Jazz Waltz

3 Agu

Akhir-akhir ini aku sering berpikir untuk main ke almamaterku di Yokohama, tapi memang tidak mudah untuk pergi ke sana, apalagi dari rumahku sekarang. Ingin rasanya melihat kampusku dulu, yang pastinya sudah berubah banyak. Sayangnya perasaanku tidak sama dengan suamiku yang malas pergi melihat masa lalu 😀 … Ya sudah, saya mengalah 😀

Dulu pun waktu aku bersekolah di sana, aku perlu menyediakan waktu 1,5 jam untuk pergi ke kampus. Tentu jalan kaki dari rumah ke stasiun 8 menit, naik kereta 30 menit lalu naik bus ke pintu barat kampus, lalu jalan lagi. Kalau sekarang? Naik keretanya saja sudah 1,5 jam sendiri hihihi.

Yang aku sayangkan, aku tidak punya foto kenangan dengan kampusku. Waktu aku mahasiswa belum ada yang namanya handphone yang bisa dipakai untuk memotret. Email baru dipakai dosen pembimbingku, dan aku baru mengenal kata email juga dari dosenku. Tentu saat itu belum punya email lah. Aku ingat membuat email dengan membayar pada sebuah provider dengan nama crisscross. Keren kan namanya 😀
(Btw aku cari ternyata sudah tidak ada yang pakai domain itu, tapi tidak bisa dibeli :D)

Nah tanggal 19 Maret 2022 yang lalu, kerinduan terhadap almamaterku sedikit terobati. Di televisi ada acara yang bernama HAMONEPU (singkatan dari Hamonepu league) yang merupakan pertandingan kelompok acapela. Tahu dong acapela itu adalah menyanyi tanpa iringan, dan iringannya justru keluar dari mulut sendiri. Ada yang pegang vokal utama, vokal tambahan dan bass/drum/ atau bebunyian lainnya. Dan pada pertandingan tahun 2022 ini, kelompok Yoru ni Waltz dari Yokohama National University (横浜国立大学) yang memenangkannya. Ikut berbangga pada grup dari almamaterku ini, dan memang hamo (harmoni) lagu yang dibawakan bagus sekali. Mereka membawakan lagu pop yang digubah lagi dengan irama Jazz-Waltz. Bagi yang mau mendengar silakan klik di link ini.

#memories30years #almamater

Monyet pun Terpeleset

2 Agu

“Papa tidak suka pohon sarusuberi, ya? Padahal aku ingin coba tanam. Pohon itu mengingatkanku pada rumah di Jakarta!” kataku di dalam mobil.

“Sepertinya sudah berapa kali deh aku dengar mama bilang seperti ini!” Riku berkata agak kesal karena harus mendengar topik yang sama berkali-kali.

sarusuberi = pohon bungur

Memang aku selalu mengingat rumah di Jakarta begitu melihat pohon sarusuberi サルスベリ atau yang disebut juga dengan Hyakujitukou 百日紅. Bahasa Indonesianya pohon bungur.

Pohon ini memang ada di depan pintu masuk rumahku (dulu) di Jakarta. Bagi yang pernah datang ke rumah Jakarta, dan memperhatikannya, ada sebatang pohon kurus setinggi 160 cm di depan pintu masuk teras. Dulu aku tidak tahu namanya, dan menurut mama itu “Sakura”.

Jadi waktu saya mengikuti homestay pada kedatangan pertama ke Jepang, saya mengatakan… “Wah sakura!” sambil menunjuk pohon bungur itu. Host familyku tertawa dan berkata tidak ada sakura pada bulan September! Mereka memberitahukanku bahwa pohon yang sedang berbunga itu bernama SARUSUBERI. Tentu aku langsung hafal karena saru = monyet dan suberi = terpeleset.

Padahal sebuah peribahasa Jepang mengatakan 猿も木から落ちる Saru mo ki kara ochiru, Monyet pun jatuh dari pohon. Jatuh, bukan terpeleset. Peribahasa yang bermaksud menjelaskan “Sepandai-pandainya monyet berpindah dari pohon ke pohon, masih bisa jatuh! Jadi gagal itu wajar!”

Yang mengherankan, peribahasa yang berarti kurang lebih sama, dalam bahasa Indonesia tidak memakai “monyet” tetapi memakai tupai. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga. Memang sih, di Jepang ada juga monyet, dan di Indonesia ada juga tupai. Tetapi menurut logikaku, di Indonesia orang lebih sering melihat monyet daripada tupai, hehehe.

Dan si monyet yang terpeleset itu ternyata menjadi kenanganku, setiap memasuki musim panas sampai dengan bulan September. Sebatang pohon kurus di depan pintu masuk rumah Jakarta, yang sudah tidak ada, sudah hancur dengan tanah dan berganti bangunan baru. Tapi kenangan itu akan selalu ada dalam hatiku.

Pohon sarusuberinya sudah diganti dengan pohon pinang merah!

#memories30years #rumahmasakecil