Nah, yang menarik dari acara berkunjung ke rumah-rumah tradisional kemarin adalah kesempatan membuat “jumputan”, dyeing, membuat pewarnaan kain indigo dengan cara tradisional. Warnanya memang khas yaitu biru indigo, dan aku punya satu baju berwarna dan bermotif seperti itu. “Batik”nya Jepang tapi motifnya “jumputan” … Nah bingung kan hehehe. Terus terang aku baru tadi malam teringat kata “Jumputan”…selama ini lupa euy.
Riku paling suka bereksperimen begitu, jadi dia ikut acara mencelup warna yang dimulai pukul 1 siang. Kabarnya sih mereka makan soba di sekitar daerah itu sambil menunggu waktu praktek itu. Biaya membuat satu helai kain untuk “bandana” (ikat kepala) sebesar 60×60 cm ini seharga 800 yen.
Pertama dia disuruh memilih bahan-bahan yang dipakai untuk membuat bentuk dalam kain. Riku memilih kelereng, tube plastik bekas film dan jepitan jemuran sebagai benda bantuan pembentuk hiasan. Tentu saja masih ada barang-barang lain yang bisa dipakai untuk menghasilkan motif tertentu tapi bagi anak-anak kelereng dan tabung bekas film itu yang paling mudah.
Kain diberi kelereng dan diikat dengan karet gelang, atau diberi tabung plastik bekas film dan ditutup dengan penutupnya. Kemudian bersama gurunya memasukkan kain yang sudah “dijumput-jumput” ini ke dalam warna pertama. Proses pewarnaan diulang 3 kali.
Setelah kain kering dibukalah ikatan-ikatan pada kelereng dan tabung bekas film, dan jadilah bandana biru bermotif seperti ini:
Menurut gurunya, biasanya anak-anak yang baru pertama kali mencoba, tidak akan bisa membuat warna dengan begitu rapih seperti Riku. Seandainya saja rumahnya dekat bisa ikut kegiatan pada musim panas untuk membuat t-shirt dan lain-lain. Sayang rumah kami memang jauh sekali, lagi pula liburan musim panas kami biasanya tidak ada di Jepang, jadi tidak mungkin.
Tapi yang pasti Riku senang dan bangga sekali bisa membuat bandana “made in Riku” sendiri. Aku yang memang suka warna biru, juga mau kalau Riku memang suka dan bisa membuat taplak meja makan untukku ….. pasti bisa bangga membanggakan juga ya…
Dulu aku suka kain Jumputan Palembang yang beraneka warna. Sayang karena warnanya meriah dengan motif kecil-kecil, agak sulit untuk membuat model baju untukku. Kalau satu warna seperti kain indigo ini akan lebih mudah tentunya untuk membuat baju untuk “size” ku :D. Lain halnya jika dibuat rok.
Sekarang Kain Jumputan masih populer tidak ya di Indonesia (Jakarta)?
Jumat 29 April kemarin sebenarnya adalah hari libur di Jepang yang dinamakan Showa no hi (Hari Showa untuk memperingati kaisar Showa) dan merupakan awal dari rangkaian hari libur yang disebut Golden Week (biasa disingkat GW). Tapi….untukku bukan hari libur. (Sedangkan Gen yang biasanya kerja di hari libur saja, kemarin bisa libur :D)
Ya, akibat permulaan tahun ajaran baru 2011 diundur 1 bulan-an, maka aku yang memang hari kuliahnya hari Jumat, harus mengajar kemarin meskipun hari libur. Tentu saja itu berarti mahasiswa tidak bisa libur. Sama-sama deh. Dan karena Gen libur, aku tidak perlu memikirkan siapa yang harus menjaga Riku dan Kai selama aku mengajar.
Yang menyenangkan sebetulnya adalah pukul 6 pagi waktu aku bangun, Ternyata Riku dan papa Gen juga sudah bangun. Dan Gen mau mengantarkan aku ke universitas naik mobil. horre…. yatta! Meskipun aku tahu naik bus dan kereta ke arah universitas pada hari libur juga tidak terlalu penuh tapi selalu lebih enak kan, jika diantar from door to door.… sampai depan universitas hehehe. Dan untuk mengantisipasi lalu lintas macet, kami berangkat pukul 8:30. Aku mengajar pelajaran ke 2 pukul 10:45, tapi aku perlu me- lithograph (stensil) bahan pelajaran dulu, yang cukup banyak.
Tapi untunglah jalanan tidak macet sehingga aku bisa sampai di universitas pukul 9:30-an. Aku sendiri tidak tahu apa rencana Gen dan anak-anak selama aku mengajar. Dan baru tahu sekitar pukul 12 bahwa mereka menunggu di daerah sekitar universitas… sampai aku selesai mengajar pukul 2:30
Daerah dekat universitas memang asri sekali. Di situ banyak terdapat rumah-rumah tradisional yang dilestarikan yang tergabung dalam “Taman Rumah Tradisionl” Minka-en. Tadinya mereka ingin pergi ke museum Okamoto Taro, seorang seniman Jepang yang terkenal. Tapi ntah kenapa, letak museum tidak bisa ditemukan. Setelah parkir mobil, malah menemukan kumpulan rumah-rumah tradisional jaman dulu. Memang dulu aku pernah melewati beberapa rumah tradisional waktu pergi dengan Riku. Tapi waktu itu tujuan kami ke planetarium (yang ternyata kecil dan belum buka waktu kami ke sana. Bukanya pukul 3:30 hihihi).
Jadi bertiga mereka berkeliling ke rumah-rumah tradisional itu, dan Riku yang memotret rumah-rumah itu. Langsung keliatan sih dari hasilnya, pasti bukan Gen yang memotret. But not bad juga hasilnya. Ini hasil potretan Riku:
Dalam taman ada 21 rumah tradisional, termasuk salah satunya yang biasa dipakai untuk pertunjukan Kabuki. Sayang kemarin itu tidak ada pertunjukannya. Tapi di beberapa rumah ada sukarelawan, yang biasanya kakek-kakek dan nenek-nenek yang akan menjelaskan tentang rumah dan bercakap-cakap dengan pengunjung. Ada yang menyalakan perapian di irori yaitu perapian berbentuk kotak yang sering dipakai sebagai pengganti meja makan. Bisa bayangkan duduk mengelilingi irori, sambil minum teh atau makan nasi lobak (kayak Oshin deh hihihi).
Kayu yang dipakai untuk membakar akan menghasilkan abu yang terkumpul di sekitar irori. Dan pojok-pojok irori ini dahulu kakek-kakek mengajar cucunya menulis memakai ranting. Very japanese yah 😀
Yang juga menarik adanya beberapa rumah yang berlantai bambu. Biasanya lantai rumah terbuat dari papan kayu tapi ini terbuat dari bambu, yang juga menunjukkan kondisi perekonomian saat itu (bambu jelas lebih murah dari kayu). Kok waktu melihat foto-foto rumah dengan lantai bambu itu aku jadi teringat rumah saudaraku di Makassar dulu semua lantainya terbuat dari bambu sehingga kami bisa melihat kambing-kambing dan ayam berlarian di bawah rumah.
Untuk memasuki Taman Rumah Tradisional Pemda Kawasaki ini hanya membayar 500 yen (dewasa, SMA-mahasiswa 300 yen, SMP ke bawah gratis) untuk melihat semua rumah yang terdapat dalam kompleks ini. Yang aku cukup terkejut ternyata yang paling tua ada rumah yang berdiri sejak abad 17… berarti 300 tahun yang lalu? Wah orang Jepang memang menghargai sejarah ya.
Aku bukan mau membahas soal Perempuan Kurang Kerjaan loh, tapi Pelajaran Ketrampilan Keluarga di Sekolah Dasar.
Masih ingat pelajaran PKK di SD? Aku sih cuma ingat pernah coba merajut, menyulam membuat saputangan/celemek. Tapi lupa kelas berapa.
Di Jepang pelajaran PKK dimulai kelas 5. Waktu pameran hasil pelajaran PKK kelas 5 dan 6 di sekolahnya Riku, aku bisa lihat mereka membuat tas kain dan celemek. Dan hasilnya benar-benar bagus deh. Kalau ini pameran di Indonesia aku akan merasa yakin hasil itu dibuatin ibu atau tukang jahit deh hehehe (berdasarkan pengakuan salah satu teman di SMA, dia menyuruh tukang jahit tuh hihihi). Tapi anak SD di Jepang? Mungkin juga ortunya ya? Karena Riku belum kelas 5, ya aku belum tahu… nanti ya aku cari tahu 😀
Anak-anakku sejak kecil memang sudah menunjukkan minat pada pekerjaan rumah tangga. Kalau mereka lihat aku mengepel, mereka juga mau. Tapi hasilnya …becek di mana-mana. Kalau memang aku lagi “ngga angot” ya aku perbolehkan mereka membantu, tapi kalau lagi “High Voltage” aku bilang lain kali aja ya, soalnya mama buru-buru 😀
Setiap kali aku mau membuat kue pasti berebut yang mau memecahkan telur atau memutar mixernya. Tapi tentu saja mereka juga yang pertama mau memotong jika sudah jadi.
Tadi pagi ada kejadian yang membuat aku tercengang. Si Kai (3th) membungkus buku dengan selebaran seperti membungkus untuk kado. Dia minta diambilkan selotip, sehingga aku beri saja. Dan hasilnya cukup rapih loh. Padahal aku tidak pernah membungkus kado di rumah. Dia belajar atau melihat dari mana ya?
Nah, kalau Riku (8th) waktu dia melihat aku menjahit label nama untuk seragam TKnya Kai beberapa waktu yang lalu, dia minta diajarin menjahit. Jadi aku ajarkan saja dulu cara memasukkan benang, membuat simpul dan jelujur. Tengah-tengah melakukan jelujur dia bosan hihihi.
Tapi pada prinsipnya, aku selalu membiarkan anak-anak untuk mencoba berbuat sesuatu, sepanjang tidak berbahaya. Aku juga membiarkan mereka berkreasi dengan bahan yang ada. Setiap ada kardus bekas, Riku minta katanya mau membuat robot-robotan atau ntahapabentuknya. Jadi harap maklum ya kalau rumahku itu berantakan dan jika mau ada tamu membereskannya butuh waktu lama 😀 (alasan hihihi). Anak-anak memang harus diberi kebebasan. Bisa baca di tulisan Desri di 3 Contoh Pembunuh Kreativitas Anak.
Tulisan ini juga terinspirasi oleh tulisannya Devyi Yudhistira yang “Belajar di Dapur“.
Kemarin tiba-tiba temanku bertanya padaku, “Mel, bahasa Jakartanya untuk peres orang apaan sih?
“Bahasa Jkt? Peres? maksud kamu bullying?”
“Iya maksa seseorang dengan tekanan gitu loh”
“Aduh, apa ya? Peras aja kan udah bahasa Indonesia. Kok pakai cari kata lain? (soalnya aku tahu dia penerjemah, jadi kalau kerjaan ya bagusan pakai bahasa Indonesia kan?)
“Ngga, gue tiba-tiba teringat ada orang yang bilang, “Kita XXXX dia aja”, jadi penasaran gue lupa kata itu”
“Hmm aku orang baik sih jadi ngga tahu kata-kata kek gituan”
“wkwkwkw ho oh ya, emang kita berdua orang baik sih ya”
Dan akhirnya aku tanya sahabat-sahabatku Yessy, Puak dan Eka di twitter, dan keluarlah jawaban “MALAK”. Horeee, kupikir itu pasti jawabannya. Cepat-cepat aku kirim email temanku itu ke HPnya. Dan mendapat jawaban, “Gue baru inget mel, kata itu POROTIN” hahaha. Iya juga yah
Entah kenapa aku kalau dengar kata porot, selalu teringat pelorot. Celananya melorot hihi. Yah intinya sih kadang memang kalau kita tidak pakai, bahasa itu bisa terlupakan.
Hari ini seperti biasa aku mengantar Kai ke TK pukul 8:45an. Dan hari ini dia manja sekali padaku, menangis terus di depan pintu TK. Memang kemarin malam aku tidak membacakan picture book seperti biasanya sebelum tidur, karena aku sedang sakit tenggorokan. Riku yang mengambil alih membacakan untuk adiknya, sementara aku langsung tidur. Sepertinya Kai jadi merasa “kurang kasih sayang”, dan menangis terus di TK nya. Untung gurunya melihat aku sedang bingung, dan menjemput Kai masuk ke kelas, sementara aku lari ngabur hehehe.
Sampai dengan pukul 11:30, waktu Kai pulang TK aku tidurrrr ZzzZZZ, pulas banget deh. Hantam gejala flunya dengan obat dan tidur, soalnya hari Jumat aku mesti mengajar. Tidak bisa tidak masuk!
Begitu alarm berbunyi, aku pergi menjemput Kai, dan membiarkan dia bermain 30 menit di taman TK. Ah senangnya melihat dia mau bermain terus. Dibandingkan dengan Riku dulu, Riku malas bermain di halaman, itu juga karena dia melihat mamanya mau buru-buru pulang. Benar sekali terasa dulu Riku itu kasihan dibanding Kai. Waktuku melewati hari-hari dengan Kai lebih lega dan enjoyable.
Karena aku merasa lemas, malas masak makan siang untuk Kai saja. Jadi aku ajak Kai makan UDON. Riku dan Gen tidak suka Udon, padahal di dekat rumahku ada resto Udon yang cukup terkenal karena pernah masuk TV (dan aku tonton kebetulan waktu itu). Resto ini membuat sendiri udonnya, dan memakai bahan semua yang dihasilkan jimoto 地元 daerah sendiri (lokal). Bahkan katanya harganya tidak sama setiap harinya, tergantung pakai bahan apa dan harga bahan itu berapa (yang berbeda tiap harinya). Biasanya kalau bahan itu banyak harga menjadi murah, sedangkan jika baru panen, masih segar harganya lebih mahal. Tapi untung saja kami diyakinkan bahwa tidak mungkin mahal sekali seperti sushi, masih terbayarlah. Kalau sushi memang harga “season” itu bisa membuat mulut menganga. Muahalnya rek.
Udon itu apa? Kalau soba sudah tahu ya? Mie Jepang yang berwarna coklat atau hijau yang ketebalannya seperti mie telur/mie kuning biasa. Sedangkan Udon adalah sejenis mi Jepang terbuat dari gandum yang berwarna putih dan khas nya mempunyai ketebalan yang TEBAL, mungkin sekitar 5 kalinya soba. Diameternya menurut JAS (Japanese Agricultural Standard) harus minimum 1,7 mm. Terus terang waktu aku pertama kali makan udon di Tokyo aku susah sekali menelannya. Waktu itu aku membayangkan cacing tanah soalnya (maaf ya) gendut-gendutnya mirip, cuma warnanya putih. Karena tebal, rasanya kenyal (hagotai ga aru), bagiku sih harus digigit dengan baik dulu sebelum ditelan. Lain sekali kekenyalannya dengan soba.
Cara masak Udon memang bermacam-macam, biasanya ditentukan dari kaldu yang dipakai. Ada yang memakai kaldu dari shoyu (kecap Jepang) dan kaldu ikan (dashi), ada yang hanya kaldu ikan aja sehingga berwarna bening. Yang pasti sih Udon itu halal, selama tidak minta topping babi panggang iris tentunya (Jarang sekali resto Udon yang menyediakan babi panggang iris sih). Aku sendiri lebih suka makan udon dalam sup bening panas, daripada udon dingin (Zaru udon) yang dimakan dengan mencelupkan ke dalam sup kaldu dingin.
Tapi karena aku mengajak Kai, aku membiarkan dia yang memilih dari foto yang tersedia. Dan Kai memilih udon dingin. Kai sih apa saja berbentuk mi dia suka. Satu porsi besar Udon mori ini habis kami makan berdua.
Restoran bernama Enza ini memang kecil dengan kursi untuk 18 orang tapi cukup sejuk dan bersih. Suasananya enak. Tapi karena hanya menjual Udon saja, aku tak bisa mengajak Riku dan Gen ke sini. Yah cukuplah tempat ini menjadi tempat kencan khusus untuk aku dan Kai hehehe
NB: Keterangan lengkap mengenai Udon bisa baca di wikipedia.
Aku sering mengatakan pelajaran matematika sebagai mamat atau matmat. Pelajaran yang dulunya aku pernah suka. Karena ada sesuatu hal di SMP, membuatku benci pelajaran matematika. Jadi beruntunglah aku bisa melewati pelajaran matematika kelas IPA di SMA meskipun dengan pas-pasan.
Kali ini aku ingin bercerita sedikit mengenai beberapa penemuanku mengenai matematika atau berhitung di Jepang. Sambil belajar bersama Riku aku menemukan hal-hal yang menarik. Tidak susah kok, karena aku juga tidak mau membuang energi untuk yang susah-susah kok 😀
1. Aku baru tahu bahwa dalam dadu, angka yang kita lihat dengan angka yang ada di bagian belakang dadu itu pasti berjumlah 7.
Jadi kalau kita melihat dadu dengan dua titik, pasti di bagian belakang itu 5. Kalau 6 pasti di bagian belakang 1. Ini penting kalau kita mau membuat dadu sendiri, tidak bisa seenaknya mencantumkan titik-titik itu kan?
Atau cuma aku saja ya yang tidak tahu tentang hal ini? Teman-teman sudah tahu? (Aku sempat tanyakan pada beberapa orang Jepang, dan mereka juga tidak tahu. Gen tahu dan dia bilang bahwa itu diajarkan di bimbel untuk ujian masuk SMP)
2. Mengenai perkalian 1 s/d 9 yang disebut dengan KUKU 九九(Bahasa Jepang nya untuk 9… 9×9)
Bagaimana orang Indonesia menghafalnya? Hmmm aku sih dulu ya begitu saja menghafalnya. Tapi di Jepang ada cara menghafalnya yang disebut dengan kuku itu. Memang keunikan bahasa Jepang angka itu bisa dirangkaikan menjadi sebuah kata untuk memudahkan. Kalau bahasa Indonesia tidak bisa, karena misalnya tiga ya kita menyebutkan tiga saja kan? (kecuali dalam bahasa daerah). Tapi dalam bahasa Jepang, tiga itu bisa disebut dengan “san”atau “mitsu“. Dan san bisa disingkat menjadi sa, sedangkan mitsu itu kadang bisa disingkat menjadi mi. 3156 dibaca singkat sebagai sa-i-ko-ro (artinya dadu). Jadi gampang deh.
Nah KUKU ini juga menghafalkan dalam bentuk kalimat. Terus terang aku tidak bisa merubah pola pikir hafalan menjadi kalimat, jadi aku menyerahkan pelatihan perkalian Riku pada papanya.
misalnya 2 x 8 = ( ni kakeru hachi) dihafalkan niha
bisa terlihat kan rapihnya angka hasil perkalian 9 itu. Jika dijumlahkan hasilnya ya 9 , 18 (1+8) ya 9, 27 (2+7) ya 9. dan semua hasilnya tinggal dibalik saja tuh mulai perkalian 6 x9 dituker-tuker angkanya. Cantik yah.
Nah lebih cantik lagi waktu aku melihat bentuk ini:
Ada bulatan dengan angka 0 sampai 9. Dalam masing-masing perkalian menghubungkan hanya angka terakhir dari hasilnya. Jadi misalnya 3 x4 = 12, hanya dilihat angka 2 nya saja. Dan ternyata jika menghubungkan titik2 tersebut di setiap perkalian bisa diketahui bahwa bentuk perkalian 1 dan 9 itu sama, perkalian 2 dan 8 itu sama. Perkalian 3 dan 7 serta perkalian 4 dan 6 itu sama. Memang ini merupakan hasil “ingatan” perkalian, tidak bisa mulai menghafal perkalian dengan bentuk-bentuk ini. Tapi “penemuan” ini cukup menarik buatku. Kata Gen sebetulnya usaha-usaha begitu ingin menunjukkan bahwa matematika itu menyenangkan, menarik pada anak-anak. Meskipun mungkin mereka sendiri tidak menyadarinya 😀
Waktu aku ceritakan pada Gen, dia mengatakan “Menarik bagi kamu, karena kamu mempunyai “perhatian” dalam matematika. Kamu itu sebetulnya tidak benci matematika…..” hehehe. Ya, aku akui aku tidak benci matematika tapi MALAS 😀
(Jadi ingin bertanya pada Pak Marsudiyanto dan Pak Amin Hers, teman blogger yang guru matematika :D)
Ensoku memang bahasa Jepang 遠足 yang memakai kanji jauh (tooi 遠い) dan kaki (ashi 足), membawa kaki ke tempat jauh. Bisa diterjemahkan Outing atau sekedar piknik saja. Kegiatan ini merupakan kegiatan resmi sekolah, paling sedikit TK dan SD, biasanya sekali setahun. Sedangkan untuk SMP dan SMA namanya bukan ensoku lagi, dan mungkin dengan sedikit tugas semacam karya wisata gitcuuuu.
Bagi anak-anak TK dan SD yang paling disukai tentu bento (bekal makanan) dan oyatsu (snack/makanan kecil), selain kesempatan bermain di tempat terbuka. Dan untuk kebanyakan sekolah TK dan SD di kelurahanku biasanya pergi ke Taman Shakujii yang mempunyai danau sendiri atau Taman Tokorozawa Aviation Park, Kouku-Koen, bekas lapangan terbang di Saitama. Kedua tempat ini sudah sering kami kunjungi, sehingga sebetulnya tidak “baru” lagi. Tapi namanya anak-anak, asal ada teman + tempat bermain + makanan cukuplah 😀
Nah tanggal 22 April lalu, tepat Jumat Agung, bukan hari libur di Jepang, dan ditentukan oleh TK nya Kai sebagai hari pelaksanaan Ensoku tahun ini. Tempatnya dari tahun ke tahun di Kouku Koen, dengan acara tetap yaitu berpotret bersama di depan kapal terbang.
Lucunya kalau di TK Kai ini, disebut sebagai Oyako Ensoku atau Ensoku yang diikuti anak-ortu. Aku ingat dulu waktu Riku hanya satu kali aku bisa pergi karena ada pelaksanaan persis aku harus mengajar. Tahun ini pun sebenarnya jika tahun ajaran baru di universitas tidak ada perubahan, aku pun tidak bisa pergi bersama Kai. Untunglah aku masih dalam kondisi “libur” sehingga bisa mengikuti acara TK ini.
