Danau Kassi Kebo dan Pantai Akkarena

3 Sep

Dalam kunjungan Daeng Senga ke Makassar kali ini, kami menyempatkan diri pergi (lagi) ke Bantimurung. Karena teman kami, Yuko san belum pernah ke sana. Bantimurung tempat yang menyenangkan sehingga berapa kali pun tidak akan bosan untuk pergi ke sana. Riku dan Kai juga ingat tempat ini, sehingga mereka sudah tahu arah jalan, dan mau cepat-cepat pergi ke air terjun besarnya.

Pintu masuk dengan deretan toko-toko cendera mata

Berlainan dengan waktu kami ke Bantimurung tahun 2012 lalu, kali ini banyak orang sejak di pintu masuknya. Karena masih dalam libur sesudah lebaran, sehingga banyak orang berekreasi ke sini. Toko-toko di sepanjang pintu masuk menawarkan oleh-oleh cendera mata, termasuk kumpulan kupu-kupu yang sudah dipigura.

Sayangnya dibanding kedatangan kami sebelumnya, kami jarang melihat kupu-kupu beterbangan. Mungkin mereka takut juga karena banyak orang ya 😀 Padahal saat itu masih pagi loh. Oh ya aku tidak suka di sini yaitu WC nya. WC untuk perempuannya tidak berjamban (hanya lantai saja), dan kami harus membayar 2000 rupiah. Hmmm….. tapi kalau terpaksa ya apa boleh buat ya.

tangga menuju ke sumber mata air dari air terjun, yang katanya dengan berjalan 800 m kami bisa melihat danau dan gua batu

Anak-anak langsung buka sepatu dan turun ke batu-batu air terjun untuk bermain air. Opa memotret dari pinggir dan tidak ikut turun. Karena cukup banyak orang di air. Sementara itu aku dan Yuko dengan dipandu seorang pemuda naik ke atas tangga di samping air terjun. Dulu aku ingin naik tapi tidak bisa karena harus memperhatikan anak-anak. Sekarang anak-anak sudah lebih besar dan bisa jaga diri, sehingga kesempatan untuk naik ke sumber air di atas. Kata pemandu kami jaraknya 800 m, pulang balik kira-kira 1 jam. Satu jamnya sih tidak apa-apa, tapi aku lupa bahwa aku membawa sepatu anak-anak. Aku memang tidak mau menitipkan pada opa, takut opa terpecah perhatiannya, lalu terpeleset atau apa.

Danau Kassi Kebo yang merupakan mata air dari air terjun Bantimurung ini

Nah selama perjalanan di atas air terjun itulah banyak kujumpai kupu-kupu. Selain itu airnya berwarna biru muda menciptakan sungai yang tenang. Untung udara tidak begitu panas, sehingga aku masih tahan berjalan terus mengikuti si pemuda pemandu, sambil sesekali berhenti memotret kupu-kupu. Jalanan yang kami lewati dibeton dan bagus mengarah ke Gua batu dan Danau Kassi Kebo. Dan benarlah setelah berjalan cukup lama, kami sampai di danau putih, tempat mata air Bantimurung ini. Kebo itu artinya putih, sedangkan kassi itu pasir. Danau pasir putih…. sungguh indah, apalagi saat itu tidak ada orang lain selain kami bertiga.

Aku dan Yuko san di depan danau Kassi Kebo

Kami diajak si pemuda untuk masuk Gua, tapi aku kepikiran opa dan anak-anak yang menunggu di bawah. Selain itu aku memang takut pada kegelapan kan? Jadi tidak berani coba masuk ke gua itu. Setelah sampai di air terjun dan memakaikan anak-anak sepatu, kami berjalan ke arah pulang. TAPI ada sesuatu yang membuat kami kaget. Kebetulan saat itu aku sedang duduk di depan stand kopiko, tiba-tiba ada ramai-ramai. Rupanya ada Iguana yang cukup besar melintas… Lucunya dia sempat berhenti seakan-akan berpose memberikan kesempatan pada kami untuk memotretnya.

Iguana berpose

Kami pun pulang ke hotel setelah makan siang di restoran Ratu Gurih, berdasarkan rekomendasi temanku. Hmm aku pribadi lebih suka restoran New Dinnar karena lebih bersih dan dingin AC nya hehe. Tapi ada satu cara inovatif yang kuperhatikan dari restoran Ratu Gurih yaitu mereka memakai taplak meja dari plastik yang bertumpuk. Jadi kalau sudah selesai, mereka tinggal ambil satu lapis pertama dan ambil semua kotoran di atas meja sekaligus dengan plastiknya. Praktis dan tidak makan waktu.

Pantai Akkarena

Setelah mengantar opa ke hotel untuk istirahat, kami pergi ke pantai Akkarena. Sebetulnya ingin mencari pantai pasir putih, tapi semua pantai yang disebut-sebut di internet cukup jauh dari kota. Takutnya kami kemalaman di jalan, sehingga akhirnya kami pergi ke pantai yang terdekat.

Pantai Akkarena Bawah: pisang epek dan jagung bakar

Masih terang benderang dan aku membiarkan anak-anak bermain pasir dan air laut. Sementara aku berteduh dan memesan pisang epek dan jagung bakar serta minuman. Sementara itu di beberapa tempat beberapa kelompok orang mulai berdatangan dan membentang tikar/selimut untuk berpiknik. Sayang sekali, mereka tidak menjaga kebersihan atas sampah yang dibawanya. Aku sempat memperhatikan beberapa angsa yang mengambil sampah-sampah dari tempat mereka dibiarkan saja sehingga sampahnya berserakan ke mana-mana. Bagaimana kalau angsa itu menelan plastik? ah… kesadaran memelihara kebersihan orang Indonesia memang masih sangat kurang.

plastik bekas minuman akhirnya berserakan begitu saja 🙁

Eh tapi dari pantai Akkarena ini ada satu yang patut dipuji. WC nya bersih dan TIDAK PERLU BAYAR, kecuali kalau mandi hehehe. Waktu aku mau membayar, ibu berjilbab yang menjaga di depannya mengatakan tidak perlu. Terasa sekali bedanya antara WC di Bantimurung seharga 2000 rupiah dengan WC di Akkarena yang gratis hehehe.

