Paten(i) Seni

1 Feb

Masih ingat tanggal 2 Oktober lalu, kita warga Indonesia beramai-ramai memakai batik? Sekarang kemana ya gaungnya? Itu “hanya” karena UNESCO menentukan batik sebagai sebagai Warisan Budaya Dunia, tanggal itu. Lalu ini membuat aku berpikir jauh, yaitu kenapa Indonesia tidak mempunyai “hak paten budaya” seperti yang dilakukan Jepang dengan penunjukkan “Harta Negara/ Kekayaan Budaya” (Kokuhou 国宝/Bunkazai 文化財). Memang katanya “Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah meminta pelaku kebudayaan dan pemerintah daerah untuk segera mempatenkan karya budaya asal Indonesia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) juga telah bekerja sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memproteksi karya budaya asal Indonesia.” “Contohnya rumah Toraja. Itu karya kolektif masyarakat Toraja. Pemda cepat-cepat daftarkan itu sebagai karya kolektif,” ucap Jero Wacik. Hmmm tapi selain itu bukankah seharusnya pemerintah yang “menunjuk” apa yang patut menjadi “Kekayaan Nasional” itu. Misalnya Borobudur, diakui sedunia tapi aku tidak tahu apakah ada “penunjukkan resmi” dari negara Indonesia bahwa Borobudur itu memang “Hartanya Indonesia” seperti layaknya Kokuho di Jepang. Huh, jadi ingin menulis tentang Kokuhou dan Bunkazai di Jepang, tapi nanti-nanti deh. Banyak yang musti diterjemahkan…. hiks.

Nah selain ada istilah Kokuho 国宝(Harta Negara) dan Bunkazai 文化財 (Kekayaan Budaya) , di Jepang ada istilah Dentoteki Kogeihin 伝統的工芸品 (Kerajinan Tangan Tradisional). Kalau Kokuhou dan Bunkazai diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka Kerajinan Tangan Tradisional diatur oleh Departemen Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang. Jadi kerajinan tangan tradisional suatu daerah di Jepang harus didaftar dan terdaftar supaya bisa mencantumkan bahwa barangnya itu adalah Kerajinan Tangan Tradisional loh. Tidak bisa cuma ngaku-ngaku saja. Bisa dilihat di peta di bawah ini bahwa tiap daerah mempunyai “kerajinan khas” nya dan sebelah kanan adalah lambang “Kerajinan Tangan Tradisional”.

Nah tanggal 11 Januari lalu (wih udah baheula ya?) sebelum kami pergi ke Le Petite Prince Museum, kami pergi melihat cara pembuatan kerajinan tangan yang terbuat dari kayu, kerajinan khas Hakone. Namanya Hakone Yosegizaiku 箱根寄木細工. Kalau lihat dari kanjinya saja bisa diterjemahkan menjadi kerajinan merapatkan kayu yang halus dari Hakone. Seperti apa kerajinan itu?

Waktu kami melaju menaiki pegunungan menuju Lake Ashi sebagai tujuan utama hari itu, tiba-tiba Gen teringat bahwa Hakone memang mempunyai kerajinan khas Yosegizaiku ini. Dan terbaca papan “Bengkel dan Toko Yosegizaiku Hamamatsuya”. Kami sepakat untuk melihat kerajinan ini (padahal waktu itu aku ngga bawa uang tunai banyak, tapi cukup tenang melihat lambang kartu kredit deh) sehingga kami langsung masuk ke parkiran mereka. Toko ini sepi oleh pengunjung padahal sudah lewat pukul 11 waktu kami masuk.

Kami langsung disambut dengan beraneka ragam kerajinan kayu, mulai dari gasing, gantungan kunci sampai lemari dengan laci-laci yang harganya muahaaal sekali. Memang aku sudah pernah mengenal kerajinan ini, ya tidak lain dari pemberian oleh-oleh dari mantan pacar, sebuah kotak perhiasan. Tidak menyangka juga bahwa harganya cukup mahal lah untuk ukuran mahasiswa. Tapi setelah melihat cara pembuatannya, aku bisa mengerti mengapa harganya mahal.

kotak perhiasan yosegizaiku dengan laci sliding dari mantan pacar

Kami beruntung sekali karena ternyata toko itu juga memperbolehkan tamu untuk melihat cara pembuatan di lantai atas. Pengrajin yang ahli itu sudah menunggu kami di atas, dan mulai berbicara. Dan dari dia pertama kali aku mengetahui bahwa tidak setiap kerajinan tangan di Jepang bisa disebut sebagai Kerajinan Tangan Tradisional.

Si Bapak langsung mempraktekkan pembuatan kerajinan Yosegizaiku ini. Kayu yang berwarna alami, mulai dari yang putih sampai coklat tua mendekati hitam, dipotong halus-halus. Bentuknya bisa segitiga, atau persegi panjang, bisa dipotong sebagai batangan atau lempengan.

Jenis kayu yang dipakai, dari dalam dan luar negeri. Lihat warnanya berbeda kan!

Kemudian potongan kayu berbagai bentuk ini dipadukan sehingga bisa menghasilkan motif-motif mozaik yang unik. Perpaduannya tergantung rasa seni si pembuat, ada kalanya hanya memakai dua warna, ada kalanya beberapa warna sehingga hasilnya cukup meriah. Perpaduan berbagai bentuk juga menghasilkan motif yang unik sehingga tidak bosan rasanya. Dan perpaduan itu tanpa batas!

