8 Besar dari Sayama

13 Jan

Tiga belas hari sudah berlalu sejak kita memasuki tahun 2021. Tahun 2020 kurang memuaskan bagi sebagian orang, atau bahkan menjadi tahun yang sial bagi dunia. Tetapi dari “kesialan” itu, aku mau menulis tentang 8 besar yang terjadi pada keluargaku pada tahun 2020 sebagai bahan refleksi dan melanjutkan kebiasaan yang sudah dimulai sejak tahun 2010.

  1. Si Bontot, Kai 13tahun. Lulus SD tanpa ada acara wisuda, tapi untung ada acara penerimaan murid baru di SMP dan saya hadiri. Untuk ke sekolah barunya dia harus berjalan 20 menit dari rumah, karena memang rumah kami pinggiran dari rayon sekolahnya. Yang dari wilayah kami (SDnya sama) hanya 3 orang. Tapi untungnya dimasukkan dalam satu kelas yang sama.
    Wali kelasnya guru OR. Sudah dua kali aku bertemu dalam acara mendan 三者面談, dan selalu berpikir, “Pak, beli jas gedean dikit dong” hehehehe. Abis jasnya mededet gitu 😀 (Bahasa apa lagi mededet :D)

    Bagi Kai, tahun ini merupakan tahun menyebalkan. Karena kami memasukkan dia ke sebuah bimbel yang agak jauh dari rumah (harus naik sepeda). Konon bimbel ini terbagus di daerah kami. Kecil, bukan chain seperti KUMON. Dan dia mengikuti kelas Bahasa Inggris dan Matematika. Ini wajib bagi semua murid bimbel. Bukan bahasa Jepang, karena biasanya Bahasa Jepang sudah aman… Dan untuk Kai disarankan untuk mengikuti kelas “Baca Cepat” 速読. Tentu Kai malas-malasan. Tapi di luar dugaan dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik, bahkan dinaikkan satu tingkat di atasnya. Bimbel ini khas memang, membuat peringkat murid yang berdampak pada posisi tempat duduk. Ranking satu pasti duduk paling depan, dan yang terjauh dari guru berarti nilainya terburuk dalam kelas itu. Kata kepala Jukunya, “Anak-anak harus dilatih untuk bersaing, kalau tidak dia tidak akan belajar!”…. Hmmm aku sih setuju saja, karena aku tahu anakku bisa. Dan pengalaman si sulung, dia baru mau belajar serius setelah masuk SMA. Sayang waktunya. Coba dari SD dia sudah punya perasaan bersaing, pasti hasilnya jauuuh lebih bagus dari sekarang.

    But anyway, kita tidak akan tahu kalau belum dijalankan, kan. Dan setiap anak itu berbeda. Bulan Desember Kai mendapat level 4 untuk Baca Cepat, suatu prestasi yang katanya sulit dicapai orang yang baru ikut kursus setengah tahun. Anak-anakku mah semua tukang baca, jadi no problem lah. Masalahnya hanya di bahasa Inggris 😀 Emang japanis banget deh anak-anakku. Untuk rapor skeolah juga tidak bermasalah. Dan dibandingkan dengan kondisi waktu dia SD, di SMP dia banyak teman dan kata gurunya termasuk anak yang bisa memimpin. Jadi gurunya ingin dia mencalonkan untuk menjadi pengurus OSIS (anaknya sih ogah 😀 )
  2. Si Sulung, Riku, 17. Well, sulungku ini diam-diam menghanyutkan. Yang pasti aku tidak menyangka dia itu tukang belajar :D. Tukang Buku iya, tapi belajar? Dari SD, SMP dia selalu santai. Tidak ada perasaan untuk menjadi nomor satu di kelas. Tapi ternyata aku salah. Begitu kelas 1 SMA, dia sudah punya rencana. Dia yang mengajukan proposal untuk pergi ke luar negeri kelas 2 sehingga dia punya “cambuk” untuk belajar bahasa Inggris. Dan ya, aku dan dia, berdua saja akhirnya tahun lalu bisa ke London selama 2 minggu.