Karena sudah capek, kami meninggalkan pantai Akkarena sebelum matahari tenggelam sehingga tidak bisa menikmati keindahan sunset di sini, dan kembali ke hotel.

Daeng Senga Pulang Kampung

27 Agu

Siapa itu Daeng Senga? Baca di sini ya 😉 Nah dia pada liburan musim panas kemarin, tepatnya sejak tanggal 26 Juli pulang “kota” ke Jakarta. Setelah merayakan ulang tahun papanya tgl 29 Juli, pada tanggal 31 Agustus, pulang ke kampung halamannya di Makassar! Tentu saja berempat lagi! (Eh tambah satu teman orang Jepang deh 😀 jadi berlima)

Kepergian ke Makassar ini memang sudah direncanakan sejak jauh hari, dengan tujuan utama Fort Rotterdam dan silaturahmi lebaran ke rumah Prof Aminuddin Salle Daeng Toto. Kenapa Fort Rotterdam? Karena waktu kami ke Makassar 1,5 tahun yang lalu, kami tidak sempat pergi ke Fort Rotterdam. Dan nama Fort Rotterdam muncul waktu Riku ingin menulis tentang perbandingan Kastil di Jepang dan di Indonesia. Kastil bukan istana, lebih menyerupai benteng. Oleh karena itu aku mencari nama-nama benteng di Indonesia, dan menemukan informasi bahwa benteng Rotterdam itu yang paling besar, paling tua dan masih terpelihara sampai sekarang. Tentu saja ini merupakan daya tarik yang amat besar bagiku untuk bisa kembali ke Makassar lagi, setelah menerima nama Daeng Senga. Dan waktu kuajak temanku Yuko, dia juga mau ikut bersama.

Perjalanan mudik ke Makassar setelah menjadi Daeng Senga

Kami sampai di bandara Hasanuddin masih pagi. Karena kali ini tidak ada mobil/jemputan, kami naik taxi dari bandara. Ntah karena kami berlima + koper, taxi yang kami tumpangi kempes bannya pas melewati polisi tidur (mungkin juga bodynya terlalu pendek ya?). Kami menuju Hotel Celebes, sebuah hotel tua, hotel melati yang aku pesan lewat agoda untuk 3 malam. Papa yang suka menginap di sini karena letaknya yang dekat dengan gereja Katolik, sehingga papa bisa jalan kaki untuk mengikuti misa setiap hari.

Sesampai di hotel, kami cek in, menaruh koper dan barang-barang lalu jalan kaki ke warung-warung terdekat untuk makan pagi. Sebetulnya mau dibilang warug juga tidak, karena mereka menempati kiosk-kiosk permanen. Dan lucunya menunya hanya satu, eh dua, ikan bandeng bakar dan sop saudara.  (Nama Sop Saudara ini juga aneh, ntah apa yang membuat sop ini dinamakan Sop Saudara. Kata papa: “Kalau sop sayur, sayurnya dipotong-potong lalu direbus. Kalau sop buntut, buntutnya dipotong lalu direbus. Nah kalau sop saudara, masa saudaranya dipotong lalu direbus? hehehe)

makan pagi dan naik becak menuju Fort Rotterdam

Jadilah kami berlima makan nasi dengan ikan bandeng bakar, dan tentu pakai tangan. Yuko san juga terlihat tidak aneh makan nasi dengan tangan, meskipun awalnya canggung, akhirnya terbiasa juga. Kai juga suka sekali makan nasi dengan ikan ini.

Setelah selesai makan, kami bergerak lagi menuju Fort Rotterdam. Tapi, katanya cukup jauh untuk berjalan ke sana (mungkin kalau orang Jepang sih biasa, tapi tidak untuk orang Indonesia). Jadi papa memanggil becak dan bertanya dalam bahasa Makassar. Berapa ongkos sampai benteng? Lalu si tukang becak berkata, “Seberapa saja ji…” Akhirnya sepakat 10 ribu, tapi tidak bisa dong kami berlima dengan satu becak. Jadi kami naik 3 becak, aku dengan Yuko, Riku dengan Kai dan Papa sendiri. Ternyata dekat juga sih 😀 Tapi anak-anak senang sekali bisa naik becak. Kami saling memotret di depan benteng. Benar-benar wisatawan deh  (ya emang iya sih) 😀

Fort Rotterdam, Makassar

Kami menulis nama di penerima tamu, dan waktu ditanya musti bayar berapa, dijawab seberapa saja. Wah rupanya tidak ada harga tanda masuk yang tetap. TAPI kalau masuk ke museum Galigo nya memang harus bayar 5000 rupiah. Karena di luar panas, kami berfoto sebentar, lalu masuk ke museumnya. Sayang sekali tidak ada guide bahasa Jepang saat itu. Kupikir aku mau pakai guide bahasa Jepang, supaya Riku bisa mendengar langsung dari guidenya. Tapi karena tidak ada, terpaksa deh aku yang menerjemahkan secara random.

Dalam Museum La Galigo

Sayangnya keterangan-keterangan yang ada itu mengenai sejarah kota Makassar, bukan tentang bentengnya sendiri. Waktu aku mau membeli buku atau pamflet tentang bentengnyapun tidak ada. Kami akhirnya pulang ke hotel –tentu saja dengan naik becak– membawa kekecewaan karena minimnya dokumentasi sejarah benteng Fort Rotterdam itu.

Sunset di pantai Losari

Hari pertama di kampung halaman Makassar pun kami akhiri dengan melihat sunset di pantai Losari dan makan ikan (lagi) di sebuah restoran terkenal, bersama adik papa Tante Anneke, yang memang tinggl di Makassar. Dan yang membuatku heran adalah betapa murah harga masakan yang kami pesan. kalau di jakarta pasti aku harus membayar dua kali lipat. Kuliner Makassar memang ikan! Dan aku suka ikan!

ikan Kulu Kulu yang kotak itu sangat cocok untuk digoreng! Favoritnya Riku dan Kai.

 

Kenalkan Namaku : Daeng Senga

22 Agu

Akhir tahun 2012, aku mengajak papa untuk pulang kampung ke Makassar. Sebetulnya ingin menghibur dirinya yang kehilangan mama pada bulan Februari, sekaligus memintanya menjadi “guide” bagi anak-anakku yang belum pernah ke Makassar. Padahal saat itu kondisi badannya tidak bisa dikatakan fit benar, karena sedang diobservasi jantungnya yang hanya berfungsi 20%. Jadi waktu itu aku mempunyai tanggung jawab memperhatikan 3 orang, papa (opa), Riku dan Kai.

Dalam perjalanan itu selain berwisata ke Bantimurung, aku pun mengatur pertemuan dengan Prof. Aminuddin Salle, teman papa yang kukenal lewat FB. Kusisihkan satu hari untuk bertemu dengan pak Prof. sekeluarga.

Tanggal 29 Desember 2012, Kami dijemput pak Prof beserta ibu di lobby hotel persis setelah kami makan pagi, pukul 7 pagi. Tadinya aku mengajak bapak dan ibu untuk sarapan bersama, tapi katanya sudah di rumah. Setelah berbincang-bincang di lobby, kami berangkat bersama. Tujuannya? Tentu berwisata ke desa Galesong, daerah asal Pak Aminuddin. Meskipun ada juga kemungkinan nenek moyang Coutrier berasal dari Galesong juga (sesuai percakapanku dengan Ria , putri Galesong yang konon eyangnya mengenal seseorang putri yang menikah dengan orang Belanda). Sepanjang perjalanan aku melihat sawah membentang dan… pohon-pohon Lontar. Tentu semua tahu kan bahwa Makassar mempunyai huruf yang diberi nama huruf lontar, dan sebagai media kertasnya dipakai daun lontar. Lontar juga menjadi bahan baku untuk pembuatan topi adat songkok guru.

pohon lontar di sepanjang jalan. Sempat melihat perahu-perahu nelayan juga di sungai

Perjalanan yang lumayan jauh berakhir ketika kami sampai di Balla’ Lompoa (istana) Karaeng Galesong. Rumah adat yang tertata bersih dan rapih masih megah berdiri menjadi pusat kegiatan kerabat Galesong. Balla’ Lompoa ini merupakan tempat tinggal keturunan Karaeng Galesong yang terkenal dalam sejarah itu. 

Karaeng Galesong putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo yang berasal dari kampung Bonto Majannang. Karaeng Galesong bernama lengkap I Mannindori Kare Tojeng Karaeng Galesong yang lahir pada 29 Maret 1655. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, ia diangkat sebagai Karaeng Galesong (Galesong, termasuk bawahan kerajaan Gowa) dan kemudian menjadi panglima perang kerajaan Gowa. Pada waktu kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1669, Karaeng Galesong bersama beberapa kerabat kerajaan melarikan diri ke Jawa karena tidak ingin berada di bawah jajahan Belanda. 

Balla’ Lompoa Karaeng Galesong

Aku cukup heran ketika menaiki tangga Balla’ Lompoa, dan melihat piring-piring berjajar di ruang utama. Kamipun di antar melihat-lihat sekeliling sambil mendengarkan penjelasan dari Prof Aminuddin. Yang membuat aku terkejut waktu Pak Aminuddin menanyakan apakah aku keberatan jika diberi nama daeng? Wah, apakah aku bisa dan memenuhi syarat? Apakah aku yang tidak beragama Islam boleh? Tentunya kalau Pak Prof sudah menanyakan pasti beliau sudah berpikir masak-masak bahwa aku memang pantas menyandang nama Daeng. Dan aku dipilihkan nama SENGA yang berarti berani.

Pemberian nama Daeng Senga ini tentu tidak lepas dari pengaruh nama Daeng Labbang, yaitu papaku sendiri. Papa memang keturunan Makassar, masih bisa berbahasa Makassar dan tugasnya membuat sering mengajar di Universitas Hasanuddin, dan bertemu dengan Prof. Aminuddin. Waktu aku memberitahu papa, bahwa aku berteman dengan Pak Aminuddin di FB, papaku langsung berkata, “Ya, beliau teman papa! Mama beberapa bulan sebelum meninggal sempat datang ke Makassar dan bertemu Pak Aminuddin juga”.

upacara pemberian nama daeng oleh Karaeng Tanang

Selanjutnya aku mengikuti acara padaengan yang dipimpin oleh Karaeng Tanang, disaksikan oleh Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto sebagai Ketua Dewan Adat Karaeng Galesong , Pemangku Adat Karaeng Gassing dan Kerabat lainnya. Upacara singkat dilakukan di bawah tangga ruang dalam Balla’ Lompoa, tangga yang menuju ke atas loteng tempat “pusaka” pemersatu Galesong berada. Aku merasakan kekhidmatan dalam upacara, dan merasa terharu bahwa aku sekarang menjadi bagian dari kerabat Galesong. Lebih terharu lagi ketika aku boleh naik ke tangga yang curam, menuju bagian atas Balla’ Lompoa dan melihat pusaka yang bisa digambarkan sebagai omikoshi (kuil) kecil di Jepang. Konon dalam acara-acara tertentu pusaka ini akan dikeluarkan. Aku ingin suatu waktu kelak mengikuti upacara di Galesong lagi. 

