Suteki 素敵 adalah bahasa Jepangnya untuk sesuatu yang bagus, menarik, cakap, cantik, splendid, wonderful…. apa saja deh yang bagus-bagus. Jadi bisa saja katakan baju Anda suteki, atau sutekina hito (orang yang menarik). Tapi jika kata yang sama mendapatkan pemajangan di suku kata te menjadi sute–ki ステーキ maka ini adalah pelafalan untuk bahasa Inggris STEAK.
Hari Jumat yang lalu, aku masih sempat mengantarkan Kai ke acara Mochitzuki, 餅つき membuat kue mochi, yang merupakan kegiatan tahun TK tempat Kai sekolah. Giliran kelas Kai jam 10:15 dan selesai kira-kira jam 11 (rencananya). Semestinya Gen yang mengantar Kai, karena aku ada kuliah. Tapi karena dia harus mengantarkan mobil untuk pemeriksaan tahunan shaken 車検, maka aku harus menunggu Gen datang baru bisa ke univ. Untung aku sudah memberitahukan ke tiga muridku untuk mengerjakan tugas yang memang sudah kubagikan minggu yang lalu.
Sambil menunggu kue mochi diberi rasa, dicampur kacang tumbuk dsb nya, aku bercakap-cakap dengan ibu N, ibu dari teman Kai, yang boleh dibilang mamatomo, teman antar ortu murid yang paling akrab denganku. Aku berkata bahwa aku mesti cepat-cepat pergi mengajar dan sedang menunggu suami untuk tukar tempat. Sambil aku juga berkata bahwa ternyata aku tidak punya no HP atau emailnya. Dia juga bilang, “Iya aku selalu lupa menanyakan ya”. Setelah bertukaran nomor HP, baru dia bilang, “Mmmm sebetulnya aku tidak enak, tapi ini kartu nama saya….” Dan kubaca di kartu namanya, dia adalah pemilik toko, sebuah restoran yang bernama Texas Steak. Dan ternyata tempat itu sering kulewati setiap hari kamis. Restoran yang terletak sebelah toko buku. Sering kok aku berdiri di depannya, bingung antara mau coba masuk, tapi kok sendirian ya makan steak hehehe. Lagipula selalu waktunya aneh, bukan jam makan siang, karena biasanya aku di sana sekitar jam 3 siang. Eeeeeh ternyata itu restoran dia! Kalau tahu begitu kan aku bisa sering-sering mampir ke sana. Dan dia memberikan aku kartu diskon, khusus karyawan.
Jadi, hari Minggu kemarin karena aku seharian di gereja (acara natalannya selesai jam 1 jeh), aku dan anak-anak makan di luar, cepat-cepat. Karena tadinya Gen akan menyusul kami setelah dia pergi ke pemilihan gubernur Tokyo dan parlemen. Tapi rencana kami untuk pergi jalan-jalan batal…. masing-masing malas untuk keluar lagi, padahal cuaca amat sangat bersahabat. Cerah dan hangat!
Karena aku malas masak makan malam, Gen juga mau pergi makan di luar, jadi dia mengajak kami makan ramen. Tapi aku teringat Ibu N, temanku yang cantik dan terlihat pintar itu. Dan aku mengajak pergi coba makan steak di tempatnya. Meskipun kemungkinan dia tidak ada, aku bisa ambil foto dan memberitahukannya bahwa kami sudah pergi coba. Ternyata… dia ada, dan menyambut kami dengan senyumannya yang khas. Kami pun memesan steak yang ditawarkannya, dan ternyata yang paling enak steak pesanan Gen yang dibakar dengan cara medium rare…. masih setengah mentah gitu hehhee. Empuuuk dan yummy.
Sambil ingat Kang Yayat, aku memotret masakan yang ada, meskipun tidak ingat lagi pointers dalam memotret makanan 😀 Asal foto saja pakai kamera G12 dan iPhoneku. Maaf ya kalau yang membaca ini jadi ngiler hehehe. (Padahal katanya harga daging di Indonesia sedang naik ya?).
Kami memang jarang makan daging sapi karena mahal. Biasanya ayam atau ikan saja di rumah. Atau kalau sempat beli daging halal (meskipun aku bukan muslim) potongan atau giling yang murah meriah 😀 Daging sapi Jepang apalagi wagyu muahal bo…. Tidak mampu kami untuk beli wagyu 🙂
Tapi memang kalau makan daging, badan menjadi hangat dan bisa bertahan menghadapi angin dingin malam di musim dingin. Kami pulang dengan perut kenyang, meskipun aku masih menyesal tidak sempat berfoto dengan Ibu N, penjual sute–ki yang suteki itu ;). Tapi kami sempat berjanji untuk bertemu dan mengadakan pesta tahun baru.
Bukan nama partai politik atau organisasi deh pokoknya. Cuma LPF ini adalah “pelajaran” baru yang kudapatkan hari ini. Singkatan dari Low Pass Filtering. Mau tau isinya apa? Silakan baca wikipedia di sini yah. Soalnya aku juga tidak ngerti hihihi.
Jadi ceritanya kamera DSLR Nikon D-80 kami (yang lungsuran dari bapak mertua) itu ternyata kemasukan kotoran di lensa bagian dalamnya. Aku sadarnya waktu aku bawa ke Jakarta waktu mama meninggal Februari lalu. Setiap memotret pasti ada titik noktah hitam yang tidak bisa hilang meskipun sudah diganti lensa atau dibersihkan lensa luarnya. Hmmm pasti butuh servis nih. Apalagi waktu aku pakai untuk memotret sakura di Taman Inokashira waktu itu, kehadiran noktah itu amat sangat mengganggu. Sayang keindahan sakuranya jadi berkurang banyak, meskipun sudah aku usahakan hapus dengan photoshop.
Waktu kutanya bapak mertuaku, ternyata memang sering terjadi seperti itu, dan tinggal bawa saja ke service center Nikon, yang ada di Ginza atau di Shinjuku. Karena rumahku lebih dekat ke Shinjuku, pagi tadi kubawa kamera itu ke Nikon Plaza di Gedung L Tower, Shinjuku. Aku beritahukan masalahnya, dan oleh petugas aku diberi kertas order servis dan bisa diambil pada jam 1 (waktu itu pukul 11:30). Wah cepat juga. Dan tertulis biayanya 1500 yen (150.000). Murah! Aku sudah takut saja kalau biayanya mahal.
Sambil menunggu servis selesai, aku janjian makan siang dengan Tina adikku dan temannya, di sebuah restoran Indonesia di Shinjuku. Bukan di restoran Jembatan Merah, tapi di restoran Bali Lax. Hmm aku baru pertama kali ke sini. Oleh Tina disarankan ke sini karena semua lunch menu setnya seharga 980 yen dan sudah termasuk salad bar, minuman, dessert dan sup. Tina sukanya karena bisa makan sayur sebanyak-banyaknya di sini. Well memang sih salad pumpkin yang digiling dengan cream cheese nya enak!
