Masih ingat tanggal 2 Oktober lalu, kita warga Indonesia beramai-ramai memakai batik? Sekarang kemana ya gaungnya? Itu “hanya” karena UNESCO menentukan batik sebagai sebagai Warisan Budaya Dunia, tanggal itu. Lalu ini membuat aku berpikir jauh, yaitu kenapa Indonesia tidak mempunyai “hak paten budaya” seperti yang dilakukan Jepang dengan penunjukkan “Harta Negara/ Kekayaan Budaya” (Kokuhou 国宝/Bunkazai 文化財). Memang katanya “Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah meminta pelaku kebudayaan dan pemerintah daerah untuk segera mempatenkan karya budaya asal Indonesia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) juga telah bekerja sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memproteksi karya budaya asal Indonesia.” “Contohnya rumah Toraja. Itu karya kolektif masyarakat Toraja. Pemda cepat-cepat daftarkan itu sebagai karya kolektif,” ucap Jero Wacik. Hmmm tapi selain itu bukankah seharusnya pemerintah yang “menunjuk” apa yang patut menjadi “Kekayaan Nasional” itu. Misalnya Borobudur, diakui sedunia tapi aku tidak tahu apakah ada “penunjukkan resmi” dari negara Indonesia bahwa Borobudur itu memang “Hartanya Indonesia” seperti layaknya Kokuho di Jepang. Huh, jadi ingin menulis tentang Kokuhou dan Bunkazai di Jepang, tapi nanti-nanti deh. Banyak yang musti diterjemahkan…. hiks.
Nah selain ada istilah Kokuho 国宝(Harta Negara) dan Bunkazai 文化財 (Kekayaan Budaya) , di Jepang ada istilah Dentoteki Kogeihin 伝統的工芸品 (Kerajinan Tangan Tradisional). Kalau Kokuhou dan Bunkazai diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka Kerajinan Tangan Tradisional diatur oleh Departemen Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang. Jadi kerajinan tangan tradisional suatu daerah di Jepang harus didaftar dan terdaftar supaya bisa mencantumkan bahwa barangnya itu adalah Kerajinan Tangan Tradisional loh. Tidak bisa cuma ngaku-ngaku saja. Bisa dilihat di peta di bawah ini bahwa tiap daerah mempunyai “kerajinan khas” nya dan sebelah kanan adalah lambang “Kerajinan Tangan Tradisional”.
Nah tanggal 11 Januari lalu (wih udah baheula ya?) sebelum kami pergi ke Le Petite Prince Museum, kami pergi melihat cara pembuatan kerajinan tangan yang terbuat dari kayu, kerajinan khas Hakone. Namanya Hakone Yosegizaiku 箱根寄木細工. Kalau lihat dari kanjinya saja bisa diterjemahkan menjadi kerajinan merapatkan kayu yang halus dari Hakone. Seperti apa kerajinan itu?
Waktu kami melaju menaiki pegunungan menuju Lake Ashi sebagai tujuan utama hari itu, tiba-tiba Gen teringat bahwa Hakone memang mempunyai kerajinan khas Yosegizaiku ini. Dan terbaca papan “Bengkel dan Toko Yosegizaiku Hamamatsuya”. Kami sepakat untuk melihat kerajinan ini (padahal waktu itu aku ngga bawa uang tunai banyak, tapi cukup tenang melihat lambang kartu kredit deh) sehingga kami langsung masuk ke parkiran mereka. Toko ini sepi oleh pengunjung padahal sudah lewat pukul 11 waktu kami masuk.
Kami langsung disambut dengan beraneka ragam kerajinan kayu, mulai dari gasing, gantungan kunci sampai lemari dengan laci-laci yang harganya muahaaal sekali. Memang aku sudah pernah mengenal kerajinan ini, ya tidak lain dari pemberian oleh-oleh dari mantan pacar, sebuah kotak perhiasan. Tidak menyangka juga bahwa harganya cukup mahal lah untuk ukuran mahasiswa. Tapi setelah melihat cara pembuatannya, aku bisa mengerti mengapa harganya mahal.
Kami beruntung sekali karena ternyata toko itu juga memperbolehkan tamu untuk melihat cara pembuatan di lantai atas. Pengrajin yang ahli itu sudah menunggu kami di atas, dan mulai berbicara. Dan dari dia pertama kali aku mengetahui bahwa tidak setiap kerajinan tangan di Jepang bisa disebut sebagai Kerajinan Tangan Tradisional.
Si Bapak langsung mempraktekkan pembuatan kerajinan Yosegizaiku ini. Kayu yang berwarna alami, mulai dari yang putih sampai coklat tua mendekati hitam, dipotong halus-halus. Bentuknya bisa segitiga, atau persegi panjang, bisa dipotong sebagai batangan atau lempengan.
Kemudian potongan kayu berbagai bentuk ini dipadukan sehingga bisa menghasilkan motif-motif mozaik yang unik. Perpaduannya tergantung rasa seni si pembuat, ada kalanya hanya memakai dua warna, ada kalanya beberapa warna sehingga hasilnya cukup meriah. Perpaduan berbagai bentuk juga menghasilkan motif yang unik sehingga tidak bosan rasanya. Dan perpaduan itu tanpa batas!
Oh ya, potongan kayu itu ditempel dengan memakai lem kayu biasa, tapi dulu katanya memakai nasi! Jadi ingat dulu waktu TK, jika lem habis mama juga mengajarkan kami memakai lem dari nasi. Riku kaget mengetahui bahwa nasi bisa menjadi lem…. hmmm anak-anak sekarang tahu ngga ya? Dan lem dari nasi ini cukup kuat karena hasil karya yang memakai lem nasi itu bisa berumur ratusan tahun!
Jika sudah menjadi suatu blok kayu bermotif tinggal menentukan akan dijadikan apa. Diserut menjadi lembaran kayu bermotif yang bisa dijadikan macam-macam, mulai dari pembatas buku, hiasan dinding sampai “kulit” dompet dan lain-lain.
Atau digerus, dibentuk lagi untuk menjadi piring/wadah kayu. Memang sayang kalau digerus, karena berarti cukup banyak bagian yang harus dibuang begitu saja. Dan ini yang menyebabkan harganya mahal! Ngga sanggup deh aku mengeluarkan minimum 8000 yen (Rp. 800.000) untuk wadah kayu yang cantik ini.
Menurut si pengrajin, dia merupakan cucu dari pengrajin yang terkenal, salah satu pelopor kerajinan tradisional yosegizaiku didaerah itu. Dia sendiri sudah menerima penghargaan macam-macam. Yang aku senang, Riku menunjukkan perhatian cukup besar pada penjelasan si bapak. Dan aku tahu dia juga suka Riku bertanya. Aku sampai dikasih extra lembaran kerajinan berukuran A6. Asyiiik!
Yang benar-benar mengagumkan adalah sebuah “lukisan” Gunung Fuji yang semuanya (lukisannya) terbuat dari potongan kayu, bukan gambar! Si Bapak memperlihatkan sebuah gergaji halus yang dipakai untuk “membolongi” papan lukisan. Bisa lihat potongan puncak Gunung Fuji, yang bisa dicopot untuk kemudian diganti dengan potongan lain yang “bersalju”. Dan kami diberi tahu tekniknya supaya potongan itu tidak jatuh. Hebat bener nih kesenian!
Setelah selesai melihat demontrasi sang pengrajin, kami turun ke bawah lagi, dan melihat barang-barang yang ingin kami beli. Bagusnya ada sebuah plastik berisi potongan kayu untuk membuat coaster (tatakan gelas) lengkap dengan lem berikut caranya. Langsung Riku membeli dua untuk mencoba. Setelah pulang Riku mencoba dan tentu saja sebagai seniman si Riku membuat seenak perutnya dewe hihihi. Mana mau dia ngikuti denah untuk membuat tatakan gelas. ( Aku biasanya membiarkan saja dia ikut keinginannya. Yang penting di sekolah harus ikut peraturan… gitu aja hihihi)
Dan seperti biasa, toko yang tadinya kosong tiba-tiba jadi banyak tamu datang dan menyibukkan penjaga toko (gara-gara kamu sih mel hihihi). Jadi kami cepat-cepat pamit setelah menghirup teh sajian penjaga toko. Begitu keluar toko, kami melihat ternyata tempat itu dulunya merupakan tempat perhentian iring-iringan daimyo (tuan tanah) daimyo gyouretsu, sehingga menjadi tempat yang bersejarah. Jaman Edo dulu, para tuan tanah diwajibkan untuk berkumpul di pusat kota (kalau tidak salah dua kali setahun …musti liat catatan dulu) sehingga iring-iringan tuan tanah ini pasti akan terlihat. Peraturan yang dinamakan sankin kotai ini merupakan kebijakan pemerintah Tokugawa untuk menjaga keutuhan negeri. Karena jika tuan tanah pergi ke pusat kota, berarti dia tidak berkesempatan membangun kekuatan militer di daerahnya. Ini bagus untuk keamanan (tapi berdampak buruk untuk perekonomian). Well, I should stop here, karena kalau aku lanjutkan tentang sejarah Jepang ini, pembaca TE kabur semua. Nanti aku bahas di tulisan yang lain saja.
Kerajinan Tangan Tradisional Jepang memang berkualitas tinggi, karena dijaga turun temurun, dan mutunya tidak dipengaruhi komersialisasi. Ini juga bisa terjaga karena adanya pengakuan dari pemerintah Jepangnya sendiri, selain dari kesadaran masyarakat Jepang untuk membeli produk dalam negeri.
(ssst judul postingan kali ini royaltinya Koelit Ketjil nih hihihi. Dan satu lagi…. ini merupakan posting ke 700 loh …. horeeeee)
Sesuai permintaan Nana, ini foto hasil karya Riku: