Tepat hari ini sebetulnya di sebuah restoran di Jakarta akan diadakan reuni teman-teman jaman SD-ku. Aku belum begitu lama bergabung dalam group WA SD ku itu, dan setiap hari ribuan msg “nangkring” di sana. Maklum aku tidak getol buka-buka group di socmed manapun (di FB pun sebagian besar biasanya aku matikan notificationnya, kecuali jika aku yang administratornya). Nah, mereka akan berkumpul di resto milik temanku juga, masih baru (sepertinya), dan bernama three wise monkeys!
Hmmm rasanya aku pernah mendengar nama ini ya? Tapi aku tidak yakin di mana. Dan baru kuketahui minggu lalu, saat deMiyashita jalan-jalan ke Nikko. Setelah cukup lama tidak jalan-jalan karena masing-masing memang sibuk, kami menyempatkan diri ke Nikko pulang hari.
Nikko terletak di perfektur Tochigi, kira-kira 4 jam perjalanan dari rumah kami. Aku sudah pernah pergi ke Nikko sekitar 20 tahun yang lalu, tapi hanya pergi ke Edo Mura (perkampungan Ninja) bahkan pernah menyetir melewati hutan-hutan di sana. Tapi aku belum pernah pergi ke Toshogu Shrine, tempat yang biasanya menjadi tujuan wisata di Nikko. Setiap kali aku mengajak Gen ke Toshogu, pasti dia malas nyetir ke arah Nikko…. memang macet sih.
Tapi seminggu lalu waktu kami pergi ke sana, perjalanan lancar. Mungkin karena musim melihat dedaunan berwarna-warni musim gugur (disebut Kouyou) sudah hampir habis. Kami hanya perlu “antri” parkir waktu mendekati kuil tersebut. Karena kelihatannya cukup lama, padahal kami mau pergi ke beberapa tempat, akhirnya kami masuk ke tempat parkir yang lebih mahal, yang berjarak 10 menit sebelum Toshogu. Daripada buang waktu menunggu, lebih baik kami jalan kaki ke sana.
Berkat jalan kaki itu kami juga bisa menikmati keindahan daun-daun yang menguning dan memerah sepanjang jalan. Meskipun cukup menakutkan juga karena jalan cukup sempit padahal cukup sering bus-bus pariwisata yang melewati jalan itu. Jadi biasanya kami menepi dulu begitu melihat ada bus yang mendekat.
Kami memasuki kompleks Toshogu dari samping, bukan dari pintu gerbang. Begitu muncul di kompleks, kami menjumpai sebuah tenda yang menjual manju (kue Jepang seperti bakpao tapi bahan rotinya lebih padat dan berisi pasta yang terbuat dari kacang kedelai, kacang merah dan kacang hitam). Kami bisa melihat juga torii (gerbang) dari batu dan kuil pagoda 5 tingkat. JDari situ kami masih harus menaiki tangga untuk bisa masuk ke kompleks kuil, dengan membayar 1300 yen (kuil utama+museum) untuk orang dewasa. Wuih mahal!!! Baru kali ini aku membayar semahal ini untuk “karcis tanda masuk” (kalau bahasa Jepang tidak pakai istilah tanda masuk tapi tanda berziarah). Memang sih semua souvenir yang dijual di sini jauh lebih mahal daripada di kuil-kuil lainnya. Riku sempat ingin membeli sebuah “omamori (jimat) ” tapi karena harganya 1000 yen, tidak jadi beli.
Kami melewati Kuil Three Wise Monkeys dulu sebelum menuju ke tangga kuil utama. Sayang sekali pintu masuk kuil utama sedang dalam perbaikan, yang konon baru selesai tahun 2020. memang semua kompleks kuil ini tahun depan akan berusia 400 tahun! Bayangkan mereka merenovasi pintu masuk yang berusia 400 supaya tampak sesuai aslinya. Dan memang bagian dalam kuil utama, yang merupakan “makam” dari Tokugawa Ieyasu itu benar-benar mewah! kayu hitam berlapis emas, semua detil yang begitu mewah, menunjukkan kebesaran seorang Tokugawa Ieyasu, yang bahkan setelah dia meninggalpun “dipuja”. Kami harus menanggalkan sepatu sebelum memasuki kuil dan dilarang memotret dalam kuil. Memang di tempat-tempat wisata yang kuno, pengaruh cahaya lampu kilat bisa merusak benda-benda seni, sehingga biasanya memang tidak boleh memotret di dalam.