    Apakah bahasa Inggrisnya canggih? Tidak! cukup saja. Tapi dia berusaha dan menunjukkan hasil. Masih kurang beberapa point untuk bisa lulus tingkat pre-1. Tapi tak apa. Karena dia punya bakat bukan ke bahasa Inggris, tapi bahasa Jepang. Kokugonya nomor 1 di sekolahnya, dan bahkan dalam ujian-ujian tryout masuk universitas, dia bisa sampai ranking 18 dari 17.000-an peserta! Bangga sekali, dan dia juga akhirnya mengetahui bahwa kalau dia belajar, dia sungguh-sungguh pasti bisa mencapainya. Sudah sejak kelas 2 awal dia mempersiapkan diri untuk masuk universitas pilihannya. Sulit, tapi kalau tidak berusaha ya terpaksa hanya bisa memilih universitas level menengah. (Universitas di Jepang tentu ada peringkatnya, nanti saya akan tulis juga mengenai itu). Sebentar lagi dia akan ujian masuk universitas, dan semoga hasilnya memuaskan dan dia bisa masuk ke universitas pilihannya.

    Selain pelajaran, dia lagi suka masak spagheti. Awal tahun dia minta aku masak nasi dari genmai (beras yang masih coklat/bukan beras putih) dan dada ayam. Ceritanya dia mau kontrol kalorinya. Eh pertengahan tahun dia getol masakan italia, dan bisa 2 dari 3 kali makan sehari itu spagheti beraneka rasa :D. Yang paling sering masak spaghetti mackerel… hiiii aku sih kurang suka karena amis. Tapi lumayan juga kalau aku malas masak, dia yang masak deh sekarang.
  3. Si Emak, alias saya 😀 Sejak dinyatakan sebagai pandemi, tetap mengajar bahasa Indonesia dengan online, dan saya sendiri merasa saya Ratu Zoom :D. Sejak Februari sudah membeli akun Zoom dan sangat mengandalkan si Z untuk melakukan pembelajaran. Untuk mengajar tentu saja, bahkan di organisasi APPBIPA, kami bahkan membuat beberapa pelatihan bagi guru-guru bahasa Indonesia mengenai pemakaian aplikasi-aplikasi yang bisa dipakai untuk PJJ (Pengajaran Jarak Jauh).

    TAPI saya juga belajar banyak dalam masa Pandemi ini, dan berbayar! Karena lain rasanya jika mengikuti kursus gratis dan berbayar. Beda mutu, beda konsentrasi juga. Paling sedikit ada 15 kursus yang aku ikuti. Ada beberapa hal yang aku perhatikan dalam mengikuti webinar atau kursus dari Indonesia. ① Jarang yang tepat waktu mulai, apalagi pesertanya sudah hadir sebelum acara. Aku sendiri selalu biasakan hadir 15-10 menit sebelum acara mulai. ② Baru acara dimulai, sudah tanya “Absensinya mana?” “Kapan dapat sertifikatnya?”, “Nanti bisa dapat bahannya tidak?”… dooohhh masih di awal loh? Tujuannya CUMA untuk kumpulin sertifikat ya? Pasti dong setelah absensi, keluar dan nunggu bahan dan sertifikat saja. Ilmunya? Ah ngga perlu. Sedih deh pada kondisi begitu. Kadang bahkan aku curiga, mereka itu alasan tidak pakai video camera itu pasti karena sambil dengan kerjaan lain, bukan karena koneksi. Kasihan pada yang memang benar-benar mau belajar tapi tidak bisa 🙁
  4. Online dan Offline atau hybrid. Untuk online, aku pikir memang cara yang tepat dalam masa seperti sekarang, daripada mengambil resiko tertular corona. Tapi ada beberapa kali aku harus offline, pergi ke tempat kerjaan, atau untuk bertemu dengan pihak lain. Takut? Ah, asal sudah jalankan tindakan preventif kurasa tidak apa-apa. TAPI aku punya kebiasaan untuk memegang handrail, pegangan di tangga waktu turun, karena takut jatuh setelah lututku bermasalah. Nah, untuk itu aku perlu membawa hand gel selalu, atau waktu musim dingin, aku pegang pakai lengan baju supaya tidak langsung kena tangan.

