Sebetulnya buku ini sudah lama nangkring di rak buku Riku, tapi baru aku baca 3 hari lalu, karena Kai mengambil buku ini dan minta dibacakan sebelum tidur. Dan terus terang aku amat terkejut mendapatkan aku menangis di halaman-halaman akhir picture book ini. Oh Nakaya Miwa, aku cinta kamu deh! (Jarang-jarang loh aku memuji orang …hahaha)
“Kuro kun to nazo no obake” くろくんとなぞのおばけ adalah picture book lanjutan seri crayon yang dikarang/gambar oleh Nakaya Miwa, lanjutan dari Story of Black Crayon yang pernah aku tulis di sini.
Sekotak crayon. Cerita diawali waktu pagi hari, mereka menemukan bahwa si Kuning tidak ada di tempatnya. Padahal semalam masih ada. Mereka mencari kuning ke mana-mana tapi tidak bertemu. Terpaksa mereka menghentikan pencarian dan tidur karena sudah malam.
Tapi keesokan paginya, Si kuning chrome dan Si coklat tidak ada! Wah, ada apa ini? Mereka sibuk mencari ke 3 temannya tapi tetap tidak bertemu. Dan di pagi ke3 giliran Si Merah dan Si Pink tidak ada. Wahhhh semua ketakutan, dan menyangka ada hantu yang menyembunyikan teman-teman mereka ini.
Si Hijau menangis, tapi si Biru dan Biru Muda berkata,”Kami tidak takut pada hantu!”. Malamnya mereka berniat tidak tidur dan berjaga, untuk mengetahui siapa yang mengambil teman-temannya. Mereka menahan kantuk, tapi akhirnya tidak tahan, dan tertidur.
Pagi harinya yang ada hanya si Hitam. Semua temannya tidak ada. Hitam panik dan mencari temannya, dan menemukan jejak kaki. Supaya dia tidak tersesat, dia membuat garis dengan badannya, supaya bisa kembali ke tempatnya nanti.
Dan…akhirnya dia sampai di depan sebuah lubang di dinding. Rupanya itu rumah si Tikus. Hitam menemukan teman-temannya di dalam lubang tikus itu. Mereka senang sekali dapat berkumpul bersama. Tapi…
Muka mereka sangat khawatir. Dan satu per satu mereka menerangkan bahwa mereka sekarang berada di rumah keluarga tikus. Dan di pojok kamar, Kakek Tikus sedang sakit. Cucu Tikus lah yang mengambil crayon dari tempatnya di malam hari, untuk membuat gambar bagi Kakeknya. Mereka ingin menyenangkan kakeknya dan berharap dengan gambar yang dibuat Kakeknya dapat sembuh. Awalnya dengan warna Kuning saja, tapi tidak bisa. Sesudah itu dengan warna Kuning Chrome dan Coklat, juga tidak menarik. Semua warna dan gambar sudah dicoba tapi tidak ada yang bisa menghibur sang Kakek.
Kemudian Crayon berkata pada Cucu tikus: “Karena kami semua warna sudah berkumpul di sini, maka kami akan membuat gambar yang bisa menghibur. “Apalagi ada si Hitam, mari kita pakai Hitam” Kata si Kuning. Teman-teman si Hitam melihat si Hitam dan bertanya apakah hitam ada ide untuk membuat gambar yang bisa menghibur sang Kakek?
Voila! sebuah gambar tercipta dan sang Kakek yang melihat gambar itu tersenyum!
Ya sebuah gambar langit penuh bintang dengan Bintang Jatuh (nagareboshi 流れ星). Dan Sang Kakek bergumam, “Bintang. Semoga…semoga… aku bisa bertemu sekali lagi dengan Nenek….”
(siapa yang tidak mau nangis membaca seperti ini? …atau…cuma aku saja ya? ahhh… baca Picture Book aja menangis hihihi )
Keesokan harinya si Kakek meninggal. Semua menangis, tapi wajah Kakek tersenyum. “Pasti Kakek sudah bertemu Nenek di surga…..”
Judul: Kurokun to Nazo no Obake
Doshinsha/2009 /1260 yen
Aku benar-benar terheran-heran bahwa di Jepang ini ada yang namanya “Pekan Baca” Dokusho Shuukan 読書週間. Kupikir itu hanya tugas di sekolah Riku saja, tapi begitu mendengar Gen berkata, SELURUH JEPANG. Wow, sebuah himbauan dari pemerintah yang ditujukan pada semua warga negara. Segitunya?
Pekan Baca tahun 2010 ini adalah yang ke 64, dengan tema “Begitu sadar, sudah sampai di stasiun tujuan”. Kegiatan Pekan Baca ini diawali tahun 1924, segera setelah Gempa Bumi Besar Kanto terjadi, Asosiasi Perpustakaan Jepang selama seminggu mengadakan berbagai kegiatan untuk menyebarkan kebiasaan membaca pada masyarakat yang didukung oleh penerbit-penerbit saat itu. Pekan Baca ini kemudian menjadi semacam “Festival Buku”, dengan berbagai perubahan-perubahan tujuan dan kepentingan/dukungan dalam pelaksanaannya. Kemudian akhirnya pada tahun 1965, panitia pengembangan membaca menjadi yayasan masyarakat khusus yang berada di bawah Departemen Pendidikan.
Riku juga mendapat selembar kertas dari sekolahnya yang harus ditulis dengan judul/pengarang buku yang sudah dibaca selama Pekan Baca. Selain itu aku juga membaca di surat kabar “Shogakko Shimbun” (Surat Kabar khusus untuk SD yang khusus kami langganan dari Asahi Shimbun) suatu gerakan di suatu daerah yang menghimbau anak-anak membaca lebih dari 100 buku selama setahun. Sudah cukup banyak murid yang berhasil melampauinya. Dan dari surat kabar itupun aku mengetahui bahwa buku bertema sejarah dalam bentuk penulisan apa saja, yang merupakan bacaan favorit. Setelah nomor 2 adalah cerita Kaiketsu Zorori. Wahhh ini memang favoritnya Riku deh, meskipun aku tidak bisa mengerti apa sih bagusnya cerita ini hehehe.
