Liburan Tanpa Rencana

9 Mei

Memang bukan baru kali ini sih, deMiyashita berlibur tanpa rencana. Sering! Kami namakan Nariyuki 成り行き : Jalan seenaknya kemana kaki (dalam hal ini biasanya sih mobil) melangkah. Nah pada libur Golden Week part 2 yaitu dari tanggal 3-4-5-6 Mei, kami juga nariyuki lagi deh. Tapi yang pasti Riku ingin menginap di rumah kakek-neneknya di Yokohama pada tanggal 3 Mei, jadi kami pergi ke Yokohama hari itu. Memang Riku amat sayang pada kakek-neneknya, dan hanya untuk datang saja, dan berada bersama mereka, Riku sudah senang. Aku pun bahagia melihat anak-anak sayang pada kakek-neneknya. Ternyata cukup banyak loh orang Jepang (ibu-ibu Jepang) modern yang tidak suka mempertemukan anak-anak mereka pada mertuanya (orang tua suami). Heran ya? Tapi itu kenyataan 🙂

 

berburu kupu-kupu di dekat rumah

Tapi sebelum berangkat ke rumah mertua, aku mesti siap-siap barang yang mau dibawa, sehingga Gen mengajak anak-anak mencari kupu-kupu di sekitar rumah kami. Lumayan dapat satu jenis kupu-kupu yang belum kami punyai specimennya yang ditangkap Riku. Kai juga sempat menangkap kupu-kupu tapi dilepas karena sudah punya specimennya. Setelah kembali ke rumah baru kami pergi ke Yokohama pada tanggal 3 Mei dan menginap di Yokohama. Tapi sebelumnya aku sempat mampir ke rumah adikku yang juga tinggal di daerah Yokohama untuk mengantarkan makanan Indonesia yang kumasak beberapa hari sebelumnya. Maklum dia wanita karir dan tidak masak sendiri, dan sebagai kakak yang baik…. hehehe. Sesampai di rumah mertua, kami makan malam bersama dan tidur. Nah keesokan harinya, cerah sekali. Sayang kalau dilewatkan di rumah saja, sehingga kami sepakat keluar rumah. Ntah kemana yang penting keluar rumah.

Kami mengarah ke semenanjung Miura. Tadinya kami ingin pergi ke Anjin, mungkin kalau pernah nonton film Shogun, orang Inggris yang bernama Wiliam Adams yang diceritakan pada film itu nama Jepangnya Anjin san. Nah konon di tempat itulah dia membangun kapal untuk pulang. Sayang kami tidak sampai ke sana karena berhenti-berhenti di tempat lain. Nanti lain kali ingin juga melihat daerah yang bersejarah itu.

kupu-kupu dan laba-laba yang kutemukan di taman PA Yokosuka. Kiri atas, mobil reklame dengan minuman kaleng di atasnya. Kanan bawah tempat charge utk mobil listrik

Tempat perhentian pertama kami adalah Parking Area dari highway di Yokosuka. Tempat para supir beristirahat makan, minum atau pergi ke toilet. Ada dua hal yang menarik kami temukan di PA ini, satu adalah adanya sebuah kolam tempat capung-capung berkumpul. Aku menemukan kupu-kupu cantik di sini. Ini merupakan fenomena menarik yang aku pelajari dari Jepang, yaitu meskipun mereka membangun fasilitas gedung untuk manusia, mereka tetap membiarkan beberapa tempat alami untuk habitat yang ada di situ. Kadang malah dibuat taman yang indah di sampingnya. Orang Jepang memang top dalam hal memadukan kedua unsur ini, buatan dan alami.

Yang kedua adalah tempat charge untuk mobil listrik. Aku takjub melihat bahwa mereka pun sudah menyediakan jasa seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana cara pembayarannya, apakah dihitung per waktu atau per energi yang dicharge. Maklum belum punya mobil listrik sih. Nanti ya kalau sudah punya, aku tulis 😀

Setelah istirahat di PA Yokosuka, kami melanjutkan perjalanan, lalu keluar tol…dan menemukan ada sebuah signboard yang bertuliskan “Tempat kupu-kupu”. Wah rupanya sebuah perusahaan LP gas bernama Sagami yang  membuat semacam museum kupu-kupu. Lumayan bagus untuk tingkat perusahaan (bukan pemda atau pemerintah). Suatu kontribusi bagi pengetahuan dan alam. Beberapa kupu-kupu yang dipajangkan berasal dari seluruh dunia. Sayang kalau difoto, lampu ruangan memantul sih, jadi tidak bisa membuat banyak foto di situ. Tidak sampai 30 menit kami di situ tapi Gen merasa senang sekali. Maklum memang melihat kupu-kupu itu hobinya. 

Museum kupu-kupu milik perusahaan Sagami. Lihat gambar kanan atas itu terbuat dari syaap kupu-kupu yang sudah mati, dari sbeuah negara di Afrika.

Melanjutkan perjalanan dan di kanan jalan kami menemukan papan “Ootawa Azalea Hills“. Mumpung sudah dekat, dan kami tidak tergesa-gesa, kami memutuskan untuk mampir. Dan untung saja kami mampir, juga dengan membawa jaring penangkap kupu-kupu, karena bukit ini indah sekali. Sepanjang mata memandang bunga Azalea di mana-mana. Lagipula dari atas kami bisa melihat kota Yokosuka membentang di bawah. Tentu saja aku menikmati waktu untuk memotret macam-macam yang bisa menjadi obyek kameraku.

Bukit Azalea Ootawa. Capek menaiki tangga ke atas, tapi pemandangannya indah. Di bagian atas ada tempat untuk piknik bagi yang mau. Masuk ke taman ini gratis

Waktu pulang menuju parkir, kami melihat ada kupu-kupu berwarna hitam yang terbang cepat. Hebat juga si Riku bisa menangkap kupu-kupu yang sedang terbang itu.

Dari bukit Ootawa itu kami menuju ke arah pantai, karena katanya di daerah itu (Nagai) ada pelabuhan ikan. Tapi sebelum itu kami menyusuri jalan sambil mencari rumah makan yang buka karena sudah waktu makan siang. Untung saja ketemu satu restoran Jepang, yang menunya hanya satu (tidak bisa pilih yang lain). Yaitu set nasi, sashimi dan ikan goreng untuk dewasa, dan nasi + sashimi maguro untuk anak-anak. Riku tentu sudah makan ukuran dewasa (dan kurang :D) sehingga kami memesan untuk  3 dewasa + 1 anak-anak.

Setelah selesai makan, kami bermain di pantai yang rupanya cukup dalam, tanpa pasir. Tapi airnya bening sekali. Ada sih sedikit sampah seperti bekas botol minuman dan plastik,tapi sedikit sekali. secara keseluruhan tempat itu bersih. Tapi tentu saja anak-anak lebih senang bermain di pasir.

Pantai buatan yang cukup dalam, tanpa pasir tapi bersih

Setelah puas bermain air, kami bergerak lagi menuju pelabuhan ikan. Rupanya ada pasar ikan tapi kecil. Dan karena kami takut ikannya busuk dalam perjalanan, kami tidak membeli ikan. Tapi kami membeli cumi-cumi bakar yang dijual di situ. Cumi-cuminya segar sehingga dagingnya tidak keras waktu dibakar. Riku suka tapi kami cuma beli satu. Itu saja harganya 300 yen (30.000 Rp).

Memang kami bisa melihat pemandangan pelabuhan di situ, yang tentu tidak sekotor/sebau di pelabuhan Sunda Kelapa. Tapi menurut Gen masih lebih besar dan lebih bagus pelabuhan Sunda Kelapa (wah baru ingat belum tulis nih…hampir setahun lewat hehehe). Ya memang pelabuhan ikan ini kan minor, tidak besar.

Pelabuhan Ikan Nagai. Kanan atas jepitan jemuran untuk menjemur ikan kering.

Karena sudah sore, aku mengajak Gen pulang saja ke Nerima. Tadinya kami berniat kembali dulu ke rumah mertua, tapi takut macet dan kemalaman, jadi kami langsung pulang ke rumah. Kami tidak bisa menginap lagi, karena tgl 5 (minggu) kami harus ke gereja pagi jam 9. Riku harus mengikuti Sekolah Minggu dan aku ada pertemuan dengan orang tua murid Sekolah Minggu.

Liburan kami tanggal 3 dan 4 berakhir dengan menyenangkan padahal tidak terencana dengan baik. Hal ini menyimpang dari kebiasaan orang Jepang pada umumnya yang apa-apa direncanakan secara mendetil. Ya,seperti Arman yang sedang merencanakan liburan musim panasnya di Canada. Bagus sih, cuma terkadang menyusun rencananya saja sudah capek duluan 😀

Teman-teman suka berlibur terencana atau nariyuki seperti kami?

Bukit Azalea Ootawa, Yokosuka

 

pantai Nagai, Yokosuka

Kupu-kupu di Cihanjuang

2 Okt

Mungkin Taman Kupu-kupu Cihanjuang adalah klimaks dari perjalanan Gen di Indonesia. Setelah Danny dan pak supir datang menjemput kami, kami cek out dari Hotel Universal dan menuju daerah Cihanjuang. Aku musti berterimakasih pada Rina Hidayat, sahabat guru di Jepang yang nyeletuk soal Taman Kupu-kupu Cihanjuang menanggapi status aku di FB: “No shopping, No eating di Bandung setengah hari”. Impossible kan, ke Bandung tanpa shopping dan eating :D.

Papan Taman Kupu-kupu Cihanjuang, Cihanjuang 58, Bandung Barat

Nah, suamiku itu suka kupu-kupu. Sudah ada beberapa posting di Twilight Express ini mengenai Kupu-kupu Jepang, termasuk Kupu-kupu Nasional Oomurasaki. Saking sukanya dia mengajak Riku untuk ikut menangkap kupu-kupu dan memperkenalkan bermacam jenis kupu serta membuat specimen kupu-kupu kering sebagai hobi baru. Jadi waktu aku merencanakan liburan untuk Gen, aku sekaligus merencanakan untuk pergi ke Taman kupu-kupu Cihanjuang. Dan aku juga berterima kasih sekali pada Danny yang mengantar kami ke sana. Terus terang kalau jalan sendiri kami TIDAK AKAN bisa sampai ke sana. Jauuuuh bo!

Taman Kupu-kupu Cihanjuang

Kami sampai di Taman Kupu-kupu Cihanjuang jam 11:30. Tempatnya sepi sekali, sampai kami kelewatan sampai ke sebuah pendopo. Ternyata bukan itu Taman Kupu-kupunya. Tapi tidak jauh kami menemukan pintu masuk dengan lambang kupu-kupu besar. Masuk ke pintu langsung sampai di sebuah toko souvenir. Ternyata memang untuk masuk taman itu harus masuk ke toko itu, membeli karcis (sebagai tanda terima kami masing-masing mendapatkan badge kupu-kupu). Dari toko souvenir itu kami masuk ke dalam “kandang” kupu-kupu. Taman itu dipenuh bunga-bunga berwarna-warni. Memang harus ada bunga ya untuk menarik kupu-kupu ya?

Beranekaragam kupu-kupu di dalam taman Kupu-kupu

Tanpa kupu-kupu saja sudah senang masuk ke taman ini, tapi melihat kupu-kupu beraneka warna terbang lebih menyenangkan lagi. Menurut Riku kupu-kupu Indonesia lebih cepat terbangnya daripada kupu-kupu Jepang. Tentu saja warnanya juga lebih semarak. Oranye, Merah, Kuning, Hijau, Biru…. macam-macam. Aku berhasil memotret beberapa diantaranya.

Bentuknya seperti kupu-kupu tapi ini Ngengat atau si rama-rama

Taman kupu-kupu itu tidak besar, sepelan-pelannya kami memutarinya paling lama 30 menit. Tapi di dekat pintu keluar ada tempat penangkaran kupu-kupu. Telur kupu-kupu dikumpulkan dalam rak khusus, sambil menunggu calon-calon kupu-kupu itu menetas menjadi kupu-kupu. Waktu aku ke tempat ini, Gen sedang memegang seekor Rama-rama (ngengat) Raksasa yang baru menetas. Hiiii ngeri, sampai Riku juga ketakutan. Katanya ada ngengat yang beracun jadi dia ngabur.

Kepompong yang sedang menetas

Tapi aku tidak takut pada kupu-kupu. Senang juga bisa menemukan telur yang menetas. Bayangkan yang tadinya masih dalam kempompong, tiba-tiba keluar dan sedikit-demi sedikit mengering serta membesar. Indah warnanya. Ada salah seekor kupu besar yang baru menetas, masih tahap mengeringkan sayapnya dan diambil oleh petugas untuk ditaruh di tangan kiriku. Langsung deh mengabadikannya dengan tangan yang lain.

Gaya mengambil foto dengan 3 kamera bergantian hehehe

Cukup lama kami di sini dan berhasil menemukan beberapa telur yang menetas. Kalau tidak ingat bahwa waktunya terbatas, mungkin Gen akan berada di situ terus deh. Akhirnya setelah berfoto bersama petugas, kami keluar dari Taman Kupu-kupu itu. Danny ternyata sudah menunggu di toko sambil menyelesaikan pekerjaannya di komputer. Kami melihat-lihat barang souvenir di sini, tapi akhirnya cuma membeli satu buku ensiklopedi Kupu-kupu di Kebun Raya Bogor. Gen juga senang sekali bisa menemukan semacam buku ensiklopedi kupu Indonesia ini. Memang dia titip padaku untuk belikan, dan aku tidak tahu harus cari di mana. Untung sekali di toko souvenir itu ada. Hanya 45.000 rupiah!

