Sambil bakupolo (untung tidak bakutoki) ke dua orang yang sudah lama tidak berjumpa itu berkata, “Aduuuh senangnya torang bisa bakudapa di sini” .
(bakupolo = berpelukan ; bakutoki = saling pukul ; torang = kami/kita ; bakudapa= bertemu) Masih banyak sih kata baku yang biasa dipakai di daerah Sulut dan Ambon sana. Termasuk kata bakuc*ki yang serem artinya itu 😀
Pernah dengar percakapan seperti itu? Aku sering karena memang dalam keluargaku banyak yang berasal dari Minahasa/ Manado dan sekitarnya. Sampai-sampai aku mengira kata “baku” itu adalah bahasa Minahasa. Padahal kalau diperiksa di KBBI, baku adalah : adv saling dan sebagai contoh yang sering kita dengar seperti:
baku hantam
baku kebat (baru tahu artinya saling menukar)
baku peluk
baku piara (waduh ada rupanya pemakaian ini yang merujuk pasangan tidak menikah)
baku pukul
baku rebut
baku tembak
baku tuduh
Dan tentu tidak lazim dipakai kata baku mimpi. Kecuali sepasang kekasih mungkin saling memimpikan ya?
Baku 獏 adalah bahasa Jepangnya untuk binatang tapir. Tahu tapir kan? Nah kalau belum tahu soal tapir silakan baca di postingannya Alamendah yang ini.
Jadi, orang Jepang mengenal baku itu sebagai seekor binatang khayalan, tidak ada di kenyataan. Konon menurut mitologi Cina baku atau si tapir itu memakan mimpi kita. Sampai-sampai dulu Riku waktu bayi dibelikan neneknya sebauh bantal berbentuk baku atau tapir ini. Mungkin diharapkan baku akan memakan mimpi buruk yang sedang tidur ya. Tapi bantal itu berwarna putih dan belangnya berwarna biru. Sayang aku belum menemukan lagi bantal itu di rumah mertua. Nanti kalau ketemu aku foto deh (semoga belum dibuang).
Baru sesudah belajar biologi baru tahu bahwa ada yang namanya Malayan Tapir. Dan kemudian bisa melihatnya di kebun binatang.
Dari jendela kereta, kulihat rumah beratap merah rumah tempat tinggalku waktu kecil Biji buah kesemek yang kutanam, sudah besarkah sekarang? Coretan krayonku apakah masih ada di dindingnya? Sekarang, siapakah yang tinggal di rumah itu?
Meskipun aku sudah berdiri setinggi-tingginya suatu hari rumah beratap merah itu tak terlihat Tertutup bangunan tinggi di sekitarnya Suatu saat memang akupun menjadi dewasa Jalan kecil penuh dengan rerumputan yang kurahasiakan itu apakah masih ada?
Biji buah kesemek yang kutanam, sudah besarkah sekarang? Coretan krayonku apakah masih ada di dindingnya? Kamu selalu ada di hatiku….
Sore tadi Riku pulang ke rumah dari sekolah dengan berdendang. Kebetulan papa Gen ada di rumah karena kurang enak badan. Kai juga demam sejak Minggu, dan aku sendiri sudah mulai merasa kurang enak badan. Sepertinya aku tertular Kai.
“Papa tahu lagu ini?”, dan papanya ternyata tidak tahu.
Dan dia menyanyikan lagu “Akai Yane no Ie 赤い屋根の家” “Rumah beratap merah”.
Aku langsung mencarinya di uak Google yang baik hati dengan gudang informasinya. Dan menemukan lagunya di Youtube (silakan klik jika mau mendengarnya). Ah, lagu ini memang enak didengar sekaligus membuat mellow. Dan aku ikut berdendang bersama Riku.
Lagu yang juga bagus liriknya.
Aku memang jarang berpindah rumah. Aku memang tidak lahir di rumah yang terpajang fotonya di atas. Tapi di sebuah rumah yang berjarak 300 meter dari situ. Kami pindah ke rumah yang sekarang waktu aku berusia sekitar 7-8 tahun. Rumah tua bangunan Belanda dengan halaman luas. Setiap rumah yang ada di kompleks itu mempunyai nama, tapi sayang rumahku itu sudah dicopot namanya. Mungkin dulu rumah-rumah ini merupakan bungalow? Aku tak tahu. Yang aku ingat rumah itu begitu besar bagi kami yang masih kecil, dengan halaman gelap tertutup pohon bambu dan kamboja di halaman depan, dan pohon pisang, mangga, nangka di halaman belakang. Angker sekali kelihatannya.
Dan rumah itu beratap merah! Genting merah bata. Sehingga waktu aku mendengar lagu ini, aku merasa kangen pada rumahku di Jakarta.
Dan, aku ingin berbagi lagu ini untuk Vania yang akan berulang tahun tanggal 22 Mei nanti. Memang masih lama bagi Vania untuk bisa mengerti arti sebuah rumah, tapi rumah itu adalah saksi bisu perjalanan hidup seorang manusia. Ia melihat kegiatan kita sejak bangun sampai tertidur, dan perkembangan hidup kita. Rumah kenangan.