Yang aku ingat hanya kue biji nangka kiri atas, dan barongko (pisang) kiri tengah

Selesai acara pemberian nama, kami kemudian duduk kembali di ruang utama di depan piring-piring bertudung emas, yang rupanya berisi kue-kue khas Makassar dan lauk pauk untuk makan siang. Ikan merah asap merupakan makanan khas Galesong yang sangat enak, apalagi jika dicocol dengan sambal mangga muda. Riku pun makan banyak dengan ikan merah ini. Sementara Kai masih berada di halaman bermain dengan ayam-ayam yang berkeliaran.

ikan merah, sayur santan, acar sebagai makanan utama

Setelah makan, papa sempat bercerita bahwa dia teringat ada satu tantenya yang dulu dia kenal bernama Daeng Senga. Meskipun aku tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan tante itu, semoga aku bisa membawa nama “berani” ini dengan lebih berani. Juga bisa membantu menyebarkan kebudayaan dan daya tarik Galesong setelah aku mempelajarinya juga. Maklum aku benar-benar nol pengetahuannya tentang Galesong, bahasa dan adat istiadat Makassar. Memang setelah pemberian nama ini, Prof Aminuddin selalu memanggilku Daeng Senga (di FB). Awal-awal aku merasa aneh memang karena belum terbiasa, tapi sekarang aku sudah memanggil Pak Prof dengan Karaeng Toto.

Kami akhirnya meninggalkan Balla’ Lompoa dan mampir di rumah pengrajin Songkok Guru, dan sempat melihat proses pembuatan Songkok Guru dari dekat. Riku terlihat ganteng memakai topi khas Makassar itu.

songko guru yang terbuat dari serat lontar

Dalam perjalanan pulang ke hotel, kami juga sempat mampir di warung untuk istirahat minum dan makan jagung. Jagungnya kecil buntek berbiji bulat berwarna putih, tapi enak! Lain dengan jagung biasa yang kuning yang lebih banyak kandungan airnya, jagung putih ini benar-benar dapat dipakai untuk menahan lapar dalam perjalanan.

jagung putih yang nikmat sebagai pengganjal perut

Kenalkan namaku : Imelda Coutrier Daeng Senga!
Sekarang aku harus membiasakan diri menerima panggilan sebagai Daeng Senga, dan membiasakan juga memanggil teman-teman dari Makassar yang sudah mempunyai nama daeng sejak lahir, seperti Jumria Daeng Tugi.
Oh ya PR ku juga, untuk mempelajari tulisan lontar! **panik** hehehe

atas: berfoto bersama rombongan pembawa surat undangan pernikahan. bawah: di depan tangga Balla’ Lompoa Karaeng Galesong

 

(tulisan yang tertunda sejak 29 Desember 2012)

 

Setelah Pulang, langsung …..

19 Agu

Cuci tangan? Mandi? atau minum/makan?

Kalau di Jepang, terutama pada musim dingin dengan udara kering yang menyebabkan mudah masuk angin atau terkena influenza, kami pasti harus mencuci tangan dan kumur-kumur. Konon dengan kumur-kumur, bibit penyakit yang ada dalam mulut bisa dibersihkan dan mengurangi resiko masuk angin.

Kami kembali dari Jakarta hari Senin yang lalu. Begitu turun dari pesawat, aku sudah berkata, “Acchii… (atsui = panas)”. Setelah kami menyelesaikan imigrasi dan mengambil barang (kali ini barangku sedikit euy, karena memang satu penumpang cuma boleh satu koper seberat 23 kg. Kalau dulu boleh dua koper. Karenanya aku tidak banyak belanja oleh-oleh), kami langsung keluar dan bertemu dengan papa Gen yang menjemput. Aku juga sempat berfoto bersama teman lama yang kebetulan naik pesawat yang sama. Setelah itu aku menuju tempat pengiriman barang, untuk mengirim dua koper kami. Mobil kami kecil sehingga hanya muat masuk satu koper besar saja. Karena aku memilih perusahaan ekspedisi yang bekerjasama dengan ANA, maskapai yang kami pakai, kami pun mendapat “bonus” 50 mile.

Karena kami mendarat di Haneda, bukan seperti di Narita seperti tahun-tahun sebelumnya, kami bisa sampai di rumah dalam waktu 1 jam. Narita itu memang jauh rek. Begitu sampai di rumah, aku langsung memasak nasi dan membuat indomie untuk mengganjal perut yang kelaparan. Kai? Dia langsung memasang TV dan menonton rekaman acara TV pilihannya selama 3 minggu. Sedangkan Riku? Dia langsung membaca buku komik dan novel yang terbit seminggu sekali itu. Bayangkan sejak kemarin dia sudah membaca sebanyak ini! Semua!

Buku Riku yang langsung dilahap sejak kemarin (dua hari ini)

Memang Riku sejak menaiki pesawat ANA berkata padaku, “Ah senangnya bisa mendengar bahasa Jepang lagi” Aku teringat tulisanku yang dulu, Sembelit.
Lalu kutanya, “Kamu tidak suka ke Indonesia?”
“Suka tapi tidak mau lama-lama. Aku mau ke Jakarta lagi libur musim dingin nanti ya ma… Aku sendiri, atau bersama tante Titin juga boleh…”
“Waduh enaknya. Kamu nabung saja sendiri. Mama juga mau pergi, tapi pasti tidak ada uang lebih. Gini aja, nanti kamu jemput Opa bukan Maret dan kembali ke Tokyo dengan opa, tapi jangan lupa belikan pesanan (makanan dan sebagainya) mama ya”
“OK aku mau….”
“Semoga saja bisa ya”

Demikianlah, kami sudah kembali ke kandang kelinci kami setelah melewatkan 3 minggu yang amat sibuk di Jakarta, termasuk Makassar, Surabaya, Klaten dan Jogjakarta. Liburan musim panas kali ini memang lebih pendek dari biasanya. Mohon maaf kalau masih ada teman yang terlewatkan dan tidak tersapa, tidak berjumpa. Terima kasih untuk teman-teman yang banyak membantu kami, menyediakan waktu untuk bertemu dengan kami, dan juga yang mengirimkan oleh-oleh kepada kami. Semoga Tuhan mau membalas budi baik  teman-teman semuanya. Dan sampai berjumpa kembali pada liburan mendatang…..

Sejarah itu menyakitkan, tapi …..

16 Agu

tetap harus diketahui, untuk kemudian dihindari agar tidak terulang kembali. Tugas kita sebagai orang tua untuk memberitahukan sejarah itu kepada anak-anak kita.

Tgl 14 Agustus 2014. Kami berkunjung ke benteng Vredeburg. Karena waktu yang singkat, aku hanya mau memotret bagian luar, tapi akhirnya masuk juga. HTM (Harga Tanda Masuk) hanya Rp 2000,- berlainan dengan benteng Fort Rotterdam di Makassar yang “serelanya”. Ternyata ada dua sisi bangunan yang berisikan diorama-diorama. Ah diorama! Pasti membosankan untuk anak-anakku, apalagi Riku yang sebenarnya malas untuk turun dari mobil. Tapi…. kepalang tanggung, jadi kuajak anak-anak masuk.

di depan benteng Vredeburg

Aku pun mengitari diorama di ruangan pertama dengan cepat, sesudah berusaha memotret beberapa diorama awal. Ya cerita tentang agresi militer I dan II. Cepat-cepat aku beranjak ke ruangan sebelahnya. Tiba-tiba Kai (7th) bertanya, “Ini apa ma… kok seperti perang?”
“Ya nak, itu memang perang”
“Perang siapa lawan siapa?”
“Perang antara orang Indonesia dan tentara Sekutu (Belanda)”
“Yang mana yang orang Belanda?”
“Itu yang pakai baju tentara dengan senapan dan mobil tank. Sedangkan yang pakai baju petani, baju biasa itu orang Indonesia. ”

diorama

“Kalau itu apa? Jembatan kok dihancurkan?”
“Ya jembatannya dirusak supaya Belanda tidak bisa masuk ke daerah itu. Kalau tidak ada jembatan kan, Belanda tidak bisa nyebrang”
“Wah pintar ya….”

“Itu siapa? ”
“Itu Presiden Soekarno yang baru turun dari pesawat terbang.”
“Yang mana presiden? Yang pakai kacamata?”
“Bukan, itu Hatta wakil presiden….”

“Itu siapa?”
“Itu Jendral Soedirman. Dia panglima perang yang pintar. Dia pahlawan Indonesia”
“Oh orang hebat ya?”
“Iya sayang…”

“Kai… ini lambang Universitas Gajah Mada, universitas tertua di Indonesia”
“Wah sugoi (Hebat)”….

dan kami melewati replika serdadu Belanda setinggi manusia sedang memegang senapan. Dan Kai ketakutan…. Ya, perang itu menakutkan memang.

Setelah melihat diorama dan mengetahui Riku demam

Terus terang aku awalnya malas menjawab semua pertanyaan Kai. Tapi kupikir, aku harus jawab. Mumpung dia ada minat untuk bertanya. Dan sekali lagi aku merasa harus mengulang pelajaran sejarah, terutama tahun-tahun supaya bisa menjawabnya lebih detil lagi.

Tapi perjalanan melihat diorama itu harus dipercepat karena Riku menjadi demam dan lemas. Kusuruh dia kembali ke mobil, tapi dia enggan pergi sendiri. Ini tanda bahwa aku harus meninggalkan tempat ini, dan kami bergegas berfoto-foto dan masuk mobil. Aku sempat jalan kaki menuju Titik Nol dan berfoto di sana sementara anak-anak menunggu di mobil.

Penjelasan mengenai perang dan agama (yang ditanyakan Riku sebelumnya, “Apa itu Islam, Buddha dan Hindu”) aku lanjutkan dalam pesawat menuju Jakarta. Tapi aku sempat kagum pada perhatian Kai, waktu dia bertanya,
“Mama nanti malam akan bertemu teman-teman kan? Di restoran mana?”
“Restoran dalam universitas Gajah Mada”
“Oh universitas tertua di Indonesia itu ya?”
dan aku tersedak… terharu dan kaget bahwa dia masih ingat apa yang tadi kukatakan.
Mungkin ingatan itu akan hilang dan terlupakan. Tapi semoga informasi yang pernah masuk, akan bisa mencuat suatu waktu nanti, dan bisa menimbulkan keingintahuan yang lebih dalam lagi.

benteng Vredeburg

SEJARAH memang banyak yang kelam, tapi JANGAN ditutupi, demi pembelajaran generasi yang yang datang. Generasi yang bisa menghargai sejarahnya. Pembelajaran yang cukup berat untuk Riku dan Kai, karena mereka harus tahu sejarah dua negara, Jepang dan Indonesia. Gambatte nak!

DIRGAHAYU INDONESIA KE 69!

(Foto-foto : koleksi pribadi dan dari kamera Septarius a.k.a ATA chan)

Let It Go!

27 Jul

Tahu dong lagu ini ya? Yang pasti aku sudah muak dengan lagu ini karena memang sering diputar dan itu cukup lama diputar di media Jepang. Bukan itu saja, kalau pergi-pergian pasti bisa dengar deh anak-anak kecil nyanyi, “Ari no mama de~~~~” (Terjemahannya Let it go gitu deh)

Postingan ini memang aku tulis setelah aku tiba di Jakarta, dengan judul yang aku sudah tetapkan bahkan waktu aku masih melayang-layang di atas angkasa. Karena persiapan mudik bertepatan dengan akhir semester membuat aku pontang-panting menyelesaikan tugas-tugas sehingga tidak bisa menulis. Apalagi Tokyo sering aneh cuacanya, kadang hujan, kadang badai, kadang panas terik, sehingga cucian juga mengitu irama cuaca di luar. Sambil packing barang-barang yang mau dibawa dalam koper, aku memeriksa ujian mahasiswa. Sambil masak dan beberes. Hari Jumat akhirnya aku bisa menyerahkan daftar nilai ujian kepada biro akademik, dan menyelesaikan satu pekerjaan di studio.

