Biasanya aku hari Jumat memang mengajar. Tapi karena hari ini universitas S tempatku bekerja menyelenggarakan festival kampus, maka aku hanya mengajar sampai jam 12. Dengan agak terburu-buru aku menuju ke Nerima, kelurahanku, tepatnya sebuah sekolah SMP dekat Kantor Pemdanya. Karena mulai pukul 2 ada acara yang bertajuk: “Pertemuan Tukar Informasi antar PTA SMP”.
Dari 34 SMP milik pemda, sedikitnya 5 orang perwakilan pengurus (inti) PTA dan seorang kepala sekolahnya berkumpul dalam kegiatan ini. Dalam sambutannya, ketua komite pendidikan menyatakan pentingnya peran orang tua yang tergabung dalam PTA karena dalam setiap kegiatan terlihat kehadiran PTA. Apalagi tahun ini banyak sekali sekolah yang merayakan ulang tahun ke 70 (Kelurahanku ini memang baru berusia 70 tahun), sehingga bantuan dari orang tua sangat penting.
Kami dibagi menjadi 15 grup, dan masing-masing grup diminta untuk membicarakan topik tertentu yang intinya bertujuan untuk “memikirkan bagaimana membuat lingkungan belajar yang lebih baik bagi murid SMP”. Ada beberapa kata kunci yang dipakai, misalnya Smartphone, pemilihan SMA, masa puber, hubungan pertemanan, PTA dan lain-lain.
Grup aku hanya membicarakan tentang Smart phone, yang ternyata dari 4 ibu, 2 memberikan smart phone pada anaknya, sedangkan aku dan satu ibu lagi menegaskan bahwa smart phone baru boleh diberikan waktu SMA. Tapi kami berdua mengijinkan pemakaian ipad/ipod di rumah dengan aturan yang sudah ditentukan. Semisal: orang tua BOLEH melihat percakapan di Line, atau pembatasan waktu hanya sampai pukul 9-10 malam kemudian piranti itu diletakkan di ruang tamu. Masalah smart phone ini memang agak rumit karena di satu pihak kita tidak bisa memungkiri bahwa smartphone merupakan kemajuan jaman yang harus bisa diterima, tapi di pihak lain smartphone membawa dampak negatif bagi anak atau lingkungannya. Cukup banyak anak yang ternyata kurang tidur karena terlalu banyak pakai LINE.
Tapi sebetulnya selain masalah smartphone, kami juga menyinggung masa puber dan aku merasa lega bahwa anakku tidak menunjukkan masa-masa perlawanan terhadap orang tua (atau belum). Dari pembicaraan di grup, aku juga bisa melihat bahwa kebanyakan yang bermasalah dengan smartphone justru murid perempuan. Karena mereka rentan terhadap godaan pria yang lebih tua, dan mereka sendiri juga membuat gank-gank kelompok yang lebih rumit dibandingkan murid laki-laki.
Lima belas grup kemudian membawakan hasil pembicaraan dan mempresentasikan di depan semua peserta selama 3 menit. Sehingga kami juga bisa mengetahui apa yang dibicarakan grup lain. Dari presentasi 15 grup ini aku bisa tahu mereka juga membahas sulitnya meminta orang tua murid untuk menjadi pengurus PTA. Ada saja orang tua yang memakai alasan “sibuk” padahal sebetulnya mereka melepaskan tanggung jawab pendidikan kepada sekolah saja! Tidak mau tahu! Aku pribadi merasa dengan menjadi pengurus PTA, kita secara tidak langsung bisa memonitor pelaksanaan pendidikan di sekolah, yang orang tua lainnya tidak bisa lihat.
Aku selalu kagum dengan pendidikan di sini, yang amat menekankan pemberian salam. Setiap aku ke sekolah, murid yang berpapasan PASTI memberi salam “selamat pagi/siang”. Mereka juga harus memberikan hormat kepada guru. Bukan dengan salut menaruh tangan di dahi, tapi dengan menunduk jika bertemu dan pasti melihat wajah guru yang sedang bicara. Ah, aku jadi teringat pada pendidikan Sr Bertine yang sama persis! Bahagianya aku pernah mendapatkan disiplin yang bisa terus kubawa sampai sekarang.
Ada satu lagi yang menarik dari presentasi tadi, yaitu bahwa bahasa murid-murid yang menjadi buruk. Yaitu dengan timbulnya kata-kata baru yang menjadi trend. Dan satu kata yang sempat kucatat adalah: Majipane まじぱね。 Yang setelah kutanya pada Riku artinya : Benar-benar hebat, singkatan dari Maji Hampa Janai マジ半端じゃない! (Dan disambung Riku bahwa yang sering pakai biasanya anak perempuan yang guoblok hahaha. Anakku itu benar-benar suka “merendahkan” cewek-cewek yang sukanya cekikan dan tidak suka belajar, atau paling sedikit bisa menggunakan bahasa yang baik Sasuga anak dosen bahasa hahaha)
Cukup capek 3 jam mengikuti acara itu, tapi yang membuatku capek sekali sebetulnya adalah duduk di tatami selama 1 jam penuh. Mati rasa deh kakiku, meskipun sudah berusaha ganti-ganti posisi. Dasar orang asing yang tidak terbiasa duduk di tatami sih
Tulisan pertama di bulan Juni, pada hari terakhir.
Dua menit lagi bulan Juni habis, jadi sekian dulu yaaaaa