Setahun yang lalu, mama, Elizabeth Maria Coutrier telah dipanggil Bapa di surga. Setahun tanpa suaranya, tanpa kehadirannya, tanpa pelukannya, tanpa tanda salib atau kecupan di dahi, serasa sebagian hatiku menjadi kosong. Tapi selama setahun ini, aku bisa melihat lebih jelas lagi posisi mama dalam kehidupan kami. Mutlak dan aku bersyukur mempunyai ibu seperti mama.
Elizabeth Maria lahir tanggal 12 Mei 1938, dari ibu Julia Keppel dan bapak Yohannes Ferdinand Mutter sebagai anak ke 6 (dari 7 bersaudara-kandung). Pada usia 2 tahun, ibu Julia Keppel meninggal dunia setelah melahirkan anak terakhir, tante Tera. Tidak lama hadir seorang ibu baru untuk Maritje, demikian dulu nama panggilan mama. Masa kecil yang sulit di masa pendudukan Jepang mama lewati di Jogjakarta. Waktu menonton film Soegija kemarin, aku melihat tawanan perang seperti melihat kilas oma dan opa di Jogja, dan membayangkan kehidupan mama saat itu. Mama pernah cerita bahwa mama dititipkan kepada keluarga Jawa dan setiap makan harus menunggu dulu eyang itu makan, dan mama makan sisa-sisa mereka. Atau kilasan cerita bahwa mama tidur di bale-bale, di pinggiran jendela, atau di kolong. Karena itu mama selalu marah kalau kami makan tidak bersih dan menyisakan nasi…. dan kami diceritakan masa-masa sulit mama ketika itu.
Mungkin suatu kebetulan yang aneh, bahwa mama lahir di tanggal yang sama dengan Florence Nightingale (12 Mei 1820 – 13 Agustus 1910), seorang perawat, penulis dan ahli statistik. Karena mama juga pernah belajar keperawatan di St Carolus. Alasannya masuk waktu itu hanya karena ingin belajar, tetapi tidak punya uang. Jika belajar menjadi perawat, tidak perlu membayar, malah akan digaji. Dan ternyata dia tidak bisa tahan bekerja sebagai perawat. Seorang perawat tidak boleh takut jarum suntik dan darah bukan?
Karya mama sebagai perawat memang belum banyak, karena kemudian dia beralih profesi menjadi sekretaris di sebuah perusahaan minyak yang akhirnya bertemu dengan papaku. Tapi aku ingat cerita mama yang pernah merawat seorang nenek yang pikun, tapi hanya mau dilayani oleh mama. “Mana Suster Maria?”. Nenek itu sudah tidak ingat kapan makan, kapan buang air. Bahkan dia sering mengorek “kotorannya” sendiri dan melepernya di dinding. Menjijikkan! Dan tentu saja Suster Maria harus membersihkannya. Tapi mama juga sedih waktu mendapati tempat tidur nenek itu kosong di suatu pagi hari waktu masuk kerja. Rupanya si nenek sudah meninggal waktu mama sedang tidak bertugas.
Atau kecekatan mama menyembuhkan anak-anaknya yang luka dan sakit. Aku ingat waktu adikku tertusuk duri dan durinya tinggal di tengah-tengah ibu jari kakinya. Mama langsung ambil gunting, mencabut duri dari bawah kuku dan mencuci dengan rifanol. Beres!
Aku senang lahir sebagai anak pertama. Bisa mendengarkan ceritanya tentang ini itu. Aku banyak belajar dari mama. Katanya, “perempuan harus pintar! Harus bisa apa saja. Kamu tidak bisa hanya bercita-cita menjadi ibu rumah tangga saja. Bagaimana kamu mau menjadi ibu rumah tangga jika tidak bisa berhitung, tidak bisa ini itu. Iya kalau suami kamu baik, kalau jahat dan kamu disiksa, ditinggal? Atau kalau suami kamu kehilangan pekerjaan? Perempuan harus bisa semua”. Dia bisa memperbaiki seterika yang mati. Dia bisa mengurus rumah seluas 150 meter dan kebun 850 meter sendirian! Dan…aku jarang melihat dia tidur….
Setiap mama cerita aku hanya bisa mendengarkan dan menitikkan air mata. Aku tidak bisa memberikan pelukan untuknya, atau belaian di kepalanya seperti yang Kai dan Riku berikan untukku kalau aku menangis. Aku memang kaku sekali waktu kecil, tidak bisa mengungkapkan kasih sayangku untuknya. Hanya bisa menunduk dan menangis. Dan mama juga tidak berusaha memelukku. Bagaimana bisa? Dia juga tidak pernah merasakan dipeluk ibunya yang meninggal saat dia masih balita. Dia tidak tahu apa pentingnya skinship pelukan saat itu. Di mataku, mama adalah ibu yang tegar dan disiplin. Dan aku tahu, tentu sulit membagikan kasih sayang secara eksplisit pada ke tiga putrinya di samping mengatur rumah tangga. Meskipun aku tahu bahwa dia sangat menyayangi kami.
Tapi, cerita mama tentu saja tidak hanya tentang kesengsaraannya saja. Dia banyak bercerita bagaimana dia menabung dan mengikuti kursus ini itu, terutama bahasa Inggris. Dia mengambil diploma untuk bahasa Inggris dan mengetik. Waktu luangnya selalu dipakai untuk belajar, belajar dan belajar. Betapa bangganya aku juga waktu dia bercerita bahwa ketikannya amat cepat sehingga semua yang ada di kantor menoleh padanya. Jaman teleks baru dimulai, dia termasuk orang yang pertama menggunakannya. Dengan pinggang kecil, rok lebar, baju putih dan rambut yang panjang, dia memukau orang. Bukan saja dengan kecantikan tapi juga dengan kepandaiannya, meskipun dia tidak bersekolah tinggi.
Aku tak pernah bisa mengalahkannya dalam berhitung. Belum sempat menekan tombol sama dengan pada kalkulator, mama sudah menyebutkan jawabannya. Dia selalu punya cara menghitung yang aneh dan cepat. Sampai semua penjual terheran-heran, dan mungkin dengan terpaksa menjual barang ke mama dengan harga murah. Karena mama menawar keseluruhan harga barang, bukan satu persatu. Dan jangan pernah bertengkar soal arah pada mama. Dia pengingat jalan yang baik, meskipun dia sering salah berbahasa Indonesia. Dia tetap sulit menyebutkan mana yang kiri dan mana yang kanan. Lebih baik tanya links (kiri) atau recht (kanan).
Semakin mama bertambah umur memang ingatan masa lalunya semakin memudar. Aku sedih waktu aku bercerita soal toneel, pertunjukan musik pertama yang mama lakukan, mama hanya bisa memukul Cymbal dan kemudian menjatuhkannya. Cymbal itu menggelinding jatuh di panggung dan menjadi bahan tertawaan pengunjung. Mama pernah ceritakan itu padaku, dan waktu aku tanyakan saat itu, mama sudah lupa. …. sedih memang mengetahui bahwa orang tua kita makin melemah, baik fisik maupun pikiran. Tapi ma, cerita-cerita mama selalu aku ingat.Sedangkan cerita saja aku ingat, apalagi cinta dan kasih mama sebagai seorang mama…
Aku masih ingat waktu aku menelepon mama waktu ulang tahun terakhirnya , mama bercanda mengatakan “Aku sudah tua, hanya tinggal menunggu Tuhan memanggil”. Dan aku seperti biasa hanya bisa bercanda menghiburnya bahwa Tuhan memanggil siapa saja kapan saja tanpa kita tahu waktunya. Dan ternyata mama sudah siap! Dia siap menghadap Tuhan setelah menerima abu di hari Rabu Abu tahun lalu. Sudah komuni dan berpuasa, bahkan sudah mandi dan keramas di malam harinya.
Ah, aku selalu menulis sambil menangis, jika berbicara soal Mama. Maafkan aku ma… Aku hanya ingin mengungkapkan rinduku padamu. Itu saja. Dan aku yakin mama sudah bahagia bersama Tuhan di surga, dan terus mendoakan kami yang masih di dunia ini. Semoga hidup kita semua selalu bersandar padaNya, karena hanya Dia sang empunya hidup, sampai waktunya kita bertemu kembali. Semoga.
Pagi hari ini pukul 11 akan diadakan Misa Arwah 1 tahun meninggalnya mama di rumah Jkt. Aku tidak bisa datang, dan berusaha sambung dengan Skype. Tapi kalaupun tidak bisa online, aku akan berdoa sendiri di rumah, di jalan, di mana saja dan membawa mama selalu dalam kegiatanku, khususnya hari ini. Sama seperti ketika kemarin membeli bunga kesayanganmu. Hari ini adalah harinya mama… Titip salam untuk semua saudara-saudara kita yang sudah mendahului kami ya Ma….