Kotak penyimpan surat

Oh ya, potongan kayu itu ditempel dengan memakai lem kayu biasa, tapi dulu katanya memakai nasi! Jadi ingat dulu waktu TK, jika lem habis mama juga mengajarkan kami memakai lem dari nasi. Riku kaget mengetahui bahwa nasi bisa menjadi lem…. hmmm anak-anak sekarang tahu ngga ya? Dan lem dari nasi ini cukup kuat karena hasil karya yang memakai lem nasi itu bisa berumur ratusan tahun!

Jika sudah menjadi suatu blok kayu bermotif tinggal menentukan akan dijadikan apa. Diserut menjadi lembaran kayu bermotif yang bisa dijadikan macam-macam, mulai dari pembatas buku, hiasan dinding sampai “kulit” dompet dan lain-lain.

berfoto dulu dengan sang ahli kerajinan yosegizaiku

Atau digerus, dibentuk lagi untuk menjadi piring/wadah kayu. Memang sayang kalau digerus, karena berarti cukup banyak bagian yang harus dibuang begitu saja. Dan ini yang menyebabkan harganya mahal! Ngga sanggup deh aku mengeluarkan minimum 8000 yen (Rp. 800.000) untuk wadah kayu yang cantik ini.

wadah kayu hasil gerusan blok kayu yang kanan, banyak yang terbuang...

Menurut si pengrajin, dia merupakan cucu dari pengrajin yang terkenal, salah satu pelopor kerajinan tradisional yosegizaiku didaerah itu. Dia sendiri sudah menerima penghargaan macam-macam. Yang aku senang, Riku menunjukkan perhatian cukup besar pada penjelasan si bapak. Dan aku tahu dia juga suka Riku bertanya. Aku sampai dikasih extra lembaran kerajinan berukuran A6. Asyiiik!

Si Bapak udah masuk majalah dan buku loh!

Yang benar-benar mengagumkan adalah sebuah “lukisan” Gunung Fuji yang semuanya (lukisannya) terbuat dari potongan kayu, bukan gambar! Si Bapak memperlihatkan sebuah gergaji halus yang dipakai untuk “membolongi” papan lukisan. Bisa lihat potongan puncak Gunung Fuji, yang bisa dicopot untuk kemudian diganti dengan potongan lain yang “bersalju”. Dan kami diberi tahu tekniknya supaya potongan itu tidak jatuh. Hebat bener nih kesenian!

Lukisan gunung Fuji yang bisa diganti puncaknya dengan yang bersalju

Setelah selesai melihat demontrasi sang pengrajin, kami turun ke bawah lagi, dan melihat barang-barang yang ingin kami beli. Bagusnya ada sebuah plastik berisi potongan kayu untuk membuat coaster (tatakan gelas) lengkap dengan lem berikut caranya. Langsung Riku membeli dua untuk mencoba. Setelah pulang Riku mencoba dan tentu saja sebagai seniman si Riku membuat seenak perutnya dewe hihihi. Mana mau dia ngikuti denah untuk membuat tatakan gelas. ( Aku biasanya membiarkan saja dia ikut keinginannya. Yang penting di sekolah harus ikut peraturan… gitu aja hihihi)

Riku memilih kantong berisi potongan kayu untuk dibuat menjadi tatakan gelas

Dan seperti biasa, toko yang tadinya kosong tiba-tiba jadi banyak tamu datang dan menyibukkan penjaga toko (gara-gara kamu sih mel hihihi). Jadi kami cepat-cepat pamit setelah menghirup teh sajian penjaga toko. Begitu keluar toko, kami melihat ternyata tempat itu dulunya merupakan tempat perhentian iring-iringan daimyo (tuan tanah) daimyo gyouretsu, sehingga menjadi tempat yang bersejarah. Jaman Edo dulu, para tuan tanah diwajibkan untuk berkumpul di pusat kota (kalau tidak salah dua kali setahun …musti liat catatan dulu) sehingga iring-iringan tuan tanah ini pasti akan terlihat. Peraturan yang dinamakan sankin kotai ini merupakan kebijakan pemerintah Tokugawa untuk menjaga keutuhan negeri. Karena jika tuan tanah pergi ke pusat kota, berarti dia tidak berkesempatan membangun kekuatan militer di daerahnya. Ini bagus untuk keamanan (tapi berdampak buruk untuk perekonomian). Well, I should stop here, karena kalau aku lanjutkan tentang sejarah Jepang ini, pembaca TE kabur semua. Nanti aku bahas di tulisan yang lain saja.

Di sini merupakan perhentian iringan tuan tanah jaman Tokugawa/Edo

Kerajinan Tangan Tradisional Jepang memang berkualitas tinggi, karena dijaga turun temurun, dan mutunya tidak dipengaruhi komersialisasi. Ini juga bisa terjaga karena adanya pengakuan dari pemerintah Jepangnya sendiri, selain dari kesadaran masyarakat Jepang untuk membeli produk dalam negeri.

(ssst judul postingan kali ini royaltinya Koelit Ketjil nih hihihi. Dan satu lagi…. ini merupakan posting ke 700 loh …. horeeeee)

Sesuai permintaan Nana, ini foto hasil karya Riku:

semestinya coaster (tatakan gelas) tapi oleh Riku dimodif jadi bentuk gitu deh

….. to the top of the Mountain

26 Jan

tulisan ini merupakan sambungan dari From the bottom of the sea, postingan sebelum ini.

Ya, setelah kami keluar dari Umi Hotaru, kami menuju ke Kisarazu. Sebetulnya tujuan kami awalnya adalah untuk ke DOITSU MURA (Deutsch Village – Perkampungan Jerman), karena kami melihat di website bahwa di situ ada iluminasi, hiasan lampu-lampu sampai dengan tanggal 14 Februari. Hmmm pikirnya biar sekalian makan malam di situ sambil menikmati lampu-lampu yang kelihatannya menarik.

Tapi berhubung waktu itu sudah atau masih jam 2, rasanya sayang membuang waktu (dan uang) di Perkampungan Jerman itu. Biasanya memang Jerman terkenal dengan susis dan birnya kan. Yang pasti Gen tidak bisa minum bir karena menyetir (kecuali aku ganti menyetir dan dia minum… tapi… kan aku juga mau nge-bir hihihi).

So, ganti haluan. Gen tanya apa aku tahu Nokogiri Yama, Gunung Nokogiri. Di situ ada patung Buddha besar. Memang aku belum pernah menuliskan di TE (masih pending terus) tapi aku sudah pernah pergi ke Great Buddha di Kamakura. Jadi ingin juga melakukan “perbandingan” dengan patung Buddha di Kamakura itu. Jadi, kami merubah tujuan di car navigator kami dengan Nokogiri Yama. Lagipula tempat yang kami tuju ini juga dekat dengan pelabuhan ferry, jika kami mau pulang ke Tokyo naik ferry.

Kami sampai di stasiun cable car sekitar pukul 3 lewat. Dan oleh petugasnya disarankan untuk tidak naik cable car, karena cable car selesai beroperasi pukul 4. Mungkin dia melihat kami bersama dua anak kecil, jadi tidak mungkin jalan jauh. Tapi dia bilang bahwa jika kita pergi sedikit lagi, akan sampai di lapangan parkir Kuil Jepang, Nihondera yang gratis. Di situ tutup jam 5, jadi masih cukup waktu. Paling tidak melihat patung Buddhanya (karena ternyata banyak sekali tempat yang bisa dilihat di sini)

Jadi kami menyusuri jalan pantai yang berkelok-kelok dan menyajikan pemandangan sangat indah. Sayang tidak ada tempat berhenti untuk memotret, lagipula tanpa filter rasanya sinarnya terlalu terang. So, kami langsung menuju parkir Nihondera.

Bunga Plum mulai bermekaran di sini, Nihondera

Waktu kami memasuki wilayah Nihondera itu, kami disambut dengan bunga suiren, dan bunga plum berwarna pink yang menyebarkan harumnya ke mana-mana. Well di sini memang lebih hangat daripada tempat lain, sehingga terasa musim semi sudah datang di sini.

Bunga plum menyambut kami

Dan aku mulai deg-degan melihat tangga yang cukup banyak. Aku memang tidak prepare untuk naik tangga apalagi mendaki gunung. Lihat saja pakaianku di postingan sebelumnya, pakai rok lebar dengan sepatu pantofel, dan coat/dawn jacket. Tapi aku pikir coba! berusaha! Setelah menaiki tangga yang SEDIKIT (karena setelahnya berkali-kali lipat jumlahnya), aku boleh tertawa senang melihat pemandangan yang terhampar di depan mataku.

Patung Buddha terbesar di Jepang, setinggi 31 meter

THE GREAT BUDDHA, terpahat di lereng gunung. Memang lebih besar dari patung Buddha di Kamakura yang hanya setinggi 13 meter saja.

Waktu itu tidak ada orang di situ, karena memang sudah sore. Keagungan Sang Buddha yang sedang bersila itu memang menimbulkan aura khusus ke daerah sekitar. Belum lagi di sebelah kiri ada sebuah tempat khusus untuk meletakkan patung permintaan, berwarna putih dan merah.

Patung Jizou yang melambangkan permohonan manusia

Sementara aku masih memotret dan menikmati suasana khas di situ, rupanya Gen mencari informasi lain. Dia sebetulnya ingin melihat sesuatu yang bernama Hyakusyaku Kannonsama, bukan Great  Buddha yang sudah terlihat di depan kami ini. Katanya Kannonsama itu yang terkenal. Dan dari tempat kami berdiri butuh waktu 20 menit mendaki.

MENDAKI? aduuuh… aku paling takut mendaki gunung. Takut! Aku takut ketinggian. Tapi tanpa mendaki aku tidak bisa melihat yang dimaksud Gen. Padahal sudah tinggal 20 menit lagi. Jadi teringat waktu mendaki bukit untuk melihat kawah gunung di Kusatsu. Well, waktu itu juga 20 menit, dan aku bisa (tapi waktu itu pakai sepatu kets, sekarang sepatu pantofel).

Akhirnya aku bilang, ayo kita coba. Karena sebetulnya mau dikatakan mendaki juga medannya tidak seperti orang Indonesia mendaki gunung ala hiking yang jalannya berlumpur dan berumput. Semua jalan mendaki ke atas berupa tangga batu…. yang curam. Jadi masih bisa lah pakai pantofel, asal aku berhati-hati waktu menginjak jangan selip.

YOSH!!! (teriakan semangat dalam bahasa Jepang) Aku mulai mendaki…dan terbata-bata! Takut benar. Karena ada beberapa tempat yang begitu terjal, dan tanpa ada sesuatu yang bisa dipegang. SEANDAINYA ada pegangan, aku pasti bisa lancar. Bukan capeknya tapi takutnya, yang harus aku kalahkan. Dan terus terang tangga ini mungkin ada seribu (hihihi) alias panjaaaaaaaang banget. Rasanya kok tidak sampai-sampai. Tentu saja, karena sebetulnya kami menaiki lereng di sebelah patung Great Buddha tadi, dan lebih tinggi lagi. Aku harus berusaha sendiri, karena Riku jalan sendiri, dan Gen menggendong Kai.

Tapi lama-lama aku mulai ketakutan, sampai akhirnya Gen menurunkan Kai di sebuah tempat istirahat, dan menyuruh Riku menemani Kai, kemudian turun “menjemput” aku. Well, hanya dengan berpegangan tangan saja, aku bisa naik lancar (sambil diteriaki anak-anakku… Mama gambare — ayo mama…)

Dan yang membuat aku merasa HARUS bisa, adalah pemandangan ini:

Duhhh anakku yang satu ini, berani sekali mencoba semua sendiri

Ya, Kai yang sekecil itu tanpa takut-takut manjat tangga sendirian. Dan akhirnya ditemani Riku di sampingnya memang. Tapi si cilik itu sambil mendaki dengan tangan dan kaki berhasil sampai di atas. Well, kalau perlu aku juga pakai tangan deh untuk bisa manjat.

Akhirnya kami bisa sampai di puncak gunung yang bernama Jigoku Nozoki (Tempat Mengintai Neraka). Well seandainya tempatku berpijak adalah surga, dan di bawah adalah neraka, aku bisa bayangkan ngerinya jika jatuh hihihi. Bahkan Gen saja mewanti-wanti Riku dan Kai jangan dekat-dekat pagar pembatas.

Jigoku Nozoku, Tempat Mengintai Neraka, puncak dari gunung Nokogiri

Ternyata kami berada di atas Kannonsama yang akan kami tuju. Jadi kami harus menuruni tangga lagi menuju tempat Kannonsama. Dan memang yang menyebalkan tadi wkatu kami naik sempat mendengar seorang bapak yang berkata, “Kenapa naik tangga yang ini. Ini 30 menit dan curam, kalau tangga yang satunya cuma 10 menit dan landai”. Huh, masak musti kembali lagi untuk mencari tangga yang landai? Untung dia berkata, “Gambare, sebentar lagi sampai kok”.

Akhirnya kami sampai ke tempat Hyakushaku Kannonsama. Waaaaahhhhhh hilang rasanya segala capek dan takut yang tadi ada. INDAH! Aku bisa mengerti mengapa orang sedunia marah-marah waktu peninggal Buddha of Bamyan di Afghanistan dirusak Taliban. Ini yang mungkin tidak ada seperberapa keindahan warisan dunia Unesco saja bisa membuat merinding. Apalagi Bamyan.

Hyakushaku Kannondama, berada di celah gunung yang lembab dan dingin, menimbulkan kesan mistis

Sebuah patung Kannon dipahat di lereng yang puncaknya adalah tempat Mengintip Neraka tadi. Besar sekali, sesuai namanya setinggi hyakushaku. 1 shaku = 0.33 meter jadi 100×0.33 = 33 meter. Bahasa Inggrisnya Kannon adalah Kwanyin. Dan karena terletak di celah bukit, kesannya memang lebih dingin dan lembab. Memang masih baru usianya, baru 44 tahun, belum terlalu lama kan? Tapi tetap saja suasananya membuat ingin berlama-lama di situ, tapi karena pelataran parkir dan kompleks kuil Nihondera akan ditutup jam 5, kami harus bergegas pulang. Tentu saja setelah berfoto di situ. (Dan batere Canon G9 kami dut di situ, untung ada kamera HP, dan kamera lama cadangan Canon G6).

(Foto kanan di atas adalah Tempat Mengintip Neraka sedangkan patung Kannonsama di sebelah kanan bawah)

Perjalanan pulang lebih cepat (tentu saja) tapi hal ini lebih disebabkan karena banyak pegangan yang bisa aku pakai selama menurun. Karena biasanya tangga turun sebetulnya lebih menakutkan daripada tangga naik. Dan waktu menuruni lembah itu lutut kita akan menahan berat badan, sehingga sampai pada suatu waktu dimana lutut kita akan bergetar. Nah, di sini ada pepatah yang mengatakan “Hisa ga warau” (Lututnya tertawa… ya bergetar/gemetaran mirip dengan tertawa kan). Jadi waktu tiba-tiba Riku mengatakan “Hisa ga warau”, kami benar-benar tertawa karena memang begitulah keadaan kami.

Kami sampai di pelataran parkir lewat dari jam lima dan tinggal tiga mobil yang berada di situ. Kami menuju jalan pulang dan mampir di tempat pemberangkatan ferry di Kanaya. Di sini kami menangkap matahari senja perlahan tenggelam di kejauhan, dan Nokogiri yama yang telah kami tinggalkan di sebelah kiri kami.

Pikir-pikir ternyata naik ferry jauuuh lebih mahal daripada naik jalan tol lewat AquaLine. Bedanya ada 5000 yen, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang melalui jalan yang sama, dan naik ferrynya lain kali saja. Untung saja, karena pemandangan di Umi hotaru pada malam hari juga indah.

menikmati senja di pantai penyeberangan ferry, dengan laut di muka, dan gunung Nokogiri di samping kiri

Well, kami sampai di rumah pukul 8 malam dengan kaki sakit, tapi puas bisa berjalan-jalan satu hari. Benar-benar perjalanan kami hari ini (Sabtu, 23 Januari 2010) bisa diberi judul  From the bottom of the sea, to the top of the Mountain.

From the bottom of the sea….

25 Jan

Ini merupakan bagian pertama dari perjalanan de miyashita hari Sabtu tanggal 23 Januari lalu.

Bagaimana rasanya jika kamu tahu kamu berada di dalam laut? Seperti berada di dalam kapal selam? Wuih aku membayangkannya saja sudah ngeri!! Terus terang aku memang punya penyakit panic syndrome plus phobia tidak bisa berada dalam ruangan tertutup, kecil dan tidak ada jendela yang menghubungkan aku dengan langit. Untuk lift aku masih bisa, karena bergerak cepat, tapi untuk kereta subway, memang aku belum bisa mencobanya lagi sejak aku mengidap penyakit ini 10 tahun yang lalu.

Nah, hari Sabtu kemarin, aku mau tidak mau harus menjalani kesempatan untuk berada di dalam laut, tepatnya di bawah dasar laut, dalam ruang berupa terowongan tertutup, tapi dalam mobil. Karena kebetulan Gen libur hari Sabtu dan Minggu, libur berturut-turut dua hari, merupakan kemewahan bagi Gen dan kami. Apalagi waktu kami memulai hari pukul 8 pagi Sabtu itu, hari benar-benar cerah, dan kami putuskan untuk menikmati kecerahan hari di LUAR, di UDARA TERBUKA.

Jadi kami memutuskan untuk pergi ke laut, dan karena kami jarang pergi ke daerah Chiba, maka kami tentukan untuk ke prefektur yang terletak bersebelahan dengan Tokyo. Tokyo bersebelahan dengan Yokohama dan Chiba, tapi sebetulnya bisa dikatakan untuk ke Yokohama tidak dihalangi oleh teluk Tokyo seperti kalau ingin ke Chiba. Nah, keadaan geografis yang seperti inilah yang membuat seakan Tokyo dan Chiba itu jauh.

Peta teluk Tokyo, kami melintasi Aqua Line yang bergaris merah dari kiri ke kanan

Nah, di situ aku menyarankan untuk pergi melalui jalan pintas yaitu AQUALINE, perpaduan terowongan bawah laut dan jembatan yang menghubungkan dua prefektur (Kanagawa dan Chiba) di Jepang ini. Aku sudah pernah 2 kali melewati Aqua Line, meskipun sambil deg-degan, bersama rombongan orang-orang Indonesia dengan naik bus. Selama bukan aku yang nyetir, memang tidak apa-apa. Dan tentu saja kami lupa berada di mana karena tidak henti bercakap-cakap.

Dahulu waktu jalur ini baru dibuka, aku ingat sekali biayanya mahal, yaitu sekitar 7000 yen. Karena banyak yang protes, dan mungkin campur tangan politik, maka sekarang biaya tolnya hanya 4000-an. Tapi…. ternyata setelah ada kebijakan pemerintah agar masyarakat menggunakan uangnya demi perputaran ekonomi, dan menyamaratakan semua biaya tol kemana saja menjadi 1000, plus pemakaian ETC maka kami bisa melintasi Aqua Line itu dengan hanya membayar 800 yen saja.

Jalur bernama Tokyo Wan Aqua-Line Expressway jika menurut penamaan lama adalah Jalan Negara No 409. Diresmikan pada tanggal 18 Desember 1997, sepanjang 15, 1 km, dimulai dari Kawasaki sampai Kisarazu. Jika berangkat dari sisi Kawasaki, 9,6 km pertama berbentuk tunnel bawah laut, kemudian kita akan sampai di Parking Area (PA) berupa pulau buatan bernama UMI HOTARU (arti harafiahnya: kunang-kunang laut). Dari PA ini kemudian AquaLine ini disambung dengan 4,4 km jembatan yang diberi nama Aqua Bridge menuju Kisarazu di Chiba. Akan tetapi persis kira-kira di pertengahan Aqua Tunnel terdapat sebuah pulau buatan yang diberi nama Pulau Buatan Kawasaki / Menara Angin. Menara ini sengaja dibuat untuk mengatur sirkulasi udara di dalam tunnel yang panjangnya hampir 10 km itu.

Begitu masuk pintu Kawasaki, kami memasuki tunnel yang diterangi lampu. Di sini ada peraturan untuk tidak membawa barang berbahaya dan tidak saling mendahului. Waktu aku sedang sibuk memotret dalam tunnel, tiba-tiba HPku berbunyi! Ada telepon! Cukup kaget, ternyata masuk juga sampai di dasar lautan tuh. Kabarnya terowongan ini berada di kedalaman 56 m di bawah dasar laut yang terdalam.

Dalam Aqua Tunnel, di kedalaman 56 m dari dasar laut, sepanjang 10 km

Sambil berbicara dengan temanku itu, sempat dia mengatakan, “Semoga jangan sampai pecah ya tunnelnya”. Hmmm sesaat aku sempat berpikir juga, kalau tiba-tiba gempa bagaimana ya? Tapi langsung aku tepiskan bayangan macam-macam, sambil berpikir…. yah kalaupun mati, matinya berempat sekaligus. hehehe (hush bukan lelucon ah mel…)

Hampir 10 km lewat dalam waktu kurang dari 10 menit. Kami sampai di Umi Hotaru, Parking Area yang dibangun di pulau buatan. Kabarnya PA ini bisa menampung 90 an bus, dan 400 mobil biasa. Sebelum masuk tunnel, katanya sih parkir penuh, tapi waktu kami sampai di sana, masih cukup banyak kok tempat kosong. Namun karena takut tidak kebagian tempat, kami terpaksa parkir di tempat yang agak jauh dari pusat perbelanjaan/istirahatnya.

Di sebelah kanan ada kelihatan bangunan putih. Itulah Menara Angin yang berada persis di tengah-tengah Aqua Tunnel

Umi hotaru terdiri dari 4 tingkat, dengan toko-toko dan game center dan tentu saja ada deck utama dengan pemandangan ke arah Tokyo. Kami bisa melihat tempat kamu masuk di kejauhan dan tepat di tengah-tengahnya adalah Menara Angin. Waktu itu persis ada pesawat yang akan mendarat di pelabuhan Haneda, yang terletak di sebelah kanan kami. Well, pemandangan waktu malam hari juga menawan (pulangnya kami juga melewati tempat ini lagi).

Tadi kami tuh berada di bawah laut itu loh hiiiiii

Berhubung sudah waktu makan siang, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di Food Court di Umi Hotaru ini, makan di atas Teluk Tokyo. Kalau aku sih pilih nasi tempura, tapi Gen memilih nasi dengan topping kerang asari (dan ternyata tidak enak hihihi).  Setelah memesan kami mendapat sebuah pager panggilan jika makanan kami sudah selesai. Jadi ingat postingan Pak Oemar Bakrie yang ini. Cuma memang bentuknya lain, yang di Jepang persegi panjang.

Akhirnya setelah makan kami keluar dari bangunan utama berbentuk kapal, dan kembali ke parkiran, kami menemukan museum kecil atau pusat data teknis mengenai pembangunan Aqua Tunnel ini. Sayang sekali tidak ada pamflet yang disediakan. Padahal kalau ada pamflet ingin saya kirimkan pada Mbak Tuti Nonka. Seharian itu pikiran saya melayang ke Mbak Tuti Nonka, ingin mengajak main ke Aqua Line ini. Soalnya Mbak Tuti kan memang hobbynya mengunjungi jembatan ya Mbak hehehe. (Mbak, kegigit ngga mbak, hari Sabtu lalu hehehe).

Shield dari Aqua Tunnel. Banyak panel-panel di museum kecil ini mengenai pembuatan terowongan bawah laut Aqua Tunnel.

Gen dan anak-anak senang sekali bisa melihat pemandangan laut dan sekaligus melintasi terowongan bawah laut pertama kali.
“Kok mama  sudah pernah ke sini sih? Kenapa papa belum pernah?” tanya Riku.
Jawab Gen, “Mama kan jalan-jalan terus, jadi sudah kemana-mana di Jepang, Papa belajar terus sih…”
hahaha…. tapi memang aku akui bahwa selama aku menjadi mahasiswa di Jepang, aku sudah pergi ke tempat-tempat yang sedangkan orang Jepang saja belum pernah pergi. Jadi? Kapan belajarnya dong? hihihihi….

Riku di depan pusat data teknis Aqua Line bernama Umi Megane

(Filsafatnya begini… kalau kamu merasa tidak akan kembali lagi ke suatu tempat, maka semua tempat akan dijelajahi, tapi jika kamu toh akan tinggal di situ, halaman rumahpun belum tentu dijelajahi…..)

bersambung ke     …. to the top of the Mountain

Museum Pangeran Kecil

12 Jan

Pernahkah Anda begitu gembira melihat pemandangan terhampar di depan Anda, dan membuat Anda ingin kembali menjadi anak-anak? Well, kemarin Gen mengatakan begitu. Dia ingin menjadi anak-anak kembali. Tapi aku justru kebalikan, begitu aku melihat pemandangan itu, aku ingin menjadi wanita dewasa, a lady yang duduk di Terrace Cafe menikmati cappucino sambil mendengar chanson yang mengalun. Pandangan aku dan Gen memang berbeda mengenai apa yang kami lihat, padahal kami menikmati pemandangan yang sama. Mungkin karena setting dan waktu kami bertemu dengan tokoh hari ini yang berlainan.

“Le Petit Prince” yang diterjemahkan menjadi “Pangeran Kecil” dalam bahasa Indonesia (terbitan Gramedia), adalah sebuah buku karangan Antoine de Saint-Exupery. Dalam bahasa Jepang menjadi Hoshi no Oujisama 星の王子様. Buku dalam bahasa Jepang memang sudah lama kutemukan dalam rak buku kami. Yang pasti sudah 10 tahun berada di apartemen kami, selama usia pernikahan Gen dan aku. Dari covernya seperti ehon atau picture book, tapi terlalu banyak kata-kata, sehingga terus terang, tidak menarik aku untuk membacanya.

Aku tak mengira bahwa buku ini sudah diterjemahkan dalam 108 bahasa!

Aku bertemu dengan buku ini kedua kalinya, waktu Yoga meminjamkannya  waktu aku mudik bulan Februari tahun lalu. Dia sangat merekomendasikan buku ini, dan memperbolehkan aku memilikinya.

Buku “Le Petit Prince” menurut wikipedia Jepang, telah terjual 80 juta exemplar di seluruh dunia, dan di Jepang saja terjual 6 juta exemplar. Buku ini telah diterjemahkan dalam 180 lebih bahasa dunia. Menceritakan tentang pertemuan sang tokoh, seorang pilot yang sedang membetulkan pesawat dengan seorang pangeran kecil dari planet kecil.

Seperti yang telah dikatakan  Saint-Exupery dalam halaman persembahannya, dia menulis buku itu untuk seorang dewasa bukan kepada anak-anak (padahal ini adalah buku cerita anak-anak). Karena katanya, orang dewasa yang bernama Leon Werth, adalah sahabat terbaiknya di dunia, yang memahami segalanya bahkan buku anak-anak… dan dia tinggal di Perancis dengan kelaparan dan kedinginan, sehingga membutuhkan banyak hiburan. Well aku juga merasa tulisannya ini sulit. Pertama membaca tulisannya, terus terang aku tidak mengerti. Tidak mengerti jalan ceritanya. Meskipun aku menangkap beberapa filosofis pemikiran yang ada.(Karena tulisan ini tentang museumnya, maka aku tidak menulis isi buku secara detil)

Dengan berbekal cerita yang telah kubaca sampai halaman 90, dan tidak bisa kumengerti seluruhnya itu, aku memasuki “Le Petit Prince Museum”, yang terletak di Hakone, masih masuk perfektur Kanagawa, kemarin sore (11 Januari 2009). Museum ini didirikan tahun 1999, untuk memperingati 100 th hari lahir Saint- Exupery. Dan perlu kuwanti-wanti bagi yang mau ke museum ini. Bacalah dulu ceritanya, meskipun tidak mengerti. Akan lain sekali pandangan orang yang sudah pernah membaca dan hanya sekedar tahu judul saja. Dan aku beruntung sudah membacanya.

Setelah kami membayar 300 yen untuk parkir, kami langsung turun dan berpotret di depan kolam dengan patung Prince di atas planetnya. Ya, aku mengerti bahwa Prince tinggal di planet kecil dengan bunga mawarnya. Lucunya waktu itu ada seorang ibu yang sedang memotret suaminya dan bayinya. Lalu aku menawarkan untuk memotret mereka bertiga. Sebagai balasannya, kami berempat dipotret mereka. Jarang sekali kami mempunyai foto berempat.

Berfoto di depan kolam Prince dengan Planetnya

Hakone terletak di gunung, sehingga lebih dingin dari Tokyo. Dan kami bisa melihat air di dalam kolam membeku menjadi es. Yang juga membuat aku senang adalah Kai. Dia tanpa malu dan takut, jalan sana sini menyusuri tempat-tempat yang luas, yang masih berada dalam jarak pandang kami. Biasanya di Tokyo semua serba sempit, tapi di sini luas dan tidak berbahaya (pengunjungnya juga sedikit).

Kami membeli karcis, yang cukup mahal menurut kami. Untuk dewasa 1500 yen dan anak-anak 700 yen (Kai tidak membayar). Di sebelah kiri tempat penjualan tiket, kami disambut dengan taman mawar dalam lorong, yang akan membawa kami ke sebuah perkampungan di Perancis sana.

Mulai di sini kami senang sekali. Betapa sebuah pemandangan bisa membuat hati damai dan tentram. Dari pagar terlihat pohon Natal besar di tengah taman. Ada beberapa point di taman yang memberikan kesan perancis yang kental. Diselang-seling dengan patung Pangeran juga hints dari latar belakang si pengarang, Saint-Exupery. Deretan rumah bagaikan di provence itu membuatku ingin berwisata ke Perancis lagi.

Menaiki setapak berbatu menuju halaman tengah, kami ditemani alunan chanson, lagu berbahasa Perancis. Wahhh, aku jadi ingin belajar bahasa Perancis nih!(Sambil ingat ada CD learn French yang pernah kubeli dan belum dibuka).  Padahal sebelum ini aku malas berhubungan dengan segala yang Perancis. Whew, aku memang suka Eropa yang bersejarah itu.

Ada sebuah gereja di sebelah kanan taman, yang tidak kuingat muncul di mana dalam buku. Gen juga tidak ingat, sehingga kami berpendapat ini hanyalah tambahan supaya lebih berkesan alami. Patung Sang Raja, Geografer, Sang Pengusaha dan lain-lain, karakter yang keluar di dalam buku.

Setelah puas bermain di taman tengah itu, kami masuk ke gedung yang bernama “Theater du Petit Prince”. Begitu masuk kami disambut dengan model pesawat terbang berwarna merah. Kabarnya ini adalah pesawat yang biasa dikemudikan Saint-Exupery, yang di kenyataan juga pilot itu.

Kemudian kami masuk ke dalam sebuah ruangan dengan interior putih bagaikan Gurun Sahara. Kami disuguhkan film yang menceritakan tentang buku dan juga latar belakang si penulis, Saint-Exupery. Cukup dengan menonton film ini, aku merasa “terbuka”, yang tidak kumengerti di dalam buku, aku bisa melihat dengan lebih jelas. Wahhh buku itu memang BUKAN untuk anak-anak, itu filosofi hidup yang bagus untuk orang dewasa. (Believe it or not, sebelum menulis ini aku sempat mengulang membaca 108 halaman buku itu, dan gembira aku bisa mengerti apa yang tersirat dan tersurat).

(kiri – gambar “menakutkan”, dan kanan: “Gambarkan aku biri-biri”, yang aku rasa lucu kenapa pakai biri-biri ya? bukan domba terjemahannya hihihi)

Setelah menonton film tentang buku dan pengarangnya, kami mengikuti petunjuk dan menuju ke museum sesungguhnya. Di dalam museum, kami tidak boleh memotret. Sayang sekali, karena banyak yang bisa dipakai sebagai penjelasan terutama mengenai perjalanan sang Pengarang yang mati muda itu. Kami bisa melihat bagaimana kantor dan tempat tinggalnya di gurun Sahara, di Buenos Aires, waktu perang dunia, waktu Hitler berkuasa, bagaimana kehidupannya di Perancis, buku-buku yang telah dikarangnya, pameran gambar-gambar yang telah dilukisnya, dan terakhir showcase buku Le Petit Prince yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Dan aku merasa sedih, tidak ada terjemahan bahasa Indonesia. (Tapi yah sulit juga kalau mau memamerkan 108 bahasa yang ada).

Keluar dari museum, kami kembali mengelilingi kompleks, dan melihat detil-detil tempat yang berada dalam buku. Dan kami keluar sampai ke taman dengan pohon Natal yang sebelumnya kami lihat melalui pagar. Di sebelah kanannya terdapat restoran Perancis, yang konon masakannya terkenal enak. Sayang sekali kami sudah kenyang karena sudah makan siang di tempat lain. (Untung juga sih karena biasanya makanan perancis itu mahal dan tidak mengenyangkan hihihi). Persis di sebelah restoran terdapat toko souvenir untuk oleh-oleh. Dan seperti biasa, memang pengunjung “digiring” untuk melewati toko souvenir, dan “digoda” membeli barang-barang dengan karakter Prince. Tapi…muahal, sehingga akhirnya Gen menyerah tidak membeli apa-apa. Kalau aku? Beli dong, yang termurah, yang masih kurasa berguna.

Keluar dari Toko Souvenir sudah gelap di luar. Taman depan diterangi oleh illuminasion, lampu-lampu yang menghias taman. Well, kami amat sangat terhibur dengan perjalanan hari ini. Apalagi Gen, sampai dia berkata, “Seandainya jalanan sampai Tokyo macet berkilo-kilo pun tidak apa. Aku merasa puas sekali hari ini”. Dan sambil tersenyum kami pulang ke apartemen kami yang hangat…. dalam waktu kurang dari 3 jam.(tidak macet dan ditambah makan malam di tengah perjalanan)

Tulisan ini seharusnya adalah bagian ke tiga dari perjalanan kami kemarin. Ada lagi dua tempat yang kami kunjungi sebelum ini, tapi aku sendiri sudah tidak sabar untuk menuliskan tentang Pangeran Kecil pembawa magic ini untuk sahabatku Yoga yang sudah memperkenalkanku padanya, juga untuk Koelit Ketjil yang sedang memvisualisasikan cerita Pangeran Kecil bersama anak-anak korban gempa. Supaya adil, aku juga menuliskan ini untuk Kika Syafii, yang aktif dalam program healing anak-anak korban gempa. Kami mau semua anak-anak korban gempa…. BERGEMBIRAAAAAA….

On ne voit bien qu’avec le cœur, l’essentiel est invisible pour les yeux. (Seseorang hanya dapat melihat dengan sebaik-baiknya melalui hatinya, karena yang terpenting dalam kehidupan tidak terlihat oleh mata.)


Mix Business with Pleasure

10 Jan

Biasanya berlaku “Don’t mix bussiness with pleasure” tapi Jumat lalu, aku melanggarnya. Lebih tepatnya aku terpaksa melanggarnya.

Riku masih bengkak lehernya karena Mumps (gondong) , dan selama masih bengkak berarti masih bisa menular pada anak lain, sehingga tidak boleh ke sekolah. Sekolah di sini ketat sekali untuk hal-hal seperti ini. Padahal Jumat tanggal 8 lalu, Riku harusnya masuk sekolah sesudah libur musim dingin (26 Des-7 Jan). Karena tidak bisa ke sekolah, dan tentu saja saya tidak bisa menitipkan ke keluarga lