Aku jadi terpikir, apa betul orang Jepang pemakan segala? Yang bukan hanya “biasa” dimakan oleh manusia, tapi juga segala macam yang “tidak terpikirkan” bahwa itu bisa dimakan?
Dari dulu kita tahu bahwa orang Cina pemakan segala…. tapi kalau menurutku “segala” di sini berkisar pada “semua bagian tubuh makhluk hidup yang bergerak atau tepatnya binatang”. Konon, otak monyet bisa dimakan dan bahkan menjadi obat kuat. Aku sendiri pernah shock melihat sup kodok utuh di televisi… hmmm aku menganggap diriku sebagai pemakan segala, tapi kalau kodoknya masih berbentuk kodok begitu? tunggu dulu deh. Kalau sweekee kan cuma kakinya aja, jadi anggap saja makan burung dara.
Nah, aku berpikir apakah pantas orang Jepang dianggap sebagai pemakan segala? Umumnya mereka tidak mau makan “jerohan” sapi, meskipun ada masakan “motsu nikomi” yang berarti rebusan usus dengan bumbu miso. Kalau kangen dengan soto babat dulu, jaman aku mahasiswa (belum punya dapur sendiri) , beli deh motsu nikomi ini di resto/ tempat minum nomiya yang murah bernama “Tengu”. Kasih bubuk cabe banyak-banyak, dan terhibur deh kerinduan akan masakan Indonesia.
Memang orang Jepang baru-baru saja berkenalan dengan masakan yang terbuat dari daging setelah jaman Meiji. Kebiasaan makan daging yang dihasilkan dari peternakan dibawa oleh warga asing, dan Kaisar Meiji sendiri yang menghapus “Pelarangan Makan Daging” yang dikeluarkan Kaisar Tenmu tahun 675. (Sumber : http://detail.chiebukuro.yahoo.co.jp/qa/question_detail/q1219644977) Karena berabad-abad orang Jepang tidak mengenal “daging” (hasil peternakan) maka masakan Jepang menggunakan bahan yang ada disekelilingnya yaitu dari tanaman dan laut (ikan dan tumbuhan laut).
Nah di situlah aku bisa berkata, bahwa memang Jepang “ahli” dalam mengolah apa yang ada kemungkinan untuk bisa diolah. Aku sudah pernah tulis tentang akar bunga teratai RENKON yang bisa dimakan dan enak! Akar yang keliatannya tidak menarik, kasat dan mungkin orang Indonesia bilang, “duuuh kok manusia makan akar gituan sih” bernama GOBOU, sering nangkring di meja makan orang Jepang.
lihat tuh, akar kayak gini dimakan! Ini namanya Gobou
Atau tidak usah jauh-jauh, rumput laut dan ganggang laut saja, yang pasti tidak terbayangnya masuk ke dalam perut orang, merupakan bahan makanan terpenting dalam kehidupan orang Jepang. Sushi Roll (makisushi) tidak afdol tanpa dibalut “sesuatu berwarna hitam seperti kertas” yaitu NORI. Sup Miso juga lebih lezat rasanya jika dimasukkan ganggang laut yang bernama WAKAME. Dan tumbuhan dari laut ini banyak mengandung nutrisi yang diperlukan tubuh. Aku pernah dengar bahwa zat besinya saja 40 kali lipat bayam!!! Yang aku heran kenapa di Indonesia, yang juga merupakan negara bahari tidak ada makanan atau bahan makanan yang terbuat dari rumput/ganggang laut kecuali agar-agar? Salada dari berbagai jenis rumput laut itu yummy sekali loh!
Tulisan hari ini aku potong di sini karena sebetulnya dengan judul ini saja bisa menjadi thesis. Aku tergerak untuk menulis ini karena komentar dari Mas Goenoeng pada foto yang saya upload di facebook: “daun sakura bisa dimakan, Mbak Imel? *melongo*”
Sakura mochi (kiri) dan Doumyouji (kanan). Daunnya daun sakura yang bisa dimakan.
Ya, daun sakura bisa dimakan. Tentu saja tidak semua jenis, waktu aku cari katanya Sakura jenis Oshima, daunnya dibubuhkan garam (mungkin diperam lebih tepat untuk pengolahan ini ya?) . Jangankan daunnya, bunganya pun bisa dimakan kok. Dicuci, diberi garam, seperti diasinkan, lalu masukkan dalam teh hijau, atau sup bening, atas nasi, atau….. berbagai jenis masakan sampai menjadi hiasan untuk kue. Dan bisa dimakan! Silakan lihat sajian foto makanan dengan tema sakura yang aku dapat di website sebuah restoran (http://www.villa.co.jp/cook/2009/04/28.html)
semua PINK…. cocok untuk Pink lover!
