Setelah kami pergi ke danau teratai yang merupakan bagian dari Taman Tsutsujigaoka, kami pergi dulu ke Ashikaga Yakata, lalu ke Ashikaga Gakkou, baru kembali melewati Watarasebashi yang terkenal dalam lagunya Moritaka Chisato untuk pergi ke Mukai Chiaki Children Science Museum. Kami sampai di sini sudah hampir pukul 4 padahal museumnya sendiri tutup pukul 5 sore. Lagipula untuk masuk ke museum hanya perlu membayar 310 yen/orang dewasa dan anak-anak gratis.
Begitu masuk museum, ada pojok untuk anak-anak mencoba baju astronot dan bisa memotret di sana. Langsung Kai mencoba memakai baju itu. Sayang tidak ada ukuran untuk Riku. Setelah itu kami bisa melihat bermacam peragaan percobaan yang bagi anak-anak seperti permainan saja. Memang banyak anak-anak di sini yang melewatkan waktu untuk bermain, sementara orang tua mereka entah kemana (eh ada juga sih bapak-bapak yang tidur hehehe).
Yang menarik adalah lantai atas yang melukiskan kegiatan Mukai Chiaki sejak sebelum menjadi astronot wanita pertama sampai pada persiapannya untuk melakukan penelitian di dalam pesawat ruang angkasa. Salah satunya adalah membawa sepasang ikan medaka (Oryzias latipes) ke luar angkasa dan ternyata mereka bisa bertelur! Kalau aku tidak salah ingat ada juga penelitian pencampuran obat yang jika di bumi tidak bisa bercampur, tapi di ruang hampa udara bisa. Ini merupakan penemuan yang berguna untuk ilmu kedokteran. Aku masih ingat kata-katanya yang mendorong anak-anak untuk terus bermain dan mencari hal-hal baru untuk membuka keingintahuan kepada dunia pengetahuan.
Aku merasa kagum sekali pada Dr Mukai Chiaki ini. Beliau merupakan dokter lulusan universitas Keio dan mempunyai dua gelar doktor (doktor ilmu kedokteran, 1977, dan doktor fisiologi, 1988) serta dokter spesialis bedah cardiovasculer 1989. Tahun 1994 dia ikut dalam penerbangan STS-65 Columbia, dan STS-95 Discovery dan sekarang bekerja di JAXA dan masih mengajar di sekolah persiapan menjadi astronot di Amerika.
Museum Anak-anak ini sebenarnya didirikan sejak tahun 1991 oleh pemerintah daerah Tatebayashi, dan kemudian diganti namanya menjadi Mukai Chiaki Children Science Museum untuk memperingati warganya yang menjadi astronot wanita pertama Jepang.
Oh ya sebagai tambahan permaisuri Jepang juga lama tinggal di Tatebayashi loh
Ini adalah sambungan tulisanku yang, Outdoor Family. Perjalanan ke Hokuto, Yamanashi Prefektur.
Karena jam sudah menunjukkan pukul 4:30 sore dan kami tahu jalan tol pulang pasti macet, kami bergegas pulang. Tapi Gen minta ijin untuk mampir ke suatu tempat. Katanya ada yang ingin dia perlihatkan padaku. “Apa sih?” tanyaku…. “Museum Seni!”…. hmmm sebetulnya aku tidak begitu gandrung museum seni, tapi ok lah.
Kami sampai di depan pintu gerbang “Kiyoharu Geijutsumura 清春芸術村” (Perkampungan Seni Kiyoharu) pukul 4:50. Biasanya museum seni di mana-mana tutup jam 5, jadi musti bergegas. Dan di depan gerbang tertulis: Harga karcis masuk dewasa untuk museum 800 yen, untuk Gedung Cahaya: 500 yen, dan harap beli di loket gedung masing-masing. Sempat cemberut juga sih aku, kalau musti keluarkan uang 1500yen untuk 30 menit hehehe.
Kami masuk ke dalam gerbang dan melihat ada sebuah gedung bundar. Tapi tidak ada siapa-siapa dan ada papan yang menunjukkan bahwa di situ bukan museumnya, tapi di tempat lain. Jadi aku bergegas ke tempat yang dituju. Ada sebuah kolam di situ dan memang terlihat ada pintu masuk bangunan museum, yang… biasa-biasa saja. Memang bangunan museumnya biasa saja, tapi di sekelilingnya dong… Banyak bangunan dan patung yang menarik!
Rupanya bangunan bulat yang pertama kami lihat bernama “La Ruche” atau sarang lebah. Ini merupakan duplikat dari sebuah bangunan di Paris yang pernah dipakai sebagai pavilion untuk wine di Paris Expo tahun 1900, yang didesain oleh Gustav Eiffel. Sampai sekarang bangunan yang berada di perkampungan seni Kiyoharu ini dipakai sebagai atelier (studio kerja) dan tempat tinggal seniman.
Untung saja aku belum sempat membeli karcis masuk museum, karena Gen datang setelah memarkirkan mobil, dan menunjuk sebuah bangunan kecil di sebelah museum. Aku tidak tahu bahwa boleh masuk ke sana. Jadi Gen yang membukakan pintu untukku. Dan… terkejut begitu masuk karena langsung terlantunkan lagu gereja dari player yang ada. Ah, rupanya ini chapel yang dimaksud Gen.
Jadi konon ada artist dari Perancis bernama Rouault, terkenal sebagai seniman beragama katolik dan banyak menghasilkan karya seni bernafaskan katolik. Salah satunya adalah sebuah stained glass yang dibeli oleh seorang Jepang yang kaya. Karena dia mau memamerkan stained glass itu maka dia juga membangun sebuah chapel kecil di perkampungan seni itu dan kapel itu dinamakan Rouault chapel.
Yang lucu, si Kai begitu masuk gereja langsung menghormat dan berdoa 😀 Entah apakah pernah ada orang yang mengadakan misa di situ atau tidak tapi tempatnya lengkap dengan orgel kecil, altar dan salib serta tempat duduk umat yang kira-kira 20 kursi. Tapi suasana, pencahayaan, musik dan semuanya membuat kami merasa bahwa tempat itu benar-benar chapel. Nanti mau tanya ah apa sudah pernah ada yang membuat misa di situ 😀 (Ternyata setelah mencari di websitenya, chapel ini bisa dipakai untuk upacara pernikahan, tentu dengan ijin sebelumnya)
Setelah melihat chapel (yang gratis, tanpa perlu membayar tiket masuk), kami menikmati luasnya halaman di lingkungan “desa seniman” ini. Ada sebuah patung berjudul “Eiffel” dan sebuah rumah pohon yang didesain Fujimori Terunobu dan diberi nama Ruang Teh Tetsu. Aku sebetulnya penasaran kenapa kok patung yang kubilang aneh itu diberi nama Eiffel, dan apa hubungannya dengan Menara Eiffel yang di Perancis itu. Waktu mau menulis ini, aku terpaksa harus mencari literatur yang mendukung, dan mengetahui bahwa itu adalah patung Gustav Eiffel, si perancang Menara Eiffel dan tentu saja bangunan bundar yang menyambut kami di pintu gerbang tadi, La Ruche. Tak salah kan, kalau aku menulis judul Menemui Eiffel 😀 (dan Rouault tentunya)
Senang rasanya bisa melihat tempat ini. Berada di halamannya saja sudah senang (belum tentu sih tetap senang jika melihat lukisan yang dipajang dalam museum, karena aku “buta” seni lukis). Langit juga biru, khas langit musim panas, tapi karena di sini pegunungan jadi tetap sejuk. Memang cocok daerah ini sebagai daerah bungalow. Jadi perkampungan seni di antara belantara bungalow deh.
Mungkin kalau kami ke sini lagi, kami akan masuk ke museumnya. Atau konon sakura di sini juga bagus. Tapi berarti harus bulan April kembali lagi ke sini, padahal rencananya kelompok umat katolik di sini akan datang ke rumah retret di sini bulan September nanti. Yang pasti udara sejuk (dingin) dan segar tetap tersedia sepanjang tahun.
Bukan, aku tidak mau mengajarkan pembaca mengenai bagaimana cara-cara menipu loh. Tapi yang ingin kutulis adalah tentang kesenian yang bisa mengelabui mata. Kelihatannya seperti sesuatu yang lain, padahal itu adalah pinter-pinternya yang menggambar saja.
