Aku benar-benar terheran-heran bahwa di Jepang ini ada yang namanya “Pekan Baca” Dokusho Shuukan 読書週間. Kupikir itu hanya tugas di sekolah Riku saja, tapi begitu mendengar Gen berkata, SELURUH JEPANG. Wow, sebuah himbauan dari pemerintah yang ditujukan pada semua warga negara. Segitunya?
Pekan Baca tahun 2010 ini adalah yang ke 64, dengan tema “Begitu sadar, sudah sampai di stasiun tujuan”. Kegiatan Pekan Baca ini diawali tahun 1924, segera setelah Gempa Bumi Besar Kanto terjadi, Asosiasi Perpustakaan Jepang selama seminggu mengadakan berbagai kegiatan untuk menyebarkan kebiasaan membaca pada masyarakat yang didukung oleh penerbit-penerbit saat itu. Pekan Baca ini kemudian menjadi semacam “Festival Buku”, dengan berbagai perubahan-perubahan tujuan dan kepentingan/dukungan dalam pelaksanaannya. Kemudian akhirnya pada tahun 1965, panitia pengembangan membaca menjadi yayasan masyarakat khusus yang berada di bawah Departemen Pendidikan.
Riku juga mendapat selembar kertas dari sekolahnya yang harus ditulis dengan judul/pengarang buku yang sudah dibaca selama Pekan Baca. Selain itu aku juga membaca di surat kabar “Shogakko Shimbun” (Surat Kabar khusus untuk SD yang khusus kami langganan dari Asahi Shimbun) suatu gerakan di suatu daerah yang menghimbau anak-anak membaca lebih dari 100 buku selama setahun. Sudah cukup banyak murid yang berhasil melampauinya. Dan dari surat kabar itupun aku mengetahui bahwa buku bertema sejarah dalam bentuk penulisan apa saja, yang merupakan bacaan favorit. Setelah nomor 2 adalah cerita Kaiketsu Zorori. Wahhh ini memang favoritnya Riku deh, meskipun aku tidak bisa mengerti apa sih bagusnya cerita ini hehehe.
Waktu aku tanya pada Riku apa sih bagusnya cerita Kaiketsu Zorori ini, dia berkata: “Gambarnya bagus. Itu memang cerita tentang kenakalan/keisengan Zorori dan Ishishi/Noshishi –dua babi hutan asistennya– tapi dalam kenakalan itu pun ada kebaikan yang diajarkan. Balance. ” Hmmm memang sih, tanpa keisengan, dunia ini akan hambar ya….
Waktu aku tahu tentang “Pekan Baca” ini, aku cukup tersentak dan merasa bahwa aku harus ikut kegiatan ini dengan aktif dengan membaca buku. Tapi ternyata waktunya tidak ada, hanya bisa menyelesaikan 2 buku dari S. Mara GD dan Maria A Sardjono, kedua penulis favoritku. Tapiiiii setiap malam paling sedikit aku mendongengkan 2 cerita dari Picture Book untuk Kai, yang memang dia dengarkan sampai habis. Kalau Riku, begitu kepalanya menyentuh bantal pasti langsung melempus…tidur ZzzZZz hihihi. Kalau Kai pasti sampai habis, dan terkadang aku membaca salah, atau melompati beberapa halaman karena ngantuk. Tapi dia TAHU…dan memaksa aku bangun dan menyelesaikan cerita hahaha.
Mungkin di Indonesia tidak perlu ada “Pekan Baca” seperti di Jepang, tapi untuk menggalakkan kegiatan membaca memang perlu tindakan aktif dari berbagai pihak. Termasuk diri sendiri.
Kalau pertandingan tarik tambang, kurasa semua sudah banyak yang tahu, dan sering dimainkan untuk perlombaan di sekolah-sekolah atau pertemuan atau perayaan agustusan baik oleh anak-anak maupun orang dewasa. Jumlah peserta? Tak terhingga, sepanjang tambangnya bisa menampung hehehe. Tarik tambang di Indonesia dan Jepang ya tentu sama saja. Tapi asyiknya di sini, tambangnya besar dan berat yang digulungnya aja pakai reel. Waaah pengen deh kirim satu unit ginian ke sekolah Indonesia.
Nah, pada hari pertandingan olah raga di SD nya Riku yang diadakan hari Minggu, 26 September aku menemukan satu pertandingan yang cukup seru dan mungkin bisa diaplikasikan ke sekolah-sekolah di Indonesia. Bahannya murah dan ada dimana-mana, tinggal dicat saja menjadi setengah merah dan setengah putih. Yaitu tarik galah atau tongkat atau bambu.
Seperti yang sudah aku tulis di postingan “Merah Putih dan Kebersamaan” yang merupakan laporan sport meeting tahun lalu, satu angkatan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok merah dan putih. Nah, kali ini kelas 4 saja yang mengadakan pertandingan tarik galah ini. Empat A-B-C yang tiga kelas itu dibagi menjadi kelompok merah dan putih, dan berkumpul di dua sisi, kanan dan kiri. Galah berwarna merah dan putih diletakkan di tengah lapangan.
Begitu peluit berbunyi, anak-anak berlomba mengambil galah dan membawanya ke kubunya. Jika sudah berhasil meletakkan galah itu, mereka boleh kembali dan mengambil galah yang lain untuk dibawa ke kubunya. Tentu saja semakin banyak lawan semakin sulit. Kecepatan dan kekuatan menjadi kunci dari permainan ini. Yang menariknya galahnya ada 11 batang! Selesai perlombaan dihitung kelompok mana yang terbanyak mengumpulkan galah.
Semua pertandingan oleh berbagai kelas dan jenis olahraga diikuti oleh kelompok merah dan putih. Nanti semua nilai kelompok merah dari kelas 1 s/d 6 dijumlah, lalu disandingkan dengan jumlah semua nilai kelompok putih dari kelas 1 s/d 6. Tahun lalu yang menang kelompok merah (Riku tahun lalu dan tahun ini kelompok merah), tapi tahun ini yang menang kelompok putih. Jadi juaranya bukan kelas 6 A saja misalnya, tapi secara keseluruhan.
Dalam satu kelas, misalnya Riku di Kelas 2 B muridnya terbagi menjadi dua kelompok merah dan putih. Tadi pagi aku tanyakan pada Riku, bagaimana sensei membagi kelompoknya? Apakah berdasarkan kemampuan lari, jika ada 2 anak yang tercepat, maka ke dua anak itu dipisahkan sehingga masing-masing kelompok balance (begitu yang aku dengar cara pembagiannya). Tapi ternyata menurut Riku hanya berdasarkan tinggi badan. Mereka memang terbiasa berbaris menurut tinggi badan. Setelah berbaris maka jika yang terdepan masuk kelompok merah, maka yang kedua di belakangnya masuk kelompok putih. Merah-putih-merah-putih terus sampai murid ke 33 (jumlah murid satu kelasnya Riku. Entah apakah cara pembagian ini wewenang guru atau kesepakatan bersama.