Aku berdua Kai berangkat naik kereta untuk berkumpul langsung di Koukuu Koen pukul 10:15. Setelah absen, per kelas berjalan bersama dipandu gurunya yang membawa bendera warna kuning. Tentu saja kelas lain warna lain, sesuai dengan warna topi kelas. Kelas Kai adalah Kelas Tulip dengan topi warna kuning. Aku suka merasa lucu saja, rombongan turis berkelompok di Jepang pasti dipandu dengan pemandu yang membawa bendera. Karena aku tidak pernah ikut tur di Indonesia, aku tidak tahu apakah pemandu Indonesia membawa bendera atau tidak. Ada yang tahu?
Cukup sulit untuk mengatur anak-anak untuk berbaris rapih di depan pesawat. Ada fotografer profesional yang disewa pihak sekolah untuk mengambil foto per kelas ini. Tentu saja nanti kami bisa (dan biasanya pasti) memesan foto kelas itu dengan harga yang cukup mahal 😀
Setelah foto bersama, kami pindah tempat ke lapangan yang luas untuk makan bento bersama. Kami memang harus membawa bento sendiri, juga tikar alas, snack dan air minum. Kami makan bersama salah satu teman Kai dan ibunya yang aku rasa cukup cocok sifatnya denganku. Mungkin usia kami dekat, sehingga merasa tidak perlu terlalu lengket satu sama lain seperti mama-mama muda lainnya. Bisa baca soal mama-tomo di sini.
Setelah makan, free time sampai pukul 1 siang karena pukul 1 siang itu kami harus berkumpul di satu tempat sebelum pulang. Waaah lumayan deh ada 2 jam untuk membiarkan anak-anak bermain. Tapi… mamanya ngapain coba? Tentu saja mamanya HARUS menjaga anaknya bermain, jangan sampai celaka, atau jatuh atau berbuat yang bahaya.
Memang di salah satu pojok ada tempat bermain untuk anak-anak seperti jungle gym, tower, tempat pasir, perosotan besar dll. Awalnya Kai takut-takut untuk memanjat dan bermain di jungle gym, tapi akhirnya dia bisa enjoy juga. Mamanya? Ya menjaga sambil memotret deh hihihi.
Emang aku sudah niatin untuk memotret hari itu, makanya meskipun berat aku tetap membawa DSLR Nikon D-80 dan Canon G9 yang biasa. Maklum aku belum terbiasa pakai yang Nikon, sehingga jika perlu yang close-up biasanya aku pakai Canon G9nya. Malas mengganti-ganti lensa Nikonnya. Aku cukup puas dengan hasil “hunting” foto hari Jumat itu.
Jam 1 kami berkumpul dan pulang berpencar. Kalau masih mau lanjut boleh, mau pulang boleh. Tapi Kai sudah memaksa untuk cepat-cepat pulang. Aku sih berjalan santai ke arah stasiun (yang cukup jauh), tapi tahu-tahu kami menjadi rombongan terakhir yang pulang, dan satu gerbong dengan guru-guru Kai. Aku sempat terkagum-kagum dengan vitalitas guru-guru ini terutama kepala sekolahnya, yang masih ingat pada Riku. Dia sempat tanya Riku sekarang sudah kelas 3 ya? Duuuh kan muridnya banyak gitu, kok masih ingat sih? (Mungkin karena aku orang asing yah :D)
Perjalanan naik kereta sampai stasiun dekat rumah memang makan waktu 30 menit, dan 3 stasiun menjelang stasiun rumah Kai sudah mulai kriyep-kriyep matanya. Aku ajak main terus supaya dia jangan tertidur. Kalau tertidur aku payah karena harus gendong dia. Dia sudah lumayan berat 14 kg dan aku sendiri sudah bawa ransel yang berat kan.
Sesampai di stasiun rumah, kami sempat belanja sedikit, tapi cepat-cepat karena Riku pulang jam 3, dan aku mau sampai di rumah sebelum Riku pulang. Jadi cepat-cepatlah aku mengayuh sepeda pulang ke rumah, membonceng Kai yang sangat puas bermain hari itu.
Seberapa sering kita merasakan pertemuan dengan seseorang merupakan anugerah yang tak terhingga? Bertemu pasangan hidup tentu saja, tapi bertemu seorang teman? Memang, biasanya kita katakan itu pada waktu perpisahan atau kematian. “Aku merasa beruntung bertemu kamu. Deaete hontouni yokatta. 出合えて本当に良かった.”
Dua malam yang lalu, aku benar-benar terisak. Ah emang cengeng ya aku ini 🙁 Tapi aku tak menyangka bahwa picture book yang aku pilihkan untuk aku dongengkan bagi Kai malam itu benar-benar cocok untuk situasi saat itu.
Sebuah buku karangan Miyanishi Tatsuya (1956-) dari penerbit Popura-sha. Harganya lumayan mahal 1200 yen, tapi aku pinjam dari perpustakaan Pemda. Waktu aku cari di Amazon, harga buku bekasnya pun masih mahal! 1147 yen, bayangkan cuma turun 53 yen. Yah mending beli buku baru dong ya. Tapi itu menunjukkan bahwa buku ini, tidak ada yang mau jual kembali, buku yang harus di -keep, disimpan. Karena isi ceritanya?
Tadinya aku tidak begitu senang dengan gambarnya. Seorang grafik desainer yang membuat karakter keluarga dinosaurus menjadi tema cerita, dengan gambar yang … ok tidak halus menurutku. Tapi aku baru tahu bahwa seri cerita keluarga dinoasurus ini bahkan ada 8 jilid! dan semua bagus (katanya). Nanti aku mau cari cerita-cerita yang lainnya. Aku pertama kali kenal dengan pengarang ini dari buku “Ultraman wa otousan ウルトラマンはおとうさん (Ayahku Ultraman)” yang dipinjam oleh Riku dari perpustakaan sekolahnya. Riku sangat suka dengan buku ini, sampai dia pinjam berbulan-bulan 😀 (Dan papanya seakan tersentil dengan isi buku ini hihihi)
OK, aku akan menceritakan isi buku “Untung Bertemu Kamu” ini ya… Duduk yang manis dan perhatikan baik-baik ya.
Dulu….dulu….dulu sekali.
Seekor anak Spinosaurus sedang berada di pinggir tebing pantai untuk mengambil buah merah yang ada di sana. Saat itu….
Gaoooo…..
Seekor Tyrannosaurus mendekat dengan mulut menganga dan mata yang berkilat-kilat.
Waaaaahhh toloooooong!!!!
Sambil gemetar, anak Spinosaurus bersembunyi di balik pohon.
“Sayang sekali ya, kamu bertemu aku di tempat ini…” kata Tyrannosaurus.
Dengan giginya yang tajam, dia menumbangkan pohon buah merah. Dan….
persis waktu dia akan melahap anak spynosaurus it….
kraaaakkkkkk
grrrrrr …. gempa bumi yang begitu dahsyat
membelah bumi
dan memecahkan tebing itu sehingga terpisah dari daratan
dan menghanyutkannya
persis di tempat Tyrannosaurus dan anak Spynosaurus itu berada
pecahan tebing hanyut dengan mereka berdua
menjauhhh…..
“Aku tidak bisa berenang….” dengan suara hampir menangis Tyrannosaurus itu berkata.
“Aku juga tidak bisa berenang…. Kita berdua…. dari sekarang bagaimana ya”, anak spynosaurus berkata sambil menangis.
“Apaan tuh dengan ‘KITA BERDUA’? KAMU akan saya makan. Tau!” sambil berkata begitu Tyrannosaurus berusaha menangkap spynosaurus.
“Jangan… Tidak boleh makan aku”, teriak anak Spynosaurus. Lalu cepat-cepat dia berkata,
“Aku amat pandai menangkap ikan. Mulai sekarang aku akan menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk Paman. Paman akan bisa makan ikan sebanyak-banyaknya setiap hari sampai kenyang. Kalau Paman makan aku sekarang ini, mulai besok paman akan lapar terus. Ngga mau kan? Makanya tidak boleh makan aku. Ngerti? Ngerti? Ngertiiiii?????”
“Emangnya benar kamu bisa menangkap ikan?”
Anak spynosaurus kemudian memasukkan mukanya ke laut dan dengan kecepatan yang luar biasa… haaap, seekor ikan tetrangkap.
Tyrannosaurus sangat senang… hmmm hmmm hmma “enaaaak…. ambil lagi yang banyak” Karena tyrannosaurus makan ikan banyak, anak spynosaurus kelelahan menangkap ikan. Dan di pulau yang kecil itu, mulailah kehidupan mereka berdua.
Pada suatu malam.
“Namaku meso-meso ‘Si Cengeng’, emua memanggilku demikian. Nama paman siapa?” Anak spynosaurus bertanya pada Tyrannosaurus.
“Namaku? Namaku tak ada”
“Oooh namanya TAKADA? Paman Takada, kenapa kok bisa sampai di sini?”
“TAKADA? Ahhhh sudahlah. Waktu gempa itu, kupikir aku bisa menemukan mangsa enak di dekat pohon buah merah itu. Kamu Meso-meso, kenapa kamu datang ke situ?”
Meso-meso menjawab dengan sedih
“Ibuku …. sakit. Kata Paman Pteranodon kalau makan buah merah ini akan sembuh….”
“Ohhh untuk ibumu, kamu datang ke sini?”
Meso-meso sambil menangis berkata,
” Ibu bagaimana ya… menungguku?”
“Meso-meso, Ibu pasti tidak apa-apa. Menunggumu pulang!… dengan lembut Tyrannosaurus menghibur.
“Terima kasih …Paman…”
Tyrannosaurus pertama kali mendapat kata “TERIMA KASIH”.
Hari berikutnya,
Waku Meso meso akan pergi menangkap ikan, Tyrannosaurus sambil tertawa berkata, “Hari ini tidak usah makan ikan. Kita makan buah merah ini saja.”
Tyrannosaurus mengambil banyak buah merah dari tempat yang tinggi dan memberikan pada Mesomeso.
“Paman hebat!”
Tyrannosaurus pertama kali mendapat kata “HEBAT”.
“Hmmm hmm enaaaak. Paman juga makan dong”
Tyrannosaurus juga makan… “Ow enaaaak… mungkin lebih enak dari kamu hehehe”
“Kaan? hehehe Paman lucu juga ya”
Tyrannosaurus pertama kali mendapat kata “LUCU”.
Waktu melihat Meso meso makan buah merah itu, Tyrannosaurus itu berpikir “Ingin segera memberikan buah merah ini pada ibu Meso-meso”.
Tiba-tiba dari langit ada seekor Tapejara menukik mengincar Meso meso.
Tyrannosaurus mengusir Tapejara dengan ekornya… wuushhh.
Dengan gembira Meso meso berkata,
“Paman kereeeen!”
Tyrannosaurus pertama kali mendapat kata “KEREN”
Beberapa hari setelah itu.
Meso meso teringat pada ibunya, dan menangis.
Tyrannosaurus, tanpa berkata apa-apa, memeluk Meso meso.
Meso meso menghapus air matanya dan berkata,
“Paman baik ya”
Tyrannosaurus pertama kali mendapat kata “BAIK”.
Setiap Meso meso mengatakan “Terima kasih”, “Hebat”, “Lucu”, “Keren”, “Baik”, hati Tyrannosaurus menjadi hangat.
Tyrannosaurus berkata pada Meso meso.
“Bertemu kamu…..
dan saat itu…..
kraaaakkkkkk
grrrrrr …. gempa bumi yang begitu dahsyat
Menggerakkan pulau itu
mendekati daratan semula
lebih dekat….lebih dekat lagi…
TInggal sedikit lagi, gempa berhenti dan pulau tidak bergerak lagi.
“Ayo… sekarang!”
Tyrannosaurus memeluk Meso meso, dan melompat sekuat tenaga.
Ombak berkilat di bawahnya.
Buumm…
Pas-pasan berhasil mendarat di daratan itu.
“Horeeee Meso meso! Kita berhasil tertolong!”
Sambil berkata dengan gembira, tiba-tiba Tyrannosaurus teringat
“Aduuuh lupa!”
Lalu
Gao…..
Tyrannosaurus melompat kembali ke pulau itu
Grrrr… menggigit pohon buah merah itu.
Sambil memegang pohon itu dengan kuat
melompat kembali ke daratan tempat Meso meso menunggu.
Byuuuurrrr….
Padahal tinggal sedikit lagi, Tyrannosaurus jatuh ke laut.
Pohon buah merah saja tersangkut di tebing…
“Bagaimana bisa melupakan pohon ini. Ayoooo cepat pergi ke tempat ibumu!”
Meso meso sambil menangis berkata,
“Bagaimana bisa meninggalkan Paman….”
“Aku tidak apa-apa… Cepat pergi…
Aku… aku…. bertemu kamu… sungguh … sungguh beruntung!”
Sambil berkata begitu,
Tyrannosaurus
dengan perlahan
tenggelam ke dasar laut…..
“Pamaaaaan…. pamaaaaann… pamaaaaaaaaaaaaaan”
Di langit yang terdengar hanya gaung suara Meso meso.
.
.
.
.
Bertahun berlalu.
Meso meso yang sudah bisa berenang
kembali ke pulau itu
Dan di dahan pohon yang ditumbangkan Tyrannosaurus itu
terdapat dua buah merah.
Sambil makan satu buah merah itu, Meso meso meniru lagak Tyrannosaurus,
“”Ow enaaaak… mungkin lebih enak dari kamu hehehe”
dan air mata mengalir ke pipi Meso meso.
“Paman lucu, keren, dan benar-benar baik.
Terima kasih Paman. Aku sangat beruntung bertemu Paman……”
END
(Diterjemahkan oleh Imelda Coutrier. Harap mengerti bahwa menyebarkan cerita ini dalam bentuk tulisan melanggar hak cipta. Dilarang meng-copy dengan tujuan komersial.)
Siapa yang bisa menahan tangis membaca cerita begini?
Gempa bumi Tohoku …
pada hari Jumat Agung,
membuatku tambah menangis…..
Aku merasa beruntung menemukan buku ini
Aku merasa beruntung bisa bahasa Jepang
Aku merasa beruntung mempunyai sahabat-sahabat nyata dan maya yang baik-baik.
Aku merasa beruntung juga bisa membagikan cerita ini di sini.
Semoga bermanfaat.
Kunjungan ke rumah. Bahasa Jepangnya Katei Houmon 家庭訪問。 Oleh siapa? Ya tentu oleh Guru wali kelasnya, abis siapa lagi yah hehehe. Jadi di TK atau SD tertentu di Jepang masih ada sekolah yang memberlakukan Katei Houmon ini. Biasanya dilakukan sampai dengan akhir April, dengan perjanjian sebelumnya akan mengunjungi hari apa dan jam berapa. Waktunya hanya 5-10 menit saja.
Tujuan home visit ini untuk:
1. Mengetahui letak rumah murid sebenarnya.
2. Mengetahui (membaca) kondisi rumah tangga si murid.
3. Mengetahui (membaca) apakah ada permasalahan dalam keluarga si murid.
4. Menyampaikan perkembangan murid kepada orang tua.
5. Menjawab keraguan orang tua murid tentang perkembangan kelas dan tujuan pengajaran masing-masing tingkat kelas.
6. Mengecek keselamatan rute perjalanan ke sekolah.
Jadi barusan nih jam 13:40-13:50 gurunya Kai dua orang datang ke rumahku. Natsuko sensei (guru utama) dan Yachiyo sensei (guru pembantu) . Yang lucunya Natsuko sensei ini sebetulnya tahun lalu tinggal (orang tuanya) tinggal di lantai 2 apartemenku, jadi sebelum Kai masuk TK itu sudah sering bersapa-sapa terutama di parkiran sepeda. Tapi waktu itu aku tidak tahu namanya jadi cuma hafal muka saja. Jadi tadi waktu Natsuko sensei datang, dia langsung berkata, “Miyashita san, saya kan dulu di lantai 2 tinggalnya”….
Lalu Natsuko sensei menyampaikan perkembangan Kai selama bersekolah 2 minggu di TK. Ternyata Kai amat detil jika melakukan pewarnaan atau gunting menggunting. Sangat berkonsentrasi dan detil sekali dibanding dengan teman-temannya. Sampai Natsuko sensei bertanya apakah di rumah Kai sering melakukan prakarya? Hmmm sebetulnya sih tidak, tapi di tempat penitipan memang diajarkan membuat macam-macam, dan Kai sejak kecil belum 2 tahun sudah bisa menggambar mata, hidung, mulut pada tempatnya. Pewarnaan memang lebih rapih, berusaha tidak keluar garis (lain dengan Riku yang lebih bebas berkreasi). Dari situ saja kelihatan ya sifat-sifat masing-masing.
Selama 2 minggu sekolah, baru kemarin Kai menangis waktu aku tinggal di pintu masuk sekolah (sampai diantar masuk kelas oleh ibu kepseknya). Kupikir dia baru “sadar” akan kerutinan yang harus dia jalankan. Tapi tadi pagi tidak menangis, meskipun memang setiap hari sebelum berangkat ke TK dia akan mengatakan, “Aku kangen mama”. Kai lebih bisa dibujuk untuk tetap ke TK, dengan menjanjikan main ke taman atau pergi belanja sama-sama, atau bermain game “hidden object” di komputerku.
Menurut Natsuko sensei, selama ini Kai juga hanya menangis satu kali di dalam kelas, yaitu waktu Kai bingung harus bagaimana setelah melakukan satu tugas. Kai memang suka sebel kalau dirinya tidak bisa sesuatu, jadi itu kupikir nangis desperate nangis kesal (persis Riku dan mamanya hahaha)
Sebelum pulang, ke dua guru ini aku suguhi pisang goreng dan teh melati. Dulu waktu Riku aku tidak menyuguhi apa-apa, tapi kali ini kupikir, aku sudah biasa menghadapi guru-guru itu dan kebetulan ada waktu jadi aku goreng pisang saja. Pisang goreng itu pasti cocok deh untuk lidah orang Jepang. Mudah (dan murah) juga membuatnya kan?
Sepuluh menit itu cepat sekali berlalu, tapi untuk sepuluh menit itu aku sudah susah payah hampir 2 minggu untuk membereskan rumah hihihi (hiperbolis). Soalnya pas pergantian musim jadi barang-barang musim dingin seperti heater dan baju-baju harus disimpan, belum lagi mainannya anak-anak yang tiap hari berserakan di lantai. Lumayan deh sekarang rumahku(baca kandang kelinci) sudah bisa menerima tamu nih. Siapa yang mau datang? Mumpung masih bersih dan aku belum ngajar hihihihi.
Sejak hari Senin (18 April 2011) yang lalu, di lapangan TK Kai terdapat pemandangan yang lain dari biasa. Begitu masuk halaman sekolah itu langsung terlihat deretan bendera ikan KOI yang besar menggantung di sana. Bendera ikan KOI memang dipasang menjelang hari anak-anak atau Kodomo no hi tanggal 5 Mei.
Pemandangan itu akan berbeda sekali dengan foto ini, foto kibaran bendera ikan Koi di daerah korban gempa, terpasang gagah di depan Balai desa Ooishi, Rikuzen Takada, prefektur Iwate. Bendera ikan Koi ini dikirim bersama makanan dan bantuan dari Osaka, dan dipasang oleh relawan. Kontras sekali dengan latar belakang daerah yang rata dengan tanah akibat terjangan tsunami.
Koinobori ini sama-sama sebagai perlambang atau simbol hari anak laki-laki (meskipun dikatakan hari anak-anak, karena perayaan untuk anak perempuan sudah dilaksanakan tanggal 3 Maret dengan Hina Matsuri). Aku sempat berpikir mengapa bendera ikan Koi yang dipakai sebagai lambang hari anak-anak ini? Mengapa bukan layang-layang berbentuk naga atau mungkin samurai? Mengapa ikan KOI? mengapa bukan ikan-ikan yang lain, misalnya hiu atau salmon?
Setelah aku cari memang ternyata Koi merupakan ikan yang tangguh dan bisa hidup di mana-mana, kolam maupun genangan air berlumpur. Dahulu ada air terjun di China yang arusnya bergitu kencang. Konon jika ada ikan yang berhasil melawan arus dan sampai di puncaknya akan berubah menjadi naga. Dan satu-satunya ikan yang berhasil melawan arus dan sampai ke puncaknya hanya seekor Koi. Dia kemudian berubah menjadi naga.(Keterangan dari sini)
Jadi Koi dipilih sebagai simbol hari anak-anak juga dimaksudkan supaya anak-anak laki-laki dapat tetap tangguh melawan kehidupan yang keras dan maju terus.
Tapi kalau lihat dari sejarahnya, sebetulnya koinobori baru dipakai pada jaman Tokugawa di kalangan rakyat biasa. Dulunya peringatan hari anak-anak untuk kalangan samurai dipakai bendera dengan lambang keluarga atau umbul-umbul. Nah, kalangan rakyat biasa yang tidak mempunyai lambang keluarga kemudian memakai simbol Koi sebagai bendera sebagai lawannya kaum samurai. Awalnya bendera Koi ini terbuat dari kertas Jepang, dan baru pada tahun 1955 memakai bendera dari kain sintetis. (sumber dari sini)
Aku juga jadi ingat pertanyaan Ata chan dalam posting “Four Season” yang menanyakan :
setelah liat foto kolam itu jadi kepikiran.. ikan koi tahan ya Mbak di musim dingin..?
apa kolamnya pake’ heater..
Tentu saja ikan Koi tahan dingin, karena asal mereka memang dari negara 4 musim dan di alam tidak ada heater bukan? Ikan Koi yang terkenal di Jepang dari jenis Nishikigoi, berasal dari daerah Niigata. Daerah yang terkenal sebagai “Negara Salju” Yukiguni. Tidak mungkin ikan Koi ini satu per satu dipindahkan ke kolam berheater kan? Lagi pula meskipun permukaan kolam membeku, air di dalam kolam tidak akan membeku, atau tidak semua tempat airnya membeku (seperti yang dialiri air terjun pasti tidak membeku).
Karena tahan dingin ini juga mungkin ikan Koi terkenal dengan kekuatannya. Jadilah dia koinobori, simbol bagi pertumbuhan dan perkembagan anak laki-laki menjadi manusia yang tangguh dan kuat. Semoga anak-anak korban gempa Tohoku juga menjadi anak-anak yang kuat dan sehat menyambut masa depan yang mungkin sekarang kelihatannya suram. Maju terus!
Tulisanku tentang perayaan hari anak-anak bisa dibaca dari posting lalu: