Jangan terlalu dipikirkan judul di atas! Karena itu memang buatanku saja. Terjemahan langsung dari bahasa Inggris “butterfly”. Aku sebenarnya ingin tahu mengapa orang Inggris menamakan binatang cantik yang bisa terbang itu sebagai butterfly. Apa hubungannya dengan butter? Mustinya ada dong…karena kalau kata passport kan berarti pass untuk melewati port, pelabuhan. Well, biarkan saja pada ahli bahasa Inggris untuk mencari penjelasannya ya…..
Memang kali ini aku ingin bercerita tentang Kupu-kupu di keluarga deMiyashita. Gen suamiku ini meskipun bukan ahli biologi, amat suka pada serangga (insect – bahasa Jepangnya konchuu 昆虫) . Saking sukanya aku pernah berpikir mungkin semua anak laki-laki Jepang suka serangga ya? Apalagi aku tahu banyak anak laki-laki yang suka dengan kumbang kelapa sampai-sampai ada karakter Mushi King dalam permainan mereka. Tapi sebetulnya tidak juga, kata Gen, dia gemar serangga karena kebetulan saudaranya atau orang sekelilingnya banyak yang suka serangga.
Nah, kebetulan pada tanggal 3 Mei lalu (masih dalam acara libur panjang Golden Week) diselenggarakan sebuah kelas di alam terbuka, yang namanya “Pelajaran Menangkap Kupu-kupu Pemula” yang diadakan oleh sebuah organisasi bernama “Perkumpulan Henri-Faber Jepang” NPO日本アンリ・ファーブル会(奥本大三郎会長). Biayanya 1000 yen satu keluarga. (Aku juga heran sih kok Gen tahu saja ada kelas seperti ini hehehe) Gen tanya padaku apakah boleh dia pesan tempat dan mengajak Riku berdua saja untuk mengikuti kelas itu? Karena persyaratannya anak usia SD ke atas, jadi Kai tidak bisa ikut dan berarti aku dan Kai harus tinggal di rumah. Hmmm bagiku sih no problem, silakan pergi. Meksipun dalam hati aku berpikir, suatu waktu aku pasti juga akan terlibat kegiatan begini-begini. Kalau kupu-kupu sih OK saja, tapi kalau mau menangkap kumbang kelapa aku ogah deh hihihi (tapi aku kan bisa menjadi fotografer saja 😉 )
Jadi begitulah, tanggal 3 Mei pagi hari aku bangun pagi dan mempersiapkan bento (bekal makanan) untuk kedua lelakiku. Mereka harus berkumpul di stasiun Hikarigaoka pukul 10 pagi. Jadi aku akan menceritakan kegiatan mereka berdua dengan foto-foto ya.
Setelah berkumpul di stasiun, bersama rombongan, gurunya 7 orang dan 6 keluarga peserta, mereka berjalan menuju Taman Hikarigaoka. Sambil berjalan, jika guru menemukan sesuatu, dia akan bercerita mengenai kepompong atau serangga yang ditemukan.
Misalnya mereka menemukan ulat Akaboshigomadara (Hestina assimilis) yang sebetulnya bukan habitat asli Jepang (berasal dari Taiwan).
Atau Nanafushi (Phasmatodea – Belalang Ranting) yang bersembunyi di daun. (keren ya bisa ketemu ini)
Oleh gurunya di sana juga diajarkan jenis jaring yang dipakai, bagaimana cara menangkapnya, cara penggunaan dan penyimpanannya. Katanya Gen jadi ingin membeli macam-macam peralatan itu (oh noooo, itu akan disimpan di mana euy hihihi).
Karena cuaca mendung waktu itu tidak banyak kupu-kupu yang terbang. Riku hanya berhasil menangkap Yamato shijimi (Pseudozizeeria maha), dan dilepas. (Gambar diambil dari wikipedia)
Selain kupu-kupu Yamato shijimi itu, Riku juga menangkap serangga yang bernama Kinkamemushi (Scutelleridae), dan seperti biasanya Riku tanpa ragu bertanya pada gurunya, apa makanannya. Yang hebat gurunya selalu membawa “kamus” serangga dan langsung mencari informasinya di tempat.
Setelah puas bermain sampai jam 1 siang, mereka makan bento yang dibawa dari rumah di taman tersebut. Sesampai di rumah dengan bangganya Riku memamerkan kupu-kupu yang diberikan oleh gurunya untuknya. Kupu-kupu yang ditangkap, jika dimaksudkan untuk dikeringkan dan dikoleksi, biasanya dimasukkan dalam kertas berbentuk segitiga, lalu dimasukkan dalam kaleng segitiga. Yang hebatnya keluarga Miyashita masih menyimpan kaleng segitiga milik bapaknya Gen yang sudah berusia 50 tahun lebih. Dan kami menemukan koleksi kupu-kupunya yang bertanggal 20 Mei 1956! Lebih dari 50 tahun yang lalu…… (Semoga masih bisa bertahan 100 tahun lagi dari sekarang hehehe)
Sebagai environmentalist (cihuy), aku sempat meragukan kegiatan penangkapan kupu-kupu ini. Pikirku, kasihan dan sayang jika kupu-kupu itu ditangkap untuk dikeringkan. Tapi pemikiran ini adalah pemikiran orang Indonesia yang hidup di daerah tropis yang suhu udaranya sama terus sepanjang tahun. Di Jepang kupu-kupu hanya bisa hidup selama musim semi dan musim panas. Dari sekitar bulan April sampai September. Selebihnya…. mati! (dengan atau tanpa meninggalkan telur). Jadi secara gampangnya, kalau toh harus mati, apa salahnya dia menjadi koleksi untuk bahan pelajaran orang-orang yang suka. Dan aku yakin orang Jepang jarang ada yang mau menangkap kupu-kupu yang sudah langka. Kalaupun ditangkap pasti diberikan pada pusat penelitian atau pengembangan hewan, seperti Pusat Kupu-kupu yang pernah kami datangi di Oomurasaki Center and Nature Park.
Dan aku juga merasa bahwa kegiatan seperti inilah yang membuat orang Jepang seperti sekarang ini. Dari kecil mereka dibiasakan untuk mengamati lingkungan dan membuat penelitian sendiri. Mulai kelas 4 SD biasanya mereka harus mengadakan penelitian selama musim panas sebagai tugas sekolah di musim panas dan wajib melaporkannya kepada gurunya. Apa saja boleh. Bebas! Mau biologi, fisika…apa saja. Dan kami sudah mendapat lungsuran mikroskop dari omnya Riku yang peneliti di Unversitas Tsukuba. Siapa tahu Riku mau menggunakannya untuk penelitian musim panas.
Aku jarang melihat atau mendengar ada kegiatan penelitian yang demikian sungguh-sungguh di kalangan anak-anak Indonesia. Atau paling sedikit tidak ada waktu jamanku sekolah dulu. Bahwa kebetulan adikku peneliti mikrobiologi itu juga biasanya timbul waktu sudah di SMA, bukan sejak masih usia SD (ya kan Nov? Masih ragu dulu mau jadi dokter atau peneliti kan?) .
Maksudku anak-anak kurang disuntik keinginan untuk meneliti atau mengembangkan potensi secara alami (belajar dari alam dan mengembangkannya), dan lebih dituntut untuk belajar dari buku saja, dengan target nilai bagus. Mungkin inilah salah satu sebab yang membedakan “output” hasil pendidikan antara Jepang dan Indonesia.
Karena sebenarnya jika kita membaca sejarah Jean-Henri Casimir Fabre, yang namanya dipakai sebagai nama perkumpulan organisasi penyelenggara kelas yang Riku dan Gen ikuti itu, kita bisa mengetahui bahwa Fabre itu otodidak. Dia mengadakan penelitian sendiri dari lingkungan sekitar dan bisa menghasilkan 10 seri ensiklopedi “Souvenirs Entomologiques“yang terkenal. Padahal dia tidak pernah belajar di sekolah mengenai serangga!
Rasa ingin tahu dan ingin meneliti memang harus dikembangkan supaya inovasi dan pembaruan bisa terus ditemukan. Intinya… Belajar sampai mati 😉