Satu bulan

11 Apr

Tepat sebulan dari hari ini, tanggal 11 Maret 2011, pukul 14:46 telah terjadi sebuah bencana raksana yang melampaui semua kekuatan dan teknologi manusia. Siapa yang bisa memprediksi bahwa gempa yang terjadi waktu itu sebesar 9 Skala Richter? Awalnya saja hanya dikatakan 7,9 tapi kemudian diperbaiki terus yang menghasilkan angka menakutkan itu. Selama ini yang gempa raksasa melampaui angka 9 SR yang diketahui pernah terjadi adalah skala 9,5 SR yang terjadi th 1960 di Chile, Amerika Selatan.

nama-nama korban yang dimuat di surat kabar selama sebulan ini... masih belum selesai 🙁

 

Cerita tentang gempa bumi ini kemudian menjadi topik pembicaraan di mana-mana, di dunia. Jepang yang sudah biasa menghadapi gempa, masyarakatnya juga “sadar” apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa, tapi masih tidak bisa menghindari banyaknya korban akibat gempa ini. Setiap hari di surat kabar dimuat daftar nama korban yang meninggal dunia. Jumlah korban yang diumumkan kepolisian juga berubah setiap hari. Sampai dengan hari ini jumlah meninggal 13.116 orang, hilang 14.377 orang sehingga jika dijumlahkan menjadi 27.493 orang. Tapi jumlah orang hilang ini dilaporkan oleh anggota keluarga yang kehilangan kepada polisi. Bagaimana dengan yang menjadi korban satu keluarga? Ah, jumlah ini memang tidak sebanyak korban tsunami Aceh yang mencapai 240.000 orang, tapi….. setiap nyawa itu berharga bukan?

Daftar jumlah korban menurut kepolisian

Banyak cerita mengharukan yang terjadi pasca gempa, yang menyedihkan tapi juga menguatkan. Di sela-selanya ada pula tawa senang ketika bertemu dengan kekasih, anggota keluarga yang tercerai berai. Lebih banyak lagi tangis kesedihan kehilangan seseorang yang berharga dalam kehidupannya. Bahkan aku sendiri cukup merasa terharu melihat tim SAR mengangkat dan menyelamatkan seekor anjing di atas atap rumah yang hanyut karena tsunami. Mungkin kalau di Indonesia, tidak ada yang merasa perlu membuang energi untuk menyelamatkan seekor anjing 🙂 (Maafkan aku kalau aku salah… atau pesimis)

Negara ini, memang menurut sebagian orang yang mengaku beriman, adalah negara kafir. Negara tak beragama. Tapi mengapa tanpa agama pun, mereka bisa saling menolong, saling mendoakan, dan mau menyelamatkan nyawa seekor anjing? Aku bukan mau membenarkan ketidakberagamaan atau menyalahkan orang yang beragama (yang menyebutkan orang Jepang kafir… sedih sekali hatiku mendengarnya. Segitukah iman orang beragama yang mengotak-kotakan manusia atas agama?), tapi apalah guna agama, jika kita tak bisa bertindak, berbuat sesuatu yang manusiawi, yang selayaknya dilakukan oleh manusia yang katanya “beradab”?

Begitu banyak bantuan mengalir dari seluruh dunia untuk Jepang. Kata Gen padaku, “Kita sangat berterima kasih… sangat menghargai itu. Mungkin selama ini kita tidak begitu merasa dengan hati waktu memberikan sumbangan kepada negara-negara yang mengalami bencana. Tapi terasa sekali ketika kita sendiri menjadi korban, dan menerima bantuan dari negara-negara lain. Bukan besar bantuannya, tapi hubungannya – relationship nya”

Sebagai alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) program studi, kami mempunyai banyak hutang budi pada Jepang. Banyak dosen-dosen dan mahasiswa kami juga yang pernah belajar di Universitas Tohoku di Sendai. Bahkan Dekan FIB sekarang Dr Bambang Wibawarta adalah lulusan Universitas Tohoku. Melalui Prof Kusunoki, dosen Jepang yang pernah menjadi dosen di UI,  hubungan FSUI dan Universitas Tohoku memang sangat erat. Karenanya alumni FSUI/FIB Jepang yang tergabung dalam IKAJA UI (Ikatan Alumni Japanologi UI) membuat suatu acara reuni + galang dana dalam acara yang bertajuk :  “GAMBARE NIPPON” – Dari IKAJA UI untuk Korban Bencana Tsunami di Jepang – tanggal 9 April kemarin di Depok UI.

acara IKAJA UI

Aku sendiri tidak bisa hadir pada acara itu, tapi senang sekali bisa berhubungan dengan teman-teman, sempai dan kohai FSUI/FIB melalui koneksi Skype. Aku ditanya mengenai keadaan Tokyo sekarang, yang kujawab dengan menceritakan kondisi di Tokyo yang kurasakan langsung.

Sekarang memang boleh dikatakan sudah berangsur pulih meskipun tidak bisa dikatakan 100%.

Untuk transportasi : karena penghematan listrik jumlah kereta dikurangi 20%-30%, dan untuk jalur sepi penumpang diliburkan. Dampaknya semua orang harus memperhitungkan waktu lebih lama untuk pergi bekerja/bepergian. Yang dulunya bisa sampai dalam 1 jam, sekarang butuh 1,5 jam atau 2 jam.

Fasilitas stasiun yang memakai listrik juga dikurangi. Eskalator dimatikan, pintu karcis otomatis dan mesin penjualan karcis dikurangi. Lampu peron, billboard dikurangi sampai separuhnya.

Untuk barang konsumsi:

Mineral water ukuran 2 liter tidak dijual. Memang kabarnya stock yang ada dikirim ke daerah bencana. Kalaupun ada dijual di drugstore dibatasi hanya boleh membeli 1-2 botol setiap keluarga. Meskipun sekarang cukup banyak dijual air mineral dalam pet botol berukuran 500 ml.

Tissue WC dan tissue kotak. Dijatahi juga dan harganya menjadi mahal.

Bagi penyuka Natto sangat tersiksa, karena produksinya sedikit begitu pagi ditaruh di rak supermarket langsung habis padahal sudah dijatahi juga. Jadi mereka yang bekerja biasanya belanja sore/malam hari sudah pasti tidak bisa dapat natto.

Pasca gempa orang berebut membeli beras, tapi sekarang sudah banyak. Dengan penjatahan tentunya. Ini bisa dimaklumi Karena Fukushima penghasil beras kedua terbanyak.

Sayuran yang berasal dari daerah utara dicurigai terkena radiasi sehingga berlimpah. Sejak dulu memang ada tulisan daerah penghasil komoditi, tapi sekarang tulisannya lebih besar-besar untuk meyakinkan bahwa sayuran dan ikan-ikan bukan dari daerah-daerah yang berpotensi tinggi terkena radiasi. Misalnya sayuran dari Ehime, Hiroshima/Kyushu

Selain barang konsumsi sehari-hari, batere, makanan tahan lama juga dijatahi

Tapi saya melihat bahwa orang-orang Jepang juga tidak terlalu khawatir alias hiburan jalan terus. Restoran restoran penuh bahkan sejak seminggu pasca gempa. Kalau kita tidak bisa mendapatkan beras di toko, gampang saja sebetulnya karena gyudon sukiya atau resto2 lain tetap buka seperti biasa. Memang untuk family restoran perlu ada penyesuaian-penyesuaian. Tapi orang Jepang juga tidak diam. Dengan berbelanja justru menjamin perdagangan tetap berlangsung. Bidang pariwisata spt onsen mengalami kerugian yang cukup besar, tapi bidang makanan tetap berputar.

Sekarang mungkin waktunya Jepang untuk mundur selangkah untuk maju dua langkah ke depan. Dan lebih memikirkan tentang modernisasi itu sendiri. (imelda coutrier, FSUI angk 86)

Sambil aku menuliskan ringkasan yang ingin kusampaikan, aku merasa bahwa apapun yang kami alami di Tokyo sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan keadaan para korban, pengungsi di Sendai dan sekitarnya.

IKAJA UI dalam acara Gambare Nippon. Ingin rasanya aku berada di sana bersama mereka 🙁

Perlu waktu yang cukup lama untuk bisa bangkit kembali. Pada surat kabar Asahi Shimbun aku membaca judul “Pulau Miyakejima butuh waktu 4 tahun untuk pulih”… itu sebuah pulau yang terkena debu vulkanik. Bagaimana daerah Tohoku yang seluas itu? saat ini saja 150.000 orang dalam pengungsian, bagaimana memindahkan orang sebanyak ini?

Tapi tetap semangat! Banyak yang bisa dipelajari dari daerah-daerah yang pernah mengalami bencana gempa seperti Kobe dan Niigata. Hubungan sister city antar pemda juga mulai digalang, berita yang menyenangkan juga adanya jaringan “homestay” yang semakin meluas. Tempat perkemahan juga menerima kedatangan pengungsi-pengungsi. Seluruh Jepang tergerak… dan bergerak. Tidak, tidak hanya seluruh Jepang, mungkin seluruh dunia.

Aku ingin menutup tulisan kali ini dengan cerita sharing dari temanku, Ochiai san, si empunya Soka Radio, Jember.

Memang benar… Kadangkala orang dewasa perlu belajar dari anak kecil!

Ini kejadian nyata tadi sore, saat aku sedang antri dikasir convinience store dekat rumah untuk beli “coklat Kitkat rasa matcha”…
kebetulan ada seorang anak laki2 yang mungkin baru masuk SD sedang membawa coklat yang sama antri didepanku!

“Ternyata Kitkat rasa teh hijau ini banyak fans nya….” nyengirlah aku sendiri…

Saat giliran si anak kecil ini maju kedepan… tiba-tiba dia diam sejenak…
Memandangi genggaman tangan yg berisi koin 500 Yen (= 50 ribu Rp) dan memandangi lagi coklat Kitkat yang dipegang oleh tangan satunya….

Seolah-olah dia lagi membandingkan antara uang dengan sebungkus coklat?

Tiba-tiba anak itu memasukan koin 500 Yen itu kedalam Kotak dompet sumbangan Korban bencana Gempa & Tsunami dan berlari mengembalikan coklat Kitkat ditempat asalnya…

semua orang menjadi tertegun dan terharu menyaksikan kejadian ini….

Dan aku terperanjat…baru sadar saat terdengar suara gemetar dari pelayan “…Arigato Gozaimashita (terima kasih)!….” dan terus membungkuk hingga sang anak tidak terlihat lagi…

Kau hebat nak…! (Kota Yokohama, prefektur Kanagawa, 08 Apr 2011)

(kisah nyata dari ochiai.toshihide)