Hening di Rumah Dunia

12 Agu

Suasana di Rumah Dunia (RD), Minggu tanggal 1 Agustus lalu, tidak seperti biasa. Banyak orang tapi tidak seramai biasanya. Tidak ada suara teriakan riuh rendah seperti jika anak-anak sekitar berkumpul bersama, meskipun banyak pengunjungnya. Hening dalam keramaian. Karena kali ini yang hadir di sana adalah 16 anak Sekolah Luar Biasa yang tuna rungu.

Pagi itu kami keluar Villa Kaalica Tanjung Lesung pukul 8 pagi. Perkiraan kami cukup untuk sampai pukul 10 di Rumah Dunia Serang, untuk mengikuti acara yang direncanakan mulai pukul 10 sampai pukul 12. Tapi…. jalanan di pagi hari ternyata dipenuhi angkot yang berhenti seenak perut, sehingga kami tidak bisa bablas seperti waktu perjalanan kami ke TL sebelumnya. Jalanan memang tetap sama, berlubang-lubang (tidak mungkin berubah dalam 2 hari kan?).

Pemandangan tepi laut di kiri kami juga berbeda dengan waktu kedatangan kami malam hari. Kami memang juga tidak sempat sarapan pagi itu, karena tidak ada waktu santai. Dan mungkin karena AC sehingga masuk angin, Kai sempat muntah dalam perjalanan ke Serang, sehingga membuat kami terlambat sampai di RD. Ketika jam 10, Koelit Ketjil a.k.a KK menelepon kami, untuk mengetahui posisi, kami tahu bahwa kami pasti terlambat. Untung ada KK di RD sehingga bisa langsung memulai acara dengan permainan-permainan bersama anak-anak SLB itu.

Kami sampai di lahan Rumah Dunia pukul 11. Saat itu anak-anak baru saja selesai lomba makan kerupuk. Melihat kami datang, mereka menempati panggung dan melaksanakan satu game lagi. Dibagi menjadi 3 kelompok, mereka menyampaikan “pesan berantai”. Namun pesan yang biasanya dibisikkan, kali ini berupa “gambar” di punggung teman depannya. Teman paling depan yang harus menggambar di papan hasil “pendengaran” nya, dan mencocokkan dengan teman awal yang melihat gambar awal.  Aku tahu, aku belum tentu bisa menggambar atau menebak seperti mereka.

Gambar berantai

Semua instruksi diberikan oleh Ibu Bilqis, yang merupakan guru di SLB Samantha dan koordinator dari pertemuan ini. Tentu saja memakai bahasa isyarat. Aku jadi ingin mempelajari bahasa isyarat ini, tapi setiap bahasa, bahasa Inggris, Indonesia dan Jepang berbeda, jadi cukup bingung untukku untuk memilih. Ah aku kagum pada Bu Bilqis yang cantik dan ramah ini.

Setelah selesai game “pesan berantai” ini, dengan grup yang sama, mereka diberikan satu kertas gambar besar untuk menggambar bersama. Temanya: “Kegiatan di sekolahku”. Riku ikut salah satu kelompok, dan membantu menggambar awan dan pohon-pohon. Sementara mereka menggambar, aku berkesempatan berbicara dengan ibu Bilqis dan ibu-ibu lainnya.

hasil gambar kelompoknya Riku: Kegiatan di sekolah kami

Sambil membagikan snack kepada mereka, kami membagikan kertas origami. Seni melipat kertas dari Jepang menjadi acara penutup hari itu. Dan yang menjadi gurunya adalah Riku. Kadang Riku memang maunya yang aneh-aneh seperti kumbang atau pacman. Tapi aku minta Riku mengajarkan melipat bunga lonceng, Asagao. Jadilah semua anak-anak juga semua yang hadir di sana, termausk bapak Didik, kepala sekolah SLB Samantha, memegang kertas dan melipat bersama. Jadilah berpuluh kembang kertas yang bisa ditempel, dijadikan satu menjadi sebuah buket.

Pernahkah kamu berinteraksi dengan anak tuna rungu? Aku kagum kemarin dengan mereka, yang berusaha mengekspresikan pendapatnya dengan gerak dan raut muka. Manusia normal cukup berbicara saja, mengatakan keinginan dan pendapatnya. Tapi mereka? mereka lebih ekspresif wajahnya. Aku senang ada beberapa anak yang “berbicara” padaku dengan raut muka senang, dan juga memberitahukanku bahwa dia bisa membuat origami burung. Lalu aku minta dia membuat origami burung dan mengajarkan pada temannya. Terus terang Riku belum bisa membuat origami burung, masih terlalu sulit. Origami itu mudah-mudah sulit loh. Pastikan kamu melipat dengan tepat, jangan miring. Begitu miring dan garis lipatan tidak jelas, maka keseluruhan origami akan menjadi jelek.

Selesai origami sudah jam 12, sehingga kami kemudian membagikan nasi kotak kepada semua peserta dan makan siang bersama. Nasi yang dipesan berisi ayam goreng tulang lunak, sayur asam, ikan teri dan lalap. Riku  makan dengan lahap, sampai ketumpahan sayur asam…. “Sayur ini pedeees” hihihi.

Foto bersama dengan anak-anak SLB Banten di Rumah Dunia

Sebelum berpamitan, kami semua berfoto bersama di panggung RD sebagai kenangan bahwa kami pernah bertemu. Bahkan sampai di depan gerbangpun, kami masih berfoto bersama. Sepertinya Gerbang Rumah Dunia ini memang bagus sebagai lokasi foto.

Setelah semua anak SLB pulang, kami kembali lagi masuk ke pelataran RD dan melanjutkkan acara dengan anak-anak sekitar. Kesempatan bagi Riku untuk mengikuti lomba makan krupuk bersama anak-anak sepantaran. Aku memang minta pada KK untuk memasukkan “Makan krupuk” dalam acara permainan, karena acara seperti ini tidak ada di Jepang. Apalagi lomba karung dan panjat pinang …hehehe. (Tapi kedua permainan ini tidak bisa kami laksanakan).

Tidak mau kalah dengan anak-anak, tante-tante yang hadir juga ikutan untuk meramaikan suasana. Seru juga loh… kapan terakhir aku ikut lomba makan krupuk ya? Waktu TK atau SD? sudah jadul banget dong.

Sementara itu Mbak Tias, bundanya Rumah Dunia memotong-motong kue Black Forrest yang kami bawa untuk dibagikan pada anak-anak dan semua yang ada. Tanggal 1 Agustus itu adalah hari ulang tahun Daniel Mahendra dan sehari sebelumnya 31 Juli adalah ulang tahun mbak Tias. Sayang Mas Gola Gong tidak ada karena harus pergi ke Surabaya.

Yang berulang tahun, DM dan mbak Tias

Setelah selesai acara potong kue (tanpa nyanyian dan tiup lilin) kami berkumpul kembali di sekitar panggung RD. Kali ini acara perkenalan Riku dengan anak-anak sekitar. Rikunya malu-malu sehingga akhirnya dilanjutkan dengan acara origami dan aku mendongeng. Wah aku memang tidak prepare untuk mendongeng. Mau mendongeng cerita rakyat Jepang, tidak ada medianya (buku atau gambar). Akhirnya aku pakai cerita yang aku selalu suka, yaitu the black crayon.

Kami akhirnya berpamitan pukul 3 siang. Sebelumnya kami bersama-sama membersihkan tempat yang kami pakai. Satu yang membuat aku terharu di sini yaitu Kai yang mau ikut menyapu dan mengumpulkan sampah untuk dibuang ke tempat sampah. Sementara kakaknya bermain, dia saja yang ikut memunguti sampah. Ah Kai, kamu tuh emang pembersih…. keturunan siapa ya? Papa atau mama? Kayaknya papa deh ya hehehehe.

Rumah Dunia, bersemboyankan : Mencerdaskan dan Membentuk Generasi Baru, Memindahkan Dunia ke Rumah, yang terbukti hari itu. Ria dari Duri, Daniel Mahendra dari Bandung, Eka dan Adrian dari Jakarta, aku, Kai dan Riku dari Tokyo, Anak-anak SLB yang tersebar di seluruh Banten, kami semua  dengan “dunia”nya masing-masing berkumpul menjadi satu di rumah ini — Rumah Dunia. Kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada Mas Gola Gong dan Mbak Tias, empunya Rumah Dunia, Relawan RD yang banyak membantu pelaksanaan acara, Koelit Ketjil yang mengatur seluruh pertemuan kami ini, Bu Bilqis dan Pak Didik yang membina anak-anak SLB Banten, ibu-ibu guru lainnya, Murid-murid SLB yang hadir dalam acara tersebut. Semoga pertemuan ini bisa menjadi energi baru, awal persahabatan dan silaturahmi yang berpusat di Rumah Dunia. Dan kami berdoa Rumah Dunia dapat menjadi pusatnya cendekia Banten.

BANZAIIII!

Purnabakti

12 Mar

Di awal tahun fiskal 2009, April lalu, aku sudah pernah menulis bahwa aku menjadi pengurus Parent Teacher Association (PTA) di SD nya Riku. Dari setiap kelas dipilih 3 orang, dan dari 3 orang ada satu yang menjadi wakil kelas yang harus duduk di kepengurusan inti (un-ei運営). Aku bukan wakil kelas, sehingga aku hanya menjadi pengurus biasa (sewanin 世話人).

Biasa? Memang tugas wakil kelas lebih banyak, dan mereka menjadi ketua atau wakil seksi di kepengurusan inti. Sedangkan kami-kami menjadi anggotanya. Dan aku menjadi anggota seksi kegiatan murid (Jidoubu 児童部). Kerjanya? Well, yang sudah aku tulis di TE  adalah membuat kumis eh origami udang seperti yang aku posting di Gara-gara Kumis untuk dipakai dalam acara Tsuri Land (Memancing tidak harus di air) ………. Lalu mengadakan kegiatan pengumpulan bellmark serta ecocap dan membantu kegiatan sekolah seperti pertandingan olahraga Undokai (Merah, Putih dan kebersamaan).  Dan ternyata kegiatan-kegiatan ini membuat pengurus yang termasuk dalam Jidoubu ini cukup sibuk (dibandingkan dengan seksi lain), karena paling sedikit dua kali sebulan harus mengadakan rapat dan kegiatan.

Dan secara tidak langsung aku merasa bahwa aku lebih sibuk mengurus ecocap dibanding yang lain. Tutup botol plastik dari botol minuman itu terbuat dari plastik yang kuat dan jika dikumpulkan oleh pabrik pengolah, tutup botol ini diolah lagi menjadi barang-barang plastik lain misalnya pot tanaman, serokan sampah, palet cat air, dan lain-lain. Pabrik pengolah ini “membeli” tutup botol bekas ini dan uang hasil penjualannya dibelikan vaksin (terutama polio) untuk anak-anak di dunia ketiga. Kalau dihitung 800 tutup botol dihargai 20 yen dan itu sama dengan vaksin polio satu orang. Betapa mulia  kegiatan ini, bukan?

Memangnya cukup hanya mengumpulkan tutup botol plastik? Sesudah itu bagaimana?

Tempat sampah khusus untuk ecocap

Di sekolah Riku tempat sampah khusus untuk mengumpulkan ecocap diletakkan di pintu masuk (dua tempat). Murid-murid atau siapa saja yang membawa tutup botol plastik itu memasukkannya ke dalam tong sampah khusus itu. Kemudian setelah banyak terkumpul barulah kami dari jidoubu ini bekerja. Aku juga baru tahu bahwa ternyata sebelum menyerahkan tutup-tutup botol ini perlu diperiksa dulu sebelumnya. Pertama jenisnya harus merupakan tutup botol plastik minuman, tidak boleh bekas tutup botol minyak atau bumbu dapur lainnya (besarnya tidak sama). Kedua, biasanya perusahaan minuman menyelenggarakan sayembara dengan menempelkan seal/sticker di atas tutup botol. Seal biasanya dikumpulkan untuk mendapat hadiah. Nah seal ini harus diambil sebelum diberikan ke pabrik pengolah, jadi kami harus memeriksa satu-per-satu apakah masih ada seal semacam itu di tutup botol yang terkumpul. Selain itu yang ketiga, kami juga harus memilah tutup botol yang kotor. Karena tutup botol yang terkena minuman jus atau kopi atau teh, jika disimpan maka akan menjadi jamuran atau mengundang serangga bertelur. Satu saja tutup botol kotor, akan membuat satu kantong tutup botol-tutup botol itu berjamur dan berserangga (berulat—terutama di musim panas).

satu per satu seal yang menempel di tutup botol dibuang

Nah, kami biasanya berkumpul dua minggu sekali secara bergantian, satu grup 4 orang, untuk memilah tutup botol ini. Tutup botol yang tidak sesuai besarnya dibuang, seal di”keletek“in (diapain sih bahasa Indonesia yang baku? dilepas?) dan yang kotor ? terpaksa kami bawa pulang untuk kemudian dicuci di rumah masing-masing. Kadang kami harus memakai bleach untuk melepaskan kotoran yang menempel di tutup botol itu, karena merendam di bleach lebih menyingkat waktu daripada mencuci satu-per-satu. (dan hasilnya juga bagus…jadi putih mengkilap loh hihihi). Perusahaan pengelola hanya mau menerima tutup botol yang bersih karena jika tidak akan merusak mesin pengolahnya.

tutup botol yang tidak memenuhi persyaratan

Kadang aku juga mikir, duh tutup botol  ini kan sebetulnya sampah loh, tapi orang Jepang selain aktif memikirkan “recycle” dengan kesadaran lingkungan, kalau sudah menetapkan untuk melaksanakan satu kegiatan mereka akan benar-benar melakukannya dengan sepenuh hati. Sebetulnya kegiatan ecocap ini baru pertama kali dilakukan di SDnya Riku, dan kami dari seksi jidoubu ini yang kebagian tugas. Tapi kami melaksanakannya dengan rajin. Mungkin kalau kegiatan ini dilaksanakan orang Indonesia, tidak akan segitu rajinnya membawa pulang dan mencucinya di rumah. Buang saja toh tidak ada yang tahu kan? (Masa bodo dengan kegiatan ecology, tidak mau memikirkan generasi mendatang toh nanti aku juga mati…. dsb dsb)

Tutup botol yang sudah diperiksa kebersihannya itu dimasukkan dalam kantong sampah plastik berukuran 45 kg, lalu kami bawa ke gudang sekolah. Ya, kami tidak bisa meminta perusahaan pengelola ecocap ini mengambil ke sekolah kalau belum berjumlah 7 kantong plastik 45 kg. Padahal satu kali kami memilah tutup botol-tutup botol itu maximum menjadi 2 kantong (2-3 minggu pengumpulan).

satu kali pengambilan oleh perusahaan pengelola, 10 kantong menunggu diangkut

Hari Selasa lalu, aku sibuk mondar-mandir ke sekolah untuk membuat buletin tahunan laporan ecocap ini yang akan dibagikan kepada seluruh murid. Ini merupakan buletin kedua yang aku buat tentang ecocap. Dan karena dua orang temanku yang bertugas membuat buletin ini tidak bisa membuat layout dengan komputer, jadi akulah yang “ketiban” tugas layout sedangkan dua yang lain menyusun kalimat dan mengeceknya. Senang juga sih melihat hasil karyaku dibaca 600 murid (dan orang tuanya tentu).

Buletin ecocap terakhir yang aku buat layoutnya

SDnya Riku selama setahun (empat kali pengambilan oleh pengelola ecocap) berhasil mengumpulkan 121.280 tutup botol dan itu setara dengan vaksin untuk 151 orang. selain itu bisa mengurangi CO2 sebanyak 955 kg. Mungkin dibandingkan dengan sekolah atau organisasi lain masih sedikit, tapi untuk kegiatan pertama aku rasa sudah hebat hasilnya. Dihitung dari uangnya memang jauuuuh hasilnya dengan pengumpulan bellmark, bayangin CUMA 151×20 yen = 3020 yen dan hasilnya tidak kelihatan, karena langsung menjadi vaksin. Pekerjaan susah payah yang dilakukan ibu-ibu di jidoubu juga rasanya tidak seimbang dengan hasilnya. Karena itu kami akhirnya meminta kepada pengurus inti untuk mengubah cara-cara pengumpulan ecocap dalam kepengurusan tahun depan.

Satu lagi yang aku juga merasa hebat dengan organisasi di Jepang, yaitu kami meninggalkan dokumen dengan rapi dalam bentuk hard copy dan file, tapi selain itu kami memikirkan juga bagaimana jika cara-cara kami ini nanti dilanjutkan. Kami mencari cara yang lebih mudah dan tidak memberatkan ibu-ibu yang nanti akan mengemban tugas jidoubu ini. Wahhh kepengurusan di Indonesia mana mau susah-susah memikirkan kepengurusan selanjutnya. File dan dokumen saja belum tentu lengkap (maaf, aku juga sering begitu sebagai sekretaris hihihi meskipun kalau diminta pasti akan aku berikan filenya semua)

Tugas kami di jidoubu secara de jure sudah selesai bulan Maret ini sesuai dengan selesainya tahun fiskal 2009. Tapi de facto kami masih harus membimbing dan membantu pengurus baru dalam masa peralihan sampai bulan Mei. Tanggal 28 April akan diadakan serah terima dalam sidang pleno PTA. Aku merasa agak sedih dan sepi  juga karena dengan bergabung dalam seksi bidang kegiatan anak, jidoubu ini aku bisa banyak belajar mengenai berorganisasi di kalangan sekolah Jepang. Selain itu komposisi ibu-ibu yang tergabung memang baik-baik dan membuat suasana bersahabat yang dibawa juga di luar kegiatan kami. Aku juga bisa mendengar banyak gossip internal yang berguna dalam mendidik anak. Bagaimanapun juga aku kan masih kohai (yunior karena anakku masih kelas 1) dibanding mereka yang sudah sempai (senior karena anak-anaknya sudah kelas atas).

Memancing tidak harus di air

24 Jun

Mungkin kalau Donny akan bilang, bisa kok mel memancing upil aja kan buktinya ngga di air. Tapi kalau Pak EWA, pasti akan bersikukuh bahwa memancing harus di tambak (apalagi kalau bisa sambil ngenet). Tapi saya yang empunya kumis eh ebi-ebi yang siap dipancing menyatakan bahwa memang bisa memancing ebi dan teman-temannya tanpa harus di air.

Hari Jumat lalu, kerja kami dari Seksi Kegiatan Anak-anak SD nya Riku mencapai puncaknya. Hari itu pada jam pelajaran ke dua dan ke tiga (sekitar pukul 9:40-10:30 dan dilanjutkan sampai 11:30) diadakan LongShuuKai, semacam bazaar untuk anak-anak dengan menampilkan permainan-permainan. Ada rumah hantu, ada permainan golf, permainan lompat tali, othelo dll. Nah dari kami, ibu-ibu membuka permainan TSURI LAND, Fishing Land. Memancing macam-macam.

OK… aku mengaku bersalah. Tadinya aku sudah minta ijin tidak bisa datang ke acara ini. Dan semua teman-teman dari Seksi kami memakluminya. Makanya aku berusaha bantu terus sampai sebelum hari H, hari Kamisnya.  Tapi…. aku kok jadi sedih tidak bisa melihat “gong” nya kegiatan kami ini. Jadi malamnya aku kirim email ke murid yang cuma 4 orang itu dan memberikan tugas untuk diserahkan besoknya, karena aku pasti terlambat datang. (jangan ditiru ya hihihi). Tapi jam kedua nya pasti ada pelajaran, karena kelas yang ini jumlah muridnya sampai 40 orang.

Jadi pergi deh aku pagi hari sebelum ngajar, mampir ke acara bazaar ini dan membantu persiapan kolam (tanpa air) untuk ebi-chan tachi, juga mengambil foto-foto dokumentasi, persis sampai selesai jam kedua. Dan untung sempat juga memotret Riku yang sangat enjoy mengikuti permainan memancing origami dan magnet/strap dari lilin ini.

Kemudian saya sempat berpikir, kenapa permainan untuk anak-anak di Indonesia kayaknya kok itu-itu aja ya? (atau aku saja yang ngga tau variasi lain) Kayaknya ngga jauh dari lomba karung, pindahin kelereng pake sendok, makan kerupuk atau ????? . Padahal permainan memancing begini juga bagus ya. Pancingannya dibuat dari magnet, dan pada obyek yang akan dipancing tinggal dipasang clip atau sesuatu yang mengandung besi sehingga bisa menempel.  Kami sendiri menyiapkan 5 pancing dari magnet, terutama untuk anak-anak kelas 1-2 SD, sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, kami sediakan 5 pancing dari clip besar, yang berfungsi sebagai kailnya.

setiap anak dijatahi bisa memancing 2 origami dan 1 magnet/strap

Semua buatan ibu-ibu sendiri… memang repot tapi waktu kami melihat kegembiraan anak-anak ini, yang bahkan rela mengantri supaya bisa masuk ke dalam kelas (hanya bisa 10 orang di dalam kelas) dan ikut permainan memancing ini, keletihan kami (dan sakitnya jari tertusuk waktu buat kumis ebi hihihi) sirna. Yang ada hanya rasa bahagia dan puas bisa menyenangkan mereka. Dan satu lagi, dengan kegiatan ini pertemanan di antara anggota Seksi Kegiatan Anak-anak ini menjadi lebih erat. Hmmm kapan ah mau membuat “Fishing Land” untuk anak-anak di Indonesia.

Gara-gara kumis

11 Jun

Huh aku bersungut-sungut sambil meringis sekarang

Gara-gara kumisnya aku terpaksa terbaring 2 jam siang ini karena mengantuk

Gara-gara kumisnya mata, tangan dan punggungku harus menderita

belum lagi gara-gara dia,  my three boys terpaksa ditelantarkan.

Semua penderitaan ini hanya gara-gara kumis

Kumisnya si Udang

(bukan kumisnya lelaki loh hihihi)

Seperti yang saya sudah tulis di posting sebelum ini, saya sedang disibukkan oleh PTA (Parent Teacher Association) SD nya Riku yang bakal keluarin stand di Bazaar khusus murid-murid tanggal 19 Juni y.a.d. Kami (ibu-ibu) ceritanya akan membuat permainan “Memancing Udang dll” dengan tajuk TSURI LAND. (Tsuri = memancing). Dengan menggunakan kail magnet, anak-anak bisa memancing origami (kertas lipat) berbentuk Udang dan sedikit bentuk lain, serta mainan magnet/strap yang terbuat dari lilin (nendo). Tujuan utamanya sebetulnya semua buatan sendiri! Tezukuri. Handmade!

ibu-ibu membuat mainan dari lilin

Untuk murid SD yang masih kecil agak sulit untuk memancing mainan magnet/strap dari lilin, karena itu dipikirkan untuk membuat origami berbentuk EBI/Udang ini. Karena terbuat dari kertas, lebih ringan, dan yang pasti cost nya lebih murah dibanding dengan mainan yang terbuat dari lilin. Karena itu Seksi Kegiatan Anak yang anggotanya 8-11 orang itu, masing-masing diwajibkan membuat origami udang sebanyak 100 buah di rumah, selain bersama-sama membuat mainan magnet/strap dari lilin. Jumlah seluruh murid di SD nya Riku adalah 600 anak, jadi kami harus membuat sebanyak itu untuk setiap jenis …. hiks.

Hari ini adalah hari pengumpulan origami Ebi dan pembuatan lilin di ruang serba guna SD. Nah, ternyata semua (kecuali saya) membawa origami udangnya itu TANPA KUMIS. Karena memang membuat/memasang kumis atau sungut udangnya itu sulit, jadi mau dibuat di sekolah bersama. Huh! tahu begitu kan, saya ngga ngoyo begadang dua malam membuat 100 origami udang lengkap dengan  kumis.

100 udang berkumis karyaku hihihi

Setelah mengumpulkan origami udang di satu meja, saya membuat bentuk bintang yang nantinya akan menjadi bahan dasar pembuatan magnet berbentuk biskuit. Lilin atau malam yang kami pakai ini bahan dasarnya terbuat  dari kertas, disebut kami nendo. Lain teksturnya dengan lilin yang biasa dipakai untuk prakarya di Indonesia. Teksturnya lebih lembut dan ringan sekali, bagaikan marshmallow. Warnanya ada macam-macam, tapi kami memakai yang berwarna putih, untuk kemudian dicampur dengan cat air untuk menimbulkan warna yang diinginkan. Untuk biskuit, saya mencampur warna kuning dan chrome yellow (kok saya ingatnya kita menamakan warna ini dengan kuning tai ya? hihihi). Kemudian seperti membuat biskuit, lilin itu dipipihkan dengan roller dan dengan cetakan dibuat bentuk yang diinginkan. Kemudian sesudah kering, untuk memberikan efek  biskuit, permukaan ditekan sedikit dengan sikat gigi dan diberikan warna coklat dengan kuas/tapas.

mainan dari lilin untuk magnet berbentuk biskuit bintang

Nah, setelah saya membuat 50 buah biskuit berbentuk bintang, saya pindah kerja membuat kumis si Udang ini. Karena semua tidak menemukan cara yang mudah dan murah selain dengan cara saya. Tapi mereka tidak bisa melakukannya. Ya sudah, akhirnya saya yang harus membuat semua kumis udang-udang ini. Sementara ibu-ibu yang lain ada yang membuat bentuk bola basket, bola softball dan es krim. Kami bekerja mulai pukul 9:30 dan akhirnya saya sudah terlalu capek dan pamit pukul 1 siang. Udang tak berkumis  sisanya saya bawa pulang untuk saya kerjakan di rumah saja.

Saya sebetulnya merasa sayang dan sedih tidak bisa ikut serta pada hari H, tanggal 19 Juni karena harus mengajar setiap jumat. Pasti senang melihat anak-anak bergembira memancing origami dan mainan dari lilin ini. Makanya untuk menebus ketidak hadiran saya, saya masih harus berurusan dengan sekitar 500 kumis lagi dan mungkin bermimpi tentang kumis dua-tiga hari ke depan. Tentu saja kumis Udang bukan kumis siapa-siapa!

69 dan ebi

10 Jun

Saya memang sangat memperhatikan angka-angka. Meskipun angka keberuntungan atau angka yang saya suka adalah 8, hari ini saya mau membahas si angka 6 dan 9 dan ebi, bahasa Jepangnya untuk udang. Kalau saya mengajarkan si Riku menulis angka 6 dan 9, saya tinggal berkata, 6 itu si perut gendut, sedangkan 9 itu kepala besar.

Sejak saya menulis posting 6666 dan lain-lain, saya memang agak waku-waku, deg-degan setiap melihat angka komentar di dashboard saya. Bisakah saya melihat lagi angka-angka cantik terpampang manis di dashboard saya?

Dan ternyata, saya bisa membuat capture angka-angka cantik ini: komentar ke 6969 oleh Uda Vizon, 6996 oleh Mas Trainer, 6999 oleh Chandra (sayang Chandra tidak punya blog), dan gongnya komentar ke 7000 oleh Eka. Saya tahu 4 orang ini adalah salah empat pembaca TE yang setia, dan saya merasa sangat berterima kasih untuk perhatiannya. Nanti lewat email kasih tahu ya, mau dikirim apa dari Jepang 😉 (jangan mahal-mahal tapi ya hihihi)

Angka cantik berikutnya kapan ya? 7777 mungkin yang terdekat ya? Jadi semoga Anda-lah yang mendapatkan angka jackpot ini hehehe.

Nah, kenapa di judul ada tulisan ebi juga? Ada hubungan apa 69 dengan ebi? Hmmm kalau dilihat sekilas bukannya bentuk badannya si ebi ini mirip angka 6 atau 9? Si Ebi yang banyak diimpor dari Indonesia dan memenuhi pasar Jepang ini memang jarang “nangkring” di meja makan saya. Selain udang berkolesterol tinggi, harganya juga mahal, dan saya kurang suka rasa udang yang sudah dibekukan. Kurang fresh dan gurih, you know.

Dan pagi dini hari ini ada 69 ekor lebih udang yang memenuhi meja makan saya. Sayangnya udang ini tidak bisa dimakan, karena ini adalah origami, seni lipat kertas Jepang. Sampai dengan hari Kamis besok, saya harus melipat 100 ekor udang besar kecil untuk dijadikan bahan pancingan dalam acara semacam bazaar di sekolah Riku. Ini merupakan kegiatan Seksi Kegiatan Anak-anak dari PTA di SD nya Riku.

hetakuso.....

Saya itu paling benci origami karena tidak teliti sehingga biasanya saya paling malas ikut kegiatan origami dan selalu give-up. Padahal sebetulnya seni melipat kertas ini bagus sekali untuk menstimulasi kerja otak. Karena menerima rangsangan dari ujung jari. Maka seni lipat kertas origami ini juga sering dipakai sebagai cara untuk mencegah pikun dan penuaan. Segala kegiatan yang memakai jari tangan digalakkan di kalangan lansia di Jepang. Selain origami,  lansia disarankan untuk belajar piano dan …. mengetik komputer.

Saya tidak tahu seberapa seringnya anak SD di Indonesia melipat kertas, tapi yang pasti di sini dalam setiap kegiatan anak-anak dituntut untuk membuat karya origami. (dan memang kertas origami di sini murah kalau kertas warna biasa). Dengan melipat 69 ebi-chan ini akhirnya saya bisa membuktikan bahwa ternyata saya juga bisa kok melipat kertas ala orang Jepang.