    Ada sekolah yang mengadakan kelas hybrid, dan aku sama sekali tidak setuju. Lebih baik offline 100 persen atau online 100%. Susah bagi guru untuk memecah konsentrasi mengajar ke online dan offline sekaligus. Khusus untuk pelajaranku, mengarang dan membaca, memang sebetulnya lebih enak kalau dilakukan secara online saja. Tapi karena kebijakan sekolah seperti itu, ya mau tidak mau harus dijalani. Pemecahannya, saya hanya konsentrasi pada anak-anak yang berada di kelas. Untuk anak-anak yang online, saya suruh kerjakan tugas saja. Sebetulnya sekolah membagi dua shift kedatangan mahasiswa ke kelas, menjadi grup A dan B yang secara bergantian datang ke sekolah. Tapi pada kenyataannya yang datang yang itu-itu saja, dan ada 2 anak yang sama sekali tidak pernah datang, dan saya tahu dia juga hanya masuk zoom, tapi tidak mendengarkan kuliah. Hasilnya, satu masih mau berusaha ikut ujian dan saya berikan waktu khusus, tapi yang satunya sama sekali tidak menyerahkan tugas, sampai terpaksa aku buat ujian susulan. Sepertinya sih dia tidak akan aku beri sks :D. Masa bodo deh. Tidak ada usaha sih.

    Tapi sepertinya untuk beberapa saat ke depan, saya harus lebih beradaptasi dengan kelas hybrid. Karena sistem ini yang akan dikembangkan di beberapa universitas untuk tahun ajar 2021.
  5. Hasil tahun 2020? Sampai memasuki bulan Desember 2020, belum ada hasil yang terlihat secara nyata, tapi berkat usulan dari Bapak Atdikbud yang baru, saya bersama teman-teman dari APPBIPA Jepang berhasil mencetak buku pengayaan untuk kelas menengah, lengkap dengan pertanyaan (dan jawaban) serta audio. Buku ini bisa diunduh dari website, meskipun audionya masih dalam garapan. Sulit mendapat waktu yang tenang untuk merekam tanpa gangguan.

    Selain buku, hal yang kecil, saya bisa membuat beberapa presentasi untuk Rumah Budaya Indonesia termasuk tentang sastra Indonesia, untuk pengajaran bahasa Indonesia, dan yang terakhir tentang literasi di Jepang. Berkat sebuah undangan untuk mengajar tentang literasi di Jepang, membuatku teringat akan sebuah rencana yang belum sempat direalisasikan. Semoga tahun 2021 bisa terlaksana.
  6. Silaturahmi. Hubungan antar manusia di masa pandemi tercabik-cabik, karena kesempatan untuk bertemu jadi berkurang. Saya bersyukur akhir Januari 2020 sempat lari ke Jakarta selama 10 hari, sendirian, semi keluarga. Ya, adik saya harus masuk RS untuk operasi besar, dan tanpa pikir panjang, saya meninggalkan rumah 10 hari kepada 3 boys. Begitu mendengar kabar, lusanya langsung berangkat, tanpa memberitahu siapa-siapa, hanya orang terdekat saja. Selama di Jakarta waktu itu pun tidak update apa-apa, dan hanya bertemu dengan teman penting saja karena 80% waktu dipakai di RS. Saat seperti itu saya bersyukur mempunyai orang tua yang mengajarkan persaudaraan di atas segala. Memang ada friksi antar saudara dan tidak bisa dihindarkan. Tapi saat salah satu ada yang susah, kami bisa berkumpul, dan berdoa bersama sehingga saat kritis bisa terlewati.

    Kita tidak tahu apa yang ada di depan sana. Kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Karena itu saya juga sekarang lebih mengikuti insting, jika ingin mengirim sesuatu kepada seseorang, langsung dilaksanakan. Kalau terpikir tentang seseorang, langsung saya hubungi. Jangan sampai terlambat. Ada seorang teman dari SD sampai SMA yang tiba-tiba meninggal, padahal paginya masih bicara akan pindahan rumah hari itu. Eh, ternyata pindah rumahnya di alam lain. Sedih, dan karena dia single mother, kami berinisiatif membuat peringatan 3 hari, 7 hari, 100 harinya secara daring.