Saya tidak mendaftarkan posting ini dalam acara Vania’s May Giveaways yang diadakan Lyliana Thia di blog berdomain barunya The Green Pensieve karena saya tinggal di luar Indonesia. Tapi bagi yang mau ikutan, silakan bertandang ke sana. Banyak sekali info yang bisa didapatkan di sana, terutama yang mau belajar berkebun hidroponik. Adem banget rumahnya loh.
Hampir dalam waktu yang bersamaan aku memulai 5 kelas Bahasa Indonesia, 3 Kelas Dasar dan 2 kelas Menengah. Dan di kelas Dasar seperti biasanya aku awali dengan pengucapan alfabet bahasa Indonesia, salam dan perkenalan.
Kenalkan,
Nama saya Imelda Coutrier Miyashita.
Saya tinggal di Nerima.
Saya datang dari Jakarta.
Saya guru bahasa Indonesia.
Dan biasanya tanpa menjelaskan dan memberikan artinya terlebih dahulu, aku meminta murid-murid memperkenalkan diri sendiri memakai pola yang sama, serta menghafalkannya. Tapi sebelumnya aku meminta mereka menuliskannya dalam lembar kertas ujian, sebagai ganti daftar hadir. Maklum registrasi mahasiswa masih belum selesai sehingga kami para dosen belum menerima daftar absensi.
Kalau kelas di Universitas S sudah pasti mahasiswa tingkat satu, sehingga tidak ada yang istimewa. Kecuali bahwa setiap tahun aku menemukan mahasiswa yang berasal dari Tochigi dan pulang-pergi ke kampus dari Tochigi. Bisa dibayangkan jauhnya (one way 2,5 jam) dan aku biasanya mengajak mahasiswa yang lain untuk rajin seperti dia. Kelas yang cukup besar karena tahun ini ada kurang-lebih 40 mahasiswa yang mengambil pelajaran bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib bahasa asing ke dua.
Yang menarik adalah kelas Dasar di kelas Universitas W karena pesertanya beragam, dari berbagai tingkat dan fakultas. Ada mahasiswa Pasca Sarjana S2 dan S3 juga! Tahun ini juga aneh menurutku, karena cukup banyak yang mengambil kelas bahasa Indonesia. Ada sekitar 25 mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pilihan. Tapi mungkin juga tidak aneh, karena memang dulunya aku hanya mengajar semester genap, bukan dari semester ganjil. Karena dosen yang biasa mengajar di semester ganjil sudah pensiun, maka aku yang menggantikannya. Dan pada waktu kelas awal minggu lalu itu, aku terkejut mendapatkan 2 orang Singapura dan 1 orang Korea di kelasku. Memang Universitas ini mempunyai fakultas internasional yang banyak diikuti mahasiswa asing. Sambil berkelakar aku mengatakan pada mahasiswa Singapura itu bahwa seharusnya mereka ambil kelas Menengah, bukan kelas Dasar. Dan lucunya mereka memakai bahasa Inggris kepadaku 😀 (padahal dalam kuliah bahasa pengantar adalah bahasa Jepang)
Selain di dua universitas ini, aku juga mempunyai satu kelas Dasar lagi di malam hari. Sebuah kursus yang diadakan oleh Kedutaan Besar RI yang bekerjasama dengan Japan Indonesia Association (Japinda) bernama KOI (Kursus Orientasi Bahasa Indonesia). Kursus ini diikuti oleh masyarakat Jepang umum, sehingga beragam profesi dan tujuan mereka untuk belajar. Ada yang akan bekerja di Indonesia, ada juga mahasiswa, ada ibu rumah tangga, ada karyawan/karyawati, dan ada yang berterus terang punya pacar di Bali 😀 Unik memang.
Tapi ada satu kejadian yang membuatku termenung hari Jumat kemarin, waktu aku mengajar di Universitas S. Kuliah hari itu adalah kuliah yang ketiga kalinya. Di awal kuliah seorang mahasiswi datang padaku dan mengatakan bahwa dia sudah mendaftar ke Biro Akademik, dan boleh mengikuti kuliahku. Aku ingat mahasiswi ini memang datang sejak kuliah pertama, tapi aku menyuruh dia untuk menyelesaikan urusan administrasi meskipun tanpa mendaftarpun dia boleh mengikuti kuliahku. Tapi aku tidak mau disalahkan jika nanti namanya tidak tercantum, atau kelak ada masalah waktu penilaian dsb. Mahasiswi yang manis, sayang dia kelihatan selalu gemetar, alias tidak percaya diri.
Jadi setelah berbicara padaku, dia duduk dan mengikuti test kecil yang kuadakan setiap kuliah. Waktu aku mengumpulkan kertas test dari mahasiswa-mahasiswa itulah aku melihat dia menyodorkan juga kertas kecil berisi kalimat perkenalan dia. Rupanya waktu kuliah pertama dia tidak mengumpulkan karena dia belum mendaftar. Dan waktu membaca perkenalannya itu aku kaget 🙁
Dia berasal dari Kesenuma, daerah yang parah terkena musibah tsunami tanggal 11 Maret yang lalu. Ah, aku langsung menjadi sedih dan ingin menanyakan kabar keluarganya tapi aku tahan sampai kuliah selesai. Begitu selesai aku menghampiri dia dan bertanya bagaimana dengan rumahnya dan keluarganya. Dia bercerita bahwa rumahnya hancur sebagian tapi masih bisa ditinggali. Keluarganya tidak tinggal di pengungsian tapi di rumah mereka yang rusak bersama dengan keluarga kakek, nenek dan saudara lain yang rumahnya hanyut karena tsunami. Rumahnya menjadi “pangkalan” keluarga besarnya. Dia tinggal sendiri kost di dekat kampus. Aku tidak bisa menemukan kata penghiburan yang lain kecuali minta dia untuk bercerita jika ada masalah dalam pelajaran dan semoga dikuatkan. Dalam hati aku berpikir, suatu waktu kalau dia mau aku ingin mengajak dia makan bento (bekal makanan) bersama sebelum kuliah dimulai.
Luka itu masih ada dan pasti akan selalu ada. Tapi semoga dia bisa menghadapi masa depannya dengan tabah dan bersemangat.
Tahu kan pita kuning? Itu loh yang biasa dipasang di TKP, Tempat Kejadian Perkara kriminal atau kecelakaan yang sedang diusut. Dan ternyata pita kuning ini ada di universitas tempat aku mengajar. Pertama aku melihatnya agak kaget juga, tapi kemudian senyum-senyum deh.
Ya, pita kuning yang bertuliskan “Dilarang masuk” bukan oleh polisi memang, tapi pada intinya melarang orang memasuki arela itu. Dilarang memakai eskalator di gedung Fakultas itu.
Dulu waktu aku pertama kali lewat gedung ini, sempat terkagum-kagum karena gedung baru itu bertingkat 8 dan dilengkapi dengan eskalator. Soalnya aku pernah bekerja di universitas lain yang bangunannya kuno berlantai 7 tanpa eskalator, jadi aku merasa “wah!”. Selain lift 2 unit, gedung ini dilengkapi eskalator. Tapi… sekarang dipasang pita kuning itu.
Apa pasal? Bukan karena ada kecelakaan atau ada perkara di situ. Tapi ini adalah bentuk sumbangan penghematan listrik dari universitas. Tanpa ada usaha penghematan, distribusi listrik di Jepang, terutama di Tokyo akan kritis, jadi semua warga diimbau (yang benar diimbau loh, bukan dihimbau) untuk menghemat listrik. Jadi deh kami harus naik tangga di semua gedung universitas. Kecuali kalau mau antri untuk naik lift yang hanya dua. Lift itu memang masih dinyalakan untuk yang memang tidak bisa menggunakan tangga (membawa barang, penderita cacat tubuh dll).
Terasa sekali loh pengaruh tidak adanya salah satu sarana yang sudah biasa dipakai. Semuanya jadi lebih lambat. Setiap jumat aku harus ke Ruang Dosen di lantai 8, lalu ke kelas di lantai 5, dari situ ke lantai 8 untuk istirahat, lalu pindah ke gedung lain di lantai 3 :D. Kalau hari Kamis, harus ke Ruang Dosen di lantai 3, lalu pindah gedung di lantai 1 (asyik), lalu berikutnya mengajar di lantai 4. Terasa naik ke lantai 4 di bangunan tua yang tangganya dari batu yang sudah tidak rata itu cukup melelahkan. Dan kemarin aku sempat menyadari bahwa pintu keluar dari gedung di lantai 1 itu sempit sehingga sulit menampung mahasiswa yang akan masuk dan keluar. Sempat terpikir, wah kalau ada gempa dan jika panik pasti akan terjadi kecelakaan di pintu itu.
Ah manusia. Kalau ada satu saja yang berubah, dan tidak bisa dipakai, sudah menjadi malas dan sebal. Padahal dulunya sarana itu juga tidak ada kan? Aku juga dulu tinggal di apartemen lantai 4 tanpa lift, dan naik turun tangga biasa aja tuh hehehe.
Tapi yang pasti aku akan berpikir keras bagaimana melewati musim panas yang sebentar lagi datang tanpa AC ya? Soalnya hari ini yang max 28 derajat sudah terasa panas, bagaimana kalau sampai 40 derajat ya?
Tapi aku memang salut pada organisasi/ kantor/ restoran maupun perumahan yang berusaha sedapat mungkin mengadakan penghematan listrik. Meskipun kadang aku masih merasa mereka bisa lebih banyak lagi melalukan penghematan. Misalnya dengan mematikan “jet dryer- mesin pengering tangan” atau “washlet/ bidet”.