Ada anak ngumpet di balik koper at Haneda Airport

Untung juga aku sempat mendaftarkan dua koper untuk diambil hari Kamis di rumah mengikuti program Hands Free Travel (Tebura) dari ANA yang mengambil koper dari rumah, dan mereka akan memasukkan bagasi cek in, sehingga kami tinggal mengambil dari conveyer di bandara tujuan. Sayang sekali kali ini aku tidak bisa bawa banyak barang, karena jatah koper per penumpang sudah ganti. Kalau dulu setiap penumpang (kelas ekonomi) bisa bawa dua koper max 23 kg, sekarang hanya bisa 1 koper max 23kg. Duh terasa benar pengaruhnya untukku, apalagi nanti kalau pulang dari Jakarta ke Tokyonya. Mana cukup 3 koper barang/oleh-oleh Indonesia untuk stock 1 tahun huhuhu. Dan untung sekali kopernya diambil hari Kamis pukul 4 sore, karena malam harinya hujan deras bercampur petir, halilintar, guruh dan guntur (ayoooo bisa bedakan ngga?) bersahutan di langit. Amat mengerikan. Dan aku sempat melihat petir jatuh sekitar 300 m dari apartmenku. Mati listrik semenit, sempat nyala kembali, tapi akhirnya mati listrik lebih dari 1 jam.

Jadi, aku masih punya jatah 1 koper yang akan kami bawa ke bandara sendiri. Karena bajuku, Riku dan Kai HARUS bisa masuk ke dalam 1 koper, aku harus atur benar-benar supaya tidak overweight. Selain membereskan koper, aku juga harus membereskan rumah karena akan aku tinggal 3 minggu, sehingga Gen tidak perlu membuang sampah atau menyalakan kompor lagi. Mengeluarkan pot listrik untuk air panas (lebih aman meskipun biaya listriknya lebih mahal daripada gas), juga meninggalkan uang tunai untuk membayar tagihan koran dan susu yang biasanya ditagih akhir bulan. Kerjaan emak-emak itu sangat banyak dan tidak ada kata selesai deh. Itu juga yang membuat aku tidak tidur semalaman, karena harus bangun jam 4, dan berangkat ke Haneda jam 5 pagi. Tapi untung saja ke Haneda bukan ke Narita, sehingga lebih cepat waktu tempuhnya.

Kami baru pertama kali memakai bandara Internasional Haneda. Agak bingung dengan pintu masuknya, tapi untung saja kami tidka perlu berputar-putar berkali-kali. Setelah parkir, kami menggeret koper masing-masing dan pergi ke counter cek in. Karena aku sudah punya boarding pass online, kami tinggal menaruh satu koper lagi di counter dan… cari sarapan. Bagus juga sih konsep interior di lantai atas untuk keberangkatan, bertemakan perkampungan Jepang dengan restoran dan toko khasnya. Bingung juga akan makan apa, karena restoran ramen sudah banyak antriannya, dan rasanya makan ramen untuk sarapan terlalu berat. Untung saja kami menemukan sebuah restoran Italia, yang kosong, dan menyediakan sarapan roti khas (seperti pizza) aku lupa namanya apa. Kami memesan untuk 4 orang dan rasanya enak! Tidak menyesal kami masuk ke restoran ini (tapi menyesal waktu melihat tagihan karena … muahal hahaha). Seperti biasa sih, kalau mama Imelda masuk toko yang sepi, pasti tak lama lagi tokonya jadi rame 😀 (kadang sebel juga loh punya “daya tarik” begini hihihi)

Karena sudah diwanti-wanti ground-staff bahwa boarding gate kami itu jauh, kami akhirnya berpisah dengan Gen pukul 9 pagi dan menyelesaikan imigrasi. Dan memang benar kami musti jalan jauh sekali, karena gate kami terletak paling ujung. Sambil menunggu aku menahan kantuk yang amat sangat. Dan dengan santai kami masuk pesawat paling belakang, karena sudah banyak orang yang berebutan untuk antri boarding. Banyak sekali keluarga dengan anak-anak mereka yang pasti akan melewati libur musim panasnya di Jakarta (atau kota lain). Biasanya mereka berebut ngantri masuk karena barang bawaannya banyak sehingga bisa “menjajah” kompartmen orang lain. Dan benar saja, waktu kami sampai di tempat duduk kami, bagian kompartmen atas tempat duduk sudah diisi koper milik orang lain, padahal jeleas-jelas itu bagian dari tiga nomor. Sabar…sabar… memang banyak orang Indonesia yang begitu 😀

Hampir semua WC yang kumasuki di Haneda memakai pintu lipat. Konsep yang bagus karena berarti cukup lebar untuk bisa masuk bersama koper bawaan. Ruginya jumlah bilik lebih sedikit. Tapi semua otomatis sih. Dalam pesawat ANA 787B yang baru pun semua alat dalam WC memakai sensor, sehingga kita tidak perlu memegang tuas flash/keran bekas orang lain pegang. Jadi semakin higienis

TAPI kesabaranku habis setelah pesawat lepas landas. You know lah, anak-anak di seluruh dunia itu pasti cerewet, ribut, pecicilan…TAPI seharusnya orang tuanya memperingatkan anak-anaknya agar tidak mengganggu orang lain. AKU selalu menegur anak-anakku kalau tindakan mereka, misalnya bersuara keras atau menendang kursi depan dll supaya mereka tidak melakukannya lagi. TAPI orang tua yang duduk di depanku sepertinya cuek saja dengan tingkah anaknya. Dua anak perempuan yang berteriak, bernyanyi keras-keras –tentu lagu LET IT GO–, atau menengok ke belakang (ke kami) dan memantau kami terus. Pernah saking tidak sukanya, aku membisiki Riku yang duduk di sebelahku, “Gimana kalau mama pasang tampang galak ya? Kaget kali ya? Kalau dia nangis mama pasang muka bengong aja” Dan Riku tertawa tergelak-gelak. Huh menyebalkan!

TAPI tingkah ke dua anak perempuan ini masih jauh lebih mendingan daripada tingkah anak lelaki yang duduk di sebelah kananku yang dibatasi lorong. Tadinya anak ini duduk di tengah antara bapak dan ibunya, dan entah kapan dia pindah. Aduuuuuh, anak ini kami namakan GAMER (Boy). Waktu antri boarding aku sudah melihat dia antri sambil main game dan ketinggalan jauh. Aku melihat rupanya ibunya berdiri di barisanku dua orang di depanku. Dan waktu si ibu mau masuk, dia menyerahkan dua lembar boarding pass, untuk dia dan anaknya, tapi anaknya tidak ada! Hahaha antara ingin ketawa dan ingin ikut memarahi si anak 😀 Makanya kalau punya anak  diperhatikan toh buuuu. Aku merasa bersyukur bahwa anakku (belum) tidak sampai segitunya bermain. Ohhhh seandainya menunjukkan gejala begitu? aku akan ambil itu DS, atau PS atau whatever it is, dan BANTING di depan si anak 😀 supaya dia tidak bisa pakai lagi. Jahat? Memang, tapi aku lebih baik menjadi ibu yang jahat daripada aku punya anak yang jahat 🙂 Aku sudah berusaha balancing memberikan mainan dan seharusnya anak-anak pun balancing antara bermain dan memperhatikan sekelilingnya, terutama menuruti perintah orang tuanya. Aku paling benci melihat orang tua yang mau saja diperintah anaknya 😀

Yang paling menjengkelkanku, anak GAMER itu bermain game terus sepanjang 7 jam perjalanan dan dia MENGUCAPKAN SEMUA TINDAKANNYA WAKTU BERMAIN. Kalau pistol ya dia bilang dor dor dor, mampus lu, eh ini gimana mainnya (sambil tanya ke papanya yang tentu saja tidak tahu), kiri kiri, kanan kanan….seperti reporter sepak bola dan suaranya keras! duuuuh kalau ada pistol kemarin itu mungkin aku sudah tembak deh. Dan herannya papa mamanya cuek beibeh, benar-benar membiarkan si anak bermain dan ribut begitu. Beberapa kali aku lihat ke anak itu dengan memancarkan mata marah supaya bapaknya menegur, eeeh si bapak tidak ngerti. Mau tegur langsung juga tidak enak, karena biasanya orang Jepang jarang sekali menegur langsung (sedangkan aku sudah seperti orang Jepang kan ~~~ uhuk uhuk). Benar-benar khawatir pada perkembangan anak-anak generasi sekarang jika orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan baik deh. Dan sedih dengan berkurangnya toleransi orang tua terhadap kenyamanan umum.

Dan sayup-sayup di bangku depanku, anak perempuan itu bernyanyi…”Let it go let it go~~~” Dan suara anak itu terasa jauh lebih menyejukkan hati. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku memasang headset (aku tidak suka pakai headset soalnya) dan pasang lagunya Billy Joel yang melantunkan “Honesty~~~” dan ikut bergumam… sayangnya aku tidak bisa nyanyi keras-keras untuk menandingi anak-anak itu. Biarlah aku dianggap kalah dengan anak-anak, asal aku masih santun 😀

Let it go~~~~~

 

Dia Hebat

18 Jul

Tak banyak orang yang bisa mengatakan “Dia Hebat!”, tanpa ada embel-embel misalnya “tapi…..” atau “sayangnya….” di belakang kalimatnya. Memuji dari hati bahwa dia hebat, dan mengakuinya. Sulit! Apalagi anak-anak yang biasanya akan berkata, “Mama lihat deh… AKU hebat kan?”

Baru kemarin aku bersama Gen merasa bangga pada ke dua anak kami.

Riku: “Waaah Kai hebat ya… dia bisa buat ini”
Kai: “Riku…. ini bagus sekali… hebat!”

Memang saat itu mereka berbicara soal game “minecraft” yang sedang mereka gandrungi, tapi baru kali ini aku melihat mereka berdua main akur. Kalau game berkelahi, pasti akan berakhir dengan tengkar mulut. Tapi game minecraft ini mereka sama-sama membuat bangunan, membuat kota sendiri, ya seperti SIM City. Dan …. selama dua minggu sejak aku unduh soft ini, rumahku adem, nyaman dan … sepi. Tapi sepertinya sebentar lagi akan aku hentikan, dan hapus softnya karena mereka terlalu kecanduan bermain di iPad dan iPhone.

ulangan berhitung dan hiragana

Tapi akhir-akhir ini Riku memang sering memuji adiknya karena perkembangan pendidikan yang juga dipantau Riku. Seperti yang kutulis dalam Tugas Kai, Kai sudah “gede” dan melakukan tugas-tugasnya selaku murid kelas 1 SD, dan bahkan melewati harapanku. Dia bisa mengatur waktunya sendiri, begitu pulang sekolah langsung buat PR sehingga aku sama sekali tidak perlu mengejar-ngejar dia buat PR. Cuma ada satu tugas yang tetap aku sendiri yang laksanakan yaitu Ondoku 音読, membaca dengan suara keras sebuah bacaan dalam buku Bahasa Jepangnya. Ini berguna untuk melatih membaca juga. Memang dari test bahasa Jepang 国語 dan berhitung 算数 nya, Kai hampir seluruhnya mendapat nilai sempurna. Terharu sekali waktu Kai menunjukkan ulangan pertamanya. Ah, anak yang belum ada “isi”nya sekarang sedikit demi sedikit mulai “berisi” dengan pengetahuan.

Gambar T Shirt karya Kai

Pelajaran untuk kelas 1 itu baru Bahasa Jepang 国語, dengan belajar hiragana dan partikel pembentuk kalimat. Berhitung 算数 berupa penambahan dan pengurangan, Kehidupan 生活 (mengamati makhluk hidup) yaitu dengan menanam bunga Morning Glory dan mengamati perkembangannya. Pelajaran lainnya adalah musik 音楽, yaitu mempelajari pianika dan olah raga 体育. Selama musim panas murid SD juga mempelajari renang. Ini juga yang membuat aku kaget, karena ternyata di semua sekolah Jepang mempunyai kolam renang selain lapangan luas. Bahkan di kelurahanku sangat menekankan perlunya berenang sehingga mengadakan pencatatan rekor di semua SD dalam kelurahan.

Kai’s 7th birthday cake

Tanggal 16 Juli yang lalu Kai genap berusia 7 tahun. Kami sibuk hari itu karena hari kerja, sehingga kami “rayakan” dengan makan sushi malam sebelumnya. Pagi harinya hanya dinyanyikan dengan kue tart yang kubeli sore sebelumnya. Benar-benar sederhana saja perayaan ultah Kai tahun ini. Tapi sayangnya ada satu “hadiah” dari gurunya Kai yang datangnya sehari sesudahnya. Jadi ceritanya waktu aku pulang, gurunya telepon dari sekolah. Minta ijin untuk memasang namanya Kai di website karena lukisan Kai tentang mobil pemadam kebakaran “terpilih” untuk dipamerkan di Gedung Pemda. Tentu saja aku ijinkan, malahan bangga bukan? Tapi memang prosedur karena Jepang mempunyai perlindungan atas hak asasi (jadi tidak bisa memberikan nama dan keterangan warga tanpa persetujuan ybs). Bahkan Riku yang mendengar soal terpilihnya lukisan Kai mengatakan…. “Wah Kai hebat ya lukisannya bisa terpilih… Aku 6 tahun di SD tidak ada yang terpilih”.

Kai dengan bunga asagao (Morning Glory) yang ditanam sejak dari biji sampai berbunga. Dalam waktu tertentu mereka harus memperhatikan perkembangan dan menuliskannya.

Bagaimana lukisannya? Aku tidak tahu dan tidak bisa lihat juga, karena kami tidak berada di Tokyo saat lukisan itu dipamerkan. Jadi kami menugaskan papa Gen untuk mengambil foto untuk kami 😀

Tapi memang Kai Hebat! Good boy….Mama bangga pada Kai!

 

Menanti Kedatanganmu-2-

15 Jul

Lanjutan Menanti Kedatanganmu -1-,  padahal sebetulnya foto inilah yang menginspirasiku dalam pemberian judul.

Ini adalah aula Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Karena umat Islam warga negara Indonesia belum memiliki mesjid sendiri di Tokyo, biasanya mereka berkumpul di aula ini untuk sembahyang Jumat.

Biasanya setelah sembahyang Jumat tentu alas karpet langsung disimpan kembali. Namun pada bulan Ramadhan, dibiarkan begini karena setiap malam ada taraweh di sini.  Aula ini menanti kedatangan umatNya yang sedang dalam bulan yang suci ini, bulan Ramadhan.

Meskipun aku bukan muslim, ingin ikut meramaikan perhelatan ini:

“Foto ini diikutsertakan dalam Lomba Foto Blog The Ordinary Trainer”

Menanti Kedatanganmu -1-

15 Jul

Pertengahan Juli. Sudah tanggal 15. Tapi ternyata aku baru bisa menulis di blog ini setelah 14 hari berlalu dari bulan Juli. Bermacam pikiran dan perasaan selama 14 hari itu, atau kalau mau dihitung tepatnya 20 hari aku tidak menulis. Mengapa?

1. Fajar seperti ini jarang muncul di beranda rumahku. Musim hujan, badai No 8, kabut sering menutupinya. Kami selalu menanti kedatangan Sang Matahari pertanda hari yang baru akan dimulai.

fajar tadi pagi dari apartemenku…

2. Pemilihan Presiden yang belum ada ujungnya, yang membuat aku ikut deg-degan sebelum dan hari pelaksanaannya, dan sesudah pelaksanaannya. Kalau kukutip pernyataan temanku, ASN:

Sebelum sampai saat memilih aku gak netral. Namun setelah memilih, terlepas suara rakyat harus dijaga agar jadi pemilu yg jujur, bersih dan tak ada kecurangan. Kita semua harus siap untuk menang dan kalah. Menang senang tapi ya gak usah berlebihan. Kalah sedih tapi ya juga gak usah lebay dan berlebihan. Siapa pun presiden terpilih kan akan jadi Presiden untuk SELURUH rakyat Indonesia. Apapun pilihannya.”

Dan kalau perlu aku tambahkan lagi, siapapun presiden kita, janganlah mencemoohkan atau mengejeknya terus: “Kan aku sudah bilang dulu bla bla bla….” “Makanya pensiun saja, kembali tidur sana… bla bla bla”.  Sedih loh setiap kali membaca cemoohan orang, terhadap siapapun. Sering aku berpikir, orang-orang ini kok bisa mencemoohkan orang segitu sadis. Apa mereka tidak pernah berpikir seandainya cemoohan yang sama berbalik padanya? Hati mereka di mana ya? Begitukah sifat orang Indonesia sekarang?

Dan pagi ini aku menemukan pepatah  baru dari Karaeng Toto, Profesor Aminuddin Salle yang kuhormati, sebuah pepatah dari Makassar, kampung halaman ke 4 ku. “OLOK-OLOKA LAGI NANIAK PACCENA, Binatangpun Ada Rasa Iba“. Masa sih kita lebih rendah dari binatang yang tidak punya rasa iba? Tolong dipikirkan bersama.

Kami menanti kedatangan Presiden RI yang terpilih dengan berdebar-debar.

3. Libur musim panas bagi deMiyashita akan dimulai tanggal 26 Juli, tapi itu berarti aku harus menyiapkan segala-sesuatunya sebelum libur. Hari kuliah terakhir tgl 25 Juli dan tentu aku harus membuat soal-soal ujian. Dan merencanakan liburan musim panas tahun ini memang menyenangkan dan … makan waktu.

Kami menanti kedatangan liburan musim panas dengan gembira.

4. Bersambung di Menanti Kedatanganmu -2-