Pada Hari Minggu

13 Jun

kuturut ayah ke kota…. (emangnya aku tinggal di desa)

naik delman istimewa kududuk di muka (boro-boro delman, di sini bajaj aja ngga ada)

kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja (pak supir aja deh)

mengendarai kuda supaya baik jalannya (supaya jangan ngebut!)

tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuuuukkk (brummm brummm)

***********

Aku mau bercerita tentang hari Minggu yang lalu, Minggu tanggal 5 Juni yang lalu. Kami menghabiskan waktu dengan… belanja.

Tapi belanjanya bukan yang seperti dibayangkan man-teman. Karena bukan belanja harian/bulanan sebangsa makanan, atau baju/sepatu dan lain-lain. Tapi belanja untuk menunjang hobi lama dan baru deMiyashita.

Tujuan kami hari itu adalah Stasiun Nakano, karena hanya di situ ada barang yang kami cari. Jadi kami berempat naik bus, lalu naik kereta dari Kichijoji. Sesampai di Nakano kami langsung ke lantai 2  sebuah mansion (apartemen) yang penampakannya seperti ini:

Toko khusus all about insect yang bernama Mushi-sha. Masuk sini bisa beli kumbang kelapa, jenis kumbang lain yang masih hidup atau sudah mati, peralatan menangkap/membesarkan dsb. Di tempat terpisah ada kupu-kupu dari Indonesia juga. Muahal!

Kalau bukan demi anak (dan suami) aku jelas-jelas TIDAK MAU masuk sini. Hiiii… bergidik aku lihat kumbang-kumbang dalam toples bergerak. grotesque... Ada juga kepompongnya, di dalam tanah yang masih musti tunggu menetasnya. Penampakan dalamnya seperti ini:

Ini penampakan dalamnya, waktu 3boys pergi pertama kali dan aku tidak ikut. Waktu aku ke sana banyak orang loh. Terutama anak laki-laki.

Memang menjelang musim panas, hobi mengumpulkan kumbang dan kupu-kupu memuncak. Aku juga lihat loh anak perempuan datang melihat-lihat. Duh aku rasa anak Indonesia tidak ada yang sampai sesuka ini pada serangga. Bayangkan sampai ada toko khususnya loh.

Poster tentang toko khusus ini. Hebat deh orang Jepang kalau sudah suka pada sesuatu. Mereka benar-benar mendalaminya. Riku saja sudah bisa membedakan beberapa jenis kupu-kupu sekarang.

Sebuah poster di luar toko menunjukkan bahwa banyak kumbang ditemukan di Indonesia terutama Jawa dan Sumatra. Bahkan toko ini juga mengatur paket tour ke pulang Flores khusus untuk menangkap serangga! Kalau orang betawi bilang Edan hehehe.

Frame ini yang kami beli di toko khusus serangga di Nakano.

Sebetulnya kami ke sini hanya mau membeli kotak kaca untuk penyimpanan kupu yang telah dikeringkan. Kira-kira sebesar B5 harganya 1500 yen.(Begitu pulang Riku langsung memasukkan kupu-kupunya yang telah kering. Keren juga euy hasilnya.

Sesudah dari toko khusus serangga ini, kami makan siang dan langsung mencari barang kedua yang kami perlukan. Yaitu album perangko. Ya, tidak setiap toko buku menyediakan buku perangko. Dan berkat perangkat GPS di HPku, aku menemukan beberapa toko buku di sekitar situ. Langsung aku telepon dan mencari toko yang tidak terlalu jauh itu.  Mereka hanya punya  2 buku, padahal kalau ada tiga aku mau beli juga. Tapi ya sudahlah, yang penting ada untuk Riku dan Kai.

Kedua anakku memulai hobi baru. Kita lihat bisa lanjut terus sampai kapan 😀

Sayangnya album yang ada di Jepang kebanyakan berupa clear file dengan kertas hitam berpita transparan, bisa dikeluar masukkan. Aku tidak suka yang ini, aku lebih suka buku lama, benar-benar seperti album. Tapi karena jarang sekali album yang seperti kumau itu, jadi beli saja yang ada. Sebesar B5 (22 x 17 cm) , 8 halaman harganya 1365 yen (menjawab pertanyaan mbak Devi dalam posting Dara-dara). Mahal menurutku. Dan memang sih hobi mengumpulkan perangko ini mahal, seperti yang dikatakan pak Agus Siswoyo di postingan Dara-dara. Karena sebetulnya selain mengumpulkan perangko bekas hasil surat-menyurat, kita bisa membeli perangko bekas “kiloan” atau mengumpulkan perangko baru yang belum dipakai.

Stamp album (Stock Book) di Jepang banyak yang berbentuk begini.

Nah, dulu waktu aku masih single dan kaya (ho ho) aku selalu membeli 1 sheet perangko setiap ada perangko baru terbit. 1 Sheet berarti sekitar 10-20 perangko. Tergantung nominalnya berapa, kalau 50 yen berarti 1 sheet bisa 1000 yen kan. Dan, Pos Jepang selalu menerbitkan perangko baru sedikitnya 2-3 jenis per bulan! Belum lagi masing-masing prefektur juga bisa menerbitkan perangko khusus. Duh, tak ada habisnya jenis perangkonya, tapi yang pasti habis uangnya 😀

Koleksiku. Kiri atas adalah perangko kuno, jaman pendudukan Jepang, bertuliskan JAWA. Kanan atas, perangko Jepang banyak yang bersambung gambarnya spt itu. Kiri/kanan bawah clear file tempat menyimpan perangko lembaran/sheet.

Untuk perangko dalam 1 lembaran itu aku memasukkan ke dalam clear file biasa saja bukan yang khusus untuk perangko, karena lebih murah. Koleksiku yang 1 sheet baru 5 album. Sedangkan yang dimasukkan ke album baru 3 album. Ini yang di Jepang. Yang di Indonesia sih banyak hehehe, sudah ada 12 album dari seluruh dunia! Setiap mudik aku pandangi dan simpan lagi. Untung tidak kena lembab, jadi kondisi masih bagus.

Lihat apa yang kutemukan dalam Koleksi Gen (beruntunglah kami berdua hobinya sama) . Perangkonya Agus Salim, satu-satunya perangko Indonesianya sebelum kami menikah. Tentu saja ada byk koleksi kuno dari Indonesia milik alm kakeknya.

Jadi sepulang dari Nakano, deMiyashita langsung berkutat dengan hobinya. Ada yang masukkan perangko ke album, ada yang memasukkan kupu-kupu ke dalam frame. Kai yang terkecil meskipun baru 3 tahun 10 bulan, juga ikut-ikut mempunyai album perangko. Mana mau dia kalah dengan kakaknya 😀

Tapi sesungguhnya belanjaan kami hari ini bukan hanya frame kupu-kupu dan album perangko. Tapi juga ada satu set Lego Star Wars untuk Riku dan Kai. Riku sedang tergila-gila pada Lego Star Wars, sehingga ingin membeli yang baru terus. Dasar perusahaan juga mau untung, mereka menempatkan master Yoda,Luke skywalker dsb yang ber-light saver itu tercerai berai dalam pake yang beragam. Jadi kalau mau punya pentolan Star Wars yang lengkap harus beli semua. Huh ! Duit lagi….. jadi pilih yang paling murah 😀 (Tapi terus terang aku jauuuuh lebih suka melihat Riku bermain lego daripada bermain game Nintendo 😀

Koleksi Riku, pangkalan Star Wars kreasi sendiri 😀 (Pangkalan yang dari Lego harganya 1,5 juta Rp bo! kagak bisa beli)

Bisa bayangkan kan hobi kami seperti itu butuh space yang banyak sebetulnya. Jadilah rumah “Kandang kelinci” kami tidak pernah beres. Dan karena Minggu lalu sudah banyak belanja, hari Minggu ini kamu tinggal di rumah saja, neres-beres rumah dan melanjutkan membereskan hobi yang tertinggal.

 

 

 

 

GW -7- Mentega Terbang

6 Mei

Jangan terlalu dipikirkan judul di atas! Karena itu memang buatanku saja. Terjemahan langsung dari bahasa Inggris “butterfly”. Aku sebenarnya ingin tahu mengapa orang Inggris menamakan binatang cantik yang bisa terbang itu sebagai butterfly. Apa hubungannya dengan butter? Mustinya ada dong…karena kalau kata passport kan berarti pass untuk melewati port, pelabuhan. Well, biarkan saja pada ahli bahasa Inggris untuk mencari penjelasannya ya…..

Memang kali ini aku ingin bercerita tentang Kupu-kupu di keluarga deMiyashita. Gen suamiku ini meskipun bukan ahli biologi, amat suka pada serangga (insect – bahasa Jepangnya konchuu 昆虫) . Saking sukanya aku pernah berpikir mungkin semua anak laki-laki Jepang suka serangga ya? Apalagi aku tahu banyak anak laki-laki yang suka dengan kumbang kelapa sampai-sampai ada karakter Mushi King dalam permainan mereka. Tapi sebetulnya tidak juga, kata Gen, dia gemar serangga karena kebetulan saudaranya atau orang sekelilingnya banyak yang suka serangga.

Nah, kebetulan pada tanggal 3 Mei lalu (masih dalam acara libur panjang  Golden Week) diselenggarakan sebuah kelas di alam terbuka, yang namanya “Pelajaran Menangkap Kupu-kupu Pemula” yang diadakan oleh sebuah organisasi bernama “Perkumpulan Henri-Faber Jepang”  NPO日本アンリ・ファーブル会(奥本大三郎会長). Biayanya 1000 yen satu keluarga. (Aku juga heran sih kok Gen tahu saja ada kelas seperti ini hehehe) Gen tanya padaku apakah boleh dia pesan tempat dan mengajak Riku berdua saja untuk mengikuti kelas itu? Karena persyaratannya anak usia SD ke atas, jadi Kai tidak bisa ikut dan berarti aku dan Kai harus tinggal di rumah. Hmmm bagiku sih no problem, silakan pergi. Meksipun dalam hati aku berpikir, suatu waktu aku pasti juga akan terlibat kegiatan begini-begini. Kalau kupu-kupu sih OK saja, tapi kalau mau menangkap kumbang kelapa aku ogah deh hihihi (tapi aku kan bisa menjadi fotografer saja 😉 )

Jadi begitulah, tanggal 3 Mei pagi hari aku bangun pagi dan mempersiapkan bento (bekal makanan) untuk kedua lelakiku. Mereka harus berkumpul di stasiun Hikarigaoka pukul 10 pagi. Jadi aku akan menceritakan kegiatan mereka berdua dengan foto-foto ya.

Setelah berkumpul di stasiun, bersama rombongan,  gurunya 7 orang dan 6 keluarga peserta, mereka berjalan menuju Taman Hikarigaoka. Sambil berjalan, jika guru menemukan sesuatu, dia akan bercerita mengenai kepompong atau serangga yang ditemukan.

Lokasi: Taman Hikarigaoka

Misalnya mereka menemukan ulat Akaboshigomadara (Hestina assimilis) yang sebetulnya bukan habitat asli Jepang (berasal dari Taiwan).

Ulat akaboshigomadara yang berasal dari Taiwan. Kalau jadi kupu-kupu spt di bawah ini

Atau Nanafushi (Phasmatodea – Belalang Ranting) yang bersembunyi di daun. (keren ya bisa ketemu ini)

Nanafushi atau Belalang Ranting

Oleh gurunya di sana juga diajarkan jenis jaring yang dipakai, bagaimana cara menangkapnya, cara penggunaan dan penyimpanannya. Katanya Gen jadi ingin membeli macam-macam peralatan itu (oh noooo, itu akan disimpan di mana euy hihihi).

Karena cuaca mendung waktu itu tidak banyak kupu-kupu yang terbang. Riku hanya berhasil menangkap Yamato shijimi (Pseudozizeeria maha), dan dilepas. (Gambar diambil dari wikipedia)

Kupu Yamatoshijimi (gambar dari wikipedia), dan Riku bertanya pada gurunya

Selain kupu-kupu Yamato shijimi itu, Riku juga menangkap serangga yang bernama Kinkamemushi (Scutelleridae), dan seperti biasanya Riku tanpa ragu bertanya pada gurunya, apa makanannya. Yang hebat gurunya selalu membawa “kamus” serangga dan langsung mencari informasinya di tempat.