Kami memesan Nasi Campur, yang terdiri dari sate daging, ayam bumbu, bakmi goreng, acar, kerupuk dan ikan goreng tepung. Semuanya jumlahnya sedikit (untung juga karena pasti tidak habis). Supnya sup thailand semacam Tom Yan. Dessertnya irisan orange, nanas dan coktail buah. Ada kopi dan teh juga (Aku tak tanya kopinya kopi apa. Tapi yah kalau menurutku rasa masakannya jauh dari masakan Indonesia, meskipu mungkin cocok untuk lidah orang Jepang. Tapiiii di sini suasananya bagus. Ada kolam-kolaman dengan hiasan-hiasan Bali. Di pintu luar tertulis sih kalau dinner, setiap orang dicharge 525 yen selain pesanan makanan dan minuman.
Salah dua yang menarik adalah penulisan Nasi Campur dalam alfabeth yang aneh! Padahal tulisan dalam katakananya sudah benar Nashi camupuru, eeeeeh kok alfabethnya jadi Nasi Thanpuru 😀 Selain itu koki dalam bahasa Inggrisnya menjadi shef. Lucu jadinya. Yang lainnya adalah sebuah “sayur” yang baru kukenal. Namanya Romanesco. Cuma kok kelihatan grotesque ya?
Setelah makan (salada sebanyak-banyaknya) dan bercakap-cakap, Tina dan temannya harus kembali ngantor dan aku juga harus mengambil kameraku. Nah baru saat aku mengambil kembali kameraku itu aku membaca di papan digital bahwa Low-pass itu memakan waktu 1 jam. Ya pembersihan lensa dalam itu dengan cara yang diberi nama Low Pass. Sebetulnya bisa sendiri, karena waktu aku googling ketemu caranya di Youtube ini. Tapi kok aku takut coba-coba (awalnya juga tidak tahu sih) padahal kalau bisa sendiri, kan tidak usah keluar 1500 yen. But still leave it to the pro’s. Lebih afdol a.k.a lebih mantap! Betul kan?
Sudah tahu kan bahwa rumahku (tepatnya apartemen) di Jepang itu keciiiil sekali. Sampai papaku mengatakan rumahku adalah rumah kelinci! Kami berempat sekeluarga saja rasanya sudah sempiiit sekali. Untung cuma 4 orang, gimana kalau tambah lagi. No way!
Nah, tanggal 2 Agustus setelah capek bermain di Kidzania (tgl 1 Agustus 2011), aku ingin menemui Mamanya Little O atau Bundosar a.k.a Iyha. Tadinya mau berkunjung pagi-pagi, tapi tiba-tiba papa mama minta diantar ke Lebak Bulus. Jadi aku antar papa dan mama dulu menyelesaikan urusannya. Senang juga bisa melakukan sesuatu untuk kedua orang tuaku itu. Dan waktu pulang lewat jalan arteri Pondok Indah, papa langsung bilang, “Kamu kan udah lama tidak makan di Jun Njan mel… kita mampir situ yuuk” hehehe padahal papa aja tuh yang mau mampir.
Jadi mampir deh di situ dan seperti biasa kami cuma memesan udang rebus, kepiting saus padang dan roti mantau, tanpa makan nasi. Kami memang jarang makan nasi sih. Rasa masakan Jun Njan (pusat di Batu Ceper) nya masih enak seperti dulu, dan udang rebus itu membangkitkan kenangan jaman baheula. Ya dulu yang paling cepat mengupas udang rebus itu aku, jadi biasanya di piring aku dan papa yang paling banyak kulit udangnya. Tidak semuanya aku makan, karena aku cepat menguliti jadi aku menguliti untuk anggota keluarga yang lain. Mereka tinggal cocol ke sambel dan makan. Enak kan tinggal makan hehehe. Aku bisa masuk MURI untuk menguliti udang rebus deh sepertinya hahaha.
Nah setelah makan siang yang sudah laat itulah (sekitar jam 3), aku mengantar papa dan mama pulang, baru pergi ke rumahnya Iyha. Dan di sini aku benar-benar diuji kesabarannya oleh supirku hehehe. Memang sih dia belum tahu bahwa ada jalan memotong dari belakang rumahku untuk keluar ke arteri Pondok Indah. Kupikir dia tahu, jadi aku cuma kasih petunjuk ke arah kebayoran lama! RS Medika. Jadi deh aku dibawa muter-muter ke gandaria dulu, lalu masuk ke jalanan yang tadi kami lewati 😀 Mana macet lagi doooh. Seperti mau ke Singapore tapi lewat surabaya dulu 😀 Jadi yang mustinya 20 menit, butuh 1 jam deh.
Well, yang penting akhirnya aku sampai di kantornya Iyha. Begitu turun, tanya tanya, dan diberitahu bahwa Non Triana sudah pulang ke rumah. Tapi rumahnya deket kok. persis di gang sebelahan kantor itu. Ya sudah aku jalan ke situ. Kai tertidur di mobil, jadi aku biarkan dia tidur di mobil saja. Gebleknya aku tidak tanya rumahnya Mbak Triana ini nomor berapa. Jadi deh aku menyusuri jalan itu, sambil melongok-longok, kira-kira yang mana ya rumahnya. Oh ya pas jalan begitu juga ada yang lucu! Ada orang naik kuda datang ke arahku ….waaaah sayang Riku dan Kai tidak ada bersamaku. Kalau ada pasti heboh deh 😀
Nah pas aku bengong begitu si Mbak Triananya datang menggendong Osar. Langsunglah aku tahu bahwa itu si Iyha. Dan kami masuk rumahnya, yang disebut oleh mbak Triana sebagai rumah marmut. Dan aku bisa bermain dengan marmut baby Little O yang cute sekali. Untung sekali baby O tidak rewel padahal dia baru pulang dari “penitipan”. Langsung foto-foto dan tak lama aku pun pamit. Soalnya aku meninggalkan Kai di mobil, dan tahu juga bahwa Iyha kan harus menyiapkan buka untuk suaminya yang pulang jam 5. Ya tak lama setelah suaminya pulang, aku mohon diri.
Tak kusangka rumah Iyha sedekat itu. Kalau tau dari dulu kan bisa sering-sering ajak Little O bermain ke rumahku. Jadi begitulah, tanggal 2 Agustus pun aku bisa mengadakan kopdar dengan seorang blogger (Iyha) dan calon blogger (Little O).
Rumah itu hanyalah benda mati, dia bisa hangat jika penghuninya juga hangat hatinya. Dan aku senang bisa bertemu langsung dengan Ihya, si penghuni rumah yang hangat itu. Terima kasih untuk pelukanmu Iyha, really appreciate your hug!