Tempat menanggalkan sepatu tersambung dengan jembatan masuk yang berwarna merah jreng! persis di dekat tempat menaruh sepatu ada sebuah tempat sembahyang yang sedang melangsungkan upacara pernikahan ala Shinto. Ada kejadian yang membuatku gusar. Ada seorang wisatawan yang berasal dari negara C, yang meskipun mengetahui dia tidak boleh memotret, tetap saja memotret, bahkan sampai masuk ke tempat-tempat yang dilarang untuk dimasuki. Duh! menyebalkan sekali. Memang kebanyakan orang Asia, termasuk negara kita, sering melanggar peraturan. Bukan soal bahasa, karena jelas-jelas dipakai tanda berupa gambar kamera coret. Tapi masalah mentalitas. Aku tidak pernah melihat ada orang Jepang yang (mencoba) melanggar loh.
Setelah mendengarkan penjelasan dari seorang pendeta Shinto mengenai “Tuhan” kuil itu, kami kemudian beranjak ke kuil yang berada di samping kiri yang bernama Kuil Naga Menangis. Di sini cukup ramai, sehingga kami harus antri masuk. Memang kami harus mendengar penjelasan seorang pendeta, mengapa kuil itu dinamakan Kuil Naga Menangis. Di atas langit-langit ada sebuah lukisan naga yang besar. Lalu diperagakan bahwa jika memukul dua tongkat persis di bawah lukisan muka Naga, maka suara pukulan tongkat itu akan bergema seperti suara Naga yang menangis. Jika dipukul tidak tepat di bawah lukisan muka naga, maka tidak bergema. Kuil itu juga merupakan kuil “tabib” untuk semua shio. Sehingga disarankan untuk membeli “jimat” sesuai dengan shio kelahirannya. Di sini Riku juga ingin membeli jimat tapi karena harganya 1000 yen, mengurungkan niatnya.
Kami kembali lagi ke tempat parkir dan menuju tempat tujuan yang kedua. Sebetulnya ada dua tempat tujuan, yaitu air terjun dan hotel Kanaya, tapi karena waktunya mendesak kami membatalkan pergi ke Hotel Kaneya. Kami langsung pergi ke Air Terjun Kegon.
Tadinya aku enggan pergi ke air terjun itu, karena kakiku yang tiba-tiba sakit dan sulit untuk dipakai berjalan (gara-gara sehari sebelumnya membawa barang berat 🙁 ) Tapi ternyata untuk melihat air terjun itu kami bisa naik lift. Naik lift yang menurun hehehe, jadi mestinya turun lift ya. Lift itu menuruni 100 meter ke bawah dalam 1 menit. Kami harus membayar 500 yen per orang dewasa. Aku senang karena tidak perlu jalan jauh, tapi ternyata setelah turun dari lift, kami masih perlu menuruni tangga 2 tingkat.
Pemandangan di sini sebetulnya biasa saja, kalau bukan musim gugur. Dan karena kami datang pemandangan kouyounya sudah lewat ya terlihat biasa saja. Kalau googling Kegon Falls in autumn, bisa melihat foto-foto air terjun dengan pepohonan menguning dan memerah yang indah. Ya kami datang sudah musim dingin di Nikko! Dan dingiiiiin sekali. Menggigil deh, apalagi kami waktu itu belum makan siang, sehingga begitu kembali ke tempat parkir, kami langsung mencari makan. Makanan yang populer di tempat-tempat wisata Jepang, apalagi waktu musim dingin adalah ikan bakar Ayu (jenis ikan ini memang namanya ayu), tapi mahal! Bayangkan satu ekor ikan ayu bakar harganya 600yen …duh! Tapi karena Gen dan Riku mau, kami membeli dua ekor dan makan bersama. Coba lebih murah, pasti kami bisa makan 10 ekor deh hehehe.
Kami akhirnya makan siang di sebuah rumah makan di tempat parkir yang juga menyediakan wifi. Sayang sekali set menu ikan Masu yang kami pilih tidak begitu enak. Tapi kami cukup puas bisa menikmati Nikko dalam waktu yang sempit. Kamipun bergerak menuju Tokyo, karena kami tahu kami pasti akan terjebak macet di jalan tol pulang.
Oh ya, Gen memang agak memaksakan pergi ke Nikko dalam satu hari itu karena dia ingin mengulang memorinya pergi karya wisata waktu kelas 6 SD! Dan Riku sekarang kan kelas 6, sehingga rasanya tepat jika Gen, sebagai seorang ayah mengajak anak lelakinya ke Nikko. Masih banyak bagian Kuil Toshogu yang belum kami jelajahi sehingga kami bermaksud mengunjungi Nikko lagi, nanti 5 tahun lagi, waktu Kai kelas 6 SD 😀