Aku pergi ke Tokyo Trick art Museum waktu pergi ke Legoland yang kedua kalinya. Karena Tokyo Trick art Museum ini terletak satu lantai di bawah legoland (Decks ODAIBA), sehingga pasti lewat waktu pulang. Karena harga tiket masuknya hanya 900 yen untuk dewasa, maka aku dan Sanchan sepakat untuk mampir di sini berdua, waktu anak-anak main lego, dan berfoto narsis 😀 Emang duo emak ini udah klop kalau soal foto berfoto 😀
Eh, tapi ternyata kami tidak bisa melepaskan diri dari anak-anak. Memang peraturan di Legoland itu, tidak boleh meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan orang tua. Waktu makan siang kami bisa meninggalkan satu jam, Riku dan Yuyu, tapi Kai kami bawa sebagai “jaminan” supaya waktu masuk kembali, kami bersama anak-anak. Untung saja Kai mau, dan kami ajak makan di restoran Surabaya, yang berada di gedung sebelah. Kai suka makan soto ayam, sehingga aku bisa “membujuk” dia untuk pergi sebentar dari Legoland dan makan soto ayam bersama duo emak. Riku dan Yuyu makan siang di dalam Legoland, yang ternyata menurut perhitungan duo emak, tidak terlalu mahal. Biasanya kalau makan di dalam sebuah thema park, harga makanan diketok habis-habisan (jadi inget Disneyland), tapi di Legoland, satu bento paling mahal 500 yen. Memang untuk dewasa tidak cukup (dan tidak enak), tapi untuk anak-anak lebih dari cukup. Apalagi karena kamu member, kami mendapat potongan 10% setiap berbelanja di dalam Legoland.
Balik ke Tokyo Trick art Museum, kami akhirnya masuk bersama pada pukul 18:30. Memang Legoland kali ke dua itu aku minta supaya anak-anak bisa selesai dan pulang jam 6 sore. Tidak seperti malam sebelumnya yaitu jam 8 malam (Legoland sendiri tutup jam 9 malam). Nah waktu menuruni eskalator itu lah kami memutuskan mengajak anak-anak juga. Tadinya kami pikir anak-anak tidak antusias, tapi perkiraan kami salah. Ternyata anak-anak jauuuuh lebih narsis daripada ibunya 😀
Untungnya waktu kami masuk itu masih sepi, tapi tak lama mulai berdatangan tamu yang lain, sehingga cukup menyebalkan, karena tidak bisa konsentrasi berfoto :D. Di pintu masuk kami disambut (lukisan) seorang wanita berkimono, yang jika dilihat dari berbagai sudut akan aneh. Jika melihat pada sudut yang tepat memang kita akan melihat tangannya seakan benar-benar tiga dimensi. Tapi yang cukup menarik adalah sebuah lukisan yang menggambarkan kedai minum teh ala jepang dengan payung di luar kios. Dengan menekuk lutut sedikit kita bisa memotret seakan-akan kita sedang duduk santai di situ.
Permainan lukisan yang menghasilkan tiga dimensi tentang kota pada jaman Edo. Satu yang perlu percobaan cukup banyak adalah sebuah ruangan yang bisa memutarbalikkan fakta. Aku yang sebesar ini bisa jauh lebih kecil daripada Riku. Dan memang harus memotretnya dari luar ruangan. Pada jaman Edo banyak pembantaian, dan cerita mengenai setan, hantu dsb nya itu sangat populer.
Anak-anak cukup takut untuk sendirian berada di dalam bagian ini. Setelah keluar dari bagian “perhantuan” kami bisa melihat beberapa lukisan manusia dan binatang.
Konon trick art seperti ini juga sudah menyebar ke Jakarta juga. Tapi aku baru pertama kali melihat berbagai trick di museum ini. Museumnya tidak besar sih, tapi ya kalau mau berusaha memotret dengan jurus yang diberitahukan (dengan tiduran atau menjengking segala) bisa menghasilkan foto yang bagus, sehingga HTM seharga 900 yen cukup murah lah. Tapi ternyata kami fotonya tidak seheboh waktu berada di Madame Tussaud. Kembali ke museum ini lagi? Nanti deh kalau musti antar tamu baru mau masuk lagi 😀
Setelah dari Takeda Jinja, kami menuju ke Tomi no oka Winery milik perusahaan Suntory. Aku sempat bilang pada Gen, “Loh waktu itu bukannya kita sudah pernah ke Suntory juga?” Ternyata waktu itu pabrik air mineral dan whisky, sekarang ini adalah pabrik…. tempat pembuatan anggur/ wine.
Setelah melewati perbukitan yang begitu sepi, tanpa terlihat ada satu mobilpun, kami sampai di pintu gerbang Tomi no oka Winery. Hujan rintik masih turun, dan kami dihadang oleh satpam winery itu, kami katakan bahwa kami belum mendaftar untuk berkunjung ke winery, tapi kalau bisa on the spot, ingin ikut. Oleh satpam kami diberitahu bahwa tentu bisa ikut rombongan untuk berkunjung ke winery dan kebetulan 10 menit lagi ada grup yang akan berangkat. Gratis dan karena hujan pesertanya sedikit, jadi kami bisa join. Tapi lain kali daftar dulu ya. “Yes, sir!” Kami cepat-cepat memarkirkan mobil, ambil payung dan menuliskan nama dalam buku tamu. Kami diberi tanda masuk untuk dikalungkan di leher, tapi khusus untuk Gen ada kalung lain yang bertuliskan bahwa dia menyetir mobil jadi TIDAK BOLEH sama sekali mencoba atau mendekatkan mulutnya ke wine. Selain itu anak-anak tentu karena belum cukup umur (belum 20 th) tidak boleh juga minum atau mencoba wine. Jadi… cuma mama Imelda yang bisa coba, karenanya Gen mengatakan : Selanjutnya kita menyenangkan mama.
Rombongan berangkat dari dekat lapangan parkir, dan sebelum pergi ke penyimpanan anggur, kami melihat video pembuatan wine dulu. Kalau masih pagi, sebetulnya kami bisa berkunjung dari melihat perkebunan anggurnya, lalu pabrik pembuatannya juga. Tapi karena sudah jam 3, kami cuma bisa melihat video dan kemudia pergi ke penyimpanan anggur yang telah diolah. Baru tahu dari video itu bahwa untuk wine putih, buah anggur putih dikupas dulu kulitnya, dan yang dipakai cuma daging buahnya. Sedangkan untuk wine merah, anggur merah tidak dikupas kulitnya, seluruh buah dipakai. Daging, kulit dan bahkan bijinya dihancurkan lalu disaring. Setelah ditambah biang fermentasi baru dimasukkan ke dalam tong-tong kayu. Kami kemudian melihat penyimpanan tong-tong kayu berisi wine yang belum jadi di sebuah gudang yang berada di dalam bukit.
Karena berada di dalam bukit, seperti di dalam gua, suhu udara bisa dijaga sampai sekitar 15 derajat sepanjang waktu secara alami. Memang sedikit dingin saat kami memasuki gudang tong-tong fermentasi pertama itu. Setelah itu wine dalam tong dipindahkan ke dalam botol, yang sebetulnya di dalam botolpun wine ini akan berfermentasi terus. Waktu memasuki gudang botol, terlihat rak-rak botol kosong karena wine yang sudah berusia 3 tahun sudah dijual. Dan diujung lorong penyimpanan botol, kami melihat botol-botol hasil winery Tomi no oka. Yang paling mahal dan paling enak (konon) berwarna kuning emas sebelah kiri atas. Waktu kami lihat harganya di toko di dalam winery seharga 50.000 yen (5 juta rupiah satu botol) waaaah siapa yang mau beliin untukku? 😀
Memang setelah selesai melihat penyimpanan wine itu, rombongan bubar, dan kami diminta untuk menaiki mobil kami masing-masing menuju shop, untuk mencoba wine yang diproduksi. Shop itu terletak di perbukitan menghadap perkebunan anggur dan gunung. Sayang sekali waktu itu hujan sehingga berkabut dan tidak bisa melihat jauh. Padahal kalau cerah pasti indah pemandangannya. Akupun menemukan beberapa jenis bunga yang belum pernah kulihat di Tokyo.
Di dalam shop, peserta kunjungan bisa mencoba 3 jenis wine yang disediakan. Rosso yang hanya dijual di tempat itu seharga 1890 yen, manis fruity, sedangkan wine lainnya putih dan merah aku tidak begitu suka. Salah juga sih si waiter memberikan wine manis duluan padaku 😀 memang hanya aku yang bisa mencoba minum wine, karena aku sudah dewasa dan tidak menyetir mobil. Dan yang kurasa bagus, waiternya sempat menegur dengan keras seorang kakek yang memakai kalung pertanda dia menyetir. Kelihatan memang dia ingin sekali minum, sampai dia tanya ke istrinya bagaimana rasanya dan sempat mendekatkan gelas ke hidungnya. Nah, memang pengendara mobil sudah diwanti-wanit dari awal, bahwa TIDAK BOLEH mengendus gelas sama sekali (karena itu awal ingin minum, tinggal selangkah lagi bisa tegak sekaligus kan) . Waiter itu sampai bilang, “Maaf pak, kalau tidak bisa patuh, pulangnya harus naik taxi loh. Jangan main-main. ” Memang mereka juga bertanggung jawab kalau sampai si kakek minum dan tetap mengendarai mobil. Peraturan untuk supir yang dalam pengaruh alkohol tapi masih menyetir di Jepang sangat ketat. Pemberi minuman, pelayan toko dan teman penumpang mobilnya akan ikut mendapat hukuman. Disiplin itu harus berada dari diri kita dan perlu dukungan sekitarnya.
Karena lokasi ini cukup membosankan bagi anak-anak, akhirnya kami cepat-cepat pulang ke parkiran, dan menuju ke Museum Seni Yamanashi. Rupanya Gen ingin memperlihatkan lukisan Millet (Jean-François Millet, pelukis perancis) yang terkenal kepada Riku. Museum ini sejak dibuka 1978 memang terkenal sebagai museum Millet. Kami sampai di museum itu sudah pukul 4:30 lebih, tapi masih diperbolehkan masuk ke museum yang tutup pukul 5. (sebetulnya tidak bisa lagi beli karcis jika sudah pukul 4:30, tapi entah Gen mungkin bicara bahwa kami dari Tokyo). Harga karcis untuk dewasa 310 yen, untuk anak-anak 100 yen. Tidak mahal jika dibandingkan dengan pameran khusus yang biasanya 1800 yen/orang dewasa.
Lukisan Millet yang kuketahui cuma sang penabur (The Sower) dan pemandangan wanita yang sedang bekerja di ladang (The Gleanders). Lukisan The Gleanders ini pertama kali kulihat di Museum Louvre, Paris, sedangkan penabur aku tidak melihat langsung. Senang juga bisa melihat kedua lukisan ini dari dekat. Rupanya memang kedua lukisan ini (dan satu lagi The Angelus) merupakan lukisan Millet yang paling terkenal. Waktu kucari keterangan tentang Millet, kuketahui bahwa Millet bersama Rosseau mendirikan Barbizon School, yaitu sebuah aliran baru yang berpusat di daerah yang bernama Barbizon di pedesaan Perancis. Sedangkan kalau dilihat dari pengelompokan jenis lukisan, lukisan Millet bisa dimasukkan dalam kategori Realisme dan Naturalisme.
Sayang aku tidak bisa berlama-lama menikmati lukisan-lukisan Millet, dan lukisan pelukis Barbizon lainnya, karena aku harus menemani Kai. Ya, Kai belum bisa mengerti, mengapa harus melihat sebuah gambar berlama-lama, dalam sunyi, tak boleh bercakap-cakap dengan suara keras, dan jalan juga musti pelan-pelan, tidak boleh lari. Museum memang BUKAN tempat yang cocok untuk anak TK 😀 Tapi sebaiknya anak-anak juga dikenalkan pada lukisan dan barang-barang berharga/bersejarah sedini mungkin sehingga bisa menghargai seni dan sejarah suatu bangsa. Jadi sementara Riku dan papanya menikmati lukisan, aku dan Kai berjalan agak cepat mengelilingi museum dan pameran khusus lain, kemudian menunggu mereka di lantai bawah. Bagi Riku dan Kai ini merupakan pengalaman pertama mengunjungi museum seni.
Persis pukul 5 sore, kami keluar museum itu dan berfoto di depan museum. Hari itu kami, terutama Gen puas karena bisa memenuhi rencana kunjungan ke tiga tempat. Takeda Jinja, Tomi no oka Winery dan Yamanashi Art Museum.
Golden Week tahun ini kurang bagus urutannya. Maksudnya kurang bagus adalah tanggal yang tidak merah (sebanyak 3 hari) kena di hari biasa, sehingga tidak bisa libur berturut-turut tanpa mengambil cuti 3 hari. Kalau cuma 1 atau 2 hari, karyawan akan lebih mudah mengambil cuti daripada 3 hari, bukan? Jika urutannya bagus, ada yang bisa ambil libur sampai 10 hari berturut-turut seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini terpaksa Golden Week (GW) terbagi dua, bagian pertama yaitu tanggal 27-28-29 April dan bagian kedua tanggal 3-4-5-6 Mei.
Karena tanggal 27 dan 29 Gen harus kerja, kami akhirnya memutuskan untuk pergi berwisata di dalam kota Tokyo saja pada hari Minggunya. Tapi Riku harus mengikuti sekolah Minggu (padahal Sabtunya kami sudah ke gereja) di Kichijouji sampai pukul 11 siang. Jadi kami janjian bertemu di stasiun pukul 11 untuk bersama-sama pergi ke Ryogoku. Tujuan kami sebetulnya ada dua yaitu Sumo Arena (Ryogoku Kokugikan 両国 国技館) dan Tokyo Edo Museum. Dan perjalanan dari Kichijouji sampai Ryogoku ditempuh dalam 40 menit naik kereta lokal (berhenti setiap stasiun). Lumayan tidak usah ganti-ganti kereta lagi.
Tapi kamu sampai di Ryogoku sudah mendekati pukul 1. Lapar, tapi menurut Gen ada kelas pembuatan teropong cermin sehingga kami buru-buru pergi ke museum Tokyo Edo Museum untuk bisa mendaftar. Tapi ternyata kami salah masuk, dan harus putar jauh sekali… memang museum ini besar sekali! Dan biasa, jika perut lapar rasanya tension semakin tinggi, kan? Kami akhirnya masuk ke Kokugikan saja (Sumo Arena), karena di situ ada bazaar yang menjual makanan khas pesumo yaitu Chanko Nabe. Kami membeli satu mangkuk chanko nabe seharga 500 yen, dan membawanya ke meja yang telah disediakan. BUT hari itu CERAH sekali, dan panas 25 derajat! Di bawah terik matahari, kami makan chanko nabe yang berupa sup panas… duh benar-benar tidak cocok deh 😀 Sementara aku dan anak-anak duduk, Gen mencari makanan lain yaitu yakisoba (mie goreng Jepang) dan takoyaki (octopus ball). Semuanya harus antri dan tentu tidak cukup untuk kami berempat, jadi aku membeli lagi satu mangkuk chanko nabe. Yang penting sudah ganjal perut deh.
Selesai makan kami masuk ke dalam Kokugikan. Tempat ini biasanya TIDAK dibuka untuk umum. Kalau mau masuk ke tempat ini ya harus menjadi penonton. Dan karcis menonton Sumo itu muahal jeh! Coba saja lihat tuh daftar harganya. Oh ya yang lucu dari tiket sumo itu, kita bisa membeli suatu “kapling” untuk 4 orang dan biasanya di situ duduk ala Jepang, alias di atas zabuton (alas duduk seperti cushion tapi lebih besar sedikit). Jadi tentu harus cari teman untuk bisa ber-4 atau ya bayar untuk 4 orang tapi pakai sendiri :D.
Begitu masuk memang ada beberapa stand yang menjual souvenir dan kegiatan membantu daerah-daerah terkena bencana di Tohoku. Tapi di situ juga ada boneka karakter sumo yang bernama Hakkiyoi Sekitorikun, jadi kami minta tolong staf untuk memotret kami. Di lobby masuk itu juga ada pertunjukan penyanyi-penyanyi yang membawakan lagu sebelum sumo dimulai. yang pasti sih bukan lagu pop 😀
Lalu kami menuju tribun Timur, karena kami tahu bahwa ada tour backyard yang katanya akan mengantar kami melihat bagian belakang Sumo Arena. Harga karcisnya 200 yen untuk anak SD sampai dewasa. Kai tidak bayar. TAPI kami dapat giliran terakhir jam 3 sore. Masih ada waktu 1,5 jam yang harus dihabiskan. Jadi kami melongok ke dalam pintu yang terbuka, melihat arena sumo dari pintu keluar. Saat itu kami melihat ada orang-orang di bawah yang ambil foto. Kami juga mau ke sana tapi bagaimana? Mungkin perlu ijin lain ya? Jadi kami cukupkan dengan mengambil foto dari pintu atas saja.
Setelah itu kami pergi ke Sumo Museum yang menempati ruangan di sebelah depan utara. Museum ini menceritakan perjalanan Sumo Jepang lengkap dengan dokumen dan maket gedung sumo arena di beberapa tempat. Sayang kami tidak boleh memotret di dalam sini.
Setelah dari museum kami mengelilingi lagi arena bagian luar dan sampai pada bagian belakang yang ternyata ada pelayanan menuliskan nama dengan kanji ala sumo di sebuah uchiwa (kipas bulat). Tulisan kanji ala sumo ini memang khas dan dipakai untuk menuliskan daftar pertandingan dalam sebuah musim. Agak bulat dan kotak. Rupanya kami bisa minta dituliskan namanya dengan membayar 1000 yen. Jadi kami minta untuk menuliskan nama Riku dan Kai. Penulis kaligrafi ini adalah Gyouji 行司 (judge atau juri). Aku baru sadar kok Juri juga menjadi penulis kaligrafi ya? Aneh.
