu-shabu. Mantap deh.

Setelah selesai makan, kami masih mau jalan-jalan sekitar Ginza, mencari kertas washi. Lalu tiba-tiba aku bilang bahwa mama terakhir ke Ginza karena mau perbaiki iPhone. Nah, Riku langsung bilang bahwa dia mau lihat-lihat. Dia memang sudah mengeluh iPadnya lelet dan memorynya sedikit. Lagipula iPad itu adalah turunan dari Ibu Mertua yang aku tahu sekali kapasitasnya jauh dari memadai, karena dulu Ibu Mertua hanya perlu untuk main game 😀

Jadilah kami ke gerai apple dan penuh orang dong. Sambil melihat-lihat, ternyata iPad sudah canggih sekali sekarang. Hampir tidak ada bedanya dengan komputer deh. Apalagi Riku sedang persiapan ujian masuk universitas, jadi perlu banyak belajar dan mencatat. Hampir setiap hari perlu ke bimbel juga. Daaan, dia juga bilang, “Ma, dulu aku kelas 6 SD dibelikan komputer tapi kan harganya cuma sepertiganya Kai yang sekarang”… Well, dia butuh dan akhirnya aku belikan dia iPad yang terbaru, yang memadai sehingga dia bisa pakai sampai lulus universitas. Kalau selama universitas dia mau ganti, silakan kerja sambilan untuk beli sendiri hehehe.

Setelah itu kami langsung pulang deh, tidak ada waktu lagi jalan-jalan. Kami pulang ke rumah dengan komputer dan iPad baru dan tentu saja begitu sampai rumah mereka langsung ke kamar masing-masing untuk set up peralatan baru mereka.

Atas: Si Bungsu belajar programming sama tante Titin. Bawah: Kalau bosan belajar di kamarnya, Riku sering turun dan belajar di meja makan bersama aku.

Daaaan, aku merasa kemewahan dalam sehari itu amat sangat tepat waktu. Karena kemudian Tokyo dinyatakan kondisi darurat dan kami semua harus belajar/bekerja dari rumah. Masing-masing sudah punya perangkat sendiri, sehingga tidak perlu bergantian pakai komputer mama/papa. Kondisi ini yang tidak dipunyai oleh banyak keluarga Jepang lain, sehingga tidak mungkin untuk belajar daring (online) untuk SD, SMP di Jepang. Jadi selama itu SD dan SMP TIDAK belajar online. Tugas dan PR diambil di sekolah, bahkan ada daerah yang gurunya antar ke rumah. SMA Riku swasta sehingga terus online, sampai bulan Juni, waktu sekolah dimulai kembali. Kai? Untuk SD/SMP nya Kai memang tidak ada kelas online, tapi sejak Februari Kai masuk bimbel, dan bimbel ini ONLINE seminggu 2 kali. Aku merasa beruntung sekali sempat memasukkan Kai ke bimbel itu. Karena tidak semua bimbel menyediakan pembelajaran daring. Memang semuanya sudah tepat pada waktunya.