Hidangan lengkap memakai sakura dan nuansa sakura dari sebuah restoran
Lalu minumnya bir SAKURA!!! dari asahi. Kalau ini sih bukan terbuat dari sakura, tapi seasonal aja.
Aku tidak tahu apa mainan anak sekarang. Yang pasti dulu waktu aku kecil ada permainan “Pancasila”. Pancasila ada lima… lalu masing-masing peserta mengeluarkan tangan (jarinya) yang kemudian dihitung sesuai alfabet. Jadi kalau jumlah jari ada 12 berarti “L”. Kemudian di kertas kami menuliskan nama-nama yang berawalan L dengan perjanjian kategori dalam 5 kolom.
Nama buah, Nama orang, Nama binatang, Nama Jalan, Nama Kota Jumlah
Lemon Lina Lipan Limau Lima 50
Satu kategori nilainya 10, sehingga kalau benar semua mendapat jumlah 50. Kalau ada dua orang yang menulis sama berarti harus berbagi, dan nilainya menjadi 5. Jadi kami sedapat mungkin mencari kata-kata yang aneh dan sedikit kemungkinannya ditulis orang lain. Ini melatih perbendaharaan kata/pengetahuan umum kami. Aku berharap masih ada anak-anak yang memainkan “Pancasila” ini….
Nah, kalau di Jepang, kami sering memainkan “Shiritori” yang arti harafiahnya “ambil pant*t”. Diawali dengan kata apa saja, lalu kami meneruskan dengan suku kata yang paling belakang. Misalnya sa-ka-na (ikan), diambil na -nya dan lanjutkan dengan kata berawalan na, misalnya na-be (panci) —-> be-ro (lidah) —> rou-so-ku (lilin) dan seterusnya. Tapi tidak boleh dilanjutkan dengan kata yang berakhir dengan “n” karena tentu saja tidak ada kata berawalan n. Mati deh….
Permainan ini juga merangsang otak menemukan kata-kata baru dalam waktu cepat. Sudah sejak Riku berumur 4 tahun kami membiasakan bermain shiritori ini di mana saja. Kadang sebelum tidur, kadang di mobil dalam kemacetan, atau sambil nunggu giliran di dokter dll.
Tapi pikir punya pikir, orang Indonesia kan juga sering menyanyikan lagu “sedang apa….sekarang” dan dicari kelanjutan kata yang disebutkan sebelumnya…. sedang makan…makan apa? makan nasi…. nasi apa? dst dst. Masih pada menyanyikan lagu ini ngga sih? apa sudah terlalu jadul? hihihi
Permainan yang tanpa menggunakan alat, murah meriah dan memakai otak seperti Pancasila dan Buntut Bersambung (Shiritori) ini semestinya dilestarikan dan dimainkan. Bagaimana menurut teman-teman? Ada lagi permainan tanpa alat dan mendidik seperti ini?
Di awal tahun fiskal 2009, April lalu, aku sudah pernah menulis bahwa aku menjadi pengurus Parent Teacher Association(PTA) di SD nya Riku. Dari setiap kelas dipilih 3 orang, dan dari 3 orang ada satu yang menjadi wakil kelas yang harus duduk di kepengurusan inti (un-ei運営). Aku bukan wakil kelas, sehingga aku hanya menjadi pengurus biasa (sewanin 世話人).
Biasa? Memang tugas wakil kelas lebih banyak, dan mereka menjadi ketua atau wakil seksi di kepengurusan inti. Sedangkan kami-kami menjadi anggotanya. Dan aku menjadi anggota seksi kegiatan murid (Jidoubu 児童部). Kerjanya? Well, yang sudah aku tulis di TE adalah membuat kumis eh origami udang seperti yang aku posting di Gara-gara Kumis untuk dipakai dalam acara Tsuri Land (Memancing tidak harus di air) ………. Lalu mengadakan kegiatan pengumpulan bellmark serta ecocap dan membantu kegiatan sekolah seperti pertandingan olahraga Undokai (Merah, Putih dan kebersamaan). Dan ternyata kegiatan-kegiatan ini membuat pengurus yang termasuk dalam Jidoubu ini cukup sibuk (dibandingkan dengan seksi lain), karena paling sedikit dua kali sebulan harus mengadakan rapat dan kegiatan.