Akhirnya sekitar jam 3 kurang 15 menit kami berkumpul untuk mengikuti tour backyardnya. Kami diantar melewati tangga dalam menuju ke tempat latihan para sumo. Seperti tatanan hidup masyarakat Jepang, di Sumo juga ada rankingnya. Yang paling top adalah Yokozuna, dan dia bisa berlatih di tempat paling ujung dan paling luas dibanding yang lainnya.
Di kamar latihan itu kami juga bisa melihat para Gyouji menulis daftar pertandingan sembari tidur. Rupanya memang begitu caranya supaya besar huruf bisa sama dan seimbang, seperti dicetak. Wah bisa jereng juga ya. Masih di ruang yang sama ada tiang kayu yang tinggi untuk latihan mendorong, serta di ujung ruangan ada WC dan kamar mandinya. Ukuran wc dan kamar mandinya sedikit lebih besar daripada milik orang biasa. Maklum badannya besar kan?
Setelah dari ruangan latihan, kami menuju ruangan Gyouji. Di sini dipamerkan baju/kimono yang dipakai para gyoji yang berbeda menurut rankingnya. Dalam sumo juga dibedakan grupnya dengan nama berakhiran ….beya (heya = kamar).
Dari situ kami menuju kamar wawancara, serta kamar penjurian yang cukup besar. Di situ terlihat daftar pertandingan dari tahun 1985. Dalam kamar ini konon setelah pertandingan selesai, mereka langsung menentukan daftar pertandingan berikutnya, siapa melawan siapa.
Ternyata setelah kami melihat kamar penjurian, kami diantar masuk ke dalam arenanya. Horreeeee… Kami pikir karena namanya tour backyard, jadi cuma bagian luar saja. Ternyata masuk sampai arenanya juga. wahhh 200 yen menurutku murah sekali kalau begitu 😀 Untung saja kami bisa mengikuti kesempatan langka ini.
Sambil mendengarkan penjelasan mengenai tempat pertandingan, aku memotret segala sudut Sumo Arena. Kapan lagi, karena belum tentu kami bisa masuk ke sini lagi. Tempat bertandingnya sendiri terbuat dari pasir yang berasal dari Kawagoe, dan dipadatkan dengan air, tanpa campuran bahan lain, kemudian digerus hingga rata. Undakan itu berbentuk kubus dan didalamnya dipasang tali sebagai batas aduan. Kalau kaki keluar dari tempat ini tentu saja kalah.
Di bagian atas arena pertandingan itu ada atap tanpa tiang yang melambangkan dewa-dewa Shinto Jepang. Semua ada artinya, karena Sumo sebetulnya bukanlah olahraga pertandingan tapi merupakan festival laki-laki untuk menyembah dewa. Jadi semua gerak dan tempat ada arti-artinya. Yang pasti perempuan tidak boleh menginjak bulatan tempat sumo bertanding. Alasannya bukan karena anti feminisme atau tidak menghargai perempuan tapi lebih ke tempat sakral yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu. Dan tentu saja karena sumo merupakan festival laki-laki, perempuan tidak boleh masuk. Masuk akal kan alasannya?
Setelah mendengarkan penjelasan, tour backyard pun selesai sekitar pukul 4:30. Cukup lama ya, satu setengah jam dan biayanya hanya 200 yen/perorang. Kami sempat berfoto dengan guidenya dan kemudian keluar arena. Di luar yang tadinya penuh dengan orang yang datang untuk makan, sudah sepi dan meja kursi sudah dibereskan. Mereka memang tutup pukul 5 sore.
Persis di seberang Sumo Arena ada terminal untuk naik water bus (ternyata bukan sea bus, karena kami menyusuri sungai bukan laut :D) . Kami berniat untuk naik boat ini dulu sebelum makan, dan untung saja rupanya dalam 2 menit lagi ada boat yang akan berangkat. Kami cepat-cepat membeli karcis seharga 600 yen/dewasa dan 300yen/anak. Kami menyusuri sungai Sumida sampai ke terminal Asakusa dan kembali lagi. Karena kami datang terakhir kami tidak mendapat tempat yang strategis untuk berfoto dalam boatnya. Tapi pas kembali tentu saja kami bisa memilih mau duduk di mana. Dan waktu berhenti di terminal Asakusa itu, kami bisa melihat Sky Tree persis di depan kami. Disanding dengan langit yang biru, pemandangan saat itu benar-benar indah. Aku tadinya cukup takut naik boat, tapi kelihatannya sekarang sudah makin berani deh. Bisa pindah-pindah dalam boat hanya untuk mendapat posisi bagus untuk memotret 😀
Setelah kami kembali ke terminal Ryogoku, kami mencari restoran untuk makan malam. Chanko nabe yang kami makan sudah tidak tersisa, dan membuat perut kami keroncongan. Tapi Riku ingin sekali makan es serut kakigori di stasiun kereta, jadi kami berdiri lama di depan toko dalam gedung stasiun yang menjual macam-macam. Yang mengherankan pelayan toko membagikan kue sakura mochi untuk semua orang yang lewat di depan tokonya, gratis! Suatu cara untuk mengundang tamu. Belum lagi aku membeli draught beer di situ, yang mustinya harga 500 yen ehhhh dikasih dua gelas, jadi cuma 250 yen/gelas. Memang jam 5lewat di daerah itu sudah mulai sepi pengunjung.
Sebetulnya Riku ingin makan di toko itu, tapi aku dan Gen pikir kalau masuk ke toko itu bisa-bisa habis 10.000 yen untuk makan dan minum. Jadi kami bermaksud mengelilingi stasiun mencari tempat makan yang murah saja. Nah, di situ Gen melihat ada tempat cukur rambut seharga 1000 yen (cukup 10 menit) jadi aku dan anak-anak makan dulu, sementara Gen cukur dan baru setelah itu bergabung.
Toko murah yang kami masuki adalah Pepper Lunch, (sepertinya di Jakarta sudah ada), sebuah toko steak dan hamburger murah dengan sistem membeli karcis makan dulu. Aku pesan steak dan ayam panggang berdua dengan Kai, sedangkan Riku pesan hamburger. Lumayan juga makan di sini, tapi masih lebih murah makan di Yoshinoya gyudon sih hehehe.
Demikianlah kami menghabiskan GW part 1 dengan melihat salah satu kebudayaan Jepang yang sudah ada sejak zaman kuno.
Ada yang tahu apa itu herbarium (pluralnya: Herbaria) ? Wah aku natsukashii (kangen) sekali mendengar kata herbarium. Mungkin sudah lebih dari 25 tahun tidak mendengar kata itu. Herbarium adalah koleksi contoh tumbuhan yang dikeringkan. Jadi ingat dulu pernah membuat daun yang dikeringkan di dalam buku sampai hanya tinggal tulang daunnya saja. Nah itu termasuk cara untuk membuat herbarium. Dan, tentu mengingatkanku juga bahwa dulu aku pernah ingin belajar biologi, tapi akhirnya nyasar di Sastra Jepang :D. Oh ya, waktu aku mencari definisi herbarium, aku boleh berbangga sedikit karena Herbarium Bogoriense (BO) (Bogor, West Java, Indonesia) termasuk dalam 23 herbaria terbesar di dunia.
Kenapa tiba-tiba aku bicara soal herbarium? Ya karena tadi pagi aku pergi ke Makino Memorial Garden dan Museum yang hanya 5 menit naik sepeda dari rumahku. Dan siapa itu Makino?
Seperti biasa kemarin aku mencari di Jepang itu hari peringatan apa, dan ternyata kemarin tanggal 24 April adalah Hari Botanical di Jepang, untuk memperingati botanist Jepang Makino Tomitarou yang merupakan bapak Botanist Jepang. Dan persis tahun ini sebetulnya adalah 150 th hari kelahirannya (24 April 1862). Aku mulai curiga karena nama Makino kok aku sering dengar, ternyata memang benar nama yang sama dengan sebuah museum di dekat rumahku. Dulu Gen dan Riku pernah pergi ke situ tapi waktu itu sedang direnovasi, jadi tidak banyak foto yang diambil. Sayang sekali aku terlambat tahu mengenai hari kelahiran Prof Makino ini (sudah hampir jam 7 malam), kalau tidak aku bisa lari sebentar ke sana.
Kebetulan hari ini tidak hujan meskipun agak mendung, jadi setelah mengantar Kai ke TK, aku pergi ke tempat tersebut naik sepeda. Sebuah tempat yang teduh sekali. Setelah mengisi buku tamu, si Penjaga sempat bertanya, “Anda bukan orang Jepang kan?” hehehe. Dan sekaligus aku tanyakan apakah aku boleh mengambil foto di situ. Boleh katanya… tapi untung saja waktu di museumnya aku tidak memotret, karena ternyata di dalam museum tidak boleh memotret. Kalau di halaman boleh.
Aku mengelilingi kebun yang penuh dengan jenis-jenis pohon, termasuk pohon sakura. Sayang sekali sakura yang umum (mekar awal April) sudah tidak berbunga lagi. Coba pas mekar-mekarnya aku ke sini, pasti bagus deh. Well, masih ada tahun depan. Ada sebuah pohon sakura yang jenis Yaesakura yang mekarnya memang terlambat, namanya Fukurokuju Cerasus lannesiana ‘Contorta’ Miyoshi . Pantas aku banyak melihat jenis ini di jalan ke Universitas W, rupanya memang mekarnya sesudah pohon sakura Someiyoshino.
Setelah puas melihat di halaman, aku masuk ke museumnya. Masih ada bagian kamar belajarnya Prof Makino yang asli terbuat dari kayu dan menggambarkan kehidupannya waktu itu. Di situ juga ada tumpukan buku yang tentu saja hanya sebagian kecil dari koleksinya. Termasuk juga maket rumah yang di Nerima ini. Rupanya dulu sebelum tinggal di daerah Nerima, beliau tinggal di Shinjuku, dan rumahnya kebakaran. Untuk menyelamatkan koleksi dokumen dan buku-bukunya, dipinjamkan rumah yang cukup luas di Nerima ini. Luasnya 2.222 meter persegi dan dipenuhi dengan berbagai tumbuhan untuk keperluan penelitiannya juga. Beliau tinggal di sini sampai akhir hayatnya dalam usia 94 tahun pada tahun 1957. Museum dan taman ini dibuka untuk umum setahun sesudahnya. Dan yang bagusnya, karena dipelihara pemerintah daerah Nerima, untuk memasuki museum ini tidak dipungut biaya.
Dalam museum dipamerkan artifak, benda-benda yang dipakai profesor Makino, serta contoh buku, gambar-gambar yang dibuatnya. Ada pula riwayat perjalanan hidup profesor Makino ini. Dari wikipedia kemarin aku juga mengetahui bahwa sebetulnya beliau bahkan tidak lulus dari SD. Tanpa masuk sekolah menengah, beliau belajar otodidak bahasa Inggris, geografi dan botany. Waktu beliau menjadi guru bahasa Inggris itulah, beliau pertama kali membuat tulisan akademis mengenai ilmu tumbuhan. Dengan bekal itu beliau diperbolehkan belajar di Universitas Tokyo, dan meraih gelar doktor pada usia 65 tahun. Dan dari foto-foto yang dipajang, ada satu yang membuat aku bergetar…. yaitu foto waktu beliau berusia 93 tahun dan sakit-sakitan sehingga harus tetap di tempat tidur, tapi masih meneliti dan memeriksa gambar yang dibuat muridnya. Benar-benar belajar (meneliti) sampai mati!
Kalau melihat betapa detilnya gambar tetumbuhan yang dibuat oleh Prof Makino, aku juga bisa membayangkan bahwa profesor ini pastinya pandai menggambar seperti paktuonya Inon. Detil dari bunga-bunga, daun dan bebijian begitu apik digambarkan dan menjadi bagian dari ensiklopedi tumbuhan Jepang. Kalau dipikir jaman sekarang ini jauuuuh lebih mudah, karena ada kamera (apalagi yang lensa makro). Semua tinggal jeprat-jepret. Dulu mana ada? Hebat euy.
Apalagi kalau mengatahui bahwa beliau itu yang menemukan dan memberi nama 2500 tumbuhan termasuk 1000 species dan 1500 varietas baru! Passion dan semangatnya itu loh, patut ditiru. Semoga saja bisa tertular padaku, karena sesungguhnya mengetahui bahwa pernah ada orang hebat yang tinggal sedekat ini saja, aku sudah bangga hehehe :D. Bagi yang berminat mengunjungi Taman dan museum kecil ini bisa menghubungi aku sampai dengan tanggal 17 Juni 2012 (khusus untuk pameran lukisan Sakura yang dibuat oleh pelukis/peneliti khusus dalam rangka memperingati 150 tahun kelahiran Prof Makino).
Kuambil buluh sebatang
kupotong sama panjang
kuraut dan kutimbang dengan benang
kujadikan layang-layang
bermain….berlari…….
bermain layang-layang
bermain kubawa ke tanah lapang
hati gembira dan riang
Masih ingat lagu ini? Terus terang aku lupa! Nah, pas aku cari-cari di google dengan kata acuan “layang-layang”, keluarlah lagu ini di Youtube. Pas aku dengar…well,…. aku tahu kok lagu ini. Cuma memang jarang masuk repertoire untuk dinyanyikan seperti “desaku” atau “kasih ibu”.
Nah, mudik kami memang rasanya seperti antiklimaks. Sejak pergi ke TL, RD, dan kopdar tgl 2, rasanya tidak ada kegiatan besar yang kami lakukan. Untung saja waktu aku bercakap-cakap dengan kakak kelas di SMA, Retty dia mengajak aku pergi ke museum layang-layang. Wehhh ada ya museum layang-layang di Jakarta? Akhirnya kami janjian untuk pergi ke sana tgl 14 Agustus 2010.
Kami, Retty dengan 3 anak, Aku dengan 2 anak dan Krismariana sampai di museum layang-layang ini sekitar pukul 11 siang. Harga tanda masuk di sini seorang Rp 10.000 yang sudah termasuk dengan pembuatan layang-layang. Tapi di sini juga bisa membuat keramik dan melukis T-Shirt yang masing-masing biayanya Rp. 50.000.
Nah, sebelum masuk museum kami diantar masuk ruangan untuk menonton video mengenai layang-layang. Videonya dilengkapi subscript, tapi terus terang saja, saya tidak tonton. Lebih asyik menonton anak-anak yang bermain dalam ruangan itu. Retty membawa 3 anaknya, yang paling tua Ray dan si kembar Sisco dan Rafael. Nah si Sisco dan Rafael itu bener-bener “kakak” yang baik untuk Kai. Mereka mau aja dijadikan kuda-kudaan oleh Kai, dan yang lucu jika melihat mereka “bercakap-cakap”. Ah…anak-anak memnag tidak perlu bahasa tertentu untuk bisa berinteraksi. Mereka benar-benar anak yang baik (well, pada dasarnya semua anak dilahirkan baik kan?).
Setelah selesai menonton kami menuju ke halaman belakang. Benar-benar asri tempat ini. Museum layang-layangnya sendiri terletak di gedung paling belakang, dengan pendopo yang secara keseluruhan kecil tapi cukuplah jika mengingat tempat ini dikelola pribadi (bukan pemerintah…dan lebih baik jangan diserahkan pemerintah deh hehehe). Ibu Endang W. Puspoyo yang mendirikan tempat ini tahun 2003.
Kami dipandu oleh mbak staff yang menjelaskan tentang layang-layang yang ada di dalam ruangan. Ada layang-layang yang terbuat dari kantong plastik kresek, ada yang dari daun ubi, dari tikar atau kreasi lainnya. Ada juga perwakilan dari propinsi, seperti dari Kalimantan Selatan yang memang besar-besar. Dan baru di sini aku mengetahui, bahwa di setiap ujung layang-layang itu terpasang semacam suling, dari bambu atau kayu, yang akan berbunyi jika terkena angin.
Tentu saja ada layang-layang dari manca negara juga, termasuk dari Jepang dan Cina, yang sejarahnya lebih tua daripada layang-layang Indonesia. Di meja hias yang terletak di tengah ruangan terdapat berbagai pernik mengenai layang-layang, termasuk perangko khusus layang-layang. Aduh aku ngiler sama perangkonya deh. Dan kelihatannya aku menemukan lagi teman satu hobby, karena Retty juga ternyata pengumpul perangko. Sayang kita belum sempat bercakap-cakap banyak mengenai perangko, karena kami juga harus mengawasi anak-anak yang berjumlah 5 orang, laki-laki lagi…. “Awas jangan pegang itu…” “Hati-hati…nanti rusak”…. dsb dsb.
Kadang aku juga membayangkan jika aku menjadi anak yang selalu dilarang ini itu oleh orang tuanya. “Jangan pegang…nanti rusak!” Padahal, aku (sebagai anak) juga tidak mau kok merusak barang. Kenapa kok tidak ada kepercayaan bahwa aku tidak akan merusak ya? Kenapa ini itu tidak boleh? Padahal aku ingin tahu banyak tentang hal itu. Hmmmm di Jepang mungkin wadahnya sudah ada. Karena seandainya pun rusak, tidak apa-apa. Museum di Jepang sudah melengkapi barang-barang pamerannya yang antik-antik dengan “pelindung” sehingga kemungkinan untuk rusak sedikit. Anak-anak boleh memegang sarana yang memang khusus disediakan untuk dipegang, dicoret, dicoba tanpa perlu takut rusak. Menyediakan khusus untuk anak-anak itu yang mungkin negara kita belum bisa, karena memang butuh dana yang tidak sedikit. (Boro-boro untuk anak-anak mel….menyediakan museum yang layak saja sepertinya susaaaah sekali hihihi).
Aku tahu anak-anak cepat bosan, karenanya kami cepat-cepat mengakhiri kunjungan kami dalam ruangan museum, dan keluar ke pendopo. Di pendopo sudah tersedia kayu panjang sebagai alas untuk membuat layang-layang. Karena ada 5 anak-anak disediakan 4 bahan untuk membuat layang-layang, dan untuk Kai yang masih kecil, disediakan kertas yang bisa diberi warna dan dijadikan layang-layang oleh staf museum.
Dan di pendopo ini aku bisa bersua dengan teman blogger lama, Nenny Dewi Rhainy yang khusus datang jauh-jauh dari Tangerang ke Pondok Labu ini untuk menemuiku, bahkan mereka sebetulnya duluan sampainya ke museum ini. Jadilah kami bercerita-cerita di pendopo, karena abang Shafa dan Audri-chan sudah selesai membuat layang-layang mereka. Kami bertukar kabar setelah 1,5 tahun tak bertemu, yaitu sejak kopdar di Omah Sendok. Senang sekali rasanya bertemu teman lama. Meskipun kadang-kadang kami masih saling menyapa lewat YM atau FB, tapi namanya ibu rumah tangga kan selalu ada saja yang harus dikerjain, harus dipikirin…. terutama mikirin keluarga tentunya ya Nenny…hihihi.
Karena Mas Totok, suami Nenny ada urusan jam 2, dan Nenny sendiri ada janji ke dokter jam 3, jadi pukul 12 kami berpisah. Pertemuan yang singkat tapi menyenangkan. Terima kasih banyak ya Nenny…. ditunggu loh tulisan-tulisannya lagi kalau sudah bisa menulis lagi.
Setelah anak-anak menyelesaikan layang-layang mereka, mereka mencoba menerbangkannya di halaman museum yang cukup luas, meskipun tidak bisa tinggi-tinggi. Sementara itu aku, Retty dan Krismariana menjenguk bangunan di tengah-tengah kompleks yang sepertinya dulunya merupakan rumah kediaman Ibu Endang. Hmmm….ngeri juga tinggal di situ ya, meskipun tampaknya adem meskipun tanpa AC. Banyak koleksi antik dan kain-kain yang dipajang di situ.
Kemudian anak-anak dipanggil oleh staf ke tempat terbuka seperti kantin, yang khusus dipakai untuk membuat keramik. Di atas meja sudah tersedia 5 bungkahan tanah liat untuk dibentuk. Karena Kai masih terlalu kecil, jadilah mamanya yang memakai bungkahan tanah liatnya Kai. Dan…aku senang sekali, karena memang aku ingin sekali belajar membuat keramik. Nanti jika Kai sudah sekolah, aku mau mencoba masuk kelas keramik, atau kelas Taiko (genderang Jepang) atau kelas caligrafi… atau fotografi, nah nah nah…ketahuan deh my wishlist yang seabreg-abreg itu (dan tampaknya nanti akan berakhir di depan komputer juga hehehe).
Kami disuruh membuat sebuah jambangan bunga yang sudah ada contohnya, tinggal membuat serupa dengan contoh. Kami menyambung bagian-bagian dengan lem tanah liat karena tanpa lem itu bagian-bagian itu bisa berantakan waktu dibakar. Riku tentu saja menciptakan banyak bentuk-bentuk baru seperti gajah, boneka salju dan manusia dengan bungkahan tanah liat jatahnya. Dia sudah biasa main lilin di sekolahnya sih. Dan aku merasa bodoh tidak sempat membuat foto hasil karyanya sebelum dibakar. Lupa!
Sebetulnya setelah membuat keramik ini kami lebih baik pulang, karena anak-anak belum makan siang. Tapi karena Riku ingin seklai membuat T-Shirt, jadi aku biarkan mereka melukis T-shirt cepat-cepat. Tadinya kupikir T-Shirtnya kosong melompong, dan anak-anak bisa melukis apa saja. Ternyata sudah ada gambar dan tulisannya, tinggal mewarnai saja. Hehehe…semestinya judulnya bukan melukis T-Shirt, tapi mewarnai T-Shirt.
Nah, di sini Kai tetap mau melukis T-Shirt bagiannya. Tentu saja semaunya dia hehehe. Jadi setelah dia puas membuat “totol-totol” di kaosnya, aku yang melanjutkan memperbaiki dan menulis nama Kai dengan Kanji. Riku? Riku sih selalu tegas dan pede dalam mewarnai. Dia punya pilihan warna tertentu yang lain dari yang lain. Menurut ibu mertuaku, warna pilihan Riku adalah “warna riang”.
Jam setengah tiga, 5 anak kelaparan dan 3 ibu kecapekan naik mobil pulang. Kami sempat menjemur T-Shirt yang masih belum kering cat nya di sandaran kursi mobil. Sambil menyusuri jalan Fatmawati yang macet, aku memangku Kai yang bersikeras duduk di depan, samping Retty yang menyupir. Karena tidak tahan lapar, akhirnya kami mampir di Kentuckynya De Best untuk makan siang. Dan di situ aku sempat “berkelahi” dengan Kai yang manjanya minta ampun. Mungkin karena terlalu capek dan lapar dia terlanjur rewel. Susah deh…..
Tapi pengalaman satu hari ini di Museum Layang-layang benar-benar membekas di hati kami. Terima kasih banyak ya Ret, sudah memperkenalkan museum yang bagus ini, dan bahkan antar jemput sampai di rumah. Senang sekali bertemu dengan anak-anak kamu yang begitu sayang pada Riku dan Kai. Hasil keramiknya ternyata tidak selesai sampai waktu kami kembali ke Tokyo, sehingga tidak bisa kami bawa, atau at least memotret hasilnya. Tapi pengalaman itu tidak akan terlupakan.
Untuk keluarga yang mau mencari kegiatan bersama, aku sarankan pergi ke museum Layang-layang ini. Mereka buka setiap hari dari jam 9:00 sampai jam 4:00 tapi kalau hari biasa justru harus menelepon dulu karena sering menerima kunjungan rombongan sekolah (termasuk sekolah Jepang) . Meskipun akhir pekan, biasanya tidak banyak yang datang sehingga bisa langsung datang, dan paling sedikit bisa membuat layang-layang.
Ini bukan kata bahasa Indonesia baru, tapi bahasa Jepang yang berarti “Balai Masa Depan”. Kalau diinggriskan menjadi National Museum of Emerging Science and Innovation. Kami pergi ke sini hari Minggu tanggal 2 Mei, pas di Indonesia memperingati Hari Pendidikan. Tidak dipas-pasin loh, karena memang sejak paginya kami bingung mau pergi ke mana hari ini. Sayang gitu kalau tidak keluar rumah. Memang ada banyak alternatif awal seperti pergi manen stroberi, atau pergi ke peternakan Mother Farm di Chiba. Tapi karena paginya Gen mau pergi ganti oli mobil, jadi kami baru bisa memutuskan tujuan kami pukul 2 siang.(Kayaknya de Miyashita waktu keluar kandang nya emang pas jam segini deh… bukan morning person untuk hal-hal begini heheheh)
Nama lengkapnya Nihon Kagaku Miraikan 日本科学未来館, disingkat Miraikan, terletak di Odaiba, sebuah lahan reklamasi di Teluk Tokyo. Odaiba sendiri merupakan kompleks yang besar dengan gedung-gedung besar nan canggih, termasuk gedung Fuji Television. Kami sampai di depan gedung Miraikan ini sudah jam 3:20. Sambil Gen mencari parkir, aku dan anak-anak membeli karcis masuk. Untuk dewasa 600 yen, anak SD 200 yen. Kami harus membayar lebih jika mau melihat film 3D, tapi itupun harus pesan tempat. Karena waktu tinggal sedikit, jadi aku beli karcis yang base saja.
Nah sebetulnya yang menjadi trigger, pemicu kami datang ke sini adalah adanya pameran Kako Satoshi mengenai teknologi. Kako Satoshi yang mengarang picture book Dewi Sri yang barusan kutulis itu, memang menulis juga berbagi picture book yang menyangkut pengetahuan. Misalnya tentang laut, tentang planet dsb. Nanti deh kalau ada senggang aku coba tulis tentang bukunya yang lain lagi ya.
Pameran itu berjudul Your Future, Your FutureSelf, a journey into picture book with Satoshi Kako. Sayangnya di pameran ini banyak bagian yang dilarang memotret. Ada yang aku kadung motret, karena tidak lihat sign “No Photography” nya. Nah kalau soal ginian, aku strict nih, kalau dilarang, ya aku pasti patuh. Padahal ada kalanya Gen punya sense…ngga papa lah, bilang aja ngga tau (kadaaang sekali, soalnya kalau orang Indonesia kan kebanyakan berprinsip peraturan itu memang dibuat untuk dilanggar hihihi). Nah untuk ini Gen jadi orang Indonesia deh, aku yang orang Jepang. hehehe.
Isi pameran itu kebanyakan berisi panel-panel tentang pentingnya belajar ilmu pengetahuan, juga disediakan beberapa pojok dengan matras plastik bagi yang mau membaca picture book yang disediakan di situ. Menurut Gen, “Yaaah aku ngga nyangka pamerannya kok sok kotbah gini” hehehe. Pasti ada pejabat/institusi yang mau memakai nama Kako Satoshi yang terkenal untuk menyampaikan pesan tertentu. Namun memang ada surat dari Kako Satoshi kepada anak-anak, yang kata-katanya aku setuju. “Belajarlah apa yang kamu sukai, dan tidak sukai, supaya bisa menjadi pintar dan bisa mengubah dunia dengan pengetahuan”. Kita memang harus juga belajar yang tidak kita sukai karena, somehow suatu waktu akan perlu dan berguna.
Pintu masuk pameran Kako Satoshi
Di pameran ini Riku dan Kai bosan! Aku harus menjaga Kai yang lari kian kemari, sehingga tidak bisa melihat dengan tenang. Ya tidak apa lah, sudah biasa hehehe. Dari pameran ini, kami pergi ke ruang Yokan Kenkyujo, kalau diterjemahkan yokan = prediksi, imaginasi, kenkyujo = penelitian. Jadi di sini memang kita bisa melihat penemuan-penemuan pengembangan teknologi yang berhubungan dengan art (kesenian) dan hiburan. ART! adalah sesuatu yang disukai Riku. Anak ini memang suka seni, segala macam ini dicoba dan berkreasi sendiri. Jadilah di sini dia melewatkan waktu cukup lama dan mencoba semua booth yang ada. Lari ke sana ke mari sendiri. Wew…sementara mamanya berdiri dari jauh memperhatikan dia dan si unyil koala yang juga merasa bosan, tidak ngerti apa-apa. Jelas lah…apa sih yang menarik bagi anak usia 2 tahun?
Booth pertama yang dikunjungi Riku adalah memadukan permainan wayang (memakai bayang-bayang) dengan komputer. Riku mencoba menggerakkan wayang secara tradisional dan setelah itu dipakaikan semacam topi yang tersambung pada komputer. Setiap gerak riku dibaca oleh komputer yang akan menggerakkan wayang sesuai dengan gerakan Riku. Jadi kalau tradisionalnya orang menggerakkan wayang kulit dengan tangan, di masa depan, orang menggerakkan wayang dengan gerakannya sendiri, tapi dengan tampilan wayang kulit (bayangan) . Hehehe…bukan wayang orang gitchuuu. Cukup bangga aku di booth ini, tentu saja karena mereka memperkenalkan wayang, dan penelitinya adalah team dari Universitas Waseda. Waseda gitu loh….
Setelah dari sini aku kehilangan jejak Riku, yang sudah lari ke sana kemari mencoba setiap booth yang hampir semua dilengkapi komputer. Sampai akhirnya aku bertemu dia sedang mencoba program komputer untuk membuat balon dari gambar kita sendiri.
Booth selanjutnya tentang program komputer untuk mendesain kursi yang cocok untuk kita. Disesuaikan dengan tinggi badan, keseimbangan kursi dll, sehingga bisa menghasilkan desain kursi khusus spesial (ngga pake telur!) . Di sini aku turun tangan, karena si peneliti tidak bisa bahasa Jepang, jadi Riku tidak mengerti maksudnya. So begitu deh dia menjelaskan kegunaan programnya dengan bahasa Inggris padaku (yang cerewet tanya ini itu hihihi)
Berikutnya adalah program komputer yang memungkinkan karakter beruang di dalam display bereaksi terhadap gerakan kita. Selain itu juga ada program memasak virtual, program menyarankan menu makanan dengan balancing bahan-bahan makanan yang telah kita konsumsi, bahkan sampai mengatur dan menghitung jumlah kalori yang sudah dikonsumsi. Nah…yang ini perlu deh untuk aku hahaha.
Kai mulai bosan,papanya juga bosan, jadi mereka berdua pergi duluan ke ruang pameran lain, yang terletak di lantai 5. Sementara aku menemani Riku mencoba ini itu. Dan setelah semuanya dicoba, kami juga pergi ke lantai lima gedung ini, untuk melihat pameran tentang manusia dan teknologi. Nah, waktu mau masuk ke ruangan ini, kami sempat bingung, karena pintu otomatisnya tidak membuka. Seperti di pintu masuk stasiun sepertinya harus memasukkan karcis. Tapi pintu ini lebih canggih, cukup menyentuh QR code yang terdapat pada karcis masuk, kemudian pintu membuka. Huh.. berasa ketinggalan jaman deh.
Menurutku di sini terlalu beragam yang ingin dipamerkan. Ada masalah lingkungan hidup, ada tentang DNA dan manusia, penelitian biologi, sampai kehidupan di luar angkasa… tidak fokus gitu hehehe. Tapi lumayan deh aku sempat mendengar sedikit kuliah gratis mengenai DNA sebelum akhirnya Kai minta minum. Kelaparan dia. Jadi aku dan Kai keluar ke Cafe, dan membeli hot dog untuk dia. Sementara Riku dan papanya melewatkan waktu dalam museum itu sampai jam 5:45 sore.
Kesan aku? Jepang kebanyakan duit sampai harus membuat museum begitu besar, mewah dan canggih untuk menjadi pusat pameran teknologi. Tapi mungkin memang harus begitu, sebagai daya tarik supaya akan lebih banyak lagi anak-anak canggih yang lahir dan berkreasi di bidang penemuan. Aku kagum ada anak yang sudah mengerti DNA dan bisa menjawab semua keterangan pada waktu kuliah gratis itu. Mungkin dia kelas 5 SD…duh otakku ngga nyampe deh bersaing dengan dia. Dan aku juga tidak memaksa anakku untuk tahu semuanya seperti dikarbit. Enjoy aja nak!
Jam 6:30 kami keluar dari parkiran Museum. Bayarnya cuma 700 yen untuk 3 jam…aku pikir bakal lebih dari 1000 yen, kalau mengingat gedung yang begitu mewah ini. Lalu Gen berkata, “Ngga mungkin lah pemerintah meras warga dan mengambil keuntungan dari ongkos parkir!” … Hmmm memang sih, 600 yen karcis masuk juga masih murah. Tapi masalahnya, mau ngga keluarin 600 yen untuk datang ke tempat beginian?
Karena sudah starving, pekopeko alias lapar berat, kami akhirnya masuk ke tempat parkir di gedung DECK Odaiba. Semacam mall dan restoran. Ada banyak gedung semacam ini di daerah ini, tapi kebetulan yang cepat dan mudah parkirnya ya di DECK ini. Jelas aja… 1 jam parkirnya 500 yen jeh… muahal! Dan kami langsung menuju lantai 5, ke restoran Tonkatsu WAKO. Restoran ini menjual daging/ayam/udang goreng yang cukup terkenal. Tadinya sih kepingin makan sushi tapi antri… jadi ubah haluan deh. TAPI….
Kami benar-benar enjoy makan di sini, bukan karena makanannya enak banget, tapi pemandangannya bagus banget! Restoran ini mempunyai teras yang langsung menghadap ke teluk Tokyo, dengan Rainbow Bridgenya yang mulai diwarnai lampu-lampu. Keren banget pemandangannya! Riku tadinya mau duduk di luar, tapi sepertinya petugas restoran malas membawa makanan sampai luar (atau kami perlu membayar charga khusus… ngga tau juga deh) Tapi alasannya dingin berangin. Padahal Riku berdiri di luar terus sampai makanan datang karena di lantai 3 nya ada pertunjukan “gratis” musik oleh idunnohisname, tapi entah kenapa Riku suka sekali sehingga merekam dalam video pertunjukan itu dengan camera.
Meskipun waktu pulang kami terjebak macet di jalan tol (bayangin jalan tol macet!…eh udah biasa ya di Jakarta hehehe) tapi pemandangan lampu-lampu di sekeliling bisa menghibur kami, dan mengakhiri hari yang kedua dalam liburan panjang Golden Week.
Akhir-akhir ini aku sering melihat foto-foto kegiatan tiga sahabatku Katon Bagaskara, teman SMA Ira Wibowo dan teman SDku HDK bersepeda bersama di Jakarta dengan istilah “GOWES”. Kupikir istilah baru yang menyebar di Jakarta, misal dari bahasa Inggris go west, pergi ke barat hehehe. Tapi ternyata setelah tanya penulis yang juga editor, DM, aku tahu bahwa gowes itu dari bahasa Jawa yang artinya “mengayuh”. Hmmm bagus juga jika gowes dibakukan menggantikan “cycling” nya bahasa Inggris atau kata “bersepeda sehat” yang terlalu panjang.
Berlainan dengan blogger sahabat saya mas NH18 yang hobi bersepeda di akhir minggu sendirian, aku malah bersepeda sebagai kendaraan sehari-hari. Kecuali jika hujan! Kalau dulu sempat aku mempunyai “perpanjangan tangan” yaitu alat yang dipasang di stang depan sepeda untuk memegang payung (dan sudah 3 kali beli karena rusak), sekarang jika hujan aku lebih baik naik bus. Dulu maksa pergi naik sepeda waktu hujan karena aku banyak bekerja pagi dan tidak bisa terlambat, sekarang masih bisa ditolerir. Naik bus jika hujan yang tadinya hanya makan waktu 10 menit, bisa menjadi 30-40 menit soalnya. Dan tentu saja memikirkan kondisi anak yang mesti aku bawa serta. Kalau dulu Riku penurut sehingga mau saja pergi pada waktunya. Sekarang aku memakai bus sebagai “rayuan” untuk Kai supaya mau pergi ke penitipan.
Nah, hari Minggu kemarin cerah dan …panas! (mungkin sekitar 23 derajat) Setelah seminggu terlalu lama di dalam ruangan, dan Gen yang selalu pulang jam 12-2 pagi, akhirnya pada jam 2 siang kami memutuskan untuk bersepeda bersama mencari sisa-sisa sakura ke arah Taman Shakujii (shakujii koen 石神井公園). Sebuah taman seluas 200ribu m2 yang bisa dicapai dengan bersepeda 15-20 menit. Aku memboncengkan Kai di belakang, Riku dengan sepeda barunya, dan Gen sebagai kepala rombongan, tiga sepeda beriringan melewati jalan tikus menuju taman. Sambil melihat sisa-sisa bunga sakura yang sudah bercampur daun, kami juga rumah-rumah di sekitar taman yang begitu besar (untuk ukuran Jepang loh) dan asri…pasti orang kaya deh.
Kami memarkirkan sepeda di luar taman dan berjalan kaki memotong taman mengikuti jalur “walking” berupa deck kayu di sekeliling “Kolam Sanpouji” 三宝寺池. Senangnya melihat deck kayu ini, karena amat berguna untuk mereka yang memakai baby car atau kursi roda/lansia yang berjalan dengan bantuan tongkat. Banyak sekali pengunjung taman hari ini. Aku yakin banyak warga Nerima yang memutuskan untuk melewatkan hari cerah ini di luar. Dan Taman Shakujii menjadi pilihan. Kami bisa menikmati pemandangan kolam, pepohonan, burung dengan gratis!
Sambil berjalan, sesekali kami berhenti melihat kolam. Kai yang berjalan terus sendiri (kuat juga tuh anak) senang sekali melihat bebek, angsa, burung dan ikan KOI yang besar-besar di kolam. Tidak jarang aku melihat orang-orang dengan kamera DSLR yang canggih memotret kelakuan hewan-hewan itu. Ngiler… pengen beli juga…. hihihi. Bahkan ada di suatu tempat yang sepertinya sudah diketahui sebagai tempat berkunjungnya burung langka, berkumpul 3-4 pemotret dengan lensa tele sebesar lobak ada kali 50 cm tuh… berat nian pasti! Khusus Bird watching!
Sementara di beberapa bagian di sisi deck “walking” itu terdapat meja yang dipenuhi bapak-bapak. Kalau di Indonesia pasti main gaplek, tapi di sini main Shogi 将棋, sejenis catur tradisional Jepang. Aku sendiri bisa bermain catur (ngga jago sih) tapi belum pernah bermain shogi, padahal katanya sih rule permainannya tidak begitu berbeda.
Kami berjalan lagi dan menemukan athletic jungle gym (tempat memanjat, bergantungan, perosotan dsb, dan jungle gym sendiri ternyata awalnya merupakan merek alat tersebut). Banyak anak memanfaatkan tempat ini, termasuk Riku (padahal di situ tertulis untuk 10 th ke atas heheheh). Sedangkan Kai yang masih terlalu kecil untuk ikut memanjat-manjat, menunggu giliran untuk menaikin anjing-anjingan. Aduuuh ini anak, dia maunya duduk di kursi paling depan, dan bersikeras terus menunggu. Hmmm benar-benar keras kepala, jadi ngeri kalau ngebayangin dia jadi “atasan”, targetnya harus bisa tercapai. Kai mirip tante Titin nih! Aku? aku keras kepala juga sih tapi tidak seteguh Kai hehehe.
Kemudian kami berjalan lagi memotong taman keluar di jalan besar. Kami kemudian mampir di gedung baru, semacam museum kebudayaan wilayah Nerima. Bangunan mewah ini didirikan dari pajak daerah, dan memamerkan sejarah daerah Nerima. Daerah ini sejak dulu terkenal sebagai penghasil daikon (lobak) yang dikeringkan. Lobak nya besar dan panjang-panjang. Di lantai dua, kami bisa melihat proses pembuatan lobak, selain dari artifak yang ditemukan di Nerima.
Yang menarik di sini juga ada visualisasi sudut kota/perumahan orang Jepang jaman dulu, jadul deh… Tapi beberapa cukup membangkitkan kenangan aku pribadi. Suasana jadul seperti ini dulu masih sering aku jumpai di rumah alm. opa Bogor (kami selalu memanggil papanya mama ini dengan opa bogor, karena tinggal di bogor). Kalau mesin jahit singer dan seterika begitu mah, di rumah Jakarta juga masih ada hehehe. Ya dipikir-pikir untuk angkatannya Riku nanti, mungkin keyboard komputer, handphone sekarang yang canggih-canggih akan menjadi fosil kalau dia dewasa ya? hehehe.
Dari sini, kami pergi ke halaman museum, tempat sebuah rumah tradisional milik “orang kaya” di Nerima berada. Kalah jauh dengan rumah tradisional di Yokohama, tapi di sini bagusnya dikasih lihat struktur pembuatan atap yang canggih. Di dekat situ juga terdapat situs bekas rumah jaman Jomon, sekitar 5000 tahun yang lalu.
Hari mulai mendung, jadi kami bergegas kembali menyusuri jalan yang sama menuju tempat kami parkir sepeda. Karena kami belum makan siang sejak brunch jam 11, kami mencari toko ramen (mie jepang) yang masih buka. Ternyata kebanyakan toko ramen tutup sesudah jam 4 sore, untuk kembali beroperasi pukul 6 sore. Salah satu alternatif lain adalah makan okonomiyaki dekat rumah. Ternyata di sini juga tutup, dan baru buka jam 5:30. Tadinya kami ditanya oleh petugas rumah makan itu apakah mau di reserve tempat untuk kami jam 5:30. Tapi Kai tidur di boncengan jadi kasihan juga untuk menunggu satu jam sampai toko itu buka, jadi kami memutuskan untuk pulang tanpa reserve.
Sekitar jam 6:30 Kai terbangun, dan acara televisi kesukaan Riku sudah selesai (Shoten dan Chibi Maruko) sehingga kami langsung naik sepeda lagi ke resto okonomiyaki tadi. Rumah makan ini menjual okonomiyaki khas daerah Hiroshima, yang berbeda dengan Okonomiyaki Tokyo. Okonomiyakinya tidak tebal, tapi tipis, mirip crepe dan di tengahnya berisi soba/udon goreng. Di atas crepe itu dibubuhkan serbuk ganggang laut dan saus okonomiyaki (seperti saus bulldog/inggris tapi lebih kental dan hitam…. hmmm kalau bagi orang Indonesia mirip kecap manis deh) dan mayoneis. Kai juga senang makan ini, karena dia hobi banget makan soba/ segala yang seperti mie.
Akhirnya sekitar jam 7:30 kami pulang ke rumah karena mulai rintik. Bersepeda dalam keadaan kenyang juga merupakan siksaan bagiku hihihi.Mungkin yang paling bugar saat itu hanya Kai, karena sempat tidur. Jam 8:30 kami semua sudah dalam tempat tidur, mendongeng dan ZzZzZZzzzzz.
Dan mau tahu doaku malam ini? “semoga bersepeda sehat dan jalan-jalan hari ini bisa menurunkan (sedikit) berat badanku… AMIN” (hihihi)