Well…. semoga dengan naik turun tangga ini aku bisa turun deh timbangannya 😀
Bukan, ini bukan judul lagu dari Iwan Fals yang “seru” itu. Tapi Bento bahasa Jepang yang berarti bekal makanan. Sudah menjadi pengetahuan umum di sini bahwa kalau mau mengirit ongkos makan, lebih baik bawa bento. Karenanya waktu Riku masih TK dan aku katakan pada salah satu orang tua temannya bahwa aku tidak menyediakan bento, tapi kyushoku (makan siang disediakan sekolah dengan membayar), si ibu itu langsung mengatakan “ricchi” (Rich = kaya). Waktu itu aku memang masih “ibu RT “gadungan alias belum pengalaman. Masih banyak bekerja di luar sehingga tidak ada waktu untuk menyediakan bento. Sekarang? sudah expert dong 😀 Dan bisa mengerti mengapa si ibu itu mengatakan aku rich. 😀
Kalau aku tulis di Makan Bersama, di SD memang kebanyakan menyediakan kyushoku atau makan siang yang disiapkan oleh pihak sekolah. Jadi untuk Riku aku tidak perlu memikirkan makan siangnya. Tapi di TK, biasanya tidak disediakan kyushoku. Biasanya anak-anak TK membawabento, bekal makanan sendiri. Dan sebetulnya aku rasa itu jalan terbaik, karena anak-anak ini masih sedikit makannya. Dulu sering aku mendapatkan laporan dari gurunya Riku (waktu TK) bahwa Riku tidak bisa menghabiskan kyushoku yang disediakan sekolah.
Nah, sekarang aku menyiapkan bento setiap hari untuk Kai. Sebetulnya Kai juga tidak pemilih macam makanan, tapi dia memang sedikit makannya. Jadi biasanya aku kasih liat jumlah makanan yang aku sediakan dalam bekalnya, dan dia akan bilang OK atau kebanyakan. (Gaya yah hihihi)
Soal isi makanannya, aku tak perlu jelaskan ya. Terus terang aku tidak bisa membuat bento yang “cantik”. Asal ada nasi, daging dan sayur cukup deh. Seadanya saja. Bahkan kalau perlu sisa dari malam harinya. Tapi tentu yang mudah dibawa.
Yang aku selalu ingin tahu adalah bagaimana anak-anak usia 3 tahun ini makan bentonya di TK. Mungkin merupakan hal yang mustahil untuk anak-anak Jakarta umur 3 tahun yang masih disuap baby sitter. Aku selalu ingin intip waktu mereka makan.
Beruntungnya aku karena Kai (juga Riku) terbiasa makan bersama di Penitipan (semacam Play group) sebelum masuk TK, dan aku pernah mengintip anak-anak ini makan di penitipan. Ada lagu pembukanya!
Dan aku membaca surat edaran dari pihak TK mengenai perkembangan pendidikan di TK itu. Surat edaran ini diterbitkan setiap bulan (bulan ini bulan pertama) berisi apa saja perkembangan selama 1 bulan ini, mengenai kegiatan yang sudah dilakukan, mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dsb. Dan dalam surat bulan ini tertulis bagaimana anak-anak TK ini makan siang.
Urutannya sebagai berikut:
1.Pergi ke WC untuk buang air.
2. Mencuci tangan dengan sabun (tersedia tempat cuci tangan di luar kelas masing-masing dengan 3-4 keran)
3. Membawa tas dari loker kemudian duduk di kursi masing-masing
4. Mengeluarkan kantung bento dari tas
5. Mengeluarkan alas makan, kotak makanan, sumpit atau sendok garpu, dan cangkir (Kemudian mengisi cangkir dengan susu – khusus susu dapat gratis dari sekolah)
6. Menyanyikan lagu obento. Mau tahu liriknya?
Dalam kotak bekal sebesar ini
masukkan onigiri onigiri
irisan jahe, taburkan garam-wijen
wortel, cherry, jamur shiitake, (akar) Gobo
Renkon yang berlubang
Fuki yang terlihat bergaris-garis
Yang mau mendengar bagaimana lagunya silakan buka link ini, dan klik tanda play ya. (Dan terus terang mana ada ibu-ibu jaman sekarang yang membawakan anaknya bento seperti yang dinyanyikan 😀 Misalnya cherry, hanya ada menjelang musim panas. Dan waktu aku cari lagu “bento” ini ternyata ada juga lagu “sandwich” hihihi. Jepang modern!)
7. ITADAKIMASU. (Salam yang dilakukan sebelum makan, arti harafiahnya “Saya terima/ saya makan” bukan selamat makan)
Dan sebagai laporan dari TK tentu saja untuk kelas Nencho (kelas atas/ yang berisi anak usia 5 th) sudah pandai bisa semua sendiri. Tapi untuk kelas Nensho (kelas bawah/ yang berisi anak usia 3 th) masih banyak yang belum bisa. Urutan 3-4-5 (yang di atas) berantakan. Lalu anak yang mau cepat-cepat makan begitu buka kotak makanannya lalu menjatuhkannya sehingga isinya berantakan. (dan nangis :D) Karenanya kami orang tua diminta untuk menambahkan ikat karet yang besar.
Tentu saja selama makan juga ada yang menumpahkan isinya, nangis tiba-tiba, minta ke WC, atau mengambil makanan temannya 😀 atau mengadu makanannya diambil 😀 dan lain-lain. Tapi dengan latihan lama-kelamaan mereka (gurunya juga) akan bisa makan dengan tertib dan tenang. Demikian menurut laporan TKnya Kai 😀
Duuuh kebayang ngga sih, jadi guru TK. Acara makan yang cuma 30 menit aja mungkin begitu melelahkan ya. Aku sama sekali tidak ingin menjadi guru TK 😀 Tidak berbakat dan tidak sabar 😀
Apa bekal makan siangmu hari ini? Hari ini aku dan Kai membawa bekal yang sama yaitu bakmi goreng ala Jepang (aku sih pengennya bakmi goreng ala Indonesia lebih gurih hehehe) ! Permintaan Kai kemarin. Aku makan di dalam kelas karena hari ini aku harus mengajar. Dan posting ini aku jadwalkan untuk terbit siang hari. Maksi yuuuk…. ITADAKIMASU!
Aku ingin menulis pendek saja, yaitu mengenai ondoku 音読. Bagi yang mempunyai anak SD yang bersekolah di SD Jepang pasti mengetahui ondoku ini. On adalah suara, doku adalah membaca. Membaca sambil bersuara, bukan dalam hati. Ini adalah satu usaha dalam pelajaran bahasa Jepang kokugo 国語, untuk membuat anak-anak sejak kelas 1 SD mengenal huruf, lancar membaca dan menulis.
Awalnya semua dalam hiragana, lalu perlahan diajarkan kanji dan katakana. Ceritanya juga cukup menarik, disesuaikan dengan musimnya. Jika musim semi maka bercerita tentang wakaba daun muda, bunga-bunga sedangkan waktu musim panas bercerita tentang tanpopo, sejenis bunga yang menyebar serbuknya di musim panas.
Setiap anak mempunyai satu helai kartu Ondoku, yang berisi hari itu membaca judul apa, bagaimana kecepatannya dan ketegasan, serta perasaan waktu membaca itu. Siapa yang menilai? Nah itu dia, yang menilai adalah orang tuanya, dalam hal ini tentu ibunya.
Wah, aku paling tidak suka mengejar-ngejar anak (murid) untuk membuat PR. Karena dulu waktu aku kecil, bahkan sejak SD, aku tidak pernah disuruh membuat PR. Sepulang sekolah (SD) aku langsung membuat PR tanpa disuruh, dan pasti pukul 8 malam sudah tidur. Untuk keesokan harinya bangun pukul 5 pagi. Jadi menurutku PR adalah suatu rutinitas yang wajar dilaksanakan, dan aku berharap anak-anakku juga begitu…..
Untunglah Riku tidak sulit untuk membuat PR, tapi untuk Ondoku ini dia agak malas. Karena biasanya jika disuruh ondoku (dan itu hampir setiap hari) sewajarnya mencoba membaca berkali-kali. Tapi itu juga berarti mamanya juga harus mendengarkan berkali-kali…. hmmm…. payah ya 😀 Biasanya Riku hanya membaca satu kali saja. (Terus terang awal-awal kelas 1 aku tidak perhatikan apa yang dia baca. Dan kadang aku berpikir, untung sekali aku bisa bahasa Jepang ya 😀 )
Dan aku harus bisa menentukan akan menilai bagaimana, segitiga = kurang, bulat= bagus dan kembang = bagus sekali. Penilaian yang sulit :D. Tapi jika Riku bisa membaca dengan bagus, otomatis dia juga bisa menghafal isinya. Dan itu menguntungkan dia, jika ada “ulangan” dia bisa mendapat nilai bagus. (Lucunya di sini tidak diberitahu kapan ada ulangan, kecuali di akhir-akhir semester…. jadi diharapkan belajar harian deh)
Dan karena PR Ondoku ini hampir ada setiap hari, berarti mamanya juga harus menilainya setiap hari. Anak dan ibu sama-sama mengerjakan PR. Ondoku hari ini? Tentu sudah dong.
Pembaca TE sudah menyelesaikan PR hari ini belum? (aduuh aku ada PR dengan deadline s/d tgl 15 Mei nih…. hihihi)
Dalam acara televisi “Syakkin” ada sebuah lagu yang kerap dinyanyikan berjudul “Okagesama Ondo おかげさま音頭”. Ondo sendiri adalah jenis musik yang dipakai untuk mengiringi tarian di festival-festival (Matsuri), yang pasti riang tentunya. Karena itu cocok sekali dinyanyikan pada acara anak-anak di pagi hari seperti “Shakkin” sekaligus sebagai pengingat bahwa kita bisa hidup seperti sekarang ini karena ada pendahulu kita.
Waktu kamu berteduh di bawah pohon
Bisa tidak basah begini
pasti berkat seseorang yg tidak kamu ketahui
yang memelihara biji menjadi pohon
Bahagia hari ini
semuanya berkat seseorang
Enaknya makan ikan buntal (beracun)
Kita bisa makan enak begini
Berkat orang jaman dulu yang mau mencari tantangan
Bahagia hari ini
semuanya berkat seseorang
Pesta mengelilingi ulang tahun
Kita bisa merayakan begini
berkat ibu (dan ayah)
juga berkat nenek
nenek buyut (juga kakek)
nenek nenek buyut… nenek moyang kita
Bahagia kita hari ini
berkat nenek moyang kita
Dan memang aku jarang mendengar orang Jepang berkata, “Berkat Tuhan” seperti “Kamisama no okage“, tapi lebih banyak mendengar “Gosenzosama no okage” berkat nenek moyang. Rasa keterikatan dengan pendahulu ini begitu erat, sampai kalau bisa waktu mati pun ingin bersama, di dalam makam yang sama. Karenanya ada makam keluarga, tempat semua abu keturunan menjadi satu di dalamnya. (Makam terlihat seperti batu, tapi sebetulnya di bagian bawah, tempat biasanya jenazah dikubur, ada tempat semacam lagi untuk menaruh kendi-kendi berisi abu jenazah. Jadi berapa banyak juga bisa masuk). Filosofi makam seperti ini mungkin sulit dimengerti oleh orang yang beragama Islam, dan sebagian Kristen/Katolik.
Nah, sisa liburan Golden Week tanggal 4 dan 5 Mei kemarin, bagi keluarga Miyashita memang bertemakan “Berkat pendahulu”. Sudah sejak hari Selasa malamnya Riku dan Kai berkata ingin bertemu A-chan dan Ta-chan (Ibu dan Bapaknya Gen, memang sudah sejak cucunya lahir mereka tidak mau dipanggil nenek-kakek, tapi dengan nama saja. Katanya supaya tidak merasa tua :D). Rabu paginya, aku membuka FB dan melihat Taku, adik Gen sedang bermain di FB, jadi aku suruh Gen untuk telepon ke rumahnya di Sendai. Aku tahu sudah lama mereka tidak bicara karena masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.
Di telepon Taku menanyakan soal security FB, dan aku jelaskan bahwa kita bisa memblock orang-orang yang tidak mau kita beritahu status/fotonya, pokoknya semua bisa disetting semau kita. Bahkan jika kita mau hanya kita sendiri saja yang melihat juga bisa disetting begitu. Lalu Taku berkata, “Wah kamu jelaskan begitu aku juga tidak ngerti. Enaknya kalau ada di sebelahnya yah”. Aku salah sangka, kupikir tidak ada komputer di sebelahnya, sehingga tidak mengerti apa yang aku jelaskan. Ternyata, maksudnya paling enak jika bertemu langsung, dan mendengar langsung. Dia ingin pergi ke Yokohama juga, mudik mendadak! Wah tentu saja kami senang, karena sejak Gempa Tohoku itu kami belum bertemu lagi. Jadilah kami janjian untuk bertemu di rumah mertua di Yokohama. (Istri dan anaknya masih mengungsi ke selatan Jepang, jadi tidak bisa bergabung dengan kami)
Setelah berbelanja keperluan untuk barbeque, dan tentu saja sake, kami menuju Yokohama. Saat itu Riku dan Kai belum tahu bahwa mereka juga akan bertemu om nya. Gen membohongi Riku bahwa dia harus menemani papanya menjemput orang kantor di stasiun. Dan dia kaget bahwa “orang kantor” itu adalah omnya. Sepanjang perjalanan pulang, Riku ribut bercerita pada omnya. Memang Riku amat sayang pada omnya ini. Sedangkan Kai yang menyambut di rumah sempat bengong….. Karena semua berkelakar memanggil si om dengan “papa”, ingin mengecoh Kai apakah bisa membedakan papanya dengan sang saudara kembarnya :D. Untung Kai sudah cukup besar untuk tidak menangis dan cukup “bengong” saja.(Dan sayang sekali tidak ada yang ingat untuk mengambil foto muka bengong Kai hihihi)
Jadilah malam itu aku kesepian, tidur sendiri. Karena kedua anakku memaksa ingin tidur bersama omnya di kamar atas. Sedangkan aku di kamar makan, dan Gen di kamar tatami. Aku sempat terbangun malam hari dan merasa sepi…. begini rupanya rasanya kalau anak-anak sudah terpisah dan mandiri …hiks hihihi hiks (entah mau tertawa atau menangis :D)
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi, kami pergi nyekar ke makam keluarga. Waktu Higan (equinox day) tanggal 22 Maret, kami seharusnya nyekar, tapi karena masih ramai-ramai soal gempa dan radiasi nuklir, terlupakan. Bersama Taku, kami sekeluarga nyekar ke makam dan berdoa mengucapkan terima kasih atas penjagaan selama ini. Kami ada karena mereka ada, dan mereka mendoakan kami.
Dari makam, kami mampir ke Yokomizo Yashiki, rumah tradisional yang dulu pernah aku tulis juga di sini. Ternyata relawan membuat festival kecil untuk merayakan hari anak-anak. Dijual sup rebung dari hutan bambu yang ada di bagian samping rumah. Selain itu dari bambu yang ada juga dibuka “pameran” cara pembuatan takekopter… alias baling-baling bambu. (Jadi ingat doraemon deh). Relawan yang memang ahli membuat baling-baling bambu itu membuatkan untuk anak-anak yang mau seharga 100 yen. Di bawah teduhnya pohon-pohon di sekeliling rumah, sambil melihat bendera koinobori tergantung, anak-anak bermain enggrang dan permainan bambu lainnya, kami merayakan festival anak-anak di sini.
Bersyukur atas hari cerah yang diberikan Tuhan,
Bersyukur atas pendahulu yang menjaga kelestarian alam sekitar kita
Bersyukur masih ada orang-orang yang mau menjaga tradisi turun temurun
Bersyukur bisa bertemu dengan saudara-saudara dalam keadaan sehat
Dan semoga masih banyak “Hari Anak-anak” yang bisa kita lewati bersama, sampai si anak-anak menjadi dewasa kelak…. cycle of life
Jangan terlalu dipikirkan judul di atas! Karena itu memang buatanku saja. Terjemahan langsung dari bahasa Inggris “butterfly”. Aku sebenarnya ingin tahu mengapa orang Inggris menamakan binatang cantik yang bisa terbang itu sebagai butterfly. Apa hubungannya dengan butter? Mustinya ada dong…karena kalau kata passport kan berarti pass untuk melewati port, pelabuhan. Well, biarkan saja pada ahli bahasa Inggris untuk mencari penjelasannya ya…..
Memang kali ini aku ingin bercerita tentang Kupu-kupu di keluarga deMiyashita. Gen suamiku ini meskipun bukan ahli biologi, amat suka pada serangga (insect – bahasa Jepangnya konchuu 昆虫) . Saking sukanya aku pernah berpikir mungkin semua anak laki-laki Jepang suka serangga ya? Apalagi aku tahu banyak anak laki-laki yang suka dengan kumbang kelapa sampai-sampai ada karakter Mushi King dalam permainan mereka. Tapi sebetulnya tidak juga, kata Gen, dia gemar serangga karena kebetulan saudaranya atau orang sekelilingnya banyak yang suka serangga.
Nah, kebetulan pada tanggal 3 Mei lalu (masih dalam acara libur panjang Golden Week) diselenggarakan sebuah kelas di alam terbuka, yang namanya “Pelajaran Menangkap Kupu-kupu Pemula” yang diadakan oleh sebuah organisasi bernama “Perkumpulan Henri-Faber Jepang” NPO日本アンリ・ファーブル会(奥本大三郎会長). Biayanya 1000 yen satu keluarga. (Aku juga heran sih kok Gen tahu saja ada kelas seperti ini hehehe) Gen tanya padaku apakah boleh dia pesan tempat dan mengajak Riku berdua saja untuk mengikuti kelas itu? Karena persyaratannya anak usia SD ke atas, jadi Kai tidak bisa ikut dan berarti aku dan Kai harus tinggal di rumah. Hmmm bagiku sih no problem, silakan pergi. Meksipun dalam hati aku berpikir, suatu waktu aku pasti juga akan terlibat kegiatan begini-begini. Kalau kupu-kupu sih OK saja, tapi kalau mau menangkap kumbang kelapa aku ogah deh hihihi (tapi aku kan bisa menjadi fotografer saja 😉 )
Jadi begitulah, tanggal 3 Mei pagi hari aku bangun pagi dan mempersiapkan bento (bekal makanan) untuk kedua lelakiku. Mereka harus berkumpul di stasiun Hikarigaoka pukul 10 pagi. Jadi aku akan menceritakan kegiatan mereka berdua dengan foto-foto ya.
Setelah berkumpul di stasiun, bersama rombongan, gurunya 7 orang dan 6 keluarga peserta, mereka berjalan menuju Taman Hikarigaoka. Sambil berjalan, jika guru menemukan sesuatu, dia akan bercerita mengenai kepompong atau serangga yang ditemukan.
Misalnya mereka menemukan ulat Akaboshigomadara (Hestina assimilis) yang sebetulnya bukan habitat asli Jepang (berasal dari Taiwan).
Atau Nanafushi (Phasmatodea – Belalang Ranting) yang bersembunyi di daun. (keren ya bisa ketemu ini)
Oleh gurunya di sana juga diajarkan jenis jaring yang dipakai, bagaimana cara menangkapnya, cara penggunaan dan penyimpanannya. Katanya Gen jadi ingin membeli macam-macam peralatan itu (oh noooo, itu akan disimpan di mana euy hihihi).
Karena cuaca mendung waktu itu tidak banyak kupu-kupu yang terbang. Riku hanya berhasil menangkap Yamato shijimi (Pseudozizeeria maha), dan dilepas. (Gambar diambil dari wikipedia)
Selain kupu-kupu Yamato shijimi itu, Riku juga menangkap serangga yang bernama Kinkamemushi (Scutelleridae), dan seperti biasanya Riku tanpa ragu bertanya pada gurunya, apa makanannya. Yang hebat gurunya selalu membawa “kamus” serangga dan langsung mencari informasinya di tempat.
Setelah puas bermain sampai jam 1 siang, mereka makan bento yang dibawa dari rumah di taman tersebut. Sesampai di rumah dengan bangganya Riku memamerkan kupu-kupu yang diberikan oleh gurunya untuknya. Kupu-kupu yang ditangkap, jika dimaksudkan untuk dikeringkan dan dikoleksi, biasanya dimasukkan dalam kertas berbentuk segitiga, lalu dimasukkan dalam kaleng segitiga. Yang hebatnya keluarga Miyashita masih menyimpan kaleng segitiga milik bapaknya Gen yang sudah berusia 50 tahun lebih. Dan kami menemukan koleksi kupu-kupunya yang bertanggal 20 Mei 1956! Lebih dari 50 tahun yang lalu…… (Semoga masih bisa bertahan 100 tahun lagi dari sekarang hehehe)
Sebagai environmentalist (cihuy), aku sempat meragukan kegiatan penangkapan kupu-kupu ini. Pikirku, kasihan dan sayang jika kupu-kupu itu ditangkap untuk dikeringkan. Tapi pemikiran ini adalah pemikiran orang Indonesia yang hidup di daerah tropis yang suhu udaranya sama terus sepanjang tahun. Di Jepang kupu-kupu hanya bisa hidup selama musim semi dan musim panas. Dari sekitar bulan April sampai September. Selebihnya…. mati! (dengan atau tanpa meninggalkan telur). Jadi secara gampangnya, kalau toh harus mati, apa salahnya dia menjadi koleksi untuk bahan pelajaran orang-orang yang suka. Dan aku yakin orang Jepang jarang ada yang mau menangkap kupu-kupu yang sudah langka. Kalaupun ditangkap pasti diberikan pada pusat penelitian atau pengembangan hewan, seperti Pusat Kupu-kupu yang pernah kami datangi di Oomurasaki Center and Nature Park.
Dan aku juga merasa bahwa kegiatan seperti inilah yang membuat orang Jepang seperti sekarang ini. Dari kecil mereka dibiasakan untuk mengamati lingkungan dan membuat penelitian sendiri. Mulai kelas 4 SD biasanya mereka harus mengadakan penelitian selama musim panas sebagai tugas sekolah di musim panas dan wajib melaporkannya kepada gurunya. Apa saja boleh. Bebas! Mau biologi, fisika…apa saja. Dan kami sudah mendapat lungsuran mikroskop dari omnya Riku yang peneliti di Unversitas Tsukuba. Siapa tahu Riku mau menggunakannya untuk penelitian musim panas.
Aku jarang melihat atau mendengar ada kegiatan penelitian yang demikian sungguh-sungguh di kalangan anak-anak Indonesia. Atau paling sedikit tidak ada waktu jamanku sekolah dulu. Bahwa kebetulan adikku peneliti mikrobiologi itu juga biasanya timbul waktu sudah di SMA, bukan sejak masih usia SD (ya kan Nov? Masih ragu dulu mau jadi dokter atau peneliti kan?) .
Maksudku anak-anak kurang disuntik keinginan untuk meneliti atau mengembangkan potensi secara alami (belajar dari alam dan mengembangkannya), dan lebih dituntut untuk belajar dari buku saja, dengan target nilai bagus. Mungkin inilah salah satu sebab yang membedakan “output” hasil pendidikan antara Jepang dan Indonesia.
Karena sebenarnya jika kita membaca sejarahJean-Henri Casimir Fabre, yang namanya dipakai sebagai nama perkumpulan organisasi penyelenggara kelas yang Riku dan Gen ikuti itu, kita bisa mengetahui bahwa Fabre itu otodidak. Dia mengadakan penelitian sendiri dari lingkungan sekitar dan bisa menghasilkan 10 seri ensiklopedi “Souvenirs Entomologiques“yang terkenal. Padahal dia tidak pernah belajar di sekolah mengenai serangga!
Rasa ingin tahu dan ingin meneliti memang harus dikembangkan supaya inovasi dan pembaruan bisa terus ditemukan. Intinya… Belajar sampai mati 😉
Hari ini adalah hari terakhir Golden Week, yang juga merupakan Hari Anak-anak. Aku sudah pernah menuliskan tentang peringatan hari Anak-anak ini di Bouya dan di Hari Anak-anak, juga tentang Koinobori. Kali ini aku hanya mau tulis sedikit yaitu tentang Kashiwa Mochi.
Kashiwa mochi ini merupakan mochi yang disuguhkan pada hari Anak-anak. Mochinya sebetulnya biasa saja, ada yang putih, merah muda, hijau (yomogi) dengan isi pasta kacang merah. Tapi istimewanya mochi yang dibungkus dengan daun Kashiwa, yang bentuknya khas, dan biasanya tidak dimakan.
Mengapa harus dibungkus dengan daun Kashiwa (Daimyo Oak)? Sebetulnya ini juga perlambang, karena daun Kashiwa itu terkenal tidak rontok di musim gugur. Biasanya pohon merontokkan daun di musim gugur, kemudian di musim semi daun baru tumbuh. Tapi khusus Kashiwa daun tua akan terus menempel pada batang pohon sampai daun baru tumbuh. Ada waktu daun lama dan baru tumbuh bersama, dan itu diharapkan terjadi juga pada laki-laki. Supaya tidak mati sebelum anaknya cukup besar. Atau sebagai pengertian lain, bisa menyiapkan generasi penerus dulu sebelum lengser. Karena itu di halaman rumah Bushi (kaum samurai) pasti ditanam pohon Kashiwa ini.
Jadi kashiwa mochi sebagai perlambang harapan kepada anak laki-laki agar tetap kuat dan umur panjang.