    Dan saya bersyukur mempunyai papa yang kuat, dalam arti tidak “merengek” untuk bertemu, kangen dsb. Malah papa yang cerewet mengingatkan kami untuk prokes, jangan sampai tertular. Papamu malah tetap pakai masker di rumah, kalau berbicara dengan adik yang berkunjung. Tidak ada pelukan atau dekat-dekatan deh. Bayangkan jika papa yang merengek? Anak-anak kan sulit untuk tidak mengabulkan permohonan orang tua. Ah, papaku memang ketjeh! 😀
  7. Dua puluh delapan tahun tinggal di Jepang, dan sudah membeli 8 laptop 😀 Bener deh, tanpa laptop, saya tidak bisa bekerja. Dan saya masih ingat komputer pertama yang saya beli dengan uang sendiri, adalah IBM ukuran B5, dengan Windows 3.1 . Saat itu harganya 250.000 yen! Karena saat itu masih sedikit laptop ukuran kecil (tapi tebal, dan memang masih berat). Saya beli karena perlu untuk menulis thesis. Tidak bisa kalau memakai wapro saja.

    Waktu mulai pekerjaan membuat kamus saya mengganti komputer Sony-Viao yang berukuran A4 dengan Lenovo Yoga. B5, tipis, canggih, bisa dilipat sebagai tab, bisa touch screen juga. Karena ringan bisa dibawa kemana-mana, sehingga bisa mengerjakan kamus di mana-mana, ceritanya. Komputer Yoga ini juga yang selalu saya bawa dalam acara RBI di kedutaan, untuk disambungkan dengan in focus, untuk presentasi. Sudah banyak jasanya.

    Tapi, semenjak harus dipakai untuk Zoom, terasa sekali leletnya. Terutama jika saya harus share video atau presentasi yang banyak menyedot memorinya. Berkali-kali harus distart supaya tidak macet. Virtual Background? Tentu tidak bisa. Sampai saya membeli kain hijau untuk dipasang sebagai latar belakang. Nah, hingga suatu kali ketika sedang zoom untuk acara ulang tahun saudara, komputerku mati. blek! gitu saja. Untung masih bisa nyala, dan saya mulai siap-siap migrate, menyimpan semua file dalam HD dan cloud.

    Karena mata juga semakin memburuk, akhirnya bulan November saya membeli komputer baru. Dan terbawa nostalgia dengan komputer pertama, saya membeli IBM Think Pad, ukuran A4, dengan RAM 16GB. Harganya memang dobel dari komputer biasanya, hampir sama dengan komputer pertama. Tapi untuk zoom asik punya 😀 Virtual background tokcer, dan yang heran, bisa memuat 49 orang dalam galery view di Zoom. Jadi sering bisa memotret seluruh peserta karena biasanya komputer dulu hanya bisa 25 orang. Satu saja kekurangannya: tidak ada Power Point 😀 Ternyata waktu aku minta pasang option Office, hanya ada Word, Excel dan Acces saja 😀 Setiap mau beli PP baru yang terpisah, diarahkan untuk ikut Office 365. OGAH! mahal atuh :D. Penyelesaiannya: pakai Google Slide saja. yeay. murmer.
  8. Rencana tahun 2021? Lebih banyak menulis dan mewujudkan ide-ide yang ada di kepala. Mumpung masih bisa berpikir dan masih bisa bergerak, karena tanpa disadari umur akan bertambah terus. Tidak ada waktu untuk bersedih, atau stress. Harus memikirkan apa yang bisa dikerjakan dalam segala keterbatasan, supaya bisa survive. Dan semoga tahun 2021 bisa bertemu papa lagi di Jakarta.

Ditulis tanggal 13 Januari 2021 pukul 23:13

love this picture taken by Gen <3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *