Tulisan ini bukan bermaksud untuk memojokkan teman-teman blogger yang masih jomblo. Hanya ingin menuliskan bahwa masalah “ingin menikah tapi tetap jomblo” itu adalah masalah yang universal sekali. Tidak di Jepang, tidak di Indonesia…. sami mawon. Untuk pria Indonesia mungkin tidak begitu masalah lambat menikah, tapi untuk wanita Indonesia itu mungkin masalah… meskipun kadang bukan masalah dari diri sendiri, lebih ke masalah (omongan) masyarakat sekitarnya.
Di Jepang wanita berusia di atas 30 tahun yang belum menikah semakin lama bertambah banyak. Bahkan sampai timbul istilah-istilah ARASAA dan ARAFO seperti yang telah aku tulis di postingan KATA POPULER. Menurut Departemen Dalam Negeri Jepang, jumlah wanita single berusia sekitar 25-29 tahun pada 1980 menempati 25% sedangkan pada tahun 2005 sudah mencapai 59%. Usia menikah wanita bergeser menjadi lebih lambat atau tidak sama sekali. Dan mungkin ini juga sudah mencapai tahap kritis.
Nah, aku menemukan sebuah angket yang diadakan situs Goo, dengan topik : “Alasan tidak bisa menikah padahal keinginan untuk menikah itu besar sekali”, dan ada 20 alasan untuk orang Jepang loh. Coba kita lihat, apakah alasan-alasan ini cocok juga untuk orang Indonesia:
Dua puluh alasan itu berdasarkan ranking:
Mengejar pasangan ideal (hmmm universal sekali ya, mencari the knight in shining armor)
Ego yang kuat
Gengsi an
Mencintai tapi dengan terpaksa mengikuti syarat pasangan saja. (Pacar tidak mau segera menikah, ya nurut aja gituh)
Keras terhadap orang lain, tapi tidak keras pada diri sendiri. (Tipe orang yang berkata “Kamu harus begini begono”, tapi tidak melaksanakannya. Tukang nasehat.)
Pada akhirnya lebih suka “sendiri”
Kesempatan untuk bertemu lawan jenis yang terbatas.
Tidak PEDE
Terlalu menunjukkan keingin ingin menikah (jadi pacar dan calon pacar ketakutan hihihi)
Terlalu bersih a.k.a STERIL (suka bersih-bersih jadi pacarnya sampai takut kalau dia “dibersihkan” juga hahaha)
Selalu jatuh cinta pada orang yang “tidak tepat” (hmmm misalnya orang itu sudah beristri/bersuami)
Pas dilamar, terlalu banyak mikir
Diri sendiri tidak belajar (tidak memper”pandai” diri)
Tidak bisa sama sekali mengerjakan pekerjaan rumah tangga (biasa jadi “putri”, segalanya dilakukan orang lain/pembantu)
Terlalu memonopoli (Si pacar “disekap” dalam rumah terus)
Sifat “berdikari” nya terlalu kuat (ya buat apa ada orang lain sebagai pasangan hidup ya)
Tidak SEXY (wahhh ternyata faktor sexy ngga juga masuk hitungan)
Selalu mendahulukan pekerjaan (Nah loh workaholic)
Tidak ada waktu untuk mencari pasangan hidup
Menyukai orang berlainan terus-terusan (bosenan dong 😀 )
Wah, ternyata alasan itu semua universal ya, bisa berlaku di Indonesia juga. Tapi di Jepang masih mending (hampir) tidak ada masalah agama atau suku. Mungkin kalau di Indonesia perlu ditambah dengan : Belum mampu/ mapan untuk menghidupi orang lain. (Gajinya untuk sendiri aja belum tentu cukup gituh). Atau ada juga yang masih dilarang-larang oleh orang tua ya? Kira-kira di Indonesia apa lagi alasannya ya?
Well, tadinya aku mau posting tentang ini kemarin, ternyata tidak keburu menuliskannya karena Kai masih sakit (meskipun sudah tidak demam, tapi batuknya itu loh, sampai muntah-muntah ….repot ganti sprei) dan selalu minta tidur bersama hihihi.
Tentu sudah tahu ya artinya Yes Man, yaitu merefer orang yang selalu “YES!” tanpa ada pertanyaan atau perlawanan, bagaikan kerbau dicucuk hidung (ihhh padahal sakit kan kalau hidungnya di cucuk). Nah kalau No Man, mestinya kebalikannya, selalu mengatakan “No!”…..
Di keluarga Miyashita tidak ada yang “Yes Man”, pasti ada hal-hal tertentu yang pasti dipertanyakan dulu sebelum memberikan jawaban. Tapi kalau No Man ada, yaitu si Kai. Duuuh, dia selalu menjawab, “IYA DA” (bahasa Jepang IYA itu bukan yes, tapi OGAH!) .
“Kai ganti pampers yuuk…”
“Iya da!”
“makan yuuk….”
“Iya da!”
“pergi ke tempat sensei yuuk…”
“Iya da!”
Dooooh pusing aku. Awal-awal aku kesal, marah dong. Lama-lama aku biarin aja… pergi. Lalu kalau dia minta sesuatu,
“Mama…. Minta cucu (susu) ”
“Iya da….”
“Mamaaaaa… cucu…”
“Iya da….”
Nangis deh….. Dan terpaksa taktik “menolak” seperti Kai tidak bisa dilanjutkan, karena aku ngga tahan ributnya.
Tapi pura-pura marah itu manjur juga, karena dia lalu datang sendiri sambil bilang;
“Ma…. ganti pampers yuuk”
“Ma… pergi yuuk”
“Ma… tsuru-tsuru…. (tsuru-tsuru adalah bunyi seruput waktu makan segala jenis mie. Sehingga kalau dia mau makan mie, dia minta “tsuru-tsuru”…. meskipun tsuru-tsuru juga bisa berarti botak hehehe)
Suatu episode dalam mobil:
Riku: “Mama aku boleh buka mainan ini ya”
Mama belum jawab tapi Kai langsung nyamber: “Dame (ngga boleh) ochiru.. dame” (Ngga boleh nanti jatuh berantakan)
dengan gaya sok teu nya si Kai melarang Riku membuka mainan di dalam mobil, persis dengan alasan yang biasanya aku pakai hihihi.
“Mama… koen itta!” (pergi ke Taman tadi)
“Ow… tanoshikatta?” (senang?)
“Tanoshikatta….”(senang)
“Uma notta” (Naik kuda-kudaan)
“Wahhh asyik”
“SHuuun mo notta” (Naik perosotan juga)
Aku heran kenapa tiba-tiba dia cerita lagi. Soalnya ini sudah yang ke tiga kalinya.
“Riku wa?” (Riku mana?)
“Riku nen ne” (Riku bobo)
“Ohhh…” Pantas dia ajak omong terus, rupanya dia mulai takut gelap dalam mobil di belakang…
“Mama… Mama iru?” (Mama ada?)
“Mochiron…” (Tentu saja)
“Mama inakereba, darega unten suru deshou?” (Kalau mama ngga ada kan siapa yang nyetir)
Dan dia mengoceh terus sepanjang perjalanan pulang, sambil aku juga tanya-tanya.
Meskipun itu anak dua sering berkelahi, tapi Kai pasti ingat Riku kalau makan. Pernah dia melihat ada 2 permen kopiko di atas mejaku, dan dia minta. Ya sudah, aku kasih satu.
“Riku?”
“Ngga usah… ini buat mama”
“Riku….” dan dia menangis.
Astaga… dia sedih Riku tidak dapat (padahal belum tentu kakaknya ingat dia kalau makan hihihi). Terpaksa deh aku kasih permen kopiko yang satu lagi, dan dia langsung keluar mencari kakaknya…. “Riku… ini”
Hari ini aku minta maaf pada Riku. Di sekolahnya ada “Kunjungan Orangtua” pada jam pelajaran ke 2 dan 3. Tapi aku tidak bisa datang, karena Kai demam. “Ya sudah… Mama nanti jaga Kai baik-baik ya…” Sambil berkata begitu dia pergi ke sekolah dalam rintik hujan yang dingin.
Memang Kai sedang demam selama dua hari ini. Demamnya datang di malam hari saja, dan di siang hari turun sampai 37,5… batas normal untuk bisa menitipkan di penitipan anak. Lebih dari 37,5 dianggap demam, dan penitipan tidak mau menerima anak sakit, karena akan menularkan penyakit pada anak-anak lainnya. Seandainya demam waktu sedang di tempat penitipan, ya kami orang tua akan ditelepon untuk SEGERA menjemput anak-anak kami…..
Semoga si No Man, alias anakku Kai sembuh segera deh. Mama sudah kangen sama “IYA DA” nya hehehe.
Posting kali ini adalah catatan wisata berbau sejarah, yang merupakan lanjutan perjalanan kami di Hakone yang telah saya tulis di Paten(i) Seni.
Pada bagian akhir saya menjelaskan bahwa ternyata tempat yang kami kunjungi itu dulunya merupakan tempat perhentian iring-iringan daimyo (tuan tanah) daimyo gyouretsu, sehingga menjadi tempat yang bersejarah. Dan sebetulnya daerah Hakone memang terkenal sebagai jalan masuk/keluar menuju Edo (Tokyo) dan Kyoto. Karena itu di Hakone ada Pintu Pemeriksaan yang disebut Hakone Sekisho.
Jaman Edo dulu (1603-1868) , para tuan tanah diwajibkan untuk berkumpul di pusat kota pada waktu-waktu tertentu. Peraturan yang dinamakan sankin kotai ini merupakan kebijakan pemerintah Tokugawa untuk menjaga keutuhan negeri. Karena jika tuan tanah pergi ke pusat kota, berarti dia tidak berkesempatan membangun kekuatan militer di daerahnya. Ini bagus untuk keamanan, tapi berdampak buruk untuk perekonomian, karena biaya perjalanan ditanggung oleh sang tuan tanah Daimyo.
Nah untuk melindungi keamanan Edo (Tokyo) maka pemerintah Bakufu (pemerintah Edo Pusat) mendirikan Pintu Pemeriksaan atau Sekisho ini di 53 titik yang dianggap sebagai pintu masuk ke Edo (Tokyo). Selama pemerintahan Bakufu, sedikitnya 260 tahun, Sekisho menjalankan tugasnya untuk mengamankan Edo (Tokyo) sampai awal Meiji (runtuhnya pemerintahan Bakufu).
Sebetulnya saya sudah pernah pergi ke Hakone Sekisho ini, di awal kedatangan saya di Jepang, sekitar tahun 1992-an. Saya masih ingat, dulu tempat ini kusam, tidak banyak bangunan dan yang membekas ada semacam museum dengan dokumen-dokumen kuno. Hmmm boleh dikatakan tidak menarik untuk orang asing awam (kecuali yang suka sejarah). Dulu memang saya juga tidak membawa kamera sehingga tidak ada kenangan yang diabadikan.
Tapi waktu kami pergi ke hakone Sekisho ini, amat banyak perubahan yang ada. Tempat pemeriksaan ini ternyata sudah direnovasi, setelah 140 tahun terbengkalai. Di bangunan yang di cat hitam ditempatkan patung penjaga, patung kuda, bahkan dilengkapi dengan dapur lengkap dengan panci dan patung orang yang sedang memasak. Patung-patung ini seukuran manusia dan karenanya Kai takut melihatnya.
Kami masuk dari pintu Edo, melintasi Kantor Pemeriksaan dan pos pengawal, untuk kemudian keluar lewat Pintu Kyoto. Tapi untuk melihat ke dalam Kantor Pemeriksaan termasuk dapur dan menara pengintainya, kami musti membeli karcis seharga 500 yen untuk dewasa di dekat pintu Kyoto. Saya merasa agak aneh saja, kok loket karcisnya hanya di pintu Kyoto. Dan sebetulnya 500 yen untuk melihat ke dalam Kantor itu agak mahal deh…. Untuk orang Jepang yang mengerti sejarahnya OK lah. Tapi untuk wisatawan asing…. hmmmm. Baru kali ini saya menyetujui perbedaan karcis masuk untuk wisdom dan wisman di tempat wisata Indonesia.
Di Kantor Pemeriksaan kami bisa melihat proses pemeriksaan yang dilakukan oleh satu petugas Bangashira, satu asisten Yokometsuke, 3 orang Jobannin, dan 15 petugas bawahan. Dan satu lagi yang tidak kalah penting perannya adalah hitomi-onna. Hitomi onna ini bertugas memeriksa wanita yang lewat. Karena peraturan sankin kotai itu mewajibkan tuan tanah meninggalkan anak-istrinya di Edo selama pulang ke daerah mereka. Sebagai tawanan sehingga mereka tidak bisa memberontak melawan penguasa pusat.
Meskipun saya merasa mahal karcis masuk yang 500 untuk melihat fasilitas seperti itu, bisa terobati juga sih karena memang pemandangan dari atas menara pengintai itu bagus. Di latar belakang terlihat danau Ashi dengan kapal wisata berbentuk kapal bajak laut. Kalau ada waktu banyak lumayan juga duduk di atas bukit sambil baca buku sambil menikmati pemandangan yang terhampar.
Setelah dari tempat ini, kami sempat mampir juga di sebuah hotel kuno di daerah Hakone Yumoto yang bernama Miya no shita Fujiya Hotel. Kami sudah 2-3 kali ke hotel ini, tapi memang tidak menginap. Karena tarif per malam menginap di hotel ini mahal sekali. Satu orang per malam bisa 3,6 juta rupiah saja hihihi. (FYI: menginap di penginapan Jepang hampir semua dihitung per kepala, bukan per kamar)
Hotel yang didirikan tahun 1878 ini memang terkenal sebagai hotel kuno, yang sering dikunjungi seleb dan orang terkenal dari manca negara. Karena kami belum menjadi seleb, jadi belum mampu deh menginap di situ. Cukup makan nasi kare saja di restorannya. Nasi Kare restoran di hotel ini begitu terkenal sampai dijadikan makanan retort (siap saji dalam kemasan).
Dan kami pernah mengajak papa-mama mampir ke hotel ini waktu papa mama datang ke Jepang. Salah satu foto mereka yang amat saya suka…. (obat kangen nih)
Dengan selesainya tulisan ini, selesai deh perjalanan kami ke Hakone tanggal 11 Januari yang lalu. Satu hari wisata dengan 3 tulisan, yaitu: kerajinan Yosegisaiku Paten(i) Seni, Museum Pangeran Kecil , dan Pintu Pemeriksaan ini.
Sabtu malam kami menonton acara di TV tentang Prefektur Saitama, yang terletak persis di sebelah barat Tokyo. Dan sebetulnya cukup dekat dengan rumahku, wilayah Nerima. Nah, kemarin itu banyak memperkenalkan tentang resto/rumah makan enak , dan terbanyak adalah rumah makan yang menjual ramen, soba dan udon. Pokoknya serba mie deh. Tapi ada satu tempat yang diperkenalkan di situ yaitu Nasi Kare siap saji yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat Jepang. Dan katanya bisa dibeli di Rikkun Land.
Rikku land adalah nama kesayangan untuk Rikujo Jietai Kohou Center (JGSDF Public Information Center). Kalau kita orang Indonesia akan lebih mudah mengatakan Pusat Informasinya Angkatan Darat deh… tapi perlu diketahui, AD di Jepang bukan ARMY tapi SELF DEFENCE (sejarahnya tentu saja panjang, sepanjang usia kemerdekaan Indonesia). JGSDF adalah singkatan dari Japan Ground Self Defence Force.
Karena nama Riku memang berarti daratan, kami ingin mengajak Riku pergi ke Pusat Informasi itu dan melihat-lihat kalau ada kaus T Shirt bertuliskan kanji Riku 陸. Asyik kan tuh kalau pakai kaos dengan nama sendiri, bukan nama orang lain seperti Chanel, Agnes B, Tommy Hilfiger dll hihihi. Jadi Minggu pagi, Gen memeriksa homepage Pusat Informasi GDSDF di Asaka, Saitama dan menemukan informasi bahwa hari itu, tanggal 7 Februari, Prajurit Jietai itu akan memasak sup miso tonjiru dengan memakai dapur di camp, dan menjual dengan harga murah kepada pengunjung mulai pukul 10 pagi! Waktu Gen berkata itu jam sudah menunjukkan pukul 9… yaaah telat deh. Tapi Gen bilang jarak rumah kita sampai tempat itu hanya 15 menit naik mobil. Wow…
Jadi aku cepat-cepat bersiap-siap, menjemur cucian, dan mempersiapkan anak-anak, dan sempat mencuci rambut yang berdiri semua, mungkin seperti kata Lala Megaloman. Cepat-cepat naik mobil dan berangkat, pukul 8:50. Hmmm pasti terlambat deh…
Kami sampai di tempat itu pukul 9:15, setelah antri untuk masuk ke pelataran parkir. Peraturan di sana, semua penumpang harus turun, dan supir saja yang mengemudikan mobilnya ke parkiran. Pasti untuk keamanannya. Sambil menunggu Gen datang, kami melihat-lihat foto-foto yang ada di lobby yang sudah dipenuhi orang.
Begitu Gen datang, kami langsung membeli dua mangkuk tonjiru (sup miso pakai daging babi – untuk yang muslim kalau dengar tonjiru itu pasti pakai babi) seharga 300 yen (1 mangkuk 150 yen). Kami menerima sajian tonjiru dalam mangkuk foam dari jietai wanita. Sambil duduk di meja lipat, di ruangan itu juga diputar kegiatan GDSDF di berbagai belahan dunia, sebagai anggota pasukan keamanan PBB.
Setelah makan, kami pergi ke ruang pameran yang memamerkan helikopter dan tank serta berbagai simulasi. Tapi waktu kami melihat keluar, ada antrian yang cukup panjang, Rupanya mereka antri untuk bisa menaiki truk tentara, dan berkeliling kamp dalam truk serasa jietai. Jadi kami ikut antri deh. Pas duduk di antrian, aku sempat mengajak Kai jalan-jalan, dan waktu kembali Gen memberitahukan aku sesuatu yang cukup membuat shock.
Ya, warga negara asing tidak boleh mengikuti ekskursi menaiki truk tersebut. Selain itu tentu ada banyak peraturan lain, seperti anak belum sekolah juga tidak boleh naik, karena harus memakai helm dan harus bisa naik turun sendiri. Tapi bahwa gaikokujin, orang asing tidak boleh naik itu loh (bisa tapi harus mengurus surat ijin yang cukup lama) , cukup membuat aku termenung. Hmmm…. kemudian aku pikir, ya tentu saja, truk itu kan kepunyaan militer sebuah negara. Tentu saja orang asing tidak bisa seenaknya pakai milik negara lain. Kan ada kemungkinan mata-mata juga.
Gen minta maaf (padahal yang membuat peraturan kan negaranya hihihi) lalu aku dan Kai melewatkan waktu sendiri di pelataran halaman luar sambil berfoto-foto. Tentu saja ada tank, truk dan yang mengagumkan ada mobil unit operasi, lengkap dengan meja operasi dan…. CD player..pokoknya musik deh. Katanya untuk menenangkan pasien. Aku berkelakar dengan prajurit yang berdiri di situ, “Jangan-jangan yang luka tidak dibius ya?” Dan dia hanya mesem tertawa…. (hiiiiii ngga berani bayangin)
Cukup lama juga menghabiskan waktu berdua Kai saja. Sempat mengabadikan Kai menjadi fotografer. Kai memang benar-benar suka memotret dan menganggap kamera lama kami sebagai kameranya. Marah kalau tidak ada/tidak bisa pakai kamera. Lalu aku mengajak Kai untuk makan tonjiru lagi. Kali ini Kai saja yang makan. Hebat! Dia biasanya agak sulit makan, tapi kali ini dia makan semua sayuran yang ada dalam sup itu.
Lalu kami berdua kembali lagi ke ruang pameran dan bertemu dengan Gen dan Riku yang sudah selesai naik truknya. Riku sedang mencoba menggendong ransel tentara seberat 12 kg. Persis seberat Kai (dan memang Riku sering menggendong Kai). Selain itu juga mencoba jaket anti peluru. Juga sama 12 kg.
Sesudah itu aku dan Kai masih harus menunggu lagi 1 jam, karena Gen dan Riku antri untuk mencoba flight simulator. Untung saja aku tidak mencoba, karena kata Gen dia menjadi mual setelah naik flight simulator itu. Jelas aja dong.
Akhirnya kami meninggalkan Pusat Informasi GDSDF itu sekitar pukul 12:45. Ada satu atraksi yang kami lewati yaitu theater 3 D. Kami sepakat tidak mau kasih liat Riku. Dan sebagai oleh-oleh untuk Riku dan Kai adalah serutan pensil berbentuk pesawat tempur. Kaus Rikunya? Karena tidak ada sizenya kami tidak jadi beli. Alasan saja sih sebetulnya karena cukup mahal –2000 yen– dan sssttt Gen sebenarnya tidak suka Army Look! Bayangin aku pernah beli celana panjang Army Look untuk Riku, dan dia tidak suka sama sekali! Lah? Terus kenapa ajak ketempat begituan? Hihihihi, kan pengetahuan mengalahkan rasa suka tidak suka. Tidak suka matematika bukan berarti tidak belajar matematika kan? Apa yang harus dipelajari dan diketahui tidak sejajar dengan apa yang disukai atau tidak disukai. Itulah hidup!
Kemarin ada kebiasaan di sini untuk makan sushi gulung malu-malu. Loh kok malu-malu? Sebetulnya sih bukan malu tapi maru. Tapi bagi orang Jepang kan pengucapan “malu” dan “maru” itu sama, jadi ya saya pilihkan kata malu-malu untuk judul.
Maru itu adalah bulat. Jadi kalau yang pernah pergi ke Jepang dan mengenal sebuah departemen store yang bernama Daimaru, ya artinya Bulat Besar. Saya juga pernah bingung melihat nama toko di Shibuya yang hanya bertuliskan OIOI kok dibaca Marui. Ternyata O nya itu Maru = bulat dan I nya ya dibaca i. Memang membaca tulisan di Jepang perlu putar otak untuk bisa mengerti artinya, meskipun kamu sudah bisa bahasa Jepang.
Tapi dengan adanya kata maru yang berarti bulat itu juga, bisa membuat orang Jepang yang belajar bahasa Indonesia cepat hafal kata Malu. Biasanya saya mengajarkan “Maru hadaka de Malu” (Telanjang bulat jadi Malu). Biasanya sih tokcer tuh untuk menghafal kata malu.
Lalu apa hubungannya dengan makan sushi malu-malu? Ya kemarin itu adalah hari SETSUBUN, yang merupakan hari peringatan (tidak libur), sehari sebelum RISSHUN, hari dimana mulai mempersiapkan kedatangan musim semi, meskipun tidak berarti bahwa musim dingin sudah berlalu dan menjadi hangat. Dan pada peringatan SETSUBUN ini ada kebiasaan untuk makan sushi bulat-bulat, sushi yang berbentuk gulung, yang memang juga “bulat padat” berisi 7 macam “lauk”. Namanya “Marukaburi” まるかぶり atau “Ehomaki” 恵方まき. Dan ternyata waktu aku mencari informasi, eho berarti lucky direction, arah mujur.
Aku membeli satu batang ehomaki ini, dan dibungkusnya terdapat cara makan sushi gulung ini. Di situ tertulis bahwa arah mujur tahun ini adalah barat-barat daya. Jadi sambil menghadap ke arah barat daya dan makan bulat-bulat satu batang sushi gulung ini. Dan sembari makan membatinkan keinginan untuk tahun ini. Misalnya supaya lulus ujian, dapat pacar, sehat dll. Wah memang kalau makan sushi satu batang seperti begini ditanggung badannya kuat dan sehat, dan siap menghadapi dinginnya hari-hari yang masih harus dilalui… sampai musim semi nanti.
Yang pasti Riku sudah lama menunggu-nunggu kedatangannya. Ingin sekali Riku memeluknya, menggenggamnya, dan bermain dengannya. Terbayang dirinya yang lembut menawan, putih seputih kapas. Memang “dia” agak dingin tapi kehadirannya membuat hangat di hati… paling tidak untuk Riku.
Ya, Riku sudah lama menantikan salju. Tapi siang hari Senin lalu (1 Februari) hanya hujan yang turun. Aku tahu dari ramalan cuaca, tapi aku pikir baru senja hari, jadi aku tidak mengecek apakah Riku sudah membawa payung atau tidak. Padahal sejak pukul 1 siang, hujan yang dingin membasahi bumi. Sekitar jam 2:30 kulihat keluar, hujannya tetap deras… Wah pasti Riku pulang kebasahan dan kedinginan. Jadi sekitar jam 2:45 aku membawa payung Riku dan menuju sekolahnya untuk menjemput dia. Tahu-tahu di tengah perjalanan aku melihat sosok Riku memakai payung transparan berjalan terseok-seok karena membawa tas lain, sementara tangan satunya memegang payung. Rupanya bapak pembantu penyeberang jalan yang baik itu memberikan payungnya pada Riku, begitu dia melihat Riku tidak pakai payung. Ahhh kebaikan bapak itu memang terpancar dari mukanya.
Karena toh aku sudah membawakan payung Riku, jadi kami mengembalikan payung si Bapak sambil mengucapkan terima kasih, baru pulang ke rumah. Aku masih harus bersiap-siap untuk mengajar malam ini. Ya, mulai hari ini setiap senin malam sebanyak 5 kali, aku harus menggantikan guru bahasa Indonesia di Kursus Orientasi Bahasa Indonesia (KOI) , sebuah kursus yang diselenggarakan oleh KBRI bekerjasama dengan Japinda (Japan Indonesia Association) yang diadakan di Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Karena tidak ada yang menjaga anak-anak di rumah, maka anak-anak aku bawa ke SRIT itu dan aku biarkan mereka bermain selama aku mengajar 2 jam di situ.
Untuk itu aku perlu mobil, karena sulit membawa anak-anak dan barang naik kereta dan bus sampai ke Meguro. Dan sebetulnya ini merupakan kali pertama aku menyetir mobil yang baru kami beli. Temanku menanggapi kerisauan aku mengatakan, “Kan menyetir mobil apa saja sama saja”. Ya memang, tapi tidak bisa dipandang enteng jika mobil sebelumnya adalah buatan eropa dan manual, sementara mobil yang sekarang buatan Jepang dan otomatis. Stang sign yang terbalik letaknya (kiri menjadi kanan) juga stang lampu dan wiper. Karena itu aku ingin pelan-pelan saja perginya supaya terbiasa (jangan menimbulkan kecelakaan), sehingga aku memutuskan berangkat jam 4 sore.
Dalam hujan aku menjemput Kai di penitipan, dan langsung menuju ke arah Meguro. Untung jalanan tidak begitu ramai dan kami bisa sampai jam 5 di SRIT. Sementara di luar hujan deras, aku menitipkan Kai pada Mbak Ayu dan mengajar mulai pukul 6:30. Dasar Kai manja jadi kira-kira pukul setengah 8 dia menangis dan terpaksa aku mengajar sambil menggendong dia. Kai seperti koala banget saat itu, diem nempel di dadaku.
Nah, giliran sudah selesai ngajar, jam 8:40 malam lihat ke luar mulai terlihat salju turun. Salju pertama di Tokyo pada tahun 2010. Aku sempat mencatat tahun 2008 pada tanggal 3 Februari juga turun salju, jadi salju di Tokyo turun setelah 2 tahun tanpa salju. Melihat salju mulai deras aku cepat-cepat menyuruh anak-anak naik mobil, karena aku ingin sampai rumah cepat, sebelum salju menumpuk. Terus terang aku takut menyetir dalam hujan salju karena belum pernah. Setahuku di daerah bersalju seperti di Niigata, ban mobil harus diberi rantai supaya pakem mencengkeram jalanan bersalju. Kalau tidak pakai rantai akan mudah slip.
Memang karena Meguro di dalam kota, masih hangat dan salju tidak menumpuk, tapi menjauh sedikit butiran salju semakin banyak dan deras, dan anehnya kecepatan mobil juga otomatis tidak bisa lebih dari 60 km/jam. Aku selalu senang menguntit mobil besar, karena berarti salju juga “terbawa” oleh mobil besar itu, dan aku tidak perlu “membuka” jalan. Tapi 3-4 km mendekati rumahku, mobil semakin sedikit, jalanan semakin putih sehingga aku mengurangi kecepatan dan sedapat mungkin mengerem dari jauh.
Waktu kami sampai di rumah, Gen sudah pulang dan menyambut kami dengan lega. Aku hanya sempat mengirim sms bahwa kami di tengah jalan waktu lampu merah yang cukup lama. Pesan sponsor: Jangan pernah menelepon atau menulis sms sambil menyetir. Apalahi menyetir sesudah minum minuman keras. Bahaya! DON’T DO THAT.
Well karena sudah jam 10 malam tidak sempat bermain salju dan mau memotretpun tidak bagus hasilnya. Jadi aku sempatkan memotret pemandangan fajar, pagi hari …sudah siang sih pukul 6:26 dari apartemen kami. Atap putih semua. Dan mobil semua tertutup salju. Menurut televisi, Tokyo ditutupi salju setinggi 1 cm, tapi karena daerahku adalah desa dalam Tokyo, sepertinya sekitar 5 cm deh.
Untung saja saljunya berhenti turun waktu kami bangun tanggal 2 pagi. Aku sempat bermimpi menerima telepon yang mengatakan bahwa sekolah ditutup karena hujan salju hehehhe. Jadi tanggal 2 pagi Riku dengan gembiranya pergi ke sekolah, sementara papanya manyun karena harus pergi naik bus. Berbahaya menyetir dalam keadaan tertutup salju soalnya. Dan aku juga akhirnya membatalkan penitipan Kai untuk kemarin.
Salju memang indah, dan merupakan pengalaman yang mendebarkan bagi orang Indonesia…. Tapi jika sudah banyak dan sering seperti teman-teman di daerah utara Jepang, menjadi muak setiap musim dingin tiba. Apalagi kalau salju itu sudah bertumpuk sampai setinggi langit-langit. Terpaksa harus keluar rumah dari lantai dua deh. Tadi pagi saja aku sempat sebal karena tanganku membeku waktu membersihkan kaca mobil dari salju yang sudah membeku. Akhirnya aku berdua Gen membasahi seluruh kaca dengan air hangat, sehingga Gen bisa berangkat ke kantor naik mobil lagi. Kalau jalanan sih sudah bersih dari salju dan sudah bisa lewati lagi.
Mau lihat salju? Bukalah lemari pendingan “freezer” dan di kotaknya ada seperti serutan es? Ya seperti itulah salju meskipun waktu turun memang halus. Menurut ahlinya, butiran salju (disebut kristal) yang turun itu mempunyai banyak bentuk partikel tapi yang pasti bentuk dasarnya adalah segi enam.
Nah selain ada istilah Kokuho 国宝(Harta Negara) dan Bunkazai 文化財 (Kekayaan Budaya) , di Jepang ada istilah Dentoteki Kogeihin 伝統的工芸品 (Kerajinan Tangan Tradisional). Kalau Kokuhou dan Bunkazai diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka Kerajinan Tangan Tradisional diatur oleh Departemen Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang. Jadi kerajinan tangan tradisional suatu daerah di Jepang harus didaftar dan terdaftar supaya bisa mencantumkan bahwa barangnya itu adalah Kerajinan Tangan Tradisional loh. Tidak bisa cuma ngaku-ngaku saja. Bisa dilihat di peta di bawah ini bahwa tiap daerah mempunyai “kerajinan khas” nya dan sebelah kanan adalah lambang “Kerajinan Tangan Tradisional”.
Nah tanggal 11 Januari lalu (wih udah baheula ya?) sebelum kami pergi ke Le Petite Prince Museum, kami pergi melihat cara pembuatan kerajinan tangan yang terbuat dari kayu, kerajinan khas Hakone. Namanya Hakone Yosegizaiku 箱根寄木細工. Kalau lihat dari kanjinya saja bisa diterjemahkan menjadi kerajinan merapatkan kayu yang halus dari Hakone. Seperti apa kerajinan itu?
Waktu kami melaju menaiki pegunungan menuju Lake Ashi sebagai tujuan utama hari itu, tiba-tiba Gen teringat bahwa Hakone memang mempunyai kerajinan khas Yosegizaiku ini. Dan terbaca papan “Bengkel dan Toko Yosegizaiku Hamamatsuya”. Kami sepakat untuk melihat kerajinan ini (padahal waktu itu aku ngga bawa uang tunai banyak, tapi cukup tenang melihat lambang kartu kredit deh) sehingga kami langsung masuk ke parkiran mereka. Toko ini sepi oleh pengunjung padahal sudah lewat pukul 11 waktu kami masuk.
Kami langsung disambut dengan beraneka ragam kerajinan kayu, mulai dari gasing, gantungan kunci sampai lemari dengan laci-laci yang harganya muahaaal sekali. Memang aku sudah pernah mengenal kerajinan ini, ya tidak lain dari pemberian oleh-oleh dari mantan pacar, sebuah kotak perhiasan. Tidak menyangka juga bahwa harganya cukup mahal lah untuk ukuran mahasiswa. Tapi setelah melihat cara pembuatannya, aku bisa mengerti mengapa harganya mahal.
Kami beruntung sekali karena ternyata toko itu juga memperbolehkan tamu untuk melihat cara pembuatan di lantai atas. Pengrajin yang ahli itu sudah menunggu kami di atas, dan mulai berbicara. Dan dari dia pertama kali aku mengetahui bahwa tidak setiap kerajinan tangan di Jepang bisa disebut sebagai Kerajinan Tangan Tradisional.
Si Bapak langsung mempraktekkan pembuatan kerajinan Yosegizaiku ini. Kayu yang berwarna alami, mulai dari yang putih sampai coklat tua mendekati hitam, dipotong halus-halus. Bentuknya bisa segitiga, atau persegi panjang, bisa dipotong sebagai batangan atau lempengan.
Kemudian potongan kayu berbagai bentuk ini dipadukan sehingga bisa menghasilkan motif-motif mozaik yang unik. Perpaduannya tergantung rasa seni si pembuat, ada kalanya hanya memakai dua warna, ada kalanya beberapa warna sehingga hasilnya cukup meriah. Perpaduan berbagai bentuk juga menghasilkan motif yang unik sehingga tidak bosan rasanya. Dan perpaduan itu tanpa batas!
Oh ya, potongan kayu itu ditempel dengan memakai lem kayu biasa, tapi dulu katanya memakai nasi! Jadi ingat dulu waktu TK, jika lem habis mama juga mengajarkan kami memakai lem dari nasi. Riku kaget mengetahui bahwa nasi bisa menjadi lem…. hmmm anak-anak sekarang tahu ngga ya? Dan lem dari nasi ini cukup kuat karena hasil karya yang memakai lem nasi itu bisa berumur ratusan tahun!
Jika sudah menjadi suatu blok kayu bermotif tinggal menentukan akan dijadikan apa. Diserut menjadi lembaran kayu bermotif yang bisa dijadikan macam-macam, mulai dari pembatas buku, hiasan dinding sampai “kulit” dompet dan lain-lain.
Atau digerus, dibentuk lagi untuk menjadi piring/wadah kayu. Memang sayang kalau digerus, karena berarti cukup banyak bagian yang harus dibuang begitu saja. Dan ini yang menyebabkan harganya mahal! Ngga sanggup deh aku mengeluarkan minimum 8000 yen (Rp. 800.000) untuk wadah kayu yang cantik ini.
Menurut si pengrajin, dia merupakan cucu dari pengrajin yang terkenal, salah satu pelopor kerajinan tradisional yosegizaiku didaerah itu. Dia sendiri sudah menerima penghargaan macam-macam. Yang aku senang, Riku menunjukkan perhatian cukup besar pada penjelasan si bapak. Dan aku tahu dia juga suka Riku bertanya. Aku sampai dikasih extra lembaran kerajinan berukuran A6. Asyiiik!
Yang benar-benar mengagumkan adalah sebuah “lukisan” Gunung Fuji yang semuanya (lukisannya) terbuat dari potongan kayu, bukan gambar! Si Bapak memperlihatkan sebuah gergaji halus yang dipakai untuk “membolongi” papan lukisan. Bisa lihat potongan puncak Gunung Fuji, yang bisa dicopot untuk kemudian diganti dengan potongan lain yang “bersalju”. Dan kami diberi tahu tekniknya supaya potongan itu tidak jatuh. Hebat bener nih kesenian!
Setelah selesai melihat demontrasi sang pengrajin, kami turun ke bawah lagi, dan melihat barang-barang yang ingin kami beli. Bagusnya ada sebuah plastik berisi potongan kayu untuk membuat coaster (tatakan gelas) lengkap dengan lem berikut caranya. Langsung Riku membeli dua untuk mencoba. Setelah pulang Riku mencoba dan tentu saja sebagai seniman si Riku membuat seenak perutnya dewe hihihi. Mana mau dia ngikuti denah untuk membuat tatakan gelas. ( Aku biasanya membiarkan saja dia ikut keinginannya. Yang penting di sekolah harus ikut peraturan… gitu aja hihihi)
Dan seperti biasa, toko yang tadinya kosong tiba-tiba jadi banyak tamu datang dan menyibukkan penjaga toko (gara-gara kamu sih mel hihihi). Jadi kami cepat-cepat pamit setelah menghirup teh sajian penjaga toko. Begitu keluar toko, kami melihat ternyata tempat itu dulunya merupakan tempat perhentian iring-iringan daimyo (tuan tanah) daimyo gyouretsu, sehingga menjadi tempat yang bersejarah. Jaman Edo dulu, para tuan tanah diwajibkan untuk berkumpul di pusat kota (kalau tidak salah dua kali setahun …musti liat catatan dulu) sehingga iring-iringan tuan tanah ini pasti akan terlihat. Peraturan yang dinamakan sankin kotai ini merupakan kebijakan pemerintah Tokugawa untuk menjaga keutuhan negeri. Karena jika tuan tanah pergi ke pusat kota, berarti dia tidak berkesempatan membangun kekuatan militer di daerahnya. Ini bagus untuk keamanan (tapi berdampak buruk untuk perekonomian). Well, I should stop here, karena kalau aku lanjutkan tentang sejarah Jepang ini, pembaca TE kabur semua. Nanti aku bahas di tulisan yang lain saja.
Kerajinan Tangan Tradisional Jepang memang berkualitas tinggi, karena dijaga turun temurun, dan mutunya tidak dipengaruhi komersialisasi. Ini juga bisa terjaga karena adanya pengakuan dari pemerintah Jepangnya sendiri, selain dari kesadaran masyarakat Jepang untuk membeli produk dalam negeri.
(ssst judul postingan kali ini royaltinya Koelit Ketjil nih hihihi. Dan satu lagi…. ini merupakan posting ke 700 loh …. horeeeee)
Sesuai permintaan Nana, ini foto hasil karya Riku: