Seminggu yang lalu sebuah kapal pesiar di Korea tenggelam. Di dalamnya sekitar 200 murid SMA yang menumpang kapal itu untuk berwisata bersama sekolahnya ikut tenggelam. Hampir semua murid tidak ditemukan dan belum dipastikan apakah hidup atau mati. Ada seorang guru pria dari sekolah itu yang dapat hidup diselamatkan, tapi beberapa hari setelah itu dia kemudian bunuh diri karena tidak tahan mengetahui murid-muridnya menjadi korban. Bunuh diri memang tidak diperbolehkan oleh agama kita, namun keputus-asaan guru itu sangat bisa dimengerti. Bagi seorang guru yang baik, murid adalah anaknya. Anak didik yang dititipkan orang tua, untuk diberikan pengetahuan yang cukup sesuai levelnya. Keselamatan seorang anak didik juga menjadi perhatian dari semua guru… saya rasa begitu.
Sebagai orang tua, kita sering menyalahkan guru, atau jika tidak berpikir negatif, kita “menilai” guru itu. Mudah sekali kita katakan “Ah guru itu bodoh…” atau “Guru itu tidak bagus”, padahal mungkin hanya salah memilih cara penyampaian. Setiap anak punya karakter, setiap kelas juga punya karakter tersendiri.
Seperti aku dalam mengajar selama 14 tahun di sebuah universitas, belum pernah aku marah penuh emosi, tapi tahun ini sejak mengajar pertama aku sudah marah, memarahi 3 mahasiswa yang berbicara cukup keras dalam kelas, sementara teman-temannya mendengarkan pelajaranku. Langsung…dengan emosi aku katakan, “Kalau mau berbicara silakan di luar saja. Kalian mengganggu teman yang mau belajar.” Dan kelas berjumlah 60-an orang itu akhirnya sepi. Tapi perkataan yang sama mesti aku katakan minggu berikutnya, sampai aku tambahkan, “Saya tidak marah kalian mau tidur di kelas, atau main dengan HP. Silakan… selama kalian tidak mengganggu, saya perbolehkan!” Kelas yang cukup sulit…..
Tapi aku bisa menangkap pengalaman lucu yang dialami gurunya Kai, di kelas satu. Waktu pertemuan dengan orang tua murid, dia bercerita tentang jalannya pembelajaran selama seminggu itu. Sambil tersenyum dia menceritakan kelucuan anak-anak yang seminggu sebelumnya masih anak TK! Pertama kali anak-anak ini berada di sebuah “organisasi” yang lebih kaku daripada di TK. Setiap tindakan di dalam kelas itu pertama kali mereka lakukan. Seperti waktu makan bersama, tangan-tangan kecil ini belum bisa membuka karton susu dengan baik. Terpaksa guru lepas yang berada di sekitar kelas, membantu membukakan karton. Ya, di TK mereka minum susu yang sudah dituangkan ke dalam gelas mereka oleh senseinya, sedangkan di SD mereka sendiri yang harus melayani teman-temannya. Mereka tidak biasa dan tidak bisa membukanya. Di rumahpun biasanya ibunya yang membukakan. Tapi namanya anak-anak, mereka cepat belajar dan keesokan harinya mereka bisa menyelesaikan masalah “buka-membuka” karton susu sendiri, tanpa bantuan guru.
Kebiasaan di TK pun masih dibawa. Sedikit-sedikit laporan kepada gurunya, “Sensei, si XXX tidak bisa minum susu loh, tapi dia coba sedikit dan bisa…” “Sensei, kemarin si XXX cuma segini, tapi hari ini bisa setengah gelas loh” Mungkin karena dukungan teman-temannya, si XXX ini berusaha untuk bisa minum susu. Atau “Sensei, si YYY mukanya pucat. Kelihatannya dia sakit” Dan benar, dia terpaksa dibawa ke Ruang P3K. Gurunya Kai sambil menceritakan hal ini tersenyum dan kelihatan dia menikmati kepolosan anak-anak ini. Katanya dia sudah tahun ke empat mengajar di SD itu, dan tahun pertama mengajar kelas 1, tapi sesudah itu mengajar kelas yang lebih tinggi. Sehingga dia bisa bernostalgia mengenang kembali pengalamannya waktu pertama kali mengajar kelas 1.
Guru memang seharusnya menikmati proses pembelajaran, begitupun murid. Aku mengajar sudah hampir 24 tahun sejak mempunyai murid privat pertama waktu aku masih kuliah tingkat 2. Dan ya aku sangat menyukai profesiku yang satu ini (karena profesiku kan bukan hanya satu hehehe). Setiap bulan Februari-Maret, aku merasa sakit-sakitan dan tidak bersemangat karena tidak ada kelas, tapi begitu masuk bulan April, merasa gembira karena bisa bertemu dengan murid-murid baru lagi. Tidak nervous?
Kadang saja aku nervous, terutama jika di dalam kelas yang mestinya berisi mahasiswa semua, ada ibu-ibu atau bapak-bapak yang terlihat sudah tua. Biasanya kupikir mereka itu guru yang “menyamar” untuk memata-mataiku (menilaiku) hahaha. Seperti tahun lalu, di kelas dasar di Universitas W ada 3 orang yang “mencurigakan”. Mereka mahasiswa Pascasarjana jurusan bahasa Jepang. Wah, aku harus benar-benar bisa membuktikan secara linguistik nih …., begitu pikirku. Tapi ternyata, kecemasanku tidak terbukti, dan kami bisa menikmati suasa kelas yang nyaman.
Tapi memang, aku menyadari bahwa seorang guru itu senang kalau muridnya bodoh…. Jadi berasa mengajar, bisa membuat seseorang menjadi pintar 😀 Tapi kalau terlalu bodoh, juga repot sih hehehe. Hmmmm aku musti meralat kalimat di atas yaitu, guru itu bingung jika muridnya terlalu pintar. Karena rasa-rasanya tidak perlu diajari lagi, toh sudah bisa. Terus terang aku panik waktu memulai satu kelas baru di sebuah institut negara untuk hari Senin, Selasa dan Rabu. Ada dua kelas, tapi masing-masing kelas hanya satu orang. Ya semacam privat deh. Nah, salah satu kelas itu muridnya sudah pandai sekali berbahasa Indonesia, karena sudah pernah belajar bahasa Indonesia dan bahkan sudah berkali-kali ke Indonesia. Tapi sebagai pegawai baru, dia wajib mengikuti trainig bahasa. Selama 80 menit pertama aku bisa mewawancara dan mendengar pembicaraannya yang 90% dia katakan dalam bahasa Indonesia. Wah kalau muridnya pintar begini, apa lagi yang perlu kuajarkan?
Untung aku membawa beberapa bacaan bahasa Jepang dan mengajarkannya bagaimana menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa Indonesia, terutama untuk bahasa baku dan bahasa jurnalis. Akhirnya aku menemukan beberapa kesalahannya, dan bisa memperbaiki beberapa kalimat yang kurang bagus. Waktu itu rasanya seperti bertepuk tangan pada ketidaktahuan orang lain 😀 Yang awalnya sempat khawatir, sekarang sudah bisa melihat perkembangan lebih tinggi lagi pada kemampuan muridku ini daripada sebelumnya, terutama untuk kalimat baku.
Hubungan Guru Murid merupakan hubungan saling percaya, shinrai kankei 信頼関係, untuk mencapai hasil yang maksimal. Apalagi untuk murid SD, guru adalah segalanya… panutan, guru bahkan okaasan ibu di sekolah. Waktu aku mengikuti upacara penerimaan murid baru, aku sempat pergi ke WC dan melihat seorang guru membantu anak-anak perempuan yang roknya lepas. Bahkan guru itu sempat mengetuk pintu bilikku karena agak lama sambil bertanya, “Daijoubu? 大丈夫 tidak apa-apa?” dan begitu dia melihat aku, orang tua murid yang keluar dia minta maaf. “Maaf saya sangka murid yang terkunci”. Tindakan-tindakan kecil dari guru, perhatian-perhatian dari lingkungan sekolah membuat orang tua merasa aman menyerahkan anak-anaknya dalam bimbingan mereka. Betul kan?