Waktu kutanya Gen, sejak kapan murid-murid dibagi menjadi dua kelompok merah dan putih, jawabnya ya mungkin dari dulu. Tapi dulu dibagi per kelas. Jadi misalnya kelas 6 A-B-C-D, maka A dan B masuk kelompok Putih dan C dan D masuk kelompok Merah.
Setiap kelas mengikuti pertandingan yang beragam, disesuaikan dengan kemampuan rata-rata anaknya. Misalnya untuk kelas 1 dan 2 mengikuti pertandingan lari 50 meter, sementara yang kelas 6 lari 100 meter. Riku mengikuti lomba lari dan sampai di garis finish yang ke empat dari 6 peserta. Hmmm musti diet nih si Riku.
Selain acara lomba begitu, biasanya tiap kelas membuat sebuah komposisi olahraga pertunjukkan. Tahun ini kelas 2 membawakan pertunjukan berjudul “Furi Furi Flag”. Kostumnya seragam sailor (kerah khusus seperti pelaut yang kami, orang tuanya diminta untuk membantu membuatkan). Yang menarik, mereka (guru-guru) selalu memilih lahu populer yang memang bersemangat. Lagunya Ultra Music Power dari Hey!Say! Jump. (Yang mau tahu lagunya silakan lihat di sini)
Melihat gerakan mereka memang membuatku teringat pada ketrampilan semaphore di Pramuka dulu. Ihhh, dulu aku hafal loh semua, kok sekarang lupa ya hehehe.
Acara pertandingan olah raga di SD nya Riku ini dibagi 2 bagian. Bagian pagi, dan siang. Jadi kami diberi kesempatan untuk makan siang (bento/bekal) selama 1 jam. Tapi karena aku capek sekali, gen, aku dan kai pulang ke rumah untuk makan siang bentonya di rumah saja. Dan di situ aku merasa tua banget, karena punggungku sakit akibat menyandang ransel berat berisi bekal untuk kami bertiga. Jadi aku tinggal di rumah bersama Kai, dan tidur. Gen saja yang kembali ke sekolah Riku untuk menonton bagian ke dua, dan juga membantu panitia selama 30 menit menjaga jalan di sekitar SD.
Jadi aku sendiri tidak lihat bagian siang dan memang bagian ini lebih bersifat umum, bukan perkelas. Seperti menggulirkan bola raksasa per kelompok. Kelompok yang paling cepat membawa bola raksasa itu yang juara. Biasanya pertandingan memakai bola raksasa ini yang menjadi penentu kemenangan kelompok putih atau kelompok merah. Tapi tahun ini sejak awal sudah kelihatan bahwa kelompok merah akan kalah. Kelompok Putih jauh lebih kuat, sehingga bendera kemenangan tahun ini dipindahtangankan dari kelompok Merah sebagai juara tahun lalu ke kelompok Putih.
Well, yang aku dengar dari Riku sih, murid-murid bersemangat mempersiapkan pertandingan dan tidak ada ejek-mengejek karena kalah atau menang, tapi yang penting kebersamaan dalam melakukan suatu acara. Semangat bersatu itu dilatih setiap tahun dengan acara pertandingan OR, sport meeting atau Undokai ini.Aku selalu merinding setiap melihat seruan-seruan kelompok yang membakar semangat anak-anak untuk “do their best”.
Jadi selama 10 tahun ke depan, aku dan Gen pasti akan datang dan ikut serta (paling sedikit menonton) kegiatan anak-anak kami selama mereka SD. Undokai memang merupakan kegiatan anak SD di seluruh Jepang yang tidak bisa dilewatkan, yang merupakan salah satu kegiatan menyambut Hari Olah Raga tanggal 11 Oktober 2010 (tanggalnya berubah setiap tahun, tapi ditentukan hari Senin minggu kedua bulan Oktober).
Untuk Kai, karena dia adalah anggota pre-school (penitipan) maka akan diadakan undokainya hari Sabtu tgl 2 Oktober. Dan ini juga lucu sekali, karena tentu saja anak-anak di penitipan masih terlalu kecil untuk berolahraga. Moga-moga hari Sabtu itu Kai sehat dan udara cerah sehingga kami sekeluarga bisa ikut meramaikan acara undokai hoikuen (penitipan) Kai. Dan sebagai penutup aku sertakan video clip waktu Riku masih di hoikuen (6 Oktober 2006) dan menarikan “goyang pinggul”.(Kalau Riku tahu malu ngga ya dia? hahaha)
Suasana di Rumah Dunia (RD), Minggu tanggal 1 Agustus lalu, tidak seperti biasa. Banyak orang tapi tidak seramai biasanya. Tidak ada suara teriakan riuh rendah seperti jika anak-anak sekitar berkumpul bersama, meskipun banyak pengunjungnya. Hening dalam keramaian. Karena kali ini yang hadir di sana adalah 16 anak Sekolah Luar Biasa yang tuna rungu.
Pagi itu kami keluar Villa Kaalica Tanjung Lesung pukul 8 pagi. Perkiraan kami cukup untuk sampai pukul 10 di Rumah Dunia Serang, untuk mengikuti acara yang direncanakan mulai pukul 10 sampai pukul 12. Tapi…. jalanan di pagi hari ternyata dipenuhi angkot yang berhenti seenak perut, sehingga kami tidak bisa bablas seperti waktu perjalanan kami ke TL sebelumnya. Jalanan memang tetap sama, berlubang-lubang (tidak mungkin berubah dalam 2 hari kan?).
Pemandangan tepi laut di kiri kami juga berbeda dengan waktu kedatangan kami malam hari. Kami memang juga tidak sempat sarapan pagi itu, karena tidak ada waktu santai. Dan mungkin karena AC sehingga masuk angin, Kai sempat muntah dalam perjalanan ke Serang, sehingga membuat kami terlambat sampai di RD. Ketika jam 10, Koelit Ketjil a.k.a KK menelepon kami, untuk mengetahui posisi, kami tahu bahwa kami pasti terlambat. Untung ada KK di RD sehingga bisa langsung memulai acara dengan permainan-permainan bersama anak-anak SLB itu.
Kami sampai di lahan Rumah Dunia pukul 11. Saat itu anak-anak baru saja selesai lomba makan kerupuk. Melihat kami datang, mereka menempati panggung dan melaksanakan satu game lagi. Dibagi menjadi 3 kelompok, mereka menyampaikan “pesan berantai”. Namun pesan yang biasanya dibisikkan, kali ini berupa “gambar” di punggung teman depannya. Teman paling depan yang harus menggambar di papan hasil “pendengaran” nya, dan mencocokkan dengan teman awal yang melihat gambar awal. Aku tahu, aku belum tentu bisa menggambar atau menebak seperti mereka.
Semua instruksi diberikan oleh Ibu Bilqis, yang merupakan guru di SLB Samantha dan koordinator dari pertemuan ini. Tentu saja memakai bahasa isyarat. Aku jadi ingin mempelajari bahasa isyarat ini, tapi setiap bahasa, bahasa Inggris, Indonesia dan Jepang berbeda, jadi cukup bingung untukku untuk memilih. Ah aku kagum pada Bu Bilqis yang cantik dan ramah ini.
Setelah selesai game “pesan berantai” ini, dengan grup yang sama, mereka diberikan satu kertas gambar besar untuk menggambar bersama. Temanya: “Kegiatan di sekolahku”. Riku ikut salah satu kelompok, dan membantu menggambar awan dan pohon-pohon. Sementara mereka menggambar, aku berkesempatan berbicara dengan ibu Bilqis dan ibu-ibu lainnya.
Sambil membagikan snack kepada mereka, kami membagikan kertas origami. Seni melipat kertas dari Jepang menjadi acara penutup hari itu. Dan yang menjadi gurunya adalah Riku. Kadang Riku memang maunya yang aneh-aneh seperti kumbang atau pacman. Tapi aku minta Riku mengajarkan melipat bunga lonceng, Asagao. Jadilah semua anak-anak juga semua yang hadir di sana, termausk bapak Didik, kepala sekolah SLB Samantha, memegang kertas dan melipat bersama. Jadilah berpuluh kembang kertas yang bisa ditempel, dijadikan satu menjadi sebuah buket.
Pernahkah kamu berinteraksi dengan anak tuna rungu? Aku kagum kemarin dengan mereka, yang berusaha mengekspresikan pendapatnya dengan gerak dan raut muka. Manusia normal cukup berbicara saja, mengatakan keinginan dan pendapatnya. Tapi mereka? mereka lebih ekspresif wajahnya. Aku senang ada beberapa anak yang “berbicara” padaku dengan raut muka senang, dan juga memberitahukanku bahwa dia bisa membuat origami burung. Lalu aku minta dia membuat origami burung dan mengajarkan pada temannya. Terus terang Riku belum bisa membuat origami burung, masih terlalu sulit. Origami itu mudah-mudah sulit loh. Pastikan kamu melipat dengan tepat, jangan miring. Begitu miring dan garis lipatan tidak jelas, maka keseluruhan origami akan menjadi jelek.
Selesai origami sudah jam 12, sehingga kami kemudian membagikan nasi kotak kepada semua peserta dan makan siang bersama. Nasi yang dipesan berisi ayam goreng tulang lunak, sayur asam, ikan teri dan lalap. Riku makan dengan lahap, sampai ketumpahan sayur asam…. “Sayur ini pedeees” hihihi.
Sebelum berpamitan, kami semua berfoto bersama di panggung RD sebagai kenangan bahwa kami pernah bertemu. Bahkan sampai di depan gerbangpun, kami masih berfoto bersama. Sepertinya Gerbang Rumah Dunia ini memang bagus sebagai lokasi foto.
Setelah semua anak SLB pulang, kami kembali lagi masuk ke pelataran RD dan melanjutkkan acara dengan anak-anak sekitar. Kesempatan bagi Riku untuk mengikuti lomba makan krupuk bersama anak-anak sepantaran. Aku memang minta pada KK untuk memasukkan “Makan krupuk” dalam acara permainan, karena acara seperti ini tidak ada di Jepang. Apalagi lomba karung dan panjat pinang …hehehe. (Tapi kedua permainan ini tidak bisa kami laksanakan).
Tidak mau kalah dengan anak-anak, tante-tante yang hadir juga ikutan untuk meramaikan suasana. Seru juga loh… kapan terakhir aku ikut lomba makan krupuk ya? Waktu TK atau SD? sudah jadul banget dong.
Sementara itu Mbak Tias, bundanya Rumah Dunia memotong-motong kue Black Forrest yang kami bawa untuk dibagikan pada anak-anak dan semua yang ada. Tanggal 1 Agustus itu adalah hari ulang tahun Daniel Mahendra dan sehari sebelumnya 31 Juli adalah ulang tahun mbak Tias. Sayang Mas Gola Gong tidak ada karena harus pergi ke Surabaya.
Setelah selesai acara potong kue (tanpa nyanyian dan tiup lilin) kami berkumpul kembali di sekitar panggung RD. Kali ini acara perkenalan Riku dengan anak-anak sekitar. Rikunya malu-malu sehingga akhirnya dilanjutkan dengan acara origami dan aku mendongeng. Wah aku memang tidak prepare untuk mendongeng. Mau mendongeng cerita rakyat Jepang, tidak ada medianya (buku atau gambar). Akhirnya aku pakai cerita yang aku selalu suka, yaitu the black crayon.
Kami akhirnya berpamitan pukul 3 siang. Sebelumnya kami bersama-sama membersihkan tempat yang kami pakai. Satu yang membuat aku terharu di sini yaitu Kai yang mau ikut menyapu dan mengumpulkan sampah untuk dibuang ke tempat sampah. Sementara kakaknya bermain, dia saja yang ikut memunguti sampah. Ah Kai, kamu tuh emang pembersih…. keturunan siapa ya? Papa atau mama? Kayaknya papa deh ya hehehehe.
Rumah Dunia, bersemboyankan : Mencerdaskan dan Membentuk Generasi Baru, Memindahkan Dunia ke Rumah, yang terbukti hari itu. Ria dari Duri, Daniel Mahendra dari Bandung, Eka dan Adrian dari Jakarta, aku, Kai dan Riku dari Tokyo, Anak-anak SLB yang tersebar di seluruh Banten, kami semua dengan “dunia”nya masing-masing berkumpul menjadi satu di rumah ini — Rumah Dunia. Kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada Mas Gola Gong dan Mbak Tias, empunya Rumah Dunia, Relawan RD yang banyak membantu pelaksanaan acara, Koelit Ketjil yang mengatur seluruh pertemuan kami ini, Bu Bilqis dan Pak Didik yang membina anak-anak SLB Banten, ibu-ibu guru lainnya, Murid-murid SLB yang hadir dalam acara tersebut. Semoga pertemuan ini bisa menjadi energi baru, awal persahabatan dan silaturahmi yang berpusat di Rumah Dunia. Dan kami berdoa Rumah Dunia dapat menjadi pusatnya cendekia Banten.
Nama Stanley yang biasanya lekat dalam benakku adalah Stanley film animasi dari Disney Channel yang amat suka binatang. Dia mempunyai “Kitab Ajaib” “Great Big Book of Everything” yang berisi keterangan tentang binatang-binatang dan jika kedua piarannya kucing dan anjing menyanyikan sebuah “mantra” tertentu. Stanley akan bisa “masuk” ke dalam buku itu dan bertemu langsung dengan tokoh binatang itu.
Tapi Stanley yang mau kuceritakan di sini adalah nama tempat wisata di Hongkong, yang menjadi tujuan kami wisata di hari kedua kami berada di Hongkong.
Pagi hari kami bangun dan naik taxi menuju sebuah restoran yang bernama Very Good Restaurant, sebuah restoran Dim Sum yang katanya buka mulai jam 8 pagi. Konon orang Hongkong keluar rumah tanpa sarapan, dan sarapan di restoran/kedai makan dulu sebelum mulai bekerja. Wah praktis banget tuh, jadi ibu-ibu (atau pembantu) tidak usah mempersiapkan sarapan untuk orang rumah.
Tentu, Anda semua sudah tahu dim sum ya. Kebanyakan dim sum adalah panganan dalam skala kecil yang dikukus. Beberapa jenis yang terkenal adalah Bakpau, beraneka rasa siomay, roti mantau dan lebih spesifik lagi harkau (pangsit rebus berisi udang) dan ceker ayam. Meskipun bukan dikukus, onde-onde, pangsit goreng dll juga termasuk dalam menu Dim Sum ini.
Nah, kabarnya restoran ini enak dim sum nya. Dan memang restoran ini lumayan besar. Kami menempati meja bundar (meja bundar memang selalu praktis, karena bisa ditempati orang dalam jumlah berapa saja), dan mulai memesan makanan. Satu yang menarik di sini, begitu kami datang, kami dibawakan dua buah poci panas, satu berisi teh cina, dan satu lagi berisi….air panas. Nah, aku baru tahu di sini ada kebiasaan orang untuk “mensterilkan” mangkuk dan sendok/sumpit yang akan mereka pakai dengan air panas ini. Memang katanya ada juga yang tidak melakukan itu, tapi kebanyakan orang Hongkong mencuci peralatan makan mereka. Hmmm kalau dipikir memang Hongkong termasuk kota yang bersih juga, meskipun kelihatannya semrawut karena padat bangunan dan manusia. Aku lupa tanya apakah kebiasaan ini memang sudah lama ada, atau baru-baru saja semenjak ada isu flu burung.
Yang juga menarik di sini adalah masakan ceker ayam yang tidak pedas. Biasanya ceker ayam di Indonesia diberi bumbu yang spicy dengan potongan cabe merah, Tapi di Hongkong ada jenis yang tidak memakai cabe, (semacam bumbu steak saja) sehingga anak-anak bisa makan. Dan kedua anakku makan ceker ayam dengan lahapnya, meskipun sulit untuk Kai makan sendiri karena belum bisa memilah daging dengan tulang in the mouth by himself. Kalau Riku memang dia sudah “berkenalan” dengan ceker sejak lama.
Setelah dari restoran ini, kami naik kereta bawah tanah untuk pergi ke terminal bus double decker, bus bertingkat yang akan membawa kami ke Stanley. Nah apa beda subway di Jepang dan di Hongkong? Di Hongkong jalur kereta subway ditentukan dengan warna jalur dan stasiunnya. Semisal jalur kereta yang akan kami naiki itu jalur hijau, maka peronnya berwarna hijau juga. Cara ini benar-benar memudahkan turis yang buta kanji dan anak-anak. Memang di Tokyo juga memakai penanda warna untuk kereta bawah tanah, tapi peronnya tidak berwarna. Mungkin karena jalur kereta subway di Jepang itu begitu banyak ya?
Dan selain warna jalur, satu hal lain yang bisa dikatakan “aneh” adalah kecepatan gerak eskalator (tangga berjalan) di stasiun Hongkong. Aduuuh ini benar-benar berbahaya untuk orang/ibu yang menggendong anak, orang tua dan mereka yang tidak cepat tanggap. Bisa jatuh deh! Aku sampai berkata pada Kimiyo: “Orang Jepang dianggap tidak sabaran, karena selalu berjalan cepat-cepat. Tapi Hongkong? duh bisa mengalahkan eskalator di Jepang kecepatannya.
Kamu naik bus double decker, bus bertingkat yang banyak terdapat di Hongkong untuk menuju Stanley. Duduk di tingkat atas bus ini memang memberikan kami pemandangan kota yang lebih menyeluruh. Dan aku rasa bus tingkat, tram tingkat di Hongkong yang begitu banyak mampu membuat jalanan Hongkong tidak macet! Selain dari dapat mengangkut penumpang yang banyak dalam satu trayek. Semestinya Jakarta juga mempunyai bus tingkat ini !
Kami turun di terminal akhir. Pemandangan di daerah ini memang sedikit agak lain dengan pemandangan dalam kota Hongkong. Kami menuju pertokoan yang ada, macam tanah abang atau mangga dua di Jakarta atau di asakusa jika di Tokyo. Dan memang barang-barang/ cindera mata di sini MURAH!
Tapi tujuan pertama kami adalah tempat pembuatan huruf Kanji dengan hiasan. Bahasa Jepangnya Hanamoji (Huruf berbunga). Kimiyo memesan penulisan hanamoji untuk temannya. Dan kami bisa melihat proses si pengrajin itu menuliskan nama dua temannya dengan artistik. Aku ingat dulu aku juga pernah mendapatkan hadiah dari seorang murid berupa nama aku dan Gen ditulis dengan Kanji warna-warni. Riku yang memang menyenangi kesenian, langsung mendapat ide untuk menulis indah begitu, dan begitu sampai rumah memang dia sempat mempraktekkannya. Sayang aku lupa mengambil foto hasil karya Riku.
Setelah masuk keluar toko sepanjang lorong-lorong yang menjual berbagai macam cendera mata, kami keluar mendapati sebuah pemandangan yang indah. Semacam pantai dengan dermaga, dan pemandangan rumah-rumah bungalow orang asing yang sejenak dapat memberikan kedamaian waktu melihatnya. Seakan bukan di Hongkong.
Tapiiiiiii sebenarnya siang itu panasssss sekali. Setelah berbelanja dan berjalan jauh, kami beristirahat di sebuah cafe kecil dan menyeruput es kelapa muda. Kemudian kami kembali ke apartement Kimiyo naik taxi karena anak-anak sudah capek dan mengantuk. Kai tertidur di dalam taxi, tapi begitu sampai di apartemen Kimiyo terbangun dan tidak mau ketinggalan untuk berenang di kolam renang apartemen. Sementara Ao tidur siang wajib, tidak bisa tidak harus 3 jam. Wah anak-anakku sih kalau dikasih tidur segitu lama siang harinya, bisa melek sampai jam 11 deh, sehingga tidak ada kebiasaan siesta (tidur siang) dalam keluargaku.
Setelah istirahat sebentar, kami kemudian keluar rumah lagi untuk pergi ke The Peak.
Aku sengaja menuliskan “adik” dalam tanda petik, memang untuk merujuk seseorang yang usianya lebih muda dari kita, tidak ada hubungan darah tapi keakrabannya bagaikan saudara sekandung. Memang “adik ketemu gede” tapi bukan sebagai kelakar untuk menutupi hubungan khusus dengan lawan jenis (sering kan tuh jika bertemu pasangan, ditanya cewek itu siapa? Lalu dijawab “Adik”…. adik ketemu gede) dan memang bisanya kita bertemu “adik” (atau “kakak”) ini pada saat kita sudah dewasa. Aku sendiri mempunyai beberapa orang yang kuanggap “adik” (dan dia menganggap aku “kakak”) , baik di ruang nyata maupun di dunia maya.