Setelah puas bermain sampai jam 1 siang, mereka makan bento yang dibawa dari rumah di taman tersebut. Sesampai di rumah dengan bangganya Riku memamerkan kupu-kupu yang diberikan oleh gurunya untuknya. Kupu-kupu yang ditangkap, jika dimaksudkan untuk dikeringkan dan dikoleksi, biasanya dimasukkan dalam kertas berbentuk segitiga, lalu dimasukkan dalam kaleng segitiga. Yang hebatnya keluarga Miyashita masih menyimpan kaleng segitiga milik bapaknya Gen yang sudah berusia 50 tahun lebih. Dan kami menemukan koleksi kupu-kupunya yang bertanggal 20 Mei 1956! Lebih dari 50 tahun yang lalu…… (Semoga masih bisa bertahan 100 tahun lagi dari sekarang hehehe)

Kupu-kupu hasil tangkapan gurunya dan kupu dari 55 tahun yang lalu

Sebagai environmentalist (cihuy), aku sempat meragukan kegiatan penangkapan kupu-kupu ini. Pikirku, kasihan dan sayang jika kupu-kupu itu ditangkap untuk dikeringkan. Tapi pemikiran ini adalah pemikiran orang Indonesia yang hidup di daerah tropis yang suhu udaranya sama terus sepanjang tahun. Di Jepang kupu-kupu hanya bisa hidup selama musim semi dan musim panas. Dari sekitar  bulan April sampai September. Selebihnya…. mati! (dengan atau tanpa meninggalkan telur). Jadi secara gampangnya, kalau toh harus mati, apa salahnya dia menjadi koleksi untuk bahan pelajaran orang-orang yang suka. Dan aku yakin orang Jepang jarang ada yang mau menangkap kupu-kupu yang sudah langka. Kalaupun ditangkap pasti diberikan pada pusat penelitian atau pengembangan hewan, seperti Pusat Kupu-kupu yang pernah kami datangi di Oomurasaki Center and Nature Park.

Dan aku juga merasa bahwa kegiatan seperti inilah yang membuat orang Jepang seperti sekarang ini. Dari kecil mereka dibiasakan untuk mengamati lingkungan dan membuat penelitian sendiri. Mulai kelas 4 SD biasanya mereka harus mengadakan penelitian selama musim panas sebagai tugas sekolah di musim panas dan wajib melaporkannya kepada gurunya. Apa saja boleh. Bebas! Mau biologi, fisika…apa saja. Dan kami sudah mendapat lungsuran mikroskop dari omnya Riku yang peneliti di Unversitas Tsukuba. Siapa tahu Riku mau menggunakannya untuk penelitian musim panas.

Aku jarang melihat atau mendengar ada kegiatan penelitian yang demikian sungguh-sungguh di kalangan anak-anak Indonesia. Atau paling sedikit tidak ada waktu jamanku sekolah dulu. Bahwa kebetulan adikku peneliti mikrobiologi itu juga biasanya timbul waktu sudah di SMA, bukan sejak masih usia SD (ya kan Nov? Masih ragu dulu mau jadi dokter atau peneliti kan?) .

Maksudku anak-anak kurang disuntik keinginan untuk meneliti atau mengembangkan potensi secara alami (belajar dari alam dan mengembangkannya), dan lebih dituntut untuk belajar dari buku saja, dengan target nilai bagus. Mungkin inilah salah satu sebab yang membedakan “output” hasil pendidikan antara Jepang dan Indonesia.

Kaleng segitiga penyimpan kupu yang ditangkap sebelum diawetkan

Karena sebenarnya jika kita membaca sejarah Jean-Henri Casimir Fabre, yang namanya dipakai sebagai nama perkumpulan organisasi penyelenggara kelas yang Riku dan Gen ikuti itu, kita bisa mengetahui bahwa Fabre itu otodidak. Dia mengadakan penelitian sendiri dari lingkungan sekitar dan bisa menghasilkan 10 seri ensiklopedi “Souvenirs Entomologiques“yang terkenal. Padahal dia tidak pernah belajar di sekolah mengenai serangga!

Rasa ingin tahu dan ingin meneliti memang harus dikembangkan supaya inovasi dan pembaruan bisa terus ditemukan. Intinya… Belajar sampai mati 😉