Waktu aku tanya pada Riku apa sih bagusnya cerita Kaiketsu Zorori ini, dia berkata: “Gambarnya bagus. Itu memang cerita tentang kenakalan/keisengan Zorori dan Ishishi/Noshishi –dua babi hutan asistennya– tapi dalam kenakalan itu pun ada kebaikan yang diajarkan. Balance. ” Hmmm memang sih, tanpa keisengan, dunia ini akan hambar ya….
Waktu aku tahu tentang “Pekan Baca” ini, aku cukup tersentak dan merasa bahwa aku harus ikut kegiatan ini dengan aktif dengan membaca buku. Tapi ternyata waktunya tidak ada, hanya bisa menyelesaikan 2 buku dari S. Mara GD dan Maria A Sardjono, kedua penulis favoritku. Tapiiiii setiap malam paling sedikit aku mendongengkan 2 cerita dari Picture Book untuk Kai, yang memang dia dengarkan sampai habis. Kalau Riku, begitu kepalanya menyentuh bantal pasti langsung melempus…tidur ZzzZZz hihihi. Kalau Kai pasti sampai habis, dan terkadang aku membaca salah, atau melompati beberapa halaman karena ngantuk. Tapi dia TAHU…dan memaksa aku bangun dan menyelesaikan cerita hahaha.
Mungkin di Indonesia tidak perlu ada “Pekan Baca” seperti di Jepang, tapi untuk menggalakkan kegiatan membaca memang perlu tindakan aktif dari berbagai pihak. Termasuk diri sendiri.
Kalau kita mau membeli buku biasanya kita akan pergi ke toko buku atau ke pameran buku dengan sale besar-besaran, dan membeli buku yang kita inginkan. Tapi itu waktu aku di Jakarta. Waktu aku pertama kali ke toko buku di Jepang yang menarik perhatianku adalah toko buku TIDAK menjual peralatan tulis. Jadi toko buku atau honya 本屋 hanya menjual buku dan majalah + peta (pembatas buku + cover deh paling), sedangkan kalau mau membeli alat tulis, notes dsb nya itu di Bunguten 文具店. Meskipun demikian di toko besar biasanya ada juga bagian stationary. Tapi kamu tidak katakan, “Aku mau ke honya beli bolpen”.
Nah, kalau membeli buku dimanapun di Jepang akan sama harganya. Harga buku tertera di bagian belakang berikut bar codenya. Biasanya tertulis harga berikut pajak pembelian. Dan harga itu yang harus kita bayar di kasir. TIDAK ADA KORTING di toko buku, tidak ada penjualan besar-besaran, kecuali untuk buku bahasa asing berupa wagon sale (itu juga karena ada perbedaan kurs). Tapi untuk buku terbitan penerbit Jepang tidak ada SALE, atau tidak ada PAMERAN BUKU, sama sekali. Masyarakat Jepang tidak perlu sale atau pameran buku untuk “diumpan” minat membacanya. Mereka akan membeli sesuai harga yang tertera.
Tapi jika kamu mau membeli buku yang murah, bisa mencarinya di Toko BUKU BEKAS yang disebut FURUHON-YA 古本屋. Meskipun bekas, buku-buku yang dijual di furuhon-ya seperti baru, tak ada coretan apalagi robek. Begitu ada coretan atau robek, dia akan masuk ke keranjang untuk wagonsale yang bisa dikasih harga 10 yen sampai 100 yen. Begitu pula kalau mau membeli majalah. Tunggu satu-dua hari, lalu cari di toko buku bekas, maka bisa berhemat 100-200 yen tapi… telat informasinya…mungkin.
Majalah di Jepang berumur “jam” an hehehe. Begitu dibeli, dibaca, poi...buang! Kadang mereka membuang majalah baru (atau koran) di tempat sampah atau kadang taruh begitu saja di bangku atau rak dalam kereta. Kalau melihat majalah atau koran di atas rak dalam kereta, boleh diambil, karena berarti itu sudah dibuang. Karena itu kadang kala, ada “pemulung” yang mengambili majalah-majalah di rak dalam kereta atau di bangku stasiun, dan kemudian dijual kembali seharga 100 yen. Tentu saja ilegal, tapi kadang petugas stasiun menutup mata terhadap kondisi ini. Jika terjadi masalah, misalnya bertengkar mulut dan kemudian membuat keributan, baru polisi datang dan “mengusir” mereka. Jadi? beli saja majalah 100 yen itu, meskipun saya rasa tidak banyak yang mau membeli, karena mereka juga pikir “Wah itu majalah mungkin sudah pernah masuk tong sampah…tidak higienis…!”.
Toko buku bekas ini banyak dijumpai di daerah sekolah/universitas. Sepanjang jalan menuju universitas Waseda, banyak terdapat toko buku bekas, dan kadang mereka mempunyai spesialisasi bidang tertentu, misalnya buku ekonomi di toko A, dan buku sosial di toko B. Ada pula perhimpunan toko buku bekas di suatu daerah, atau bahkan ada perhimpunan toko bekas se-Jepang, bisa lihat webnya di sini. Nanti mereka akan mengadakan pasar buku bekas murah di tempat-tempat strategis, dan bisa kita datangi. Tapi, tentu saja harganya tidak seperti yang tercantum di halaman belakang buku. Kadang bisa murah, seperti kamus bahasa Indonesia- Jepang yang terbitan Daigaku Shorin, jika baru seharga 8000 yen, jika mencari di toko buku bekas, berkisar 3500-5000 yen. Kadang aku membelikan kamus bekas itu setiap mampir dan melihat ada di toko buku bekas, untuk murid-muridku. Tapiiiiiii itu dulu, karena sekarang sudah ada Kamus Bahasa Indonesia -Jepang karangan Sasaki Shigetsugu (mantan dosen Universitas Bahasa Asing Tokyo), suami dari ibu Sasaki yang memperkenalkan aku dengan Universitas Senshu dan banyak membantuku waktu aku melahirkan Riku. Pemesanan dan pembelian Kamus Bahasa Indonesia Jepang ini bisa dilakukan online, harap lihat website ini.
Tapi ada pula buku yang jauh lebih mahal dari harga yang tertera di bagian belakang buku. Karena jarang dan kuno, harganya bisa berlipat-lipat. Tidak ada standar yang pasti, kecuali dari pemilik toko, yang mungkin jeli membaca trend minat baca warga Jepang. Kalau mau bisa saja membandingkan dengan toko buku bekas lain dan membeli yang termurah. Tapi biasanya buku-buku khusus amatlah susah dicari.
Nah, sejak aku malas dan tidak ada waktu membeli buku baru di toko buku, maka aku membeli di toko online, AMAZON. Yang herannya, kalau membeli di sini banyak yang dikorting (meski sedikit) ! Hipotesa aku karena mereka tidak perlu sumber daya manusia yang banyak dan toko yang representatif. Selain itu jika menjadi anggota (dengan membayar iuran tahunan) ongkos kirim gratis. Dan karena aku juga sering membeli pampers, dot, susu di sana, dan berkali-kali, jelas lebih murah jika aku membayar iuran anggota daripada membayar ongkos kirim setiap kali pesan. Tidak perlu capek-capek apalagi mengeluarkan transport, sesudah pesan dan bayar (bisa credit card, bisa transfer) buku dan barang-barang dikirim ke rumah, dengan service yang mengagumkan. Karena kebanyakan bisa diantar keesokan harinya, bahkan kalau pesan sebelum jam 8 pagi bisa diantar malamnya di hari yang sama. Betapa sering aku membeli pampers waktu hujan dan kehabisan, emergency.
Hampir semua judul buku ada, dan bahkan jika kita mencari buku dengan judul tertentu yang sulit didapat atau habis di toko buku, kita juga bisa pesan dan menunggu sampai ada atau….. tersedia buku bekasnya. Selain buku baru, kadang ada daftar toko buku bekas yang berkolaborasi dengan Amazon! Masing-masing dengan harganya. Daftar akan dimulai dengan harga 1 yen (+340 yen untuk ongkos kirim, karena tidak dikirim dari gudangnya amazon, tapi langsung dari toko buku bekas ybs). Kalau buku itu masih barupun, tapi kalau mau menghemat budget buku, bisa membeli buku bekasnya. Apalagi kalau memang buku itu sudah tidak dicetak lagi, seperti buku Dewi Srinya Kako Satoshi yang aku ceritakan di sini.
Aku baru saja membelikan Gen 5 buah buku bekas, 1 buku bahasa Jepang mengenai cara pelayanan penumpang JAL yang dia cari-cari dan sudah tidak dijual di toko karena sudah lama (th 1985). Waktu buku itu sampai, kami berdua sempat tertawa melihat logo JAL yang lama… wah jadul bener deh. Lalu 4 buku yang lainnya? Semua adalah buku terjemahan buku Indonesia. Mau tahu judulnya?
1. “Kisah Perjuangan Suku Naga” karya alm. Rendraナガ族の闘いの物語 (1998, harga asli 1995 yen, masih ada yang baru) kami beli seharga 171+ ongkos kirim jadi 511 yen
2. Burung-Burung Manyar karangan alm. YB Mangunwijaya 嵐の中のマニャール (th 1987, tidak ada yang baru, harga asli 2200 yen) kami beli dengan harga 1 yen + ongkos kirim 340yen
3. Romo Rahadi karangan alm. YB Mangunwijaya イリアン 森と湖の祭り,(harga asli 2625 yen, masih dijual yang baru) harganya 84 yen+ ongkos kirim 340 yen
4. Kumpulan cerita rakyat Indonesia, Hanaoka (th 1982, sudah tidak dijual lagi) kami beli dengan harga 384 yen+ongkos kirim
Buku bekasnya benar-benar seperti baru! Karena itu aku tidak pernah ragu meskipun membeli buku bekas. Mereka sudah steril dulu bukunya sebelum dijual. Packingnya juga bagus. Jika ada cacat pasti diberitahu sebelumnya. Dan terus terang saja, kecuali buku Burung Manyar bahasa Indonesia, buku bahasa Indonesianya yang lain saya tidak punya! Memang Gen suka membaca karya sastra dan dia paling rajin membaca buku-buku Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang (tentu saja bukan diterjemahkan olehku hahaha). Dia sudah pernah membaca “Saman” karya Ayu Utami, yang menurut penilaiannya: biasa-biasa saja hihihi.
Apa yang mau aku sampaikan di sini adalah Jepang memang SURGA buku, baik buku baru (lumayan mahal) maupun buku bekas (cukup murah). Apalagi dengan adanya toko online yang amat membantu orang-orang yang sibuk dan tidak bisa mencari di toko buku sendiri. Untuk toko online di Indonesia memang sudah banyak, meskipun kebanyakan masih menjual buku baru atau judul buku yang terbatas. Ada banyak masalah dengan pelayanan seperti yang pernah aku tuliskan di sini juga. Untuk buku bekas? Aku pernah menemukan toko online buku bekas, tapi ternyata toko itu sudah tutup tup… tup…. tup….!
Tapi….. sebetulnya aku juga baru saja membeli buku bekas bahasa Indonesia secara online! Kalau kamu baca ceritanya sahabat saya Eka di sini, pasti lebih afdol lagi, atau langsung ke toko onlinenya: VIXXIO. Memang jumlah buku yang dijual masih sedikit. cuma kebetulan seleranya si Fanda, pemiliknya, mirip-mirip aku, sehingga langsung deh aku beli sampai 8 buku! (dan sedang pesan lagi 2 buku dari Maria A. Sardjono loh) . Kalau dia bisa mengembangkan dan me-maintain toko buku bekasnya lebih yahud lagi, aku jamin banyak yang membelinya.
Nah, rumahku sekarang begitu penuh dengan buku. Kata Gen sih, dia mau menjual saja buku-bukunya yang sudah dibaca. Menjual buku bekas di sini juga gampang…tapi….. murah sekali! Sepuluh buku bunkobon 文庫本 (buku dengan ukuran saku, yang dicetak khusus pertama kali oleh Iwanami Shoten, kemudian diikuti penerbit lainnya. buku ukuran saku ini memungkinkan orang membeli buku dengan harga murah karena bukan hard cover, ukuran seragam dan jarang ada gambarnya. mass product, tapi aku senang karena ukuran sama, sehingga pemandangan rak buku juga bagus dilihat), paling-paling dihargai 100 yen. Waktu itu Gen pernah menjual 2 kantong besar penuh buku dan hanya menerima 2000 yen! Habis deh untuk beli satu buku hard cover. Tapi daripada dibuang…. (dibuang pun biasanya ada yang mungut sih hihihi).
Memang solusi untuk mereka yang tidak mempunyai tempat penyimpanan buku yang luas adalah dengan membeli e-book. Apalagi sekarang sudah ada Ipad kan. HP ku bahkan namanya Biblio yang dirancang untuk membaca buku digital. Tapi secanggih-canggihnya e-book, aku memang masih lebih suka membaca buku. Sensasi membuka lembar demi lembar sambil tiduran atau duduk di kereta itu tidak bisa digantikan dengan elektronik. Untuk surat kabar, cukuplah online…karena beritanya berubah terus setiap hari. Bisa hemat kertas juga, tapi buku? Aku masih lebih suka buku yang terbuat dari kertas, dan tidak akan aku buang… jika tidak terpaksa sekali. Bagaimana dengan teman-teman? Suka e-book?
Aku rasa tidak ada seorangpun orang Indonesia yang tidak tahu bahwa Dewi Sri adalah Dewi padi. Itu merupakan pengetahuan umum, sama saja seperti Ganecha, yang menjadi lambang ITB adalah dewa pengetahuan. Tapi kali ini aku memang merasa agak malu karena pengetahuanku hanya sekadar pada Dewi Sri adalah dewi padi. titik…. Dan aku mempelajari cerita asal muasalnya justru dari Picture Book yang ditulis oleh Kako Satoshi, yang karangannya “Anda Tahu PLTA Cirata” atau “Hahaha no hanashi” yang sudah pernah aku bahas juga. Kata Gen, tidak ada seorang Jepangpun yang tidak mengetahui Kako Satoshi, pengarang beberapa buku PB yang terkenal. Memang dia hebat, bisa menjelaskan yang sulit-sulit melalui gambar yang menarik!
Buku yang menceritakan Dewi Sri ini berjudul “Fushigina ine to ohimesama” (Padi yang Ajaib dan Putri Raja).
Dahulu kala masih banyak terdapat dewa-dewa baik yang berbentuk manusia maupun yang berbentuk binatang. Dan Maha Dewa menyerukan pada semua dewa-dewa untuk membangun sebuah gedung yang besar. Mereka semua berkumpul dan menyetujui untuk mendirikan gedung tersebut. Dewa Timur membawa batu, Dewa Angin membawa tanah liat, Dewa Obat membawa pasir, Dewa Hutan membawa pohon. Semua dewa membawa barang yang diperlukan dalam pembangunan, kecuali satu Dewa, yaitu Dewa Ular. Karena dia tidak berkaki dan bertangan, dia tidak bisa membawa apa-apa ke tempat Maha Dewa.
Dewa Ular melihat dewa-dewa lain membawa menjadi sedih, sehingga menangis.. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes air mata mengalir…dan begitu mencapai tanah menjadi tiga butir telur. Lalu Dewa Ular berpikir, daripada tidak membawa apa-dia ingin membawa telur itu kepada Maha Dewa. Lalu dibawanya satu telur dengan cara menggigitnya. Di tengah jalan Dewa Ular bertemu dengan Dewa Ayam, dan Dewa Ayam bertanya, “Ular kamu buru-buru begitu, ada apa sih?”. Tapi karena Dewa Ular menggigit telur, jadi dia tidak bisa menjawab pertanyaan Dewa Ayam. Dewa Ayam marah karena dipikir Dewa Ular sombong, dan dia mematuk ekor ular. Tanpa sadar Dewa Ular berteriak “Aduh…” dan Akibatnya telur itu jatuh dari mulut Dewa Ular, mengenai batu dan pecah.
Dewa Ular kesal dan kembali mengambil satu lagi telur yang dia sembunyikan di lubang batu. Dan kembali dia dia bergegas pergi sambil membawa telur dalam mulutnya. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Dewa Merak. Dewa Merak bertanya kepada Dewa Ular, tetapi karena didiamkan, Dewa Merak mematuk peurt Dewa Ular. Dan telur yang di mulut Dewa Ularpun jatuh ke jurang setelah Dewa Ular berteriak, “Aduuuh”.
Dewa Ular kemudian kembali untuk mengambil telur yang tersisa. Dan di tengah jalan dia bertemu dewa Kelelawar. Dewa kelelawar juga bertanya, dan karena Dewa Ular tidak menjawab, Dewa Kelelawar mematuki kepala dan mencakar muka Dewa Ular. Namun kali ini Dewa Ular bertahan untuk tidak teriak, sehingga dia berhasil membawa telur itu kepada Maha Dewa.
Maha Dewa sangat gembira menerima persembahan telur dari Dewa Ular, dan membeli telur tersebut. Dengan ajaib telur itu menetaskan seorang anak perempuan cantik, dan diberi nama Sang Hyang Sri. Dan pada waktu bangunan besar itu selesai, Sang Hyang Sri sudah menjadi putri yang cantik.
Ternyata telur kedua yang jatuh ke jurang, tidak pecah malah terbawa aliran sungai, dan ditemukan oleh Dewa Kerbau. Dari telur itu lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Anita. Anita menjadi pemuda yang pandai dan gagah.
Saatnya tiba untuk merayakan selesainya pembangunan gedung. Anita datang bersama Dewa Kerbau, dan pertama kali dia melihat Sang Hyang Sri di sana. Anita langsung menyukai Sri dan demikian pula dengan Sri. Tetapi Maha Dewa tidak menyetujui pernikahan Anita dan Sri, karena dia mengetahui bahwa keduanya sebenarnya kakak-beradik, yang berasal dari telur Dewa Ular.Tetapi mereka berdua Anita dan Sri tidak tahu. Malahan Maha Dewa membuang Anita ke pulau yang jauh.
Sri yang bersedih terus menerus menjadi kurus dan akhirnya meninggal. Maha Dewa membuat makan di sebelah barat Bangunan, dan yang aneh di sekitar makam Sang Hyang Sri tumbuh rerumputan yang berbiji. Hingga suatu hari di makam Sri sampailah seorang yang kurus kering. Dialah Anita yang melalui jalan yang berat dari pulau terpencil dan akhirnya sampai ke makam Sri. Anita menangisi makam tanpa suara. Dan setelah berhenti menangis, dia memunguti biji dari rerumputan dis ekitar makam, dan menyebarkannya ke mana-mana. Bahkan setelah Anita meninggal, biji rerumputan menjadi besar dan enak. Inilah permulaan dari padi.
Dalam kata penutupnya Kako Satoshi mengatakan bahwa beliau tinggal di Bandung pada tahun 1986 (waaah persis waktu aku masuk UI nih) untuk membantu UNESCO dalam program pemberantasan buta huruf. Dari penerjemahnya Hariyana, beliau mengetahui cerita ini, dan setelah pulang kembali ke Jepang melakukan riset lebih detil lagi. Memang ceritanya bervariasi tapi beliau menyatukan cerita-cerita ini menjadi satu cerita mengenai permulaan panenan padi, dengan harapan dapat menceritakan keadaan negara di selatan (minami no kuni, sering dipakai untuk menunjuk negara-negara di sebelah selatan Jepang, seperti Asia Tenggara dan termasuk Indonesia)
Diterbitkan oleh penerbit Kaiseisha pertama kali bulan Mei 1989 seharga 890 yen, tapi sekarang sudah tidak terbit lagi, dan jika mau membeli harganya minimum 5000 yen saja. Kami meminjam buku ini dari perpustakaan Pemerintah Daerah Nerima.
Sebagai penutup aku mau mengutip lagi tulisanku di postingan lalu “how JAWA are you”:
Saya percaya, jika manusia keluar dari “sarang”nya bukan hanya bisa melihat pemandangan indah di luar, dan terlebih dapat melihat ke dalam sarangnya sendiri dengan lebih obyektif dan bahkan mendalaminya. Meskipun kadang saya –sebagai manusia tak bersuku– merasa gamang dalam menentukan dimanakah sebetulnya sarangku itu. Yang saya tahu, hutanku adalah Indonesia!
Kemarin aku sakit kepala, sampai setiap suara anak-anak menjadi gangguan 🙁 Meskipun sudah kuminta anak-anak untuk tidak berteriak atau bertengkar tapi tetap saja. Dan puncaknya sekitar pukul 7:30 malam aku menyuruh Riku mematikan televisi dan diam. Untung Riku sudah bisa mengerti sehingga dia mengajak adiknya masuk tempat tidur, dan membacakan picture book. Yang dipilih adalah “Momotaro”, cerita tentang seorang anak lelaki yang “lahir” dari sebuah Peach besar yang mengalir di sungai, kemudian diambil oleh seorang nenek yang sedang mencuci. Cara lahirnya itu yang lucu, yaitu waktu si nenek mau membelah buah peach dengan pisau, maka peach itu membuka sendiri, dan “oe oek….” seorang bayi menangis deh. Nah yang lucu di situ bergambar bayi dengan t*titnya, dan Kai menunjuk-nunjuk… Eh ada cincin! Aku juga punya! hahaha…
Rame deh akhirnya, tapi saat itu Kai bilang, “Chigau!(Berbeda)”. Ya dia ingat penjelasanku tentang buku beberapa hari yang lalu. Anak ini memang pintar, dijelaskan satu kali bisa ingat terus. Apa yang dia tanyakan waktu itu? Coba perhatikan gambar 2 picture book ini.
Sekilas tidak berbeda ya? sama besarnya. Coba lihat foto berikutnya, bagaimana kalau kita buka halaman pertama.
Buku “Wall-e” seperti biasanya buku-buku Indonesia, membuka ke kiri. Sedangkan “Momotaro” adalah ciri khas buku Jepang! Membuka ke kanan. Atau kalau dengan pemikiran orang Indonesia, membuka dari belakang ke depan. YA! BERBEDA! Dan itu disadari Kai beberapa malam yang lalu waktu aku mendongeng untuk dia. (Doooh akhir-akhir ini dia selalu minta dibacakan buku, dan kadang butuh 2 jam sampai dia tertidur…sengsara bener deh aku! Kalau tengah malam dia terbangun, juga minta membaca buku. Akhirnya biasanya aku pura-pura buka buku, padahal aku tidak baca…aku ceritakan apa yang sudah aku hafal. Bahkan kalau perlu hanya bergumam saja hihii)
Nah waktu itu aku jelaskan pada Kai tentang perbedaan kedua buku itu. Pasti dia tidak bisa menyerap semua penjelasan aku, tapi tetap aku jelaskan. Dia akan bisa memahaminya kelak.
Seperti yang sudah aku katakan tadi, bahwa “Momotaro” adalah buku khas Jepang. Ditulis dengan bahasa Jepang (ya iyalah… hihihi) Tapi ditulis dari atas ke bawah. Ini sebetulnya cara menulis Jepang yang asli. Dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan. Oleh sebab itu cara membuka buku yang ditulis vertikal begitu itu harus membuka ke kanan! Sedangkan buku “Wall-e” meskipun ditulis dalam bahasa Jepang pun, ditulis dengan cara modern dari kiri ke kanan secara horisontal. Karena itu dalam membaca pun harus membuka ke kiri, selayaknya buku-buku berbahasa Inggris/Indonesia atau buku lain yang ditulis dalam alfabet.
Tentu akan bertanya, loh menulis dari atas-ke bawah dari kiri ke kanan, apa tidak belepotan tuh tangannya dengan tinta? Ini juga pertanyaan aku tadinya, lalu aku teringat bahwa memang orang Jepang kuno menulis bukan dengan bolpen tapi dengan tinta dan kuas. Tidak boleh meletakkan tangan pada kertas. Gaya menulis kaligrafi Jepang pun menunjukkan bahwa sikap duduk yang lurus (tidak bongkok) mempengaruhi keindahan tulisan.
Aku pernah belajar kaligrafi Jepang sebentar dan memang sikap duduk amat sangat menentukan. Sebenarnya kalau ada kelas menulis kaligrafi yang murah, aku ingin ikut lagi deh. Atau paling sedikit ingin menyuruh Riku mempelajarinya supaya tulisan dia bagus dan rapih. ( Aku harus bersyukur bahwa dia masih termasuk rapih menulisnya, meskipun kadang aku bingung membaca tulisannya hehehe)
Well, untuk sementara waktu aku harus bersiap mendengarkan celoteh Kai sebelum aku dongengi dengan kata-kata, “Chigau (Berbeda)”
Kali ini aku ingin mendongeng!….. Alkisah di sebuah negeri ada si Biru dan si Kuning… (Bohong… bukan begini awalnya).
Coba simak cerita berikut ini:
Si Biru, Ayah dan Ibu si Biru.
Si Kuning, Ayah dan Ibu si Kuning.
Banyak temannya.
Si Biru dan si Kuning, bersahabat baik…. dan saking gembiranya mereka berdua berpelukan!
Keduanya menjadi HIJAU, dan tetap menjadi hijau mereka bermain bersama.
Setelah bermain mereka pulang ke rumah….
tapi…
di rumah si Biru, mereka tidak dikenali … di rumah si Kuning pun begitu.
Mereka menjadi sedih sekali dan menangis….
airmata biru dan airmata kuning!!!
Tetes air mata itu menjadi si Biru dan si Kuning seperti semula.
Dan mereka menceritakan kejadian itu pada keluarganya.
Melihat keakraban anak-anak mereka, orang tua si Biru dan si Kuning pun bersahabat.
Biru ditambah kuning menjadi hijau.
Jika menjadi hijau maka bukan lagi biru dan kuning.
Tapi mereka tetap biru dan kuning. Yang jika mendekat menjadi hijau.
Pelajaran tentang warna!
Waktu pertama kali membaca buku Picture Book ini, aku tidak merasakan apa-apa.
Meskipun buku ini dikatakan bagus oleh suamiku!
Apa sih bagusnya?
Tapi beberapa kali membacakan untuk Riku dan Kai, aku malah bisa melihat pelajaran lebih dalam daripada sekedar perpaduan warna saja.
Ini juga tentang persahabatan dan pemikiran!!!!
Bersahabat tidak HARUS menjadikan SATU! Ada kalanya menjadi sesuatu yang BARU, tapi tetap unsur INDIVIDU itu ada.
Demikian pula dengan pemikiran… bukan berarti tidak bisa dijadikan sesuatu yang baru juga, atau harus menghilangkan pemikiran yang lain dengan pemikiran dirinya.
Semoga anak-anak yang membaca Picture Book ini bisa memahami apa yang terkandung dalam buku yang aku rasa memang HEBAT ini. Sederhana sekali…. sampai awalnya aku pikir… ahhh itu kan biasa, semua sudah tahu! Tapi, aku salah.
Jangan pernah memandang rendah pada buku anak-anak!
Aokun to Kiirochan (Little Blue and Little Yellow)
Leo Lionni, pengarang yang juga menulis buku “Swimmy”, yang pernah aku posting di sini.
Hari ini aku sibuk, tiba-tiba saja ingin membongkar kamar kerjaku, studio, kamar tempat komputer dan sofa bed berada. Kamar itu seharusnya dipakai untuk kerja tapi sekarang sudah mulai berubah menjadi “gudang”. Rasanya perlu membuang barang-barang yang tidak perlu, dan memindahkan ini itu, supaya menjadi nyaman.
Sedang sibuk-sibuknya membongkar, betapa terkejutnya aku, pak pos membawa surat cinta untukku!!!! Waaaah dari jauh lagi, dari Yogyakarta. Ngga tanggung-tanggung langsung paket cinta! Begitu aku baca tulisan yang begitu apik… langsung deg-deg an deh. Aku kenal tulisan itu sebagai tulisan tangannya Mbak Tuti Nonka. What a surprise! Terima kasih banyak ya mbak… benar-benar kaget dan terharu menerimanya. (Hmmm aku musti interogasi nih, siapa yang kasih tahu alamatku hihihi)
Aku memang sudah baca laporan tentang buku kumpulan tulisan 24 wanita pengarang di blog mbak Tuti. Tapi tidak sangka secepat ini aku bisa mendapatkan dan …..tentu saja aku langsung baca halaman 145 dong! Karangannya mbak Tuti dan di situ aku berkenalan dengan POLY…. Aku terhanyut pada cerita yang hanya 4 halaman dan merasa kurang…. (maunya nambah sih). Mau tau ceritanya? Beli deh…. ngga afdol kalo aku ceritakan di sini ….hihihi
Tepat hari ini, Minggu Legi pukul delapan pagi, 42 tahun yang lalu, seorang bayi perempuan yang amat rapuh lahir di RS Carolus. Kata ibunya, besar kepalanya seperti mangga golek, badannya keriput seperti anak monyet, dan…. detak jantungnya tak terdengar. Amat lemah. Ketika kutanya berapa beratnya? Tak sampai 2000 gram, karena dia lahir prematur.
Semenjak mengandung bayi ini, ibunya berhenti bekerja sebagai sekretaris di perusahaan minyak. Mempersiapkan diri untuk menyambut kelahiran bayi pertamanya. Dan setelah itu dia tidak pernah lagi kembali bekerja, mempersembahkan hidupnya untuk si kecil, baretje donderkop (si kepala bulat) dan adik-adiknya yang lahir sesudah itu.
Hari ini aku ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan yang telah memberikan aku nafas dan kehidupan sampai saat ini. Dia telah memberikan aku Mama dan Papa terbaik sedunia, yang membesarkan aku sampai saat ini, dan merelakan putri sulungnya tinggal di belahan dunia lain. Itu suatu “hadiah” terbesar yang diberikan mereka padaku. Terima kasih Mama, Papa, kalian tahu kan bahwa aku selalu rindu untuk bertemu, tapi meskipun aku tidak di depan mata kalian, hatiku selalu bersama kalian…. selamanya. (Dan aku tahu tadi pagi di telepon ada isak tangismu Ma… dan aku pun terisak dalam bis, dalam kereta setiap mengingatnya. Ma, jangan nangis ya…. nanti aku usahakan mudik agustus kok!)
Terima kasih Tuhan telah memberikan seorang suami Gen Miyashita, yang juga berulang tahun di hari ini (kami beda persis dua tahun). Memang Tuhan telah mengatur semuanya, mungkin bahkan sebelum aku lahir di dunia ini. Terima kasih suamiku, dan semoga kita bisa terus menyambut hari lahir bersama…. selamanya.
Terima kasih Tuhan atas anugerah dua permata hati, Paulus Riku Miyashita dan Kai Miyashita. Kedua permata yang selalu mencerahkan hari-hari kami berdua, dengan gelak tawa, perkelahian bahkan penyakit. Karena semua itu aku yakin ada artinya bagi kehidupan kami. Terima kasih telah melindungi Riku dari penyakit yang menakutkan (hepatitis atau limpa) , dan dia boleh bersekolah lagi hari ini. Hadiah dari Riku berupa pelukan dan cerita karangan dia untuk mama papa, serta coklat untukku.
Terima kasih atas anugerah, mertua dan orang tua, Achan dan Tachan yang selalu membantu kami. Dan melindungi kami dalam perjalanan pernikahan kami.
Terima kasih atas anugerah teman-teman, sahabat yang begitu baik. Sahabat yang memberikan suprises untukku, sejak masuk tahun yang baru ini. Baik berupa barang ataupun kata-kata-dukungan dan sapaan. Mereka adalah sahabat-sahabat khusus yang engkau berikan untuk menemaniku menjalani kehidupan ini.
Terima kasih untuk tiga sahabat blogger yang dengan sengaja mengirimkan baju khusus untukku yang kuterima persis kemarin. Mereka selalu menemaniku setiap hari di internet, dan meskipun sibuk, kami tetap bersapa menanyakan kabar masing-masing.Yessy, Ria dan Eka…. Terima kasih banyak. Juga untuk kartu dilengkapi foto kalian bertiga. Semoga persahabatan kita tetap langgeng dan harmonis. Terima kasih juga untuk Ria yang telah menuliskan khusus untukku di blognya.
Terima kasih untuk Bro Neo dan Nana, yang mengirimkan buku yang memang sudah dijanjikan sejak lama. Anak Bajang Mengiring Angin, yang kuterima tanggal 5 Januari lalu. Dikirimkan langsung ke rumahku di sini. Aku begitu terharu menerimanya. Terima kasih banyak. Kita baru bertemu agustus lalu, tapi serasa sudah lama bersahabat ya. Maaf aku terlambat menuliskannya di TE, karena aku menganggap itu adalah hadiah ulang tahunku dari Bro dan Nana…. Khusus ingin kutuliskan di sini.
Terima kasih untuk sahabatku yang bernama Daniel Mahendra, novelis yang baru saja mengadakan soft launching novel pertama Epitaph. Memang Danny mengirimkan paket berisi novel dan teman-temannya itu ke rumah di Jakarta, dan dibawakan oleh Tina ke Tokyo awal tahun lalu. Hadiah karya sendiri…. itu saja merupakan hadiah yang berharga, apalagi dia menuliskan pesan dan tanda tangan di dalamnya dengan TINTA EMAS, sesuai permintaanku di blognya. Bolehkan aku anggap itu kado ulang tahun juga Danny? (pesan sponsor: pemesanan Epitaph bisa melalui email epitaph@penganyamkata.net)
Terima kasih juga untuk Yoga, yang juga menitipkan sebuah buku karangan Dee, Perahu Kertas lengkap dengan tanda tangan dari Dee. Selain buku, dia membawakan juga tengteng mente 2 box, yang aku habiskan sendiri dalam 10 hari hihihi. Aku juga anggap buku ini hadiah ulang tahun dari Yoga. Terima kasih untuk buku, snack dan lagu “You make my world so colourful”nya Daniel Sahuleka.
Untuk semua teman, sahabat, saudara yang sudah menyampaikan selamat di FB, sms dan blog. Terima kasih banyak-banyak… Masing-masing teman mempunyai peran dalam hidupku, really appreciate.
Aku ingin menutup tulisanku hari ini dengan sebuah lagu “ I Can’t Smile without You” dari Barry Manilow. Sebuah lagu yang selalu mengingatkanku pada seorang sahabat khusus yang memintaku untuk tetap tersenyum, apapun yang terjadi, dimanapun aku berada (terima kasih atas kehadiranmu). Memang benar, aku tak bisa tersenyum tanpa kehadiran kalian semua, sahabat-sahabatku. Terima kasih untuk senyum kalian juga yang telah mewarnai hidupku.
You know I can’t smile without you
I can’t smile without you
I can’t laugh and I can’t sing
I’m finding it hard to do anything
You see I feel sad when you’re sad
I feel glad when you’re glad
If you only knew what I’m going through
I just can’t smile without you
You came along just like a song
And brightened my day
Who would have believed that you were part of a dream
Now it all seems light years away
And now you know I can’t smile without you
I can’t smile without you
I can’t laugh and I can’t sing
I’m finding it hard to do anything
You see I feel sad when you’re sad
I feel glad when you’re glad
If you only knew what I’m going through
I just can’t smile
Now some people say happiness takes so very long to find
Well, I’m finding it hard leaving your love behind me
And you see I can’t smile without you
I can’t smile without you
I can’t laugh and I can’t sing
I’m finding it hard to do anything
You see I feel glad when you’re glad
I feel sad when you’re sad
If you only knew what I’m going through
I just can’t smile without you
Tanggal 4 April kemarin merupakan hari Anpan, yaitu roti yang berisi an, selai yang terbuat dari kacang merah. Roti ini pertama kali dibuat tanggal 4 April tahun 1875 oleh perusahaan roti Kimuraya, dan disajikan pada Kaisar Meiji. Roti ini merupakan roti khas Jepang, yang mengambil contoh dari Manju, kue tradisional Jepang seperti bakpau isi kacang hijau tapi kecil ukurannya. Dengan modifikasi roti berisi an atau selai kacang merah ini, Anpan dapat diterima masyarakat jepang. Selain berisi selai kacang merah, ada yang berisi selai wijen, ogura, selai kacang merah diberi keringan bunga sakura, rasa melon dan lain-lain. Pokoknya semua rasa yang cocok di mulut orang Jepang dicoba menjadi isi roti.
Dan saya terkagum-kagum bahwa ternyata roti An, atau Anpan ini bisa menjadi sumber ide bagi penciptaan karakter ANPANMAN. Memang orang Jepang pintar menciptakan karakter-karakter dari sesuatu yang ada di keseharian kita. Seperti crayon atau kacang babi yang sudah saya bahas di tulisan Story of Black Crayon dan Tempat tidur si Kacang Babi. Saya tidak tahu apakah komik Anpanman ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau belum, tapi mari kita lihat tokoh-tokoh dalam cerita Anpanman ini.
Tokoh utama tentu saja si Anpanman “Manusia Anpan” yang bermuka tembem dengan dua pipi merah, berkostum merah kuning dan memakai mantel untuk terbang berwarna coklat. Dia adalah si pembela kebenaran, Seigi no mikata, ciptaan Paman Selai (Jam Ojisan). Jam Ojisan ini membuat roti di pabrik rotinya dibantu oleh Batako san (asal kata =Butter) dan mempunyai anjing bernama Chizu (asal kata = Cheese).
Anpanman selalu menolong siapapun yang kesusahan dan terutama kesusahan itu diakibatkan kelakuan buruk Baikinman (asal kata = Baikin = bakteri yang merusak). Terkadang pula akibat keusilan Dokinchan (Bakteri perempuan yang menyukai Shokupanman, shokupan adalah roti tawar). Teman-teman Anpanman di antaranya adalah Karepanman (roti kare), Meronbannachan (roti Melon), Rorubanna (roll bread), Kurimubanda (roti krim).
Karakter Anpanman ciptaan Yanase Takashi ini pertama kali muncul tahun 1969. Tapi baru tahun 1975, muncul sebagai cerita bergambar (picture book) berseri dengan judul “Soreike Anpanman”. Karakter ini cepat merebut hati anak-anak seluruh Jepang (juga hati Kai sekarang), sehingga dijadikan film dan anime. Karena karakter yang muncul dalam cerita ini amat beragam (dan kebanyakan berhubungan dengan makanan) maka sampai dengan tahun 2009 saja, dari seluruh cerita yang terbit karakternya sudah berjumlah lebih dari 1500 karakter (bahkan sampai 2000 jenis jika perubahan transfom juga dihitung) . Katanya sampai si penciptanya sudah lupa jumlah sebenarnya berapa …hehehe. Dan setiap tanggal 6 Februari, hari ulang tahun si pencipta Yanase Takashi( 6 Februari 1919 – 13 Oktober 2013), diperingati juga sebagai hari ulang tahun Anpanman.
Hebat ya roti sebagai sumber ide… Kalau saya sih roti memang sebagai sumber ide untuk …MAKAN hehhehe. Padahal bagi Jepang, roti juga merupakan kebudayaan serapan dari luar negeri, sama juga halnya dengan Indonesia. Tapi kenapa orang Indonesia kurang ide untuk menciptakan karakter dari sekeliling kita ya? Kalau di Jepang ada Anpanman, mungkin di Indonesia bisa ada Roti Bakso, Roti Abon, Roti Coklat, Roti Sarikaya atau Roti Gambang (pernah dibahas Mas trainer juga) yang katanya khas Indonesia ? (Roti Bagelen tuh asli Indonesia ngga ya?)
roti gambang
Atau bisa saja dari kue-kue jajanan pasar kan? Semisal Kue Ku, Kelepon, Cenil dll … Uuuh jadi lapar deh…