Tulisan kunjunganku kopdar dengan Iyha juga bisa dibaca di
Dompet! hahaha. Ya lazimnya sih turun ke hati. Melihat sesuatu lalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kadang aku berpikir, sebetulnya stop saja sampai di situ. Karena tidak bisa dipastikan pandangan kedua, akan sebagus pandangan pertama. Chancenya fifty-fifty, bisa jadi pandangan kedua akan membuatmu benci pada sesuatu itu 😀 Tapi memang betul juga bahwa kita harus berani mengambil kesempatan ke dua itu, supaya yakin seyakin-yakinnya apakah memang tepat pilihan kita itu.
Sebelum aku mengadakan kopdar Jumat (29 Juli) dan Sabtu (30 Juli), hari Kamis 28 Juli aku sempat bertemu dengan 2 orang temanku. Satu teman SMA, Wida di food court PIM. Sambil makan sate padang untuk lunch (menu utama selama mudik nih), kami bercerita ngalor ngidul. Tentang teman-teman, anak-anak yang sudah semakin besar dan kesehatan mereka, kemacetan jakarta, juga tentang “mengalah tidak bekerja demi anak-anak”. Yah, biasalah pembicaraan emak-emak.
Sesudah dari PIM, aku mampir ke rumah sepupuku yang baru melahirkan, juga di Pondok Indah. Tadinya sempat menelepon bu Enny, tapi jadwalnya kurang bagus. Jadi sesudah dari daerah Pondok Indah, di perjalanan pulang, kebetulan saja aku membaca message di Inbox FB dari Elizabeth Novianti, seorang pembaca setia Twilight Express yang minta no HP dan pin BB. Dari message itu kemudian berkembang menjadi pertemuan hari itu juga. Langsung pak supir kuminta ke daerah Blok M untuk menjemput Novi (namanya persis nama adikku hihihi) di kantornya. Aku memang sering impulsif sih, menuruti kata hati saat itu. 😀
Nah, kebetulan aku ingin mencoba restoran Meradelima, yang pernah kudengar namanya. Letaknya persis diagonal dengan kantor Novi, dan menurut Novi memang enak. OK jadilah aku mengajak Novi ke sana untuk menemaniku.
Karena waktu kunjungan yang aneh, jam 5 sore, tentu restoran itu masih kosong. Kami menjadi tamu pertama di situ, dan kami diantar ke salah satu meja di lantai satu. Well, aku langsung tertarik dengan tata ruang dan interior restoran ini yang bagus, dan cozy. Memang bangunannya sendiri seperti bangunan rumah biasa, jaman kolonial yang dimanfaatkan menjadi restoran. Ada beberapa “kamar private” untuk 6 – 12 orang yang apik.
Tentu saja aku ingin memotret banyak. Karenanya aku tanya pada pak iforgethisname, apakah boleh memotret. Bukan saja boleh, malah bapak itu mengantar kami tour de restaurant, dari lantai 1 sampai lantai 2, dan menawarkan untuk memotret kami! Wah…senangnya. Itulah keuntungan menjadi tamu pertama 😀
Seluruh interior memang mengambil interior Cina yang dipadukan dengan bangunan kolonial. Ada satu teras di atas yang ditutup dengan kaca, sehingga kita bisa makan sambil melihat pemandangan jalanan di luar, tapi tidak usah takut kepanasan. “Ini pasti panas kalau siang ya pak? Kan ada efek rumah kacanya”. Menurut dia sih tidak panas, karena teras yang untuk 6 orang itu dipasang AC khusus.
Selesai berfoto di atas, kami turun ke lantai 1 lagi, dan keluar pintu untuk berfoto di pintu masuknya. Ada satu hal yang aku perhatikan, mereka tidak mempunyai papan nama yang cukup besar/terbaca di pintu masuk. Jadi meskipun kami berfoto di depan pintu masuk, orang-orang tidak langsung tahu kami berada di mana. Sedangkan di Jepang, hampir semua toko mempunyai papan nama di pintu masuk. Ini pun bagian dari promosi kan?
Akhirnya kami masuk kembali dan duduk di tempat kami dan menunggu pesanan kami datang. Sambil bercakap-cakap, aku mengatakan pada Novi bahwa tempat ini cocoknya untuk pacaran 😀 dengan suasana mewah tapi santai (dan disetujui Novi hihihi) .
Karena aku masih kenyang, kami berdua memesan appetizer cakwe isi, Bakmi siram (seperti Ifumi) dan sate daging manis. Pesanan kami ini enak, dan ditambah semacam es teler semuanya sekitar 220 ribuan. Kupikir lumayan karena biasanya budget makan di luar perorang sekitar 100 ribu rupiah.
Jadi, aku ingin sekali mengajak papa dan mama datang kembali ke sini. Nah, di sini aku melakukan kesalahan. Papa waktu kuajak memang sedang flu, dan mau makan sesuatu yang panas-panas. Tadinya dia mengajak makan soto kudus, tapi karena kita cuma bertiga, tanpa anak-anak, maka kuajak ke restoran Meradelima ini. Restoran ini memang TIDAK COCOK untuk keluarga dengan anak kecil apalagi balita yang bisa berlarian di salam….duh mengerikan membayangkan anak-anak itu meraba-raba koleksinya antiknya 😀 Memang tepat kategorinya : Fine Dining.
Jadi waktu aku datang bertiga dengan papa dan mama, aku memesan Sup Buntut, ayam kodok, wedang jahe dan jus sirsak. Sup buntutnya disajikan dalam wajan berapi yang tahan lama sehingga tetap panas, sampai titik sup terakhir. Salut deh. Ayam kodok yang menjadi favorit disajikan dengan “kepala ayam” sebagai penghias. Aku ingat dulu memang mama sering membuat ayam kodok. Rasanya seperti rolade ayam, daging ayam dihaluskan menjadi seperti steak ayam dengan saus tomat dan sayuran. Memang membangkitkan kenangan lama, tapi entah aku yang tidak lapar, rasanya kok kurang maknyus. Akibatnya kami menghabiskan sup buntut saja dan membawa pulang ayam kodok yang masih banyak sisanya. Dan… aku kaget waktu harus membayar karena untuk bertiga saja (dan pesanan yang begitu) aku harus membayar 700 ribu lebih. Hmmm overprice (istilahnya adikku)? Mungkin tidak juga, tapi cukup membuatku tertegun. (7000 yen di Jepang bertiga sudah bisa makan siang, french cuisine yang enak lengkap dengan dessert dan coffee)
Waktu makan bersama papa dan mama, memang tamu yang di sana adalah orang asing semua menempati 3 meja. Konon restoran ini terkenal di kalangan expat dan tamu asing. Memang suasananya enak, nyaman. Interior yang mewah, bersih sampai ke WC nya bagus. Pelayanannya bagus, dengan pelayan yang berseragam merah hitam. Jika punya tamu orang asing, ingin menjamu dengan maksimum memang inilah tempatnya. Atau mau membeli suasana. Tapi kalau mencari sup buntut enak atau soto-sotoan yang enak, bukan di sini tempatnya. Inilah yang kumaksud dengan dari mata turun ke dompet hehehe.
Tampak luar waktu kami pulang sekitar pukul setengah tujuh malam. Romantis ya
Judul yang aneh karena biasanya orang tidak memancing di musim gugur. Tapi di hari libur “Hari Pekerja” tgl 23 November ini, deMiyashita memancing daun dan …ikan!
Seperti biasa, Riku bangun pagi, jam 6 kurang. Karena aku sempat terbangun dini hari untuk 3 jam, maka aku masih tidur ketika dia membangunkan aku, “Ma, aku boleh masak Omuraisu (semacam nasi goreng yang dilapisi telur dadar) ?” Rupanya dia kelaparan.
“Boleh saja, tapi hati-hati dengan api ya….”
Tadinya aku mau tetap tidur, tapi rasanya kok khawatir juga membiarkan dia masak sendiri. Akhirnya aku bangun, hanya untuk mengawasi pemakaian api, dan…. memotret! Memang ini bukan yang pertama kali dia mencoba memasak, tapi pertama kali dia mengerjakan semua, sejak mengocok telur sampai menggoreng dan membuat nasi gorengnya. Nasi gorengnya tentu ala Riku, yang gampang, hanya nasi diberi saus tomat dan sedikit garam/lada. Dia sendiri tidak begitu suka daging, sehingga tidak pakai daging (kalau aku pasti masukkan ayam/daging giling/susis…apa saja).
Gayanya sih sudah seperti Chef beneran. Dua wajan dipakai! hahaha. Dan hasilnya lumayan enak loh. Telurnya empuk dan manis …fuwafuwa ふわふわ, karena diberi susu. Buktinya satu piring penuh dia habiskan sendiri hihihi (biasanya kalau aku bikin cuma makan setengahnya)
Nah, kemudian satu persatu penghuni apartemen kami bangun. Di luar hujan rintik terus menerus. Jadi aku tidak bisa mencuci baju. Kami melewatkan pagi itu dengan menonton tivi dan aku membersihkan ruangan.
Tapi setelah pukul 11, hujan berhenti dan hangat! Sejak hari Minggu udara dingin, jadi waktu udara menjadi hangat begini, rasanya ingin keluar rumah. Akhirnya Riku minta papanya untuk ke taman, dimana dia bisa berlari sepenuh hati. Dia sendiri yang menyarankan kami pergi ke Tokorozawa Aviation Park di Saitama. Dia tahu di sana terdapat lapangan yang luas, dan ada tempat bermain untuk anak-anak.
Yosh! Kami berangkat pukul 1:30 siang. Langsung lewat toll ke arah Tokorozawa. Dan menjelang masuk parkiran Taman itu terpaksa harus antri cukup lama. Karena macet dan rupanya cukup banyak orang yang memanfaatkan cerahnya hari dengan berjalan-jalan ke Taman ini. Waktu masuk aku sempat kaget juga membaca bahwa ongkos parkir di situ gratis untuk 2 jam pertama, dan setiap jam berikutnya HANYA 100 yen. Weks, mana ada semurah ini di Tokyo? Rasanya ingin pindah ke Saitama aja deh.
Sementara Gen antri parkir, aku dan anak-anak turun duluan. Dan kami disambut dengan pemandangan musim gugur yang indah! Lapangan luas dengan pohon-pohon yang sudah mulai berubah warna. Banyak keluarga datang dan bermain di sini. Benar-benar pemandangan yang mengundang kita untuk berlari dan …tiduran di atas hamparan permadani daun emas!
Setelah Gen bergabung, aku mendapatkan kesempatan untuk NARSIS hehehe. Untung saja suamiku ini mau melayani permintaan istrinya yang juga mau memamerkan buku sahabatnya, Mas Nug yang baru diterbitkan. Mata Hati adalah buku foto+puisi yang mengajak kita berkeliling dunia, menikmati pemandangan dan hal-hal sepele yang tertangkap oleh mata-hati seorang lawyer kondang (yang berminat mendapatkannya silakan baca di sini) . Kalau tidak khawatir nasib anak-anak dan sungkan pada Gen, pasti bisa berjam-jam deh berfoto di sini… tentu saja dengan berbagai pose hehehe.
Memang kami tidak bisa mengelilingi Taman seluas ini semuanya. Bayangkan taman ini dulu merupakan bandara pertama di Jepang! Luasnya 11 kali Tokyo Dome, yaitu sekitar 47 ha. Sebuah taman yang bersejarah, yang bisa digunakan oleh semua warga dengan gratis. Tentu saja harus bayar jika ingin menggunakan lapangan tenis atau melakukan kegiatan khusus lainnya. Tapi kalau hanya untuk berjalan-jalan, jogging atau bermain di tempat anak-anak, bahkan piknik….semuanya gratis. Mau murah tinggal naik sepeda (kalau mobil kan bayar parkir). Ada juga sih museum pesawatnya, tapi untuk masuk museum harus bayar 500 yen untuk dewasa.
Riku dan Kai menikmati taman dengan bermain, berlari, memungut dahan, main perosotan (Kai takut-takut sih), kemudian ada pula jungle jim. Sementara mama Imelda memotret daun Momiji (maple) yang berubah warna oranye dan merah. Indah!
Puas bermain, kami mencari makanan kecil dan minuman hangat. Ada sebuah kantin di sana, dan kami membeli yakisoba (mie goreng jepang), takoyaki (octopus ball), potato fries dan frankfurt (susis). Bener-bener junk food deh hehehe.
Waktu mau kembali ke parkiran itulah kami mmapir ke museum dengan niat untuk masuk. Tapi karena sudah jam 4:30, tidak bisa beli karcis lagi (Museum tutup jam 5, dan 30 menit sebelumnya tiket tidak dijual). Akhirnya kami berjalan pulang setelah melihat toko souvenirnya saja (tanpa beli apa-apa) dan waktu itu pun sudah mulai gelap.
Kami juga melewati gedung pertunjukan MUSE, sebuah tempat untuk konser dan hall serba guna. Katanya Universitasnya Gen juga sering menyewa tempat ini untuk upacara penerimaan mahasiswa baru. Kalau malam indah karena diterangi oleh lampu-lampu, baik di gedungnya maupun di taman bagian dalamnya.
Bingung memilih tempat makan malam, Gen mengajak kami pergi ke sebuah restoran yang unik. Namanya ZAUO. Dia pernah ke sana dengan dosen-dosen universitasnya dan berniat mengajak kami juga. Cukup mahal memang, tapi bulan ini memang kami tidak pergi ke mana-mana, jadi kami memutuskan menikmati restoran ini.
Riku tidak tahu tentang rencana kami ke restoran ini, sehingga begitu kami masuk, dia langsung teriak kegirangan. Betapa tidak, begitu kami masuk langsung melihat sebuah kapal di atas kolam dan beberapa anak-anak memancing. “Aku mau mancing…aku mau mancing!”
Kami mendapat tempat duduk di atas kapal karena kamar-kamar kecil sudah penuh dipesan orang lain. Kalau di kamar kecil itu, memancingnya dari jendela kamar yang terbuat dari kaca yang bisa melihat langsung ikan berenang. Ya seperti memancing di akuarium deh.
Tapi justru dengan duduk di atas kapal itu, kami bisa bebas memancing kemana-mana. Sayangnya di sisi kapal dekat meja kami jarang sekali ikannya.
Kami memesan dua kail+ umpan. Semua ikan yang kami pancing harus dimakan atau dibawa pulang, tidak boleh dilepas lagi. Lagipula ada daftar harganya. Jika tidak memancing misalnya untuk seekor kakap harganya 3200 yen, tapi kalau memancing sendiri “cuma” 2300 yen. Tapi ya memang untung-untungan, karena cukup lama untuk bisa menangkap seekor ikan. Kelihatannya ikan-ikannya juga sudah pinter, tidak mau makan umpan biarpun sudah di depan hidung.
Setelah 20 menitan muter-muter cari tempat yang enak, akhirnya Riku berhasil memancing satu ikan kakap. Wah betapa girangnya dia. Lumayan besar loh ikan itu. Dan ikan tangkapan Riku yang pertama, kami minta untuk dibuat IKEZUKURI, atau sashimi (arti harafiah dari ikezukuri adalah memotong ikan dalam keadaan hidup. Jika ikan jenis “aji” dia masih bisa megap-megap meskipun dagingnya sudah “dicincang”. Tapi ikan kakap ini tidak, meskipun pada bagian sirip punggung masih bergerak meskipun sudah cukup lama bertengger di atas meja).
Karena Riku sudah mendapat satu ikan besar, Gen meminta aku memancing di tempat ikan “Aji“, ikan kecil dan murah (680 yen) yang juga enak dibuat sashimi. TAPI ikan Ajinya itu ditaruh dalam satu kolam bersama ikan Hirame (ikan sebelah) yang harganya muahal (3480 yen). Nah, maksud hati mancing yang murah, eeeh yang makan umpan aku justru si Hirame ini. Sial! hahaha. Karena ikan sebelah ini tipis, maka kami minta untuk digoreng.
Kembali ke meja kami, tahu-tahu Riku berteriak…”Aku dapat ikan lagi”… ya, dia tangkap ikan Kakap lagi! Aku cepat-cepat ambil jala untuk menadah ikan tersebut. Wahhh 3 ikan yang besar, gimana abisinnya nih? Untung kami suka ikan, jadi ikan Kakap nya Riku yang kedua kami minta untuk dibakar dengan garam saja. Yang paling sederhana….dan paling enak kalau menurut aku. Kalau kebanyakan masakan Indonesia kan ikannya digoreng, tapi aku paling suka ikan dibakar tanpa bumbu apa-apa, hanya garam. Dan kamu bisa tahu segar tidaknya, enak tidaknya seekor ikan. Back to nature deh.
Sebetulnya Riku masih mau memancing, tapi kami larang. Karena 3 ikan saja sudah 10.000 yen! mahal hihihi. Dan sambil makan dia ngomong terus,
“Papa terima kasih ya hari ini aku senang sekali. Bayangin aku bisa pancing dua ikan! duh aku mau tulis di catatan harianku soal hari ini….”
“Papa janji ya untuk ajak lagi ke sini, Aku suka sekali restoran ini…”
“Papa, nanti kalau aku ulang tahun, mau buat pesti di sini saja…”
“Aku mau part time job di restoran ini deh, jadi bisa mancing terus-terusan”
“Papa, aku kalau besar mau jadi Nelayan aja ah…asyiknya bisa tangkap ikan setiap hari”
…. dan kami berdua meredakan kegembiraan dia dengan berkata, “Iya kalau ada rejeki”,
“Kamu bisa memancing untuk hobi buat sebagai matapencaharian”,
“Kamu belum tahu susahnya mancing di laut. Ikannya besar-besar, perlu tenaga besar”,
“Iya nanti minta ajak Pak Eto, dia ahli memancing ikan. Kamu ikut aja sama dia biar tahu sebenarnya bagaimana”.
Tapi terus terang kami juga senang Riku menemukan kegemaran baru, meskipun mungkin tidak berlanjut lama.
Pemandangan indah, pengalaman baru, makan enak, tertawa bersama. Satu hari yang indah yang kami lewatkan bersama, sambil menikmati bulan November yang hampir habis.
Semenjak tinggal di Tokyo, aku mengetahui bahwa kadar kelembaban udara itu jauuuh lebih penting daripada suhu udara. Pada musim dingin memang otomatis kelembaban turun, seamikin rendah kadar kelembaban udara menjadi kering dan…dingin. Belum lagi kemungkinan terjadi kebakaran yang amat tinggi jika kelembaban itu rendah. Biasanya kelembaban musim dingin berkisar 20-30 derajat.
Pada musim panas, kelembaban akan tinggi dan ini yang menyebabkan kita hidup dalam sauna. Uap-uap air bergentayangan di udara, membuat kita juga susah nafas (aku benci sauna!). Dan di Hongkong ini kelembabannya bisa mencapai 100 persen. Tahunya bagaimana? Tentu saja ada pengukur kelembaban, dan yang pasti Kimiyo, adikku itu punya alat dehumidifier, alat yang menyerap kandungan uap air di udara, dan biasanya dalam waktu setengah hari saja penampungan airnya penuh dan harus dibuang.
Karena apartemen Kim tidak memperbolehkan menjemur baju di jendela luar, maka baju akan dijemur di dalam kamar yang terkena sinar matahari langsung dan setiap malam dipasang alat pengering udara dan AC. Memang di Jepang pun apartemen mewah mengharapkan baju-baju dikeringkan bukan secara alami, tapi memakai mesi pengering baju. Akibatnya apartemen Kim yang memang sudah bagus karena mewah itu juga sedap dipandang karena tidak ada baju-baju melambai-lambai di jendela. Lain sekali dengan kebanyakan apartemen di Hongkong. Pemandangan jemuran baju seakan sudah harus kita terima sebagai bagian dari paket wisata.
Satu hal juga yang membuat aku bengong di Hongkong, adalah begitu padatnya kota dengan bangunan apartemen yang kecil tapi tinggi sekali. Aku rasa minimum 20 tingkat tuh. Laksana batang pencil yang ditancapkan pada tanah. Hongkong amat tidak cocok untukku, yang phobia ketinggian. Meskipun aku tahu pemandangan pada malam hari dari ketinggian itu bagus sekali. Hongkong by night! Tapi… itu kalau tidak terhalang bangunan lain yang juga sama tingginya hehehe.
Malam pertama kami tiba di Hongkong, kami tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk mencari restoran di dalam kota. Kim memang mengajak aku pergi makan ke luar, tapi itu berarti kami harus pergi naik bus lagi. Wah aku tidak yakin Kai bisa tahan tidak tidur dalam perjalanan. Dan aku tidak mau menggendong Kai selama perjalanan. Sayang badan(ku).
Delivery saja! pikirku. Tapi ternyata Kim punya alternatif lebih bagus, yaitu pergi ke restoran dalam apartemennya. What? Dalam apartemen itu ada restoran? Dan ternyata memang ada restoran, ada kolam renang, ada ruang bermain anak-anak, ada perpustakaan dan sarana-sarana lain bagaikan hotel. Dan Riku-pun jatuh hati!
“Mama, aku mau tinggal seperti di apartemen ini…”
“Ngga bisa Riku, selain mahal, Papa Gen tidak suka”
Meskipun pekerjaannya berhubungan dengan perhotelan a.k.a hospitality, Gen paling tidak suka tinggal di hotel atau apartemen mirip hotel. Kalau untuk menginap sampai maksimum 1 minggu sih OK, tapi untuk hidup bertahun-tahun? No way.
“Bayangkan bentuk bangunan yang sama semua, pintunya sama. Apa kamu tidak takut salah mengetuk pintu? Kita bagaikan robot yang masuk kerangkeng yang bertuliskan nomor di atasnya. Belum lagi masalah sosialisasi antar penghuni apartemen. Ribet” Begitu katanya, waktu aku memberitahukannya bahwa ada sebuah kompleks mansion (apartemen) dengan 1000 unit kamar yang dibangun di kota sebelah kami. Kami memang sedang memikirkan pindah rumah, tapi tidak mau ke tempat yang seperti “hotel” yang disukai Riku.
Jadilah kami pergi ke restoran dalam apartemen yang benar-benar penuh! Ternyata banyak penghuni yang juga malas masak! Dan jumlah mereka tidak tanggung-tanggung deh. Setiap table paling sedikit 8 orang, bapak-ibu, opa-oma, anak-anak + baby sitter….. dan sssttt baby sitter itu berbahasa Jawa.
Kimiyo cerita bahwa banyak baby sitter yang berbahasa Indonesia yang tinggal bersama majikan mereka di apartemen itu. Dan begitu mereka mengetahui Kimiyo berbahasa Indonesia, mereka langsung akrab, dan kadang-kadang memberikan perhatian khusus untuk Ao, anak Kimiyo di taman, sementara Kim nya ngobrol ngalor-ngidul dengan temannya yang lain. Bahasa memang memberikan sentuhan keakraban yang lain dibandingkan dengan jika kita tidak tahu bahasanya.
Tak disangka setelah kembali dari restoran, Masa-san, suami Kim kembali dari kantor dan akhirnya kami melewatkan acara “kekeluargaan” dalam apartemen, termasuk membuat pertunjukan musik dari musician cilik. Yang satu menabuh drum, yang satu gitar, dan ukulele. Keakraban seperti ini akan selalu kami rindukan.
Sudah lama aku kagum dengan adanya kids menu di semua restoran di Jepang, mulai dari yang cepat saji, sampai pada restoran biasa. Pasti ada yang namanya Okosama Ranchi (Kids Lunch). Harganya terjangkau, ukurannya pas untuk anak-anak (biasanya setengah dari size orang dewasa), penyajian yang menarik dan biasanya disertai dengan satu jenis mainan yang bisa dipilih. Memang mainan murah tapi cukup untuk membuat anak-anak “duduk diam” di meja dan makan!
Aku pikir kenapa di restoran Indonesia (kalau restoran Jepang di Indonesia ada) tidak ada kids menu begini ya? Lalu aku membayangkan sebuah keluarga memasuki restoran di Indonesia. Bapak Ibu, anak-anak termasuk yang masihh balita, tapi…. ditambah lagi satu orang. Dialah sang baby sitter yang bertugas mengurus anak-anak termasuk menyuapi mereka (mungkin dengan makanan dari rumah) dan membuat mereka tidak mengganggu kedua orang tuanya makan (Meskipun mungkin mengganggu tamu yang lain dengan keributan mereka. Tak jarang terjadi “kecelakaan” karena sang anak berlari-lari dalam restoran tersebut). Jadi memang kids menu tidak perlu untuk keluarga itu.
Nah, di Jepang ngga ada yang namanya baby sitter. Jadi kalau mau ajak anak-anak sekeluarga, sang ibu juga harus mengurus permintaan sang anak. Mau pesan satu piring untuk si anak kebanyakan. Atau sang ibu harus merelakan tidak memilih makanan kesukaannya, dan memilih makanan yang bisa dimakan bersama anak-anaknya (yang tidak pedas, yang disukai anak-anak). Tapi setelah ada Kids Menu, dan anak-anak juga bisa makan sendiri, adanya Kids Menu ini sangat menolong. (Meskipun terkadang tidak dimakan)
Aku juga selalu memesan kids meal di penerbangan Jakarta- Tokyo p.p. baik dengan JAL atau SQ. Dan…. kids meal ini jauuuuh lebih enak dan menarik daripada meal untuk orang dewasa. Jadi aku selalu makan sisa dari Riku atau Kai, dan tidak menyentuh meal dewasa. Well, makanan dalam pesawat biasanya memang “kurang” enak (untuk kelas ekonomi loh, kalau kelas bisnis sih lain deh).
Jadi siapa tahu ada yang mau membuat restoran di Indonesia. Coba deh membuat Kids Menu sebagai salah satu pelayanan di restoran Anda! Kalau MacD bisa sukses dengan Happy Set nya, pasti kids menu juga akan dilirik keluarga yang makan di restoran biasa.
(kiri: kids lunch standar ada mainannya berupa kacamata, tengah: kids menu yang lebih mahal di restoran sushi, kanan: kids meal di dalam pesawat JAL)
NB: Aku selalu merasa kasihan dengan si baby sitter yang diajak ke restoran. Dia harus melihat majikannya makan sedangkan dia harus kerja mengurus anak. Masih mending kalau sesudah majikannya makan, dia pun diajak makan sebelum pulang. Mungkin malahan ngga pernah ditanya “Sudah makan belum mbak?”. Duh kapan ya perlakuan “feodal” ini bisa dihilangkan?
Semua orang pasti tahu apa itu tips. Meskipun banyak sebetulnya artinya, bisa berarti ujung, bisa berarti kiat/nasehat/info, tapi juga bisa berarti uang persenan/uang rokok/uang jajan.
Nah, sebelum saya menulis tentang tips di Jepang, baca dulu sebuah ilustrasi yang cukup “kena” di hati saya waktu saya membacanya.
Satu sore di sebuah mal, seorang anak berusia sekitar 8 tahun berlari kecil. Dengan baju agak ketinggalan mode, sandal jepit berlumur tanah, berbinar-binar senyumnya saat dia masuk ke sebuah counter es krim ternama.
Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia harus berjinjit di depan lemari kaca penyimpan es krim. Penampilannya yang agak lusuh jelas kontras dibanding lingkungan mal yg megah, mewah, indah dan harum.
“Mbak, Sunday cream berapa?” si bocah bertanya, sambil tetap berjinjit agar pramusaji dapat melihat sedikit kepalanya, yang rambutnya sudah lepek basah karena keringatnya berlari tadi.
“Sepuluh ribu!” yang ditanya menjawab.
Si bocah turun dari jinjitannya, lantas merogoh kantong celananya, menghitung recehan dan beberapa lembar ribuan lusuh miliknya.
Kemudian sigap cepat si bocah menjinjit lagi. “Mbak, kalo Plain cream yang itu berapa?”
Pramusaji mulai agak ketus, maklum di belakang pelanggan yang ingusan ini, masih banyak pelanggan “berduit” lain yang mengantri. “Sama aja, sepuluh ribu!” jawabnya.
Si bocah mulai menatap tangannya di atas kantong, seolah menebak berapa recehan dan ribuan yang tadi dimilikinya.
“Kalau banana split berapa, Mbak?”
“Delapan ribu!” ujar pramusaji itu sedikit menghardik tanpa senyum.
Berkembang kembali senyum si bocah, kali ini dengan binar mata bulatnya yang terlihat senang, “ya, itu aja Mbak, tolong 1 piring”. Kemudian si bocah menghitung kembali uangnya dan memberikan kepada pramusaji yang sepertinya sudah tak sabar itu.
Tidak lama kemudian sepiring banana split diberikan pada si bocah itu, dan pramusaji tidak lagi memikirkannya. Antrian pelanggan yang tampak lebih rapi dan berdandan trendi banyak sekali mengantri.
Detik berlalu menit, dan menit berlalu. Si bocah tak terlihat lagi dimejanya, Cuma bekas piringnya saja. Pramusaji tadi bergegas membersihkan sisa pelanggan lain. Termasuk piring bekas banana split bekas bocah tadi.
Bibirnya sedikit terbuka, matanya sedikit terbebalak. Ketika diangkatnya piring banana split bocah tadi, di baliknya ditemukan 2 recehan 500 rupiah dibungkus selembar seribuan.
Apakah ini?
Tips?
Terbungkus rapi sekali… rapi !
Terduduk si pramusaji tadi, di kursi bekas si bocah menghabiskan Banana splitnya. Ia tersadar, sebenarnya sang bocah tadi bisa saja Menikmati Plain Cream atau Sunday chocolate, tapi bocah itu mengorbankan keinginan pribadinya dengan maksud supaya bisa memberi tips kepada dirinya. Sisa penyesalan tersumbat di kerongkongannya. Disapu seluruh lantai dasar mall itu dengan matanya, tapi bocah itu tak tampak lagi.
Menyentuh bukan? Mengingatkan kita, yang bekerja di bidang jasa/pelayanan agar tidak memandang penampilan pembeli dengan apa yang terlihat saja.
Saya tidak tahu siapa sih yang memulai kebiasaan memberikan tips atau persenan kepada pelayan/petugas yang telah melayani kita. Memang tips merupakan salah satu penghargaan si “pelanggan” terhadap “service” yang diterimanya. Tapi tidak semua dapat diekspresikan dengan uang, bukan? Kata terima kasih dan pujian yang tulus, sebetulnya sudah cukup karena toh sebetulnya pembeli sudah membayar apa yang sudah dibelinya.
Persoalan memberikan tips ini juga sering membuat saya pusing. Berapa sih sepantasnya saya memberikan tips kepada pelayan, yang jangan sampai dia tersinggung karena terlalu sedikit misalnya. Karena sejak kecil saya memperhatikan waktu bapak saya membayar, saya melihat berapa yang dia berikan untuk tips pelayan sebuah restoran misalnya. Besarnya tergantung pula pada “level” restoran itu, apakah hanya ber”level” rumah makan, atau restoran mahal yang eksklusif. Yang paling sering saya lihat memang, meninggalkan kembalian dari jumlah yang dibayarkan. (Dari segi kepraktisan memang malas rasanya menerima kembalian, apalagi kalau banyak koin nya)
Karena bapak saya juga sering ke luar negeri, saya juga tahu bahwa di Amerika atau negara Eropa, ada kebiasaan memberikan tips sebesar 10% dari apa yang sudah kita bayarkan. Hitungan ini yang kemudian saya pakai jika pergi ke luar negeri. Tapi ternyata, setiap negara punya hitungan dan kebiasaannya sendiri.
Misalnya waktu saya pergi ke Melbourne, saya sempat dimarahi adik saya yang tinggal d situ waktu itu, karena memberikan tips 10% dari yang saya harus bayarkan di sebuah restoran Vietnam. Katanya, “kamu merusak tatanan perburuhan di sini”. Jadi? saya harus membayar tips berapa? Katanya cukup 2-3 dolar saja. Hmmm….
Yang menarik juga pengalaman waktu menyewa mobil di Munchen sekitar akhir tahun 2001. Sudah sejak dari Jepang saya menghubungi Mr some-german-name lewat internet. Minta dijemput di bandara Munchen, untuk menuju Hersching, rumah kediaman adik saya waktu itu. Saya memakai jasa Mr itu selama 3 hari karena dia bisa berbahasa Inggris, dan mempunyai mobil besar yang bisa mengangkut 7 orang + koper.
Nah, yang menarik waktu saya akan membayar dengan credit card. Di situ tertera juga kolom “tips” selain dari harga yang saya harus bayarkan. Saya tinggal menuliskan berapa yang saya mau beri, lalu jumlahkan dan tanda tangan. Ow, praktis sekali. Jadi saya tidak usah menyediakan uang kecil terpisah.
Tapi, untung juga saya sempat menanyakan di bagian informasi airport Changi, waktu saya mendarat di Singapore dan akan bermalam di hotel di sana. Saya tanyakan berapa saya harus bayar tips untuk supir taxi, dan berapa untuk petugas hotel. Kemudian kembali saya ditanya, “Madam, kamu akan menginap di hotel mana?”
“Raffles”
“THE Raffles??? (hei… I ‘m on honeymoon you know! jangan pasang muka aneh gitu dong) well, kamu tidak usah memberikan tips pada petugas di sana, karena semua service dia sudah termasuk dalam bill hotel. ”
“Untuk bell boy juga?”
“Ya, tidak usah….” uhhh gini deh kalo katrok.
Jadi memang akhirnya saya tidak memberikan apa-apa kepada petugas hotel yang bersorban dan gagah-gagah itu. Tapi tetap saja rasanya tidak “nyaman” jika tidak memberikan tips.
Memang saya perhatikan juga kebanyakan restoran besar di Jakarta sekarang sudah menambahkan sekian persen (5% rasanya) di dalam tagihan makanan khusus untuk service. Nah, kalau saya sudah melihat tulisan itu, enak deh, tidak usah memberikan tips lagi.
Tapi memang paling enak menjadi turis di Jepang. Semua restoran, hotel, pelayanan jasa … SEMUA TIDAK MENERIMA TIPS. Jangan sekali-kali mencoba memberikan tips kepada supir taxi, pelayan toko/restoran di Jepang, karena biasanya kamu akan malu sendiri. Mereka akan kembalikan, dan menjawab, service sudah termasuk dalam barang/jasa yang dibayarkan. Tidak usah bersusah payah menghitung-hitung berapa tips yang patut diberikan. Bayar sesuai tagihan saja. (Oh ya, kebanyakan restoran di Jepang kita yang harus membawa tagihan bill ke kasir dan membayar sebelum keluar restoran. Sedikit sekali yang mau menerima bayaran di meja. Kecuali hotel internasional)
Lalu apakah orang Jepang memang sama sekali tidak memberikan tips? Kata beberapa murid saya, tentu saja ada yang memberikan tips jika menginap di hotel ala jepang “ryokan” yang pelayanannya memang bagus sekali (dan biasanya memang mahal). Diberikannya langsung pada pemilik ryokan tersebut. Atau pelanggan pria yang menggunakan jasa “pub/snack” memberikan pada host “Mama-san” (pemilik night club). Dan biasanya tips itu juga cukup besar jumlahnya. Tapi untuk kita yang “turis biasa-biasa” tidak perlu memikirkan tips di Jepang.
Nah, karena di Jepang tidak ada kebiasaan memberikan tips, biasanya orang Jepang yang ke Indonesia juga terbawa kebiasaan itu, tidak memberikan tips pada pelayanan yang diterima di tempat wisata/restoran di Indonesia. Sehingga terkenallah, “Orang Jepang Pelit!”. Meskipun bagi orang Jepang yang sudah sering ke luar negeri, mereka tahu kebiasaan memberikan tips ini. Dan biasanya mereka menaruh uang tips itu di atas bantal. Namanya saja Makurazeni 枕銭 まくらぜに (Makura = bantal, zeni = uang). Katanya itu untuk petugas yang membersihkan kamar. Hmmm memang orang Jepang jarang ada yang bisa memberikan langsung tips ala “salam tempel”.
Well, berapa pun yang kita berikan untuk tips pada jasa yang kita terima tentu saja akan diterima, asalkan kita juga memberinya dari hati bukan? Seperti si anak yang membeli Banana Split pada cerita di atas. Bagaimanapun Pelayan juga manusia!
Kaisar Jepang yang sekarang pada tanggal 23 Desember berulang tahun yang ke 75. Dan sejak 20 tahun lalu, sejak diangkat menjadi Tenno (Kaisar) Heisei, tanggal 23 Desember yang merupakan hari kelahirannya menjadi hari libur nasional di Jepang. (Yang pasti hari kelahiran Nabi Isa Almasih tidak menjadi hari libur di Jepang).
Biasanya memang banyak orang yang lalu berkunjung ke Istana Kaisar, untuk paling sedikit menulis di buku tamu dan melihat (dari jauh) Kaisar yang keluar untuk melambaikan tangan dan menyampaikan pesan Ulang Tahunnya. Tapi saya sih daripada jauh-jauh berdesak-desakan di sana, mendingan menghangatkan diri di rumah saja.
Pagi-pagi seperti biasa, anak-anakku bangun dan mulai berantakin rumah (yang memang berantakan terus). Kemudian aku pikir, ah…mau buat kue kering ah… siapa tahu bisa disuguhin ke tamu. Biar Riku dan Kai yang mencetak. Jadi aku buat adonannya, dan setelah siap aku kasih satu loyang itu ke Riku…terserah dia mau buat bentuk apa. Hasilnya? Lumayan deh …sampai malam tinggal 2 biji hihihi.
Tapi karena sebetulnya dari hari Senin kami berencana untuk makan siang, lunch di sebuah restoran Italia di Saitama, karena di sana bekerja seorang mahasiswa dari universitasnya Gen. Sudah lama kita tidak makan di luar di tempat yang “layak” jadi kita rencanakan untuk merayakan ultah Kaisar (ngga nyambung deh kayaknya heheheh) di sana.
Tapi karena suamiku itu ketiduran, jadi kita lunchnya jam 2 siang. Bermobil ke Saitamanya sendiri makan waktu 1 jam, karena lalu lintas agak padat. Biasanya Riku duduk di depan samping supir, tapi kali ini dia ingin duduk di belakang bersama Kai. Wahhh sudah lama sekali aku tidak duduk samping pak supir yang mengendarai kuda mobil. Ada mungkin 5 tahun …. no …6 tahun karena sejak Riku lahir aku selalu duduk di belakang dan Gen menjadi supir sendiri di depan. Lihat deh dua anak tidur di belakang hehehhe.
Restorannya sendiri sih biasa-biasa aja menurut aku (padahal Gen bilang masakannya uenaaak banget heheh). Tamunya jam segitu cuma kita berempat. Memang mustinya kalau ke restoran begini malam hari, tapi harus berani membayar mahal. Restoran di Jepang biasanya membedakan harga makanan pada siang hari dan malam hari. Siang hari disajikan menu khusus pilihan seharga 800-1500 yen, sedangkan jika malam hari satu orang minimum mengeluarkan 3000 yen.
(Riku kasih suap Kai — Minum wine siang hari…. Gen musti nyetir sih jadi ngga bisa minum… foto diambil Riku)
Selesai makan, aku ingat bahwa di Saitama ada Carrefour. Toko skala besar ini setahuku hanya ada di 2 tempat yaitu Saitama dan Chiba (seperti Tangerang dan Bekasinya Jakarta deh hehheeh) , mungkin karena faktor lahan yang amat sangat mahal di dalam kota Tokyo. Karena aku memang harus belanja untuk persiapan Natal, tahun baru (bayangin musti sediakan makan untuk 3 anak laki-laki selama seminggu lebih —karena libur — 3 kali sehari…pusing deh)
Eh ternyata ciri khas Carrefour yaitu tangga ban berjalan dengan kereta dorong khususnya juga ada di sini. Dan luasnya kira-kira sama dengan Carrefour di Jakarta. Dan Gen dengan baiknya membiarkan Imelda berbelanja sendirian, sementara dia temani Kai dan Riku di pojok permainan. (Riku memohon-mohon dibelikan macam-macam hehhehe)
Di dalam carrefour ada promosi jenis jenis coklat yang berlambang “Paman Karl”, dan ada manusia boneka (apa sih sebutannya ini —orang yang memakai pakaian karakter tertentu?). Jadi Riku disuruh berpose oleh papanya di sebelah boneka itu. Biasa deh, Riku selalu malu untuk sendirian, jadi mamanya harus temani.
Sesudah ngamuk belanjanya menuju ke tempat parkir, lihat jam eeeh ternyata sudah jam 6 sore…. Jadi sambil menuju arah pulang cari makan malam deh…asyikkkkk satu hari ini aku ngga usah masak (tapi aku begadang masak untuk malam natal dan untung tadi sempat tidur di mobil heheheh)