“Papa tidak suka pohon sarusuberi, ya? Padahal aku ingin coba tanam. Pohon itu mengingatkanku pada rumah di Jakarta!” kataku di dalam mobil.
“Sepertinya sudah berapa kali deh aku dengar mama bilang seperti ini!” Riku berkata agak kesal karena harus mendengar topik yang sama berkali-kali.
Memang aku selalu mengingat rumah di Jakarta begitu melihat pohon sarusuberi サルスベリ atau yang disebut juga dengan Hyakujitukou 百日紅. Bahasa Indonesianya pohon bungur.
Pohon ini memang ada di depan pintu masuk rumahku (dulu) di Jakarta. Bagi yang pernah datang ke rumah Jakarta, dan memperhatikannya, ada sebatang pohon kurus setinggi 160 cm di depan pintu masuk teras. Dulu aku tidak tahu namanya, dan menurut mama itu “Sakura”.
Jadi waktu saya mengikuti homestay pada kedatangan pertama ke Jepang, saya mengatakan… “Wah sakura!” sambil menunjuk pohon bungur itu. Host familyku tertawa dan berkata tidak ada sakura pada bulan September! Mereka memberitahukanku bahwa pohon yang sedang berbunga itu bernama SARUSUBERI. Tentu aku langsung hafal karena saru = monyet dan suberi = terpeleset.
Padahal sebuah peribahasa Jepang mengatakan 猿も木から落ちる Saru mo ki kara ochiru, Monyet pun jatuh dari pohon. Jatuh, bukan terpeleset. Peribahasa yang bermaksud menjelaskan “Sepandai-pandainya monyet berpindah dari pohon ke pohon, masih bisa jatuh! Jadi gagal itu wajar!”
Yang mengherankan, peribahasa yang berarti kurang lebih sama, dalam bahasa Indonesia tidak memakai “monyet” tetapi memakai tupai. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga. Memang sih, di Jepang ada juga monyet, dan di Indonesia ada juga tupai. Tetapi menurut logikaku, di Indonesia orang lebih sering melihat monyet daripada tupai, hehehe.
Dan si monyet yang terpeleset itu ternyata menjadi kenanganku, setiap memasuki musim panas sampai dengan bulan September. Sebatang pohon kurus di depan pintu masuk rumah Jakarta, yang sudah tidak ada, sudah hancur dengan tanah dan berganti bangunan baru. Tapi kenangan itu akan selalu ada dalam hatiku.
#memories30years #rumahmasakecil