Aku bertemu dia di Jepang, tahun April 1993, di ruang seminar professor MS di Yokohama National University. Aku sebagai mahasiswa peneliti yang waktu itu tugasku bukan hanya meneliti kehidupan kampus tapi juga beradaptasi pada kehidupan di Jepang, sebelum melangkah menjadi mahasiswa Universitas. Ini merupakan “syarat” tidak tertulis untuk mereka yang ingin belajar S2 ke Jepang, harus melalui tahapan “kenkyusei” (Mahasiswa Peneliti). Tugasku waktu itu hanya mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan professor pembimbingku, mengikuti “seminar” khusus dengan dosen pembimbing sambil mempersiapkan ujian masuk S2, mengikuti pelajaran tambahan bahasa Jepang (yang akhirnya oleh guru-guru bahasa di YNU dianggap aku tidak perlu mengikutinya karena sudah cukup. “Kamu lebih baik langsung ikut kuliah lain, jangan buang waktu di sini”)
Pihak universitas waktu menyediakan program Tutoring bagi mahasiswa asing, MS sensei kemudian menunjuk Kimiyo dan Kayoko, mahasiswa tingkat 3 tahun itu untuk menjadi mentorku. Meskipun sebetulnya tidak diperlukan karena aku sudah bisa bahasa Jepang, tapi aku merasa beruntung karena dengan “penugasan” inilah aku bisa akrab dengan Kimiyo.
Karena aku sudah bisa bahasa Jepang, sang dosen menugaskan Kimiyo untuk “berbuat apa saja laksana mentor”, jadi jam pertemuan mentoring kami biasanya kami pakai untuk berwisata bersama. Bukannya belajar, malahan main! hehehe (dan ini dengan persetujuan sensei loh) Kami menjelajah daerah wisata kamakura bersama, masak bersama, karaoke bersama (lagu favorit kami “Natsu no owari no Harmony — Harmoni di akhir musim panas), merayakan hari Natal bersama di kamar kost ku yang sempit, dll. pokoknya isinya main mulu deh.
Bulan Februari 1994, kedua mentorku itu akhirnya ikut bersama ku pulang kampung, untuk berwisata di Jakarta. Ini adalah kedatangan Kimiyo yang pertama ke Jakarta dan mungkin boleh dikatakan merupakan “titik awal” jalan hidup Kimiyo sehingga menjadi seperti sekarang ini. Aku mengajaknya ke MONAS. Kami naik puncak Monas bersama, (menaiki lift pesing nan pengap), dan kami juga mengunjungi musium perjuangan di bawah pelataran monas. Museum yang rada gelap, penuh diorama-diorama perjalanan bangsa Indonesia. Dan di satu diorama itu, Kimiyo terhenti…dan …terkejut! Sebuah diorama yang menggambarkan kekejaman serdadu Jepang terhadap masyarakat Indonesia di bawah pendudukan Jepang.
Loh? ada apa ini? kenapa bisa begitu? kenapa negaraku berbuat seperti ini terhadap negaranya Imelda? — mungkin begitu pertanyaan Kimiyo dalam hati. Memang aku tak bisa menyalahkan angkatan Kimiyo /generasi muda Jepang yang sama sekali tidak tahu bahwa negaranya pernah menjajah Indonesia (Kimiyo memang sudah tahu tentang pendudukan Jepang, tapi tidak menyangka se”biadab” itu). Kebanyakan generasi muda Jepang hanya tahu Jepang menjajah Korea dan Cina (Manchuria), tapi tidak menjajah Indonesia. Kemudian aku jelaskan… memang Indonesia pernah mengalami penjajahan Jepang selama 3 tahun, meskipun banyak yang ramah pada orang Jepang sekarang, belum tentu generasi yang lebih tua dapat “menerima” orang Jepang dengan ramah.
Asal pembaca TE tahu, memang dalam buku sejarah di Jepang, tidak ada yang menuliskan bahwa “Indonesia merdeka dari Jepang tanggal 17 Agustus 1945”. Yang ada “Indonesia merdeka dari sekutu tahun 1948”.
Berawal dari “shock”akan ketidaktahuan sejarah Indonesia-Jepang inilah, Kimiyo kemudian mengambil tema penulisan skripsinya waktu itu, “Pendudukan Jepang yang tertulis dalam buku pelajaran sejarah Indonesia”. Dia ingin mengetahui bagaimana orang Indonesia bisa “menerima” kehadiran orang Jepang dengan “ramah” saat itu padahal sudah mengalami perlakuan kejam dari serdadu Jepang. Kimiyo mengadakan penelitian terhadap buku-buku pelajaran sejarah Jepang dan Indonesia (dia mempunyai sertifikat menjadi guru SD Jepang – wajib dimiliki oleh semua yang mau mengajar di SD, yang macam sertifikasi guru di Indonesia deh.)
MS sensei membimbing skripsinya dan secara tidak langsung gantian “menugaskan” aku membantu Kimiyo untuk menulis skripsinya. Terutama untuk dokumen berbahasa Indonesia. Skripsi Kimiyo selesai Maret 1995, dan mulailah Kimiyo melangkah sebagai “manusia masyarakat” Shakaijin 社会人, seorang dewasa yang patut bekerja sebagai anggota masyarakat. Tapi saat itu dalam kepala Kimiyo hanya ada satu keputusan, “Aku harus belajar bahasa Indonesia di Indonesia”. Memang Kimiyo lulus dari Yokohama National University, tapi hubungan kami, Imelda dan Kimiyo, tidak berhenti saat itu, malah hubungan sebagai “adik-kakak” dimulai saat itu.
Kimiyo berangkat ke Jakarta sebagai mahasiswa BIPA -UI (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing -UI), dan tinggal indekost di rumahku di Jakarta. Imelda di Jepang, Kimiyo di Jakarta! Aku berkutat dengan dokumen sejarah di Tokyo-Yokohama, sedangkan Kimiyo berkutat dengan buku-buku bahasa Indonesia di Jakarta. Dia juga menjadi guru bahasa Jepang adik “real”ku Tina yang waktu itu mempersiapkan diri mengambil S2 arsitektur di Jepang.
Give and Take…. selalu begitu dalam kehidupan ini. Tidak ada orang yang bisa hidup sendiri. Dan dalam setiap perjalanan hidup kita, kita pasti akan bertemu dengan seseorang yang bisa mengubah “arah” kehidupan yang mungkin awalnya sudah kita rencanakan. Bisa saja berlangsung sesuai rencana, tapi bisa juga “melenceng” arahnya. Tapi, kita harus tetap yakini, bahwa “perjalanan” hidup kita PASTI akan menuju kehidupan yang LEBIH BAIK.
Aku ingin berterima kasih pada ibunda Kimiyo (tentu juga papanya) yang mau dan memberikan ijin Kimiyo untuk melanjutkan belajar bahasa Indonesia ke Jakarta. Sebagai seorang ibu pasti tidak ingin tinggal berjauhan dengan anak perempuannya. Memang aku tahu bahwa beliau sudah melepas Kimiyo belajar ke Yokohama (mereka berasal dari Hachinohe, utara Jepang), tapi bagaimanapun juga melepas kepergian seorang anak perempuan ke negara lain butuh “keberanian” dan kepasrahan bahwa jalan hidup anaknya akan berubah. Segala kemungkinan bisa terjadi, seperti aku yang akhirnya menikah dengan orang Jepang, seorang ibu harus bisa menerima bahwa memberikan ijin anak perempuannya itu = merelakan anaknya tidak “kembali” lagi a.k.a hidup berjauhan.
Well bukannya semua orang memang melakukan “perjalanan hidup”nya sendiri? Dan memang aku tahu meskipun sejak Kimiyo menyelesaikan SMA nya, kemudian melanjutkan kuliah di daerah lain, kemudian ke Indonesia, waktu yang dilewatkan bersama ibu-anak itu sedikit, tapi banyak pengalaman batin yang terjadi, yang mungkin (aku rasa sih pasti) memperdalam hubungan ibu dan anak. Semoga ibunda Kimiyo, yang meninggal Maret lalu, terus melindungi kami semua yang masih tinggal di dunia ini.Terutama Kimiyo dengan suami dan anaknya, yang sekarang malahan tinggal di suatu tempat yang tidak diduga-duga. Hongkong!
Tulisan ini aku buat untuk mengenang persahabatan dan persaudaraan seorang Imelda dengan Kimiyo Kaneko (yang sering mengaku sebagai Kimiyo Coutrier) selama 17 tahun. Terlalu banyak pengalaman dan cerita yang terjadi selama 17 tahun perjalanan hidup kita bersama Kim, yang tidak bisa aku tuangkan semua di sini, tapi masih akan ada banyak tahun yang akan kita lewati bersama, meskipun kita berlainan kota bahkan berlainan negara. Dua puluh tahun lagi? lebih? ya… tentu sampai mati. Dan semoga persaudaraan kita, bisa berlanjut sampai ke anak-cucu kita ya.
Hari ini hari Minggu, tapi kami harus ke SD Riku karena ada sankanbi. Sankanbi adalah kunjungan orang tua ke kelas anak-anaknya dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana anak-anaknya belajar di kelas dalam satu hari. Saya tidak tahu apakah sankanbi juga dilakukan di SMA dan SMA atau tidak, tapi yang pasti di TK dan SD dilakukan sebagai salah satu program sekolah. Cerita sankanbi Riku waktu TK aku tulis di sini dan di sini, sedangkan waktu di SD kelas 1 di sini.
Entah kenapa, mungkin karena capek, Kai tidur sampai jam 11 siang. Padahal Riku sudah berangkat sejak jam 8, untuk memulai jam pelajaran pertama “Berhitung” mulai jam 9 pagi di sekolahnya. Karena sankanbi biasanya dilakukan hari biasa, yang tentu saja tidak bisa dihadiri Gen, maka karena kali ini hari Minggu, Gen bertekad untuk menghadiri semua pelajaran. Lagipula hari ini adalah Father’s Day. Tidak biasanya kemarin dia tanya Riku, “Riku, papa pakai celana jeans tidak apa-apa kan? ” Dijawab Riku, ” Gpp… pake kacamata hitam juga ngga papa kok” hahahhaa lalu papanya bilang, “Kalau papa pakai kacamata hitam jadi seperti gangster dong”. Intinya Gen ingin Riku bangga dengan kehadiran papanya di sekolah.
Jadwal pelajaran hari ini adalah ① “Berhitung 算数”, sesudah itu ② “Bahasa Jepang 国語”, ③”Musik 音楽”, ④ ”Olahraga 体育” dan ⑤ ” Ilmu Hayat 生活”. Aku dan Kai akhirnya menyusul pada mata pelajaran Olahraga. Waktu itu mereka sedang lari estafet, kemudian bermain dodge ball. Nah, sesudah pelajaran olah raga yang selesai jam 12:15 itu, mereka makan bersama di sekolah 給食 dan kami harus pulang dulu untuk kembali pada jam pelajaran ke 5, jam 13:15. Cuma ada waktu 1 jam, sedangkan kalau pulang ke rumah dan masak, pasti akan terlambat kembali. Jadi kami membeli obento, bekal makanan dan sandwich di toko konbini, kemudian makan di taman terdekat. Piknik deh! (Yang aku lupa bahwa Kai pakai celana pendek, sedangkan musim panas di taman-taman banyak nyamuk. Jadi deh dia “dimakan” nyamuk 蚊に食われた)
Kembali lagi kami ke sekolah untuk melihat jam pelajaran terakhir, “Ilmu Hayat” dan memang sedapat mungkin orang tua diminta datang pas jam pelajaran ini, karena anak-anak akan mengadakan “presentasi” 発表 mengenai tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekolah. Dari 33 orang murid, 2 orang menanam paprika ピーマン, 5 orang menanam okura オクラ, 10 orang mini tomato ミニトマト, 15 orang ketimun きゅうり dan 1 orang terong ナス。Satu orang itu adalah Riku…. Untung anakku tidak kelihatan grogi dan bisa mempresentasikan pohon terong dengan baik.
Anak-anak ini meskipun baru kelas 2 SD bisa menyampaikan apa yang mereka amati dari pohon yang mereka tanam. Ada beberapa anak yang aku rasa hebat karena bisa menggambarkan hal-hal detil dari pohon mereka. Dari SD mereka sudah dilatih untuk presentasi begini, sehingga tidak heran kalau mereka bisa mengarang dan mempresentasikan suatu penemuan di kemudian hari.
Ada satu joke yang aku lihat di TV beberapa waktu yang lalu. Situasinya begini: Jika ada presentasi, waktunya tinggal 30 menit bagaimana orang-orang mengantisipasinya. Tepatnya aku lupa tapi secara garis besar begini: “Orang Jerman akan berbicara spt biasa, dan berhenti tiba2 pada waktunya. Orang Italia akan bicara terus terus terus sampai 2 jam melebihi jatah. Orang Amerika akan bicara lebih cepat dan marah2 karena wkt yang disediakan sedikit. Orang mana lupa, akan bicara dua kali lipat kecepatan sampai pendengar tidak ngerti”
Nah… orang Jepang gimana? Karena ini kuis jadi ada yang menjawab, “Orang Jepang bungkuk2 terus minta maaf”
tapi jawaban yang benar adalah “Orang Jepang tidak akan panik, dia akan bicara terus karena DIA TIDAK TERLAMBAT MEMULAI PRESENTASI dan sudah memperhitungkan semua, pasti akan selesai dalam 20 menit, dan akan menyediakan wkt 10 menit untuk pertanyaan.
IT IS SOOOOOO JAPANESE!! (bener 100%). Adalah hal yang memalukan utk selesai terlambat karena semua oang punya “ACARA” lain sesudahnya. Jadi seandainya mulai terlambat sudah biasa untuk minta maaf tetapi juga minta maaf berkali-kali jika selesai terlambat.
Waktu aku mengikuti kuliah di sini pun aku agak shock dengan sistem “seminar” bersama dosen pembimbing. Jadi biasanya di tingkat 3 universitas, mahasiswa akan mendapat atau memilih dosen pembimbingnya untuk skripsi, dan mengikuti “seminar” dari dosen itu. Dan sistem seminar adalah presentasi dari setiap murid. Aku tidak terbiasa dengan sistem begini di UI, jadi agak keteteran juga tuh waktu mengikuti seminar. Seharusnya sistem seperti ini di “budayakan” di Indonesia, sehingga mahasiswa terbiasa membuat presentasi ilmiah. (Maaf, mungkin sudah ada universitas yang menjalankannya, tergantung bidang studinya juga sih).
Setelah semua murid kelas 2 SD ini sudah selesai presentasi, guru cantik melanjutkan pelajaran dan mempersiapkan anak-anak pulang. Tak lupa semua anak berdiri dan menghormat ke arah orang tua, karena orang tua sudah emluangkan waktu datang untuk mereka.
Dalam perjalanan pulang, Gen cuma mengatakan …”Aduuuh Riku itu ngga bisa main harmonika. Dia musti kita latih terus bermain harmonika. Tadi dia cuma main not terakhir saja. Malu-maluin!” hihihi….. nah aku emang ngga bisa juga, jadi gimana mau latih dia? Aku mending disuruh nyanyi deh daripada main musik 🙂
Well, menurutku kebiasaan sankanbi ini memang merepotkan orang tua, tapi amat bagus untuk melihat langsung perkembangan dan tingkah anak di sekolah.
Hari ini kedua anakku membawa pulang terong dan kentang ke rumah. Bukan dari toko loh! tapi “buatan” sendiri. Ya, sebagai tugas sekolah, masing-masing murid di SD nya Riku wajib menanam salah satu sayuran yang bibitnya disediakan pihak sekolah. Memang sebelum menanam ditanyakan keinginan murid, maunya menanam apa. Ada pilihan Terong, Ketimun, Tomat, Okura atau Paprika.
Masing-masing murid mendapat sepetak tanah seukuran 30×30 cm di dalam halaman sekolah, dan mereka menanam sendiri bibit yang diterima dari gurunya. Tentu saja mereka juga harus memberi air setiap hari, dan mencatat perkembangan sayur mereka. Riku mendapat bibit Terong karena dia sendiri memilih terong sebagai pilihan pertama. Ternyata semua teman di kelasnya memilih sayuran lain, sehingga hanya Riku yang menanam terong. Hari ini terongnya sudah bisa dipanen meskipun masih “cilik”. Dengan bangganya tadi siang dia membawa pulang satu terong dan memperlihatkan padaku.
Kalau Riku membawa Terong, maka si koalaku Kai membawa pulang kentang. Bersama teman-teman di penitipan Himawari, hari ini mereka pergi ke ladang kentang yang terletak di Hoya, satu stasiun (kira-kira 5 menit) dari tempat penitipannya. Berarti hari ini juga pertama kalinya dia naik kereta, bersama sensei dan teman-temannya. Aku bisa bayangkan anak-anak balita itu berbaris dan berjongkok dengan rapih sebelum masuk kereta. Iiiih pasti lucu, aku pengen “ngikut” sebetulnya, tapi kalau mereka melihat aku, pasti jadi rame, “Ada mamanya Kai…ada mamanya Kai”. Jadi lebih baik serahkan Kai ke tangan senseinya, dan aku tunggu saja foto-foto mereka.
Masing-masing anak harus membawa ransel yang berisi pakaian ganti, handuk kecil, jas hujan, termos minuman dan …kantong plastik. Kantong plastik ini gunanya untuk membawa hasil panen pulang.
Kabarnya (menurut cerita senseinya waktu aku menjemput Kai pulang), anak-anak balita itu semua bersemangat pergi dan menggali kentang dengan tangan. Tidak ada satupun yang menangis, padahal kelas “Gajah” tahun ini banyak yang berusia 2 tahun (belum 3 tahun , termasuk Kai). Tapi karena “kerja keras” dalam perjalanan pulang semua diam, dan kelihatan semua capek. Waktu tidur siang juga lebih lama dari biasanya. Dua jam!
Jadi hari ini aku akan memasak sayuran hasil karya anak-anakku! Tentu saja musti tambah dengan terong “buatan” supermarket karena Riku cuma bawa satu buah. Tapi kentang? Ada satu kilo tuh! lumayan untuk membuat potato salada.
Dan…. malam ini pasti anak-anak cepat tidur karena capek. Karena Riku juga tadi ada kelas berenang di sekolahnya, jadi pasti capek 😉
Sebetulnya ku lebih suka istilah “private consultation” untuk bahasa Jepang Kojin Mendan 個人面談 suatu sistem pendidikan di sini untuk memonitor perkembangan akademis murid di sekolah SD. Ini biasanya dilakukan di tengah semester bukan waktu penerimaan raport, supaya jika ada yang kurang bisa ditindaklanjuti oleh orang tua dan guru.
Hari ini pukul 3:30 aku mendapat “jatah” bertemu dengan gurunya Riku selama 15 menit. Entah kenapa, gurunya Riku ini selalu menempatkan aku di paling belakang, mungkin (mungkin loh) dia juga senang bercakap-cakap –ngerumpi– masalah lainnya. Dia merasa dekat denganku, karena katanya, kita kan sama-sama bekerja di bidang pendidikan, jadi bisa saling mengerti.
Jadi aku menerima laporan dari guru Riku mengenai perkembangan pelajaran Riku di sekolah. Waktu kelas satu memang Riku masih belum bisa lancar menulis beberapa hiragana. Tapi sekarang dia sudah bisa menulis kanji yang sulit-sulit juga. Memang masih ada beberapa kesalahan dalam tata bahasa, tapi yang penting Riku selalu enjoy di sekolah. Itu nomor satu! Gurunya juga bilang bahwa Riku sendiri mengaku bahwa lebih suka berhitung daripada bahasa (dan memang nilainya bagus-bagus kalau berhitung), tapi Riku paling “kreatif” di prakarya. Selalu lain dari yang lain, dan begitu pula dengan pemakaian warna-warna waktu menggambar, yang disebut gurunya “lain dari orang Jepang biasanya” 日本人離れ。
Selain itu Riku juga tidak punya masalah dalam pertemanan, temannya banyak. Pokoknya tidak ada keluhan untuk Riku. Nah, giliran aku yang melaporkan bahwa selama liburan musim panas, kami akan pulkam jadi Riku tidak bisa mengikuti pelajaran berenang yang diadakan selama musim panas. Selain itu setelah libur, murid-murid kelas 2 SD akan mulai menghafal perkalian dengan cara “kuku” 99 sebuah cara menghafal berupa kalimat-kalimat… aku sendiri tidak pernah belajar memakai cara ini, sehingga aku serahkan semuanya pada papanya (Ya jelas lah, aku kan belajar SD di Indonesia hihihi)
Setelah aku melaporkan bahwa kami akan melewatkan musim panas di Indonesia, sang guru kemudian bertanya. “Di Jakarta bisa lihat apa?” “Wahhh banyak bu…” Lalu dia mengatakan bahwa dia ingin pergi ke luar negeri sebelum menikah, dan waktu yang paling tepat adalah liburan musim panas (dan paling mahal memang hihihi). Jadi aku sarankan dia untuk pergi ke Bali dengan paket tour saja. Kecuali dia mau datang ke Jakarta waktu kami berada di Jakarta, sehingga kami akan mengantar dia jalan-jalan. Semoga dia bisa mendapatkan tiket yang sesuai.
Bener deh, aku keluar kelas sudah cukup laat, sehingga setelah aku memesan foto-foto waktu Riku pergi “field trip” bersama sekolah waktu itu, aku cepat-cepat pulang. Oh ya, kelas dua terletak di lantai dua, sehingga aku harus menuruni tangga, dan saat itu aku sempat mengambil foto pegangan tangga di situ. Pegangan tangga itu khusus dibuat supaya penyandang cacat dengan kursi roda bisa naik tangga. (Tidak ada lift di sekolah pemda di sini). Pemandangan ini juga bisa dilihat di stasiun dan tempat umum lainnya. Pokoknya kalau berbicara tentang fasilitas penyandang cacat di Tokyo, ngga ada habisnya deh…alias bagus gitu. Tidak bagus-bagus amat, tapi dipikirkan.
Setelah aku “berlari” ke rumah mengambil sepeda, aku jemput Kai di penitipan. Dan terpaksa bayar ekstra karena lebih dari waktu yang seharusnya.
Sesampai di rumah, aku mencoba membuat German Potatoes. Memasuki musim panas, para petani banyak memanen kentang, sehingga hasil kentang berlimpah. Entah kenapa diberi nama German Potatoes, tapi masakan yang mudah ini cukup enak dan mengenyangkan, selain bisa dipakai sebagai satu jenis lauk makan malam. Apalagi jika ditemani dengan susis bradwurst dan… bir dingin (maaf ya, yang tidak boleh jangan ngiri, cukup minum Zero saja) serasa berada di Munchen deh….
Resep German Potatoes:
Kentang : 300 gram
Potongan daging atau ham
garam sedikit
lada hitam sedikit
air jeruk nipis sedikit
mustard 2 sdm bagi yang suka, kalau saya ganti dengan mayonneise
Kentang direbus dan dipotong-potong secukupnya. Kebetulan kentang yang aku beli kecil sehingga satu kentang aku potong menjadi 4. Kemudian cara merebus juga bermacam-macam. Ada yang memotong dulu baru direbus, tapi kalau aku kebiasaan di rumah Jakarta, merebus kentang utuh dulu, baru dipotong-potong. Menguliti kentang rebus jauh lebih mudah. Tiriskan air rebusan dan beri air dingin (air ledeng), kulit akan mudah sekali dikelupas.
Tumis potongan daging atau ham (atau bisa juga corned beef) dengan sedikit minyak atau mentega lalu masukkan kentang rebus potongan. Campurkan dengan semua bumbu sampai merata, dan taruh menggunung di atas piring (hint: Orang Jepang selalu menyusun makanan seperti gunung dalam piring yang cantik). Untuk pemanis bisa pakai parsley… tapi aku jarang beli pemanis-pemanis begitu sih (soalnya dirikyu kan sudah manis…hihihi… langsung kabur menghindari lemparan tomat pembaca TE.
Dengan resep dasar ini, tentu banyak bisa dimasukkan variasi lainnya, seperti memasukkan rebusan sayuran (peas/wortel) atau jamur…. apalagi pakai keju leleh …waaahhhh bisa gudbai deh diet hahaha. Selamat mencoba!
Kemarin malam aku marah pada Riku, ternyata dia tidak memberikan Surat Rencana Belajar Bulan Mei kepadaku sehingga aku terlambat tahu bahwa hari kamis ini ada pelajaran khusus di kelasnya. Yaitu menangkap YAGO. Yago, adalah calon anak capung dan bisa diambil dari kolam di sekolah. Karena pasti berbasah-basah, jadi kami orang tua disuruh menyiapkan celana renang+ baju yang bisa dikotori lumpur, sepatu yang sudah tidak dipakai, dan ….(jaring) penangkap serangga. Nah loh… Kalau celana renang, baju dan sepatu pasti bisa disediakan sendiri, tapi penangkap serangga? Harus beli!
Padahal saat itu sudah pukul 6:30 sore. Hujan dan musti cari di mana? Riku sudah putus asa dan bilang,”Ah aku besok bolos aja ahhh…”. Tapi belum aku bicara apa-apa, dia bilang, “Ngga, aku tetap mau ke sekolah. ” Senangnya hatiku mendengar itu, dan aku bilang padanya, “Mama cari di toko Murata sebentar ya. Moga-moga ada. Kalau sekarang mustinya dia masih buka. Kalau tidak ada ya Riku tidak usah bawa tidak apa-apa kan?”
“OK, Riku jaga rumah sama Kai”, dia menawarkan diri jaga rumah, rusuban.
Cepat-cepat aku ke toko Murata dan untung si ojisan (bapak penjaga toko, bapak Murata) ngerti waktu aku bilang aku mau beli penangkap serangga. Ada di gudang katanya. Dan dia mencari di gudang toko yang ada di samping toko. Ternyata ada 2 jenis, yang satu untuk di air, seperti menangkap yago itu, dan yang satu jenis lagi untuk menangkap di udara seperti menangkap kupu-kupu dan capung di udara. Karena sudah pasti untuk Yago saja, maka aku beli jaring yang untuk di air. Harganya? 420 yen saja (hmmm bisa beli satu nasi bento tuh hahaha).
Riku senang sekali melihat aku membawa pulang jaring itu. Dan begitu papanya pulang, yang kebetulan cepat sekali pulang malam kemarin karena tidak enak badan, dia ribut tanya-tanya soal menangkap Yago.
Memang SD di Jepang banyak mengadakan “kuliah nyata” di alam terbuka, terutama menjelang musim panas. Kemarin dulu hari Selasa, Riku mengikuti ensoku, piknik bersama teman-teman sekolah ke Koukou Koen (Taman besar di Saitama yang merupakan bekas pelabuhan udara pertama di Jepang, dan luasnya 11 kali Tokyo Dome). Waktu Riku masih TK juga sudah pernah ke sana, yang foto-fotonya bisa dilihat di sini. Namun kali ini sebagai murid SD kelas dua, mereka pergi berjalan dari sekolah sampai stasiun berjarak jalan kaki 25 menit untuk anak-anak, lalu naik kereta bersama ke Taman tersebut (naik kereta kira-kira 3o menit). Tujuan ensoku ini supaya anak-anak belajar berkomunikasi dengan teman-teman dan guru sambil bermain di taman yang luas. Tentu saja juga mematuhi peraturan yang ada dalam masyarakat, misalnya tidak boleh berlarian di peron stasiun, berbicara keras di dalam gerbong kereta dan lain-lain. Bagaimana anak-anak berinteraksi di masyarakat/umum.
Menangkap yago ini juga untuk mendekatkan anak-anak dengan alam. Sambil mengamati perubahan yago menjadi capung dalam kelas IPA. Termasuk juga mengambar bentuk Yago, dan membuat karangan tentang yago itu.
Dan menjelang musim panas ini aku harus bersiap-siap untuk menikmati anak-anak menangkap serangga seperti chochokupu-kupu, kabutomushi dan kuwagatakumbang kelapa, cicadas dan juga sariganiudang kepiting sungai. Musim panas berarti alam terbuka! Well, meskipun aku tidak suka binatang kecil seperti serangga begitu, aku harus bisa TIDAK MENJERIT DAN KETAKUTAN, karena kedua anakku itu COWO! Be brave Imelda!