Gen dan anak-anak bersama petugas di pojok penangkaran

Kami kembali ke parkir. Terus terang, Riku ingin menangkap kupu-kupu! Tapi dalam taman kupu-kupu memang tidak boleh (pasti) menangkapnya. Tapi si mbak petugas yang kami tanya bilang boleh kalau di luar taman. Jadi Riku mengejar kupu-kupu yang terbang di sudut lapangan parkir dengan jaring yang dibawa dari Jepang. Cukup sigap dia menangkap beberapa kupu asli Indonesia ini. Nah, waktu kami sedang sbuk-sibuknya menangkap kupu-kupu di sini, tiba-tiba ada seorang bapak yang menyapa dan mengatakan harus cepat dimatikan kupunya supaya jangan berontak. Kalau berontak maka sayapnya akan rusak. Kalau rusal percuma kan dibuat specimen. Beliau kelihatan ahli sekali, karena bisa langsung menyebutkan nama latin kupu-kupu yang ditangkap Riku, bahkan yang sedang terbang!

Berfoto bersama pak Ayam Hugeng yang sudah berkecimpung di bidang perkupuan hampir 40 tahun

Gen mulai heran dan menanyakan apakah beliau petugas dari taman kupu-kupu atau mungkin profesor? Dan dijawab oleh Pak Ayam Hugeng ini bahwa beliau HANYALAH pecinta kupu-kupu. Beliau sudah 40 tahun mengumpulkan kupu-kupu di seluruh Indonesia dan menangkarkannya. Beliau juga sudah mengekspor dan menjual bermacam kupu-kupu ke luar negeri. Untung kami sempat berpotret bersama di sana. Karena setelah pulang ke Jepang, kami menemukan artikel tentang beliau di sini.

Kupu Troides Helena ini yang tidak boleh dibawa tanpa surat ijin, menurut Perjanjian Washington, karena tanpa regulasi ini, keberadaannya bisa mengkhawatirkan

Ada satu jenis kupu-kupu yang tidak bisa tertangkap oleh Riku karena dia terbang cepat sekali. Tapi untung sekali kami tidak menangkap kupu-kupu itu, karena ternyata waktu kami kembali ke Tokyo kami mengetahui bahwa untuk membawa masuk kupu-kupu  jenis ini ke Jepang kami harus membawa surat ijin khusus, sedangkan kupu-kupu jenis lain yang ditangkap boleh tanpa surat ijin.Well, kami tidak mau melanggar peraturan kan.

 

Specimen dari Kupu-kupu buatan Riku yang ditangkap di parkiran Taman Kupu-kupu Cihanjuang. Nama latin diberitahukan oleh Pak Hugeng
dari atas (kiri-kanan) Junonia orithya  アオタテハモドキ
Elymnias hypermnestra ルリモンジャノメ
Papilio peranthus アオネアゲハ

2nd line from left
Papilio demoleus オナシアゲハ
Papilio polytes シロオビアゲハ
Graphium agamemnon agamemnon  コモンタイマイ
Pachliopta aristolochiae ベニモンアゲハ

3rd line from left
Delias belisama ベリサマカザリシロチョウ
Appias libythea olfernaオルフェルナトガリシロチョウ
Kupu yang rusak sehingga tidak bisa dijadikan specimen カバタテハ Ariadne ariadne pallidior

Karena sudah lewat jam makan siang dan sudah lapar, kami sudahi petualangan di Taman Kupu-kupu Cihanjuang, dan menuju dalam kota untuk cari makan. Kami makan siang di restoran Raja Rasa ( Jl. Setra Ria No. 1.). Berhubung sudah lapar, kami malah tidak banyak foto-foto di sini. Rasanya? Lumayan lah, sepertinya aku salah tidak mencoba kepiting, karena katanya sih kepiting di resto ini enak. Aku sendiri malas sih pesan kepiting, makannya susah 😀 . Dari sini kami lalu menuju Kopi Aroma karena Gen ingin melihat “gudang”nya dan mau membeli lagi untuk oleh-oleh. Apa daya, kopi Aroma sudah tutup waktu kami datang. Rupanya mereka cuma buka sampai jam 3 siang. Yaaah sayang sekali. Untung waktu aku pergi dengan Kai sudah ke sini.

Jadi kalau ada waktu cukup banyak di Bandung, bisa mengajak anak-anak pergi wisata edukasi ke Taman Kupu-kupu Cihanjuang. Daripada hidup konsumtif dengan makan dan belanja saja kan? 😉

 

Hobi Baru

23 Mei

Kalau ditanya hobi umumnya orang akan mengatakan : baca buku, masak, makan, gowes/ jalan-jalan, dan …koleksi. Nah, kalau koleksi itu memang bisa macam-macam tidak terbatas (asal jangan koleksi pacar aja yah :D).  Aku sendiri punya koleksi macam-macam. Koleksi perangko, kartu pos, gantungan kunci,  pernah coba ikut teman yang mengumpulkan tissue hotel/restoran akhirnya dibuang, sekarang mengumpulkan koin dari negara yang pernah dikunjungi tapi kalah (jauh sekali) dengan mama.  Sekarang koleksiku tidak pernah bertambah lagi 😀

Kali ini aku ingin bercerita tentang hobi baru keluarga kami, terutama Riku. Tidak jauh dari koleksi sih, tapi cukup sulit untuk mendapatkannya. Bermula dari pelajaran menangkap kupu-kupu yang diikuti Gen dan Riku pada liburan Golden Week yang lalu, mereka menjadi rajin mengikuti acara “hunting” kupu-kupu. Kelompok yang sama (Perkumpulan Henri-Fabre Jepang) pada tanggal 15 Mei yal mengadakan hunting ke daerah Okutama, pegunungan yang berada di sebelah barat Tokyo. Kalau naik kereta dari rumahku makan waktu 2 jam. Lumayan jauh tuh.

Untung senseinya sempat mengabadikan ayah-anak berdua, maklum fotografernya ketinggalan di rumah sih 😀

Karena belum pernah pergi ke daerah Okutama inilah, maka Gen mau melihat juga apa saja obyek wisata yang bisa dikunjungi sebagai getaway kami. Jadilah aku mengantar Gen dan Riku pukul 6:30 pagi naik mobil ke stasiun terdekat rumahku. Dan berdasarkan laporan mereka, daerah pegunungan itu cukup bagus, ada sungai yang jernih, ada tempat camping dan barbekyu yang bernama American Village, dan sebuah gua wisata. Suatu waktu kami sekeluarga ingin pergi ke sana, jika cuaca dan kesehatan mendukung (masih belum sembuh benar nih).

Gen sengaja tidak menceritakan pada Riku sebelum berangkat bahwa mereka harus berjalan jauh, karena tahu Riku paling malas berjalan jauh. Tapi untunglah anakku ini bisa tahan dan mengikuti semua acara sampai selesai, dan tak lupa berpose di mana-mana (kalau ini pasti keturunanku :D)

berjalan membawa jaring, masukkan kupu yg tertangkap dalam kertas segitiga, menuliskan namanya

Dia juga berhasil menangkap jenis kupu-kupu yang jarang didapat, yang bapaknya sendiri belum pernah lihat. Rupanya memang banyak terdapat di daerah itu. Ahlinya memang jauh lebih tahu.

Jadi kupu-kupu yang ditangkap dengan jaring itu, dimasukkan ke dalam kertas parafin segitiga. Sehari sebelum ke Okutama ini, mereka pergi ke toko khusus peralatan serangga di Nakano, untuk membeli kertas parafin ini. Memang jarang sekali kita bisa dapatkan kertas parafin di toko buku/peralatan tulis di Tokyo, harus pergi ke toko khusus.

Kertas parafin segitiga berisi kupu-kupu kemudian dimasukkan ke dalam kaleng segitiga. Kadang kupu itu masih hidup sampai di rumah.

Kaleng segitiga penyimpan kupu yang ditangkap sebelum diawetkan

Nah begitu sampai rumah sedapat mungkin kupu itu langsung “dibentuk” sebelum menjadi keras. Caranya dengan meletakkan kupu diantara dua papan yang memang khusus untuk keperluan itu. Sayap kupu-kupu dilebarkan dan ditahan dengan kertas parafin yang dibuat seperti pita. Jarum pentul dipakai sebagai penahan kertas pita itu.

Membentuk kupu-kupu di dua bilah papan memakai jarum dan pita kertas

Kupu-kupu yang sudah dibentuk itu dibiarkan mengering. Kira-kira seminggu kupu itu dilepaskan dari papan dan dimasukkan dalam bingkai khusus. Hmmm mahal juga loh harga bingkai itu, ukuran sedang seharga 1500 yen (150.000 Rp). Aku sudah manyun aja kalau mereka musti beli bingkai lagi hehehe.

Bingkai sebesar itu tuh 150rb Rp hihihi.... tapi daripada dia main ngga ketahuan di mana dan dengan siapa.

Tapi aku senang melihat Riku mempunyai hobi baru ini. Dia menjadi bertanggung jawab akan koleksinya, dan sangat berhati-hati dalam mengerjakan proses sampai dengan masuk bingkai. Masing-masing kupu di dalam bingkai diberi nama, kapan/dimana ditangkapnya. Dan tentunya jika sudah penuh bingkainya, aku kupajang di dinding rumahku. (Aku ingat dulu sempat membeli kupu-kupu kering di Bantimurung – Malino dan ingin kubingkai, tapi salah membeli bingkai lukisan 😀 )

Ah, aku juga mau cari hobi baru ah…. Ada usul? 😀

Syaratnya: ngga mahal (gratis lebih bagus), ngga lama (bosenan), ngga perlu pakai kaki dan tangan sekaligus (dua-duanya tidak akan bisa bersatu di Imelda, jadi jangan suruh aku dansa 😀 ), dan ngga makan tempat (apartemenku sekecil kandang kelinci euy & ngga ada taman) …..
ada ngga yah yang memenuhi syarat  :)?

Selama ini aku ingin coba:
1. Main Wadaiko (genderang Jepang), ini capek bo… tujuannya biar kurus 😀 tapi tidak ada di dekat rumahku
2. Kaligrafi Jepang (pernah coba, ngabisin kertas dan belum ketemu guru yang mantap)
3. Keramik (ntar deh ini kalau anak-anak udah besar)

Kalau kamu ingin coba apalagi sebagai hobi (baru) ?

GW -7- Mentega Terbang

6 Mei

Jangan terlalu dipikirkan judul di atas! Karena itu memang buatanku saja. Terjemahan langsung dari bahasa Inggris “butterfly”. Aku sebenarnya ingin tahu mengapa orang Inggris menamakan binatang cantik yang bisa terbang itu sebagai butterfly. Apa hubungannya dengan butter? Mustinya ada dong…karena kalau kata passport kan berarti pass untuk melewati port, pelabuhan. Well, biarkan saja pada ahli bahasa Inggris untuk mencari penjelasannya ya…..

Memang kali ini aku ingin bercerita tentang Kupu-kupu di keluarga deMiyashita. Gen suamiku ini meskipun bukan ahli biologi, amat suka pada serangga (insect – bahasa Jepangnya konchuu 昆虫) . Saking sukanya aku pernah berpikir mungkin semua anak laki-laki Jepang suka serangga ya? Apalagi aku tahu banyak anak laki-laki yang suka dengan kumbang kelapa sampai-sampai ada karakter Mushi King dalam permainan mereka. Tapi sebetulnya tidak juga, kata Gen, dia gemar serangga karena kebetulan saudaranya atau orang sekelilingnya banyak yang suka serangga.

Nah, kebetulan pada tanggal 3 Mei lalu (masih dalam acara libur panjang  Golden Week) diselenggarakan sebuah kelas di alam terbuka, yang namanya “Pelajaran Menangkap Kupu-kupu Pemula” yang diadakan oleh sebuah organisasi bernama “Perkumpulan Henri-Faber Jepang”  NPO日本アンリ・ファーブル会(奥本大三郎会長). Biayanya 1000 yen satu keluarga. (Aku juga heran sih kok Gen tahu saja ada kelas seperti ini hehehe) Gen tanya padaku apakah boleh dia pesan tempat dan mengajak Riku berdua saja untuk mengikuti kelas itu? Karena persyaratannya anak usia SD ke atas, jadi Kai tidak bisa ikut dan berarti aku dan Kai harus tinggal di rumah. Hmmm bagiku sih no problem, silakan pergi. Meksipun dalam hati aku berpikir, suatu waktu aku pasti juga akan terlibat kegiatan begini-begini. Kalau kupu-kupu sih OK saja, tapi kalau mau menangkap kumbang kelapa aku ogah deh hihihi (tapi aku kan bisa menjadi fotografer saja 😉 )

Jadi begitulah, tanggal 3 Mei pagi hari aku bangun pagi dan mempersiapkan bento (bekal makanan) untuk kedua lelakiku. Mereka harus berkumpul di stasiun Hikarigaoka pukul 10 pagi. Jadi aku akan menceritakan kegiatan mereka berdua dengan foto-foto ya.

Setelah berkumpul di stasiun, bersama rombongan,  gurunya 7 orang dan 6 keluarga peserta, mereka berjalan menuju Taman Hikarigaoka. Sambil berjalan, jika guru menemukan sesuatu, dia akan bercerita mengenai kepompong atau serangga yang ditemukan.

Lokasi: Taman Hikarigaoka

Misalnya mereka menemukan ulat Akaboshigomadara (Hestina assimilis) yang sebetulnya bukan habitat asli Jepang (berasal dari Taiwan).

Ulat akaboshigomadara yang berasal dari Taiwan. Kalau jadi kupu-kupu spt di bawah ini

Atau Nanafushi (Phasmatodea – Belalang Ranting) yang bersembunyi di daun. (keren ya bisa ketemu ini)

Nanafushi atau Belalang Ranting

Oleh gurunya di sana juga diajarkan jenis jaring yang dipakai, bagaimana cara menangkapnya, cara penggunaan dan penyimpanannya. Katanya Gen jadi ingin membeli macam-macam peralatan itu (oh noooo, itu akan disimpan di mana euy hihihi).

Karena cuaca mendung waktu itu tidak banyak kupu-kupu yang terbang. Riku hanya berhasil menangkap Yamato shijimi (Pseudozizeeria maha), dan dilepas. (Gambar diambil dari wikipedia)

Kupu Yamatoshijimi (gambar dari wikipedia), dan Riku bertanya pada gurunya

Selain kupu-kupu Yamato shijimi itu, Riku juga menangkap serangga yang bernama Kinkamemushi (Scutelleridae), dan seperti biasanya Riku tanpa ragu bertanya pada gurunya, apa makanannya. Yang hebat gurunya selalu membawa “kamus” serangga dan langsung mencari informasinya di tempat.

Setelah puas bermain sampai jam 1 siang, mereka makan bento yang dibawa dari rumah di taman tersebut. Sesampai di rumah dengan bangganya Riku memamerkan kupu-kupu yang diberikan oleh gurunya untuknya. Kupu-kupu yang ditangkap, jika dimaksudkan untuk dikeringkan dan dikoleksi, biasanya dimasukkan dalam kertas berbentuk segitiga, lalu dimasukkan dalam kaleng segitiga. Yang hebatnya keluarga Miyashita masih menyimpan kaleng segitiga milik bapaknya Gen yang sudah berusia 50 tahun lebih. Dan kami menemukan koleksi kupu-kupunya yang bertanggal 20 Mei 1956! Lebih dari 50 tahun yang lalu…… (Semoga masih bisa bertahan 100 tahun lagi dari sekarang hehehe)

Kupu-kupu hasil tangkapan gurunya dan kupu dari 55 tahun yang lalu

Sebagai environmentalist (cihuy), aku sempat meragukan kegiatan penangkapan kupu-kupu ini. Pikirku, kasihan dan sayang jika kupu-kupu itu ditangkap untuk dikeringkan. Tapi pemikiran ini adalah pemikiran orang Indonesia yang hidup di daerah tropis yang suhu udaranya sama terus sepanjang tahun. Di Jepang kupu-kupu hanya bisa hidup selama musim semi dan musim panas. Dari sekitar  bulan April sampai September. Selebihnya…. mati! (dengan atau tanpa meninggalkan telur). Jadi secara gampangnya, kalau toh harus mati, apa salahnya dia menjadi koleksi untuk bahan pelajaran orang-orang yang suka. Dan aku yakin orang Jepang jarang ada yang mau menangkap kupu-kupu yang sudah langka. Kalaupun ditangkap pasti diberikan pada pusat penelitian atau pengembangan hewan, seperti Pusat Kupu-kupu yang pernah kami datangi di Oomurasaki Center and Nature Park.

Dan aku juga merasa bahwa kegiatan seperti inilah yang membuat orang Jepang seperti sekarang ini. Dari kecil mereka dibiasakan untuk mengamati lingkungan dan membuat penelitian sendiri. Mulai kelas 4 SD biasanya mereka harus mengadakan penelitian selama musim panas sebagai tugas sekolah di musim panas dan wajib melaporkannya kepada gurunya. Apa saja boleh. Bebas! Mau biologi, fisika…apa saja. Dan kami sudah mendapat lungsuran mikroskop dari omnya Riku yang peneliti di Unversitas Tsukuba. Siapa tahu Riku mau menggunakannya untuk penelitian musim panas.

Aku jarang melihat atau mendengar ada kegiatan penelitian yang demikian sungguh-sungguh di kalangan anak-anak Indonesia. Atau paling sedikit tidak ada waktu jamanku sekolah dulu. Bahwa kebetulan adikku peneliti mikrobiologi itu juga biasanya timbul waktu sudah di SMA, bukan sejak masih usia SD (ya kan Nov? Masih ragu dulu mau jadi dokter atau peneliti kan?) .

Maksudku anak-anak kurang disuntik keinginan untuk meneliti atau mengembangkan potensi secara alami (belajar dari alam dan mengembangkannya), dan lebih dituntut untuk belajar dari buku saja, dengan target nilai bagus. Mungkin inilah salah satu sebab yang membedakan “output” hasil pendidikan antara Jepang dan Indonesia.

Kaleng segitiga penyimpan kupu yang ditangkap sebelum diawetkan

Karena sebenarnya jika kita membaca sejarah Jean-Henri Casimir Fabre, yang namanya dipakai sebagai nama perkumpulan organisasi penyelenggara kelas yang Riku dan Gen ikuti itu, kita bisa mengetahui bahwa Fabre itu otodidak. Dia mengadakan penelitian sendiri dari lingkungan sekitar dan bisa menghasilkan 10 seri ensiklopedi “Souvenirs Entomologiques“yang terkenal. Padahal dia tidak pernah belajar di sekolah mengenai serangga!

Rasa ingin tahu dan ingin meneliti memang harus dikembangkan supaya inovasi dan pembaruan bisa terus ditemukan. Intinya… Belajar sampai mati 😉

 

Yago

20 Mei

Kemarin malam aku marah pada Riku, ternyata dia tidak memberikan Surat Rencana Belajar Bulan Mei kepadaku sehingga aku terlambat tahu bahwa hari kamis ini ada pelajaran khusus di kelasnya. Yaitu menangkap YAGO. Yago, adalah calon anak capung dan bisa diambil dari kolam di sekolah. Karena pasti berbasah-basah, jadi kami orang tua disuruh menyiapkan celana renang+ baju yang bisa dikotori lumpur, sepatu yang sudah tidak dipakai, dan ….(jaring) penangkap serangga. Nah loh… Kalau celana renang, baju dan sepatu pasti bisa disediakan sendiri, tapi penangkap serangga? Harus beli!

Padahal saat itu sudah pukul 6:30 sore. Hujan dan musti cari di mana? Riku sudah putus asa dan bilang,”Ah aku besok bolos aja ahhh…”. Tapi belum aku bicara apa-apa, dia bilang, “Ngga, aku tetap mau ke sekolah. ” Senangnya hatiku mendengar itu, dan aku bilang padanya, “Mama cari di toko Murata sebentar ya. Moga-moga ada. Kalau sekarang mustinya dia masih buka. Kalau tidak ada ya Riku tidak usah bawa tidak apa-apa kan?”
“OK, Riku jaga rumah sama Kai”, dia menawarkan diri jaga rumah, rusuban.

Cepat-cepat aku ke toko Murata dan untung si ojisan (bapak penjaga toko, bapak Murata) ngerti waktu aku bilang aku mau beli penangkap serangga. Ada di gudang katanya. Dan dia mencari di gudang toko yang ada di samping toko. Ternyata ada 2 jenis, yang satu untuk di air, seperti menangkap yago itu, dan yang satu jenis lagi untuk menangkap di udara seperti menangkap kupu-kupu dan capung di udara. Karena sudah pasti untuk Yago saja, maka aku beli jaring yang untuk di air. Harganya? 420 yen saja (hmmm bisa beli satu nasi bento tuh hahaha).

Riku senang sekali melihat aku membawa pulang jaring itu. Dan begitu papanya pulang, yang kebetulan cepat sekali pulang malam kemarin karena tidak enak badan, dia ribut tanya-tanya soal menangkap Yago.

Memang SD di Jepang banyak mengadakan “kuliah nyata” di alam terbuka, terutama menjelang musim panas. Kemarin dulu hari Selasa, Riku mengikuti ensoku, piknik bersama teman-teman sekolah ke Koukou Koen (Taman besar di Saitama yang merupakan bekas pelabuhan udara pertama di Jepang, dan luasnya 11 kali Tokyo Dome). Waktu Riku masih TK juga sudah pernah ke sana, yang foto-fotonya bisa dilihat di sini. Namun kali ini sebagai murid SD kelas dua, mereka pergi berjalan dari sekolah sampai stasiun berjarak jalan kaki 25 menit untuk anak-anak, lalu naik kereta bersama ke Taman tersebut (naik kereta kira-kira 3o menit). Tujuan ensoku ini supaya anak-anak belajar berkomunikasi dengan teman-teman dan guru sambil bermain di taman yang luas. Tentu saja juga mematuhi peraturan yang ada dalam masyarakat, misalnya tidak boleh berlarian di peron stasiun, berbicara keras di dalam gerbong kereta dan lain-lain. Bagaimana anak-anak berinteraksi di masyarakat/umum.

Menangkap yago ini juga untuk mendekatkan anak-anak dengan alam. Sambil mengamati perubahan yago menjadi capung dalam kelas IPA. Termasuk juga mengambar bentuk Yago, dan membuat karangan tentang yago itu.

Dan menjelang musim panas ini aku harus bersiap-siap untuk menikmati anak-anak menangkap serangga seperti chocho kupu-kupu, kabutomushi dan kuwagata kumbang kelapa, cicadas dan juga sarigani udang kepiting sungai. Musim panas berarti alam terbuka! Well, meskipun aku tidak suka binatang kecil seperti serangga begitu, aku harus bisa TIDAK MENJERIT DAN KETAKUTAN, karena kedua anakku itu COWO! Be brave Imelda!