Hongkong by night

4 Agu

Aku sering mendengar ucapan bahwa Hongkong itu indah di malam hari. Dan kata mama dan saudara-saudaraku Manado pun indah di malam hari.  Aku tidak tahu soal Manado, tapi aku bisa membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa memang Hongkong itu indah di malam hari.

Bus double decker (bus bertingkat) yang kami naiki

Setelah beristirahat  sejenak, kami keluar rumah lagi naik taxi ke terminal bus. Tujuan kami adalah “The Peak”. Sebuah tempat wisata di puncak Hongkong tempat kami bisa menikmati pemandangan di malam hari. Beruntung sekali kami bisa duduk di bangku terdepan di lantai atas bus bertingkat. Pasti indah! Begitu kupikir.

Melewati Taman victoria. pukul 18:00 sore dan masih dipenuhi TKI..duh ntah kenapa aku sedih. Jadi ingat taman Ueno Tokyo juga demikian, tapi dipenuhi pemagang laki-laki dr Indonesia

Dan memang indah pemandangan sepanjang jalan tapiiiiiii pilihan duduk di bangku terdepan lantai atas sebuah bus bukan pilihan yang tepat bagi seorang phobia seperti aku. Naik mobil biasa ke puncak dengan jalan sempit berliku-liku aku sudah biasa! Tapi jika itu aku alami di lantai atas sebuah bus…. cukup membuatku pucat sepanjang perjalanan, dan memegang erat bar pengaman bus (untung aku tidak hobby muntah atau p*pis di celana 😀 ). Tidak jarang aku merasa bus itu oleng ke kanan dan kiri, apalagi jika berpapasan dengan bus dari arah lain. Alamak! Sampai aku sempat menyesal tidak ikut asuransi perjalanan di Hongkong hehehe.

Kami sampai di pangkalan bus di The Peak yang berada tepat di bawah sebuah bangunan yang bernama Galeria. Dan kami menemukan sebuah tempat yang disarankan oleh supir taksi waktu kutanya “Uncle, do you know a good restaurant at the Peak”. Hebat juga tuh supir, karena ternyata nama restoran yang dia sebutkan dalam bahasa sono itu masuk dalam guide book. Tadinya kami mau naik tram atau naik ke puncak untuk melihat pemandangan dulu. Tapi saat kutanya ke restorannya apa masih ada meja di pinggir jendela, dijawab hanya tinggal satu saja. So, aku memutuskan untuk makan malam dulu di restoran “Deco Cafe” itu.

Wahhh untung sekali kami mendapat tempat di situ. Restoran ini menyediakan corner untuk anak-anak bermain. Selain itu di tempat duduk untuk anak-anak mereka memberikan alas makan berupa kertas untuk menggambar dan beberapa crayon. Hebat pelayanannya untuk anak-anak. Yang pasti aku belum pernah menemukan service untuk anak-anak di Indonesia yang berkenan di hati (kalaupun disediakan kertas/buku/pensil biasanya ditarik biaya)

So, kami duduk sambil melihat pemandangan keluar, tapi karena letak meja kami di pojok, untuk melihat pemandangan yang penuh, kami harus keluar ke teras restoran. Kami sempat berlama-lama melihat menu, bingung mau memilih makanan yang mana. Tapi karena Ao sedang bermain di Kids Corner, Kimiyo mengajak aku makan kue Black Forrest sebelum main course. Dan tentu saja aku setuju! Yummy sekali black forrest di sini. Untunglah Kimiyo bisa mendapatkan kesenangan sesaat. Anaknya Ao alergi telur, sehingga otomatis Kimiyo juga tidak bisa makan makanan yang mengandung telur di depan anaknya. Dan aku tahu itu stressful. Aku merasa beruntung anak-anakku tidak ada yang alergi atau mempunyai sakit yang memerlukan penanganan khusus.

Sambil melihat antrian panjang penumpang tram (yang akhirnya kami putuskan tidak jadi menaikinya), kami menikmati pergantian senja di dalam restoran yang cozy dan sejuk, dilengkapi makanan enak. Baru setelah selesai makan malam, kami berfoto dengan latar belakang pemandangan “Hongkong by Night”.

Kalau melihat pemandangan indah seperti ini ingin sekali rasanya punya kamera DSLR

Nah pulang dari sini yang butuh perjuangan, karena harus rela antri cukup lama untuk bisa naik bus. Meskipun demikian bus adalah pilihan transportasi yang paling tepat dibanding yang lain. Karena kemacetan juga harus diperhitungkan juga. Tapi selama aku berada 3 hari 2 malam di Hongkong, aku belum pernah bertemu kemacetan yang parah  seperti di Tokyo atau Jakarta.

Keindahan artifisial? Ntahlah yang penting cukup menghibur hati.

Lembab

30 Jul

Semenjak tinggal di Tokyo, aku mengetahui bahwa kadar kelembaban udara itu jauuuh lebih penting daripada suhu udara.  Pada musim dingin memang otomatis kelembaban turun, seamikin rendah kadar kelembaban udara menjadi kering dan…dingin. Belum lagi kemungkinan terjadi kebakaran yang amat tinggi jika kelembaban itu rendah. Biasanya kelembaban musim dingin berkisar 20-30 derajat.

Pada musim panas, kelembaban akan tinggi dan ini yang menyebabkan kita hidup dalam sauna. Uap-uap air bergentayangan di udara, membuat kita juga susah nafas (aku benci sauna!). Dan di Hongkong ini kelembabannya bisa mencapai 100 persen. Tahunya bagaimana? Tentu saja ada pengukur kelembaban, dan yang pasti Kimiyo, adikku itu punya alat dehumidifier, alat yang menyerap kandungan uap air di udara, dan biasanya dalam waktu setengah hari saja penampungan airnya penuh dan harus dibuang.

jemur di apartemen

Karena apartemen Kim tidak memperbolehkan menjemur baju di jendela luar, maka baju akan dijemur di dalam kamar yang terkena sinar matahari langsung dan setiap malam dipasang alat pengering udara dan AC. Memang di Jepang pun apartemen mewah mengharapkan baju-baju dikeringkan bukan secara alami, tapi memakai mesi pengering baju. Akibatnya apartemen Kim yang memang sudah bagus karena mewah itu juga sedap dipandang karena tidak ada baju-baju melambai-lambai di jendela. Lain sekali dengan kebanyakan apartemen di Hongkong. Pemandangan jemuran baju seakan sudah harus kita terima sebagai bagian dari paket wisata.

pemandangan yang tidak bisa ditutupi demi pariwisata

Satu hal juga yang membuat aku bengong di Hongkong, adalah begitu padatnya kota dengan bangunan apartemen yang kecil tapi tinggi sekali. Aku rasa minimum 20 tingkat tuh. Laksana batang pencil yang ditancapkan pada tanah.  Hongkong amat tidak cocok untukku, yang phobia ketinggian. Meskipun aku tahu pemandangan pada malam hari dari ketinggian itu bagus sekali. Hongkong by night! Tapi… itu kalau tidak terhalang bangunan lain yang juga sama tingginya hehehe.

Malam pertama kami tiba di Hongkong, kami tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk mencari restoran di dalam kota. Kim memang mengajak aku pergi makan ke luar, tapi itu berarti kami harus pergi naik bus lagi. Wah aku tidak yakin Kai bisa tahan tidak tidur dalam perjalanan. Dan aku tidak mau menggendong Kai selama perjalanan. Sayang badan(ku).

Restoran apartemen yang menyediakan berbagai menu. Ada mbak Jawa di kanan belakang

Delivery saja! pikirku. Tapi ternyata Kim punya alternatif lebih bagus, yaitu pergi ke restoran dalam apartemennya. What? Dalam apartemen itu ada restoran? Dan ternyata memang ada restoran, ada kolam renang, ada ruang bermain anak-anak, ada perpustakaan dan sarana-sarana lain bagaikan hotel. Dan Riku-pun jatuh hati!

library, katanya Kim, boleh pinjam seenaknya, tanpa ada batas waktu pengembalian. Wah itu namanya gudang buku, bukan perpustakaan

“Mama, aku mau tinggal seperti di apartemen ini…”
“Ngga bisa Riku, selain mahal, Papa Gen tidak suka”
Meskipun pekerjaannya berhubungan dengan perhotelan a.k.a hospitality, Gen paling tidak suka tinggal di hotel atau apartemen mirip hotel. Kalau untuk menginap sampai maksimum 1 minggu sih OK, tapi untuk hidup bertahun-tahun? No way.
“Bayangkan bentuk bangunan yang sama semua, pintunya sama. Apa kamu tidak takut salah mengetuk pintu? Kita bagaikan robot yang masuk kerangkeng yang bertuliskan nomor di atasnya. Belum lagi masalah sosialisasi antar penghuni apartemen. Ribet” Begitu katanya, waktu aku memberitahukannya bahwa ada sebuah kompleks mansion (apartemen) dengan 1000 unit kamar yang dibangun di kota sebelah kami. Kami memang sedang memikirkan pindah rumah, tapi tidak mau ke tempat yang seperti “hotel” yang disukai Riku.

Jadilah kami pergi ke restoran dalam apartemen yang benar-benar penuh! Ternyata banyak penghuni yang juga malas masak! Dan jumlah mereka tidak tanggung-tanggung deh. Setiap table paling sedikit 8 orang,  bapak-ibu, opa-oma, anak-anak + baby sitter….. dan sssttt baby sitter itu berbahasa Jawa.

Kimiyo cerita bahwa banyak baby sitter yang berbahasa Indonesia yang tinggal bersama majikan mereka di apartemen itu. Dan begitu mereka mengetahui Kimiyo berbahasa Indonesia, mereka langsung akrab, dan kadang-kadang memberikan perhatian khusus untuk Ao, anak Kimiyo di taman, sementara Kim nya ngobrol ngalor-ngidul dengan temannya yang lain. Bahasa memang memberikan sentuhan keakraban yang lain dibandingkan dengan jika kita tidak tahu bahasanya.

foto bersama di lobby tower

Tak disangka setelah kembali dari restoran, Masa-san, suami Kim kembali dari kantor dan akhirnya kami melewatkan acara “kekeluargaan” dalam apartemen, termasuk membuat pertunjukan musik dari musician cilik. Yang satu menabuh drum, yang satu gitar, dan ukulele. Keakraban seperti ini akan selalu kami rindukan.