Dan secara tidak langsung aku merasa bahwa aku lebih sibuk mengurus ecocap dibanding yang lain. Tutup botol plastik dari botol minuman itu terbuat dari plastik yang kuat dan jika dikumpulkan oleh pabrik pengolah, tutup botol ini diolah lagi menjadi barang-barang plastik lain misalnya pot tanaman, serokan sampah, palet cat air, dan lain-lain. Pabrik pengolah ini “membeli” tutup botol bekas ini dan uang hasil penjualannya dibelikan vaksin (terutama polio) untuk anak-anak di dunia ketiga. Kalau dihitung 800 tutup botol dihargai 20 yen dan itu sama dengan vaksin polio satu orang. Betapa mulia kegiatan ini, bukan?
Memangnya cukup hanya mengumpulkan tutup botol plastik? Sesudah itu bagaimana?
Tempat sampah khusus untuk ecocap
Di sekolah Riku tempat sampah khusus untuk mengumpulkan ecocap diletakkan di pintu masuk (dua tempat). Murid-murid atau siapa saja yang membawa tutup botol plastik itu memasukkannya ke dalam tong sampah khusus itu. Kemudian setelah banyak terkumpul barulah kami dari jidoubu ini bekerja. Aku juga baru tahu bahwa ternyata sebelum menyerahkan tutup-tutup botol ini perlu diperiksa dulu sebelumnya. Pertama jenisnya harus merupakan tutup botol plastik minuman, tidak boleh bekas tutup botol minyak atau bumbu dapur lainnya (besarnya tidak sama). Kedua, biasanya perusahaan minuman menyelenggarakan sayembara dengan menempelkan seal/sticker di atas tutup botol. Seal biasanya dikumpulkan untuk mendapat hadiah. Nah seal ini harus diambil sebelum diberikan ke pabrik pengolah, jadi kami harus memeriksa satu-per-satu apakah masih ada seal semacam itu di tutup botol yang terkumpul. Selain itu yang ketiga, kami juga harus memilah tutup botol yang kotor. Karena tutup botol yang terkena minuman jus atau kopi atau teh, jika disimpan maka akan menjadi jamuran atau mengundang serangga bertelur. Satu saja tutup botol kotor, akan membuat satu kantong tutup botol-tutup botol itu berjamur dan berserangga (berulat—terutama di musim panas).
satu per satu seal yang menempel di tutup botol dibuang
Nah, kami biasanya berkumpul dua minggu sekali secara bergantian, satu grup 4 orang, untuk memilah tutup botol ini. Tutup botol yang tidak sesuai besarnya dibuang, seal di”keletek“in (diapain sih bahasa Indonesia yang baku? dilepas?) dan yang kotor ? terpaksa kami bawa pulang untuk kemudian dicuci di rumah masing-masing. Kadang kami harus memakai bleach untuk melepaskan kotoran yang menempel di tutup botol itu, karena merendam di bleach lebih menyingkat waktu daripada mencuci satu-per-satu. (dan hasilnya juga bagus…jadi putih mengkilap loh hihihi). Perusahaan pengelola hanya mau menerima tutup botol yang bersih karena jika tidak akan merusak mesin pengolahnya.
Kadang aku juga mikir, duh tutup botol ini kan sebetulnya sampah loh, tapi orang Jepang selain aktif memikirkan “recycle” dengan kesadaran lingkungan, kalau sudah menetapkan untuk melaksanakan satu kegiatan mereka akan benar-benar melakukannya dengan sepenuh hati. Sebetulnya kegiatan ecocap ini baru pertama kali dilakukan di SDnya Riku, dan kami dari seksi jidoubu ini yang kebagian tugas. Tapi kami melaksanakannya dengan rajin. Mungkin kalau kegiatan ini dilaksanakan orang Indonesia, tidak akan segitu rajinnya membawa pulang dan mencucinya di rumah. Buang saja toh tidak ada yang tahu kan? (Masa bodo dengan kegiatan ecology, tidak mau memikirkan generasi mendatang toh nanti aku juga mati…. dsb dsb)
Tutup botol yang sudah diperiksa kebersihannya itu dimasukkan dalam kantong sampah plastik berukuran 45 kg, lalu kami bawa ke gudang sekolah. Ya, kami tidak bisa meminta perusahaan pengelola ecocap ini mengambil ke sekolah kalau belum berjumlah 7 kantong plastik 45 kg. Padahal satu kali kami memilah tutup botol-tutup botol itu maximum menjadi 2 kantong (2-3 minggu pengumpulan).
satu kali pengambilan oleh perusahaan pengelola, 10 kantong menunggu diangkut
Hari Selasa lalu, aku sibuk mondar-mandir ke sekolah untuk membuat buletin tahunan laporan ecocap ini yang akan dibagikan kepada seluruh murid. Ini merupakan buletin kedua yang aku buat tentang ecocap. Dan karena dua orang temanku yang bertugas membuat buletin ini tidak bisa membuat layout dengan komputer, jadi akulah yang “ketiban” tugas layout sedangkan dua yang lain menyusun kalimat dan mengeceknya. Senang juga sih melihat hasil karyaku dibaca 600 murid (dan orang tuanya tentu).
Buletin ecocap terakhir yang aku buat layoutnya
SDnya Riku selama setahun (empat kali pengambilan oleh pengelola ecocap) berhasil mengumpulkan 121.280 tutup botol dan itu setara dengan vaksin untuk 151 orang. selain itu bisa mengurangi CO2 sebanyak 955 kg. Mungkin dibandingkan dengan sekolah atau organisasi lain masih sedikit, tapi untuk kegiatan pertama aku rasa sudah hebat hasilnya. Dihitung dari uangnya memang jauuuuh hasilnya dengan pengumpulan bellmark, bayangin CUMA 151×20 yen = 3020 yen dan hasilnya tidak kelihatan, karena langsung menjadi vaksin. Pekerjaan susah payah yang dilakukan ibu-ibu di jidoubu juga rasanya tidak seimbang dengan hasilnya. Karena itu kami akhirnya meminta kepada pengurus inti untuk mengubah cara-cara pengumpulan ecocap dalam kepengurusan tahun depan.
Satu lagi yang aku juga merasa hebat dengan organisasi di Jepang, yaitu kami meninggalkan dokumen dengan rapi dalam bentuk hard copy dan file, tapi selain itu kami memikirkan juga bagaimana jika cara-cara kami ini nanti dilanjutkan. Kami mencari cara yang lebih mudah dan tidak memberatkan ibu-ibu yang nanti akan mengemban tugas jidoubu ini. Wahhh kepengurusan di Indonesia mana mau susah-susah memikirkan kepengurusan selanjutnya. File dan dokumen saja belum tentu lengkap (maaf, aku juga sering begitu sebagai sekretaris hihihi meskipun kalau diminta pasti akan aku berikan filenya semua)
Tugas kami di jidoubu secara de jure sudah selesai bulan Maret ini sesuai dengan selesainya tahun fiskal 2009. Tapi de facto kami masih harus membimbing dan membantu pengurus baru dalam masa peralihan sampai bulan Mei. Tanggal 28 April akan diadakan serah terima dalam sidang pleno PTA. Aku merasa agak sedih dan sepi juga karena dengan bergabung dalam seksi bidang kegiatan anak, jidoubu ini aku bisa banyak belajar mengenai berorganisasi di kalangan sekolah Jepang. Selain itu komposisi ibu-ibu yang tergabung memang baik-baik dan membuat suasana bersahabat yang dibawa juga di luar kegiatan kami. Aku juga bisa mendengar banyak gossip internal yang berguna dalam mendidik anak. Bagaimanapun juga aku kan masih kohai (yunior karena anakku masih kelas 1) dibanding mereka yang sudah sempai (senior karena anak-anaknya sudah kelas atas).
Seharusnya aku senang menyambut musim bunga yang mulai datang ke Jepang. Hari hangat bertambah banyak, yang kadang disertai hujan, walaupun memang belum bisa menyimpan coat tebal karena tiba-tiba cuaca bisa berubah dan kita masih perlu memakai coat.
Tapi ada satu yang benar-benar membuatku menderita di awal musim semi ini yaitu Kafun atau serbuk bunga. Hari Rabu minggu lalu, aku bersepeda ke sana ke mari memakai masker untuk mengurangi serbuk bunga terhirup, meskipun masih juga bersin-bersin. Tapi yang paling menyeramkan waktu aku melihat mata aku di cermin lift. MERAH! dan gatal. Waaaahhh. Mungkin karena ketahanan tubuh kurang akibat kurang tidur menyelesaikan terjemahan, alergi aku terhadap serbuk bunga/pollen tahun ini amat sangat mengganggu.
Memang dari kecil aku punya alergi terhadap house dust, yang menyebabkan kamar kami selalu harus pakai AC dan tidak boleh memakai karpet atau tirai dari wool. Pilek dan bersin-bersin sudah biasa, sehingga kami sering berkata. “Pabrik tissue harus berterima kasih pada kami”.
Tapi waktu aku datang ke Jepang, sangat jarang aku bersin-bersin. Mungkin Tokyo udaranya lebih bersih dari Jakarta ya? Entahlah. Sampai pada suatu hari, kira-kira 5 tahun setelah tinggal di Jepang, waktu aku mengajar di rumah murid nun jauh di dekat bandara Narita sana. Tiba-tiba aku bersin-bersin pilek, sampai aku minta maaf pada tuan rumah. Baru pas pulang, dia berkata,
“Sensei kafunshou?”
“Tidak”
“Soalnya di belakang rumah ini adalah hutan pinus (pohon sugi) yang mengeluarkan serbuk bunga”
“Waaahhhh mungkin mulai hari ini saya kafun”
Sambil aku melihat deretan pohon pinus itu mengeluarkan serbuk bunganya yang ditiup angin. Gambarnya kira-kira seperti ini.
Serbuk bunga pinus yang beterbangan di awal musim semi
Ya memang selain pohon sugi atau pinus, ada beberapa jenis pohon yang menyebabkan kafunsho. Tapi pohon sugi ini yang paling banyak penderitanya. Menurut data dari Weather News tanggal 4 Maret lalu, lebih dari 30% orang Jepang menderita kafunshou. Daerah Kanto-Tokai (Tokyo dan sekitarnya) paling banyak , dan paling sedikit di daerah Kyushu (selatan Jepang). Daerah Shizuoka dianggap yang paling banyak menderita alergi serbuk bunga ini.
Jadi meskipun dikatakan alergi serbuk bunga, bukanlah akibat bunga-bunga cantik yang saya pasang di sini. Bunga Plum ini mekar di halaman belakang parkiran di apartemen kami. Satu lahan terbagi dua, sebelah kiri berwarna putih dan sebelah kanan berwarna pink. Cantik ya?
Nah, kebetulan ada teman yang bertanya mengenai apa bedanya bunga Momo (peach), bunga Ume (plum) dan bunga Sakura (cherry). Setelah cari-cari ke sana kemari ketemu deh perbedaan bunga tiga jenis, yang memang kalau sekilas mirip semua (dan waktu mekarnya sebenarnya berlainan)
Bunga Plum (Ume):
– tidak mempunyai tangkai bunga, sehingga seakan menempel pada batang
– satu kuntum satu bunga
– ujung kelopak bunga berbentuk bundar
Bunga Peach (Momo):
– tangkai bunganya amat pendek, sehingga terlihat keluar dari batang
– satu kuntum dua bunga yang diapit bakal daun
– ujung kelopak bunga tajam
Bunga Cherry (Sakura):
– tangkai bunganya panjang sehingga seakan menjuntai dari batang
– bunganya berumpun seperti anggur
– ujung kelopak bunga terpecah dua
Setidaknya itu kata Riku di akhir pekan lalu. Pada hari ulang tahunnya, Kamis lalu, dia mengundang 6 orang temannya untuk bermain di rumah. Sengaja bukan aku yang mengundang, karena sebetulnya tidak ada kebiasaan di Jepang untuk membuat pesta ulang tahun. Apalagi membagikan kue-kue bingkisan ulang tahun di sekolah (kebiasaan membagikan “berkat” begitu idi sekolah ternyata masih ada, karena waktu aku pulkam tahun lalu, adikku sempat bingung akan membagikan apa waktu anaknya ultah) sama sekali tidak ada. Well orang Jepang jarang memperingati ulang tahun deh.
Jika aku menuliskan undangan, ibu anak-anak itu akan kewalahan untuk mencari kado. M-E-R-E-P-O-T-K-A-N. Kita orang Indonesia bisa bilang, “Tidak usah bawa apa-apa….datang saja”. Tapi orang Jepang TIDAK AKAN PERNAH BISA DATANG TANPA MEMBAWA APA-APA. Pernah beberapa kali teman Riku main ke rumah, mereka pasti membawa (dibawain ibunya sih) satu bungkus snack untuk dibagi/makan bersama (OMG Riku pernah bermain ke rumah temannya ngga ya? Aku kudu siapkan snack nih untuk membawakan Riku kalau dia bermain ke rumah temannya).
Jadi aku menyuruh Riku memanggil temannya, dan karena aku sedang sibuk mengerjakan terjemahan aku sediakan pizza dan kue ultah dari Baskin aja. Undangan disampaikan hari Senin. Hari Selasa Riku mendapat jawaban bahwa hanya 3 orang yang bisa datang. Lalu aku bilang, biar saja, lebih sedikit kan lebih banyak jatah makannya hihihi (dasar pikirannya makan mulu). Tapi hari Rabunya dia pulang dengan sedih dan berkata bahwa cuma 2 orang yang bisa datang esoknya.
Pas hari H, sesudah pulang sekolah, Riku menjemput temannya ke bawah. Ternyata hanya ada satu orang yang datang, dan ….. mereka bermain di bawah. Temannya ini membawa semacam permainan dengan tali. Tapi mungkin Riku mengikat salah atau bagaimana, tali itu tidak bisa diurai lagi. Oleh temannya itu, Riku harus memperbaiki (mengurai) tali itu dan jika tidak bisa game DS nya untuk dia. Wah Riku kan panik, karena dia tahu DS itu mahal. Akhirnya Riku minta maaf dan lari ke rumah.
Begitu masuk ke dalam rumah, dia menangis. Wah aku kan panik, ada apa nih… Mendengar ceritanya ternyata dia di”ancam” harus memberikan barangnya jika tidak bisa begini begitu. Aku ikut sedih, karena kok anak kelas 1 SD sudah bisa main palak-memalak begini. “Hari ulang tahun aku yang paling buruk!”… Ya kenapa mesti terjadi pas di hari ulang tahun. Kasihan Riku. Untuk sementara aku peluk dia, dan mengajak dia makan Pizza berdua. “Hari Sabtu, Minggu dan Senin kan papa libur, nanti Riku pergi saja sama papa ya. Kasih tahu papa, Riku mau ke mana”
“Cuma mama yang baik sama Riku…”
“LOH Riku… Riku kan anak mama. Masak mama mau jahat sama Riku. Riku nangis ya mama juga ikut nangis dong.”
“Iya ya…. hihihihi”
merayakan ultah Riku dengan sederhana
Setelah Gen pulang kantor (yang lebih cepat dari biasanya yaitu jam 7:30 malam) kami makan pizza dan kue yang tadinya diperuntukkan pesta kecilnya Riku. Padahal tadinya mau makan di luar tuh, soalnya aku ngga ada waktu untuk masak.
bergaya dengan sepeda barunya
Baru hari Sabtunya, Riku pergi bersama papanya untuk membeli kado ulang tahunnya, sementara aku di rumah bersama Kai dan mengerjakan pekerjaan terjemahan yang belum selesai. Sebuah sepeda baru karena sepedanya yang lama sudah “kekecilan”. Anakku sudah bertambah tinggi, sehingga sepeda “masa kanak-kanak”nya sudah terlalu pendek untuk kakinya. Jadi kami sepakat untuk memberikan sepeda dengan jari-jari 22 cm (tadinya 18 cm).
bedanya ternyata cukup banyak ya, Ban dengan jari-jari 18 cm dan 22 cm
Sepeda yang lama nanti akan diberikan ke Kai kalau dia sudah mau, karena sebetulnya kami masih menyimpan roda bantuan sehingga tinggal dipasang saja lagi. Kasihan si Kai jarang dapet barang yang baru, selalu lungsuran.
Untuk berlatih memakai sepedanya yang baru, Gen mengajak Riku ke stasiun dekat rumah kami. Dan ternyata di pos pemadam api dekat stasiun itu sedang mengadakan “open house”. Jadi deh Riku belajar mematikan api, dipakaikan baju pemadam, diperbolehkan naik mobil pemadam, dan juga belajar tali temali serta pernafasan buatan untuk bayi. wow! Aku melihat foto-fotonya saja jadi iri, dan juga iri untuk Kai karena dia tidak ikut. Tapi Kai juga masih terlalu kecil, bisa-bisa dia nggerecokin saja, Pasti ada waktunya juga untuk Kai.
Well, terobati sudah kekecewaan Riku di hari ulang tahunnya. Memang melewatkan waktu bersama keluarga adalah yang terbaik….
Riku dengan baju petugas pemadam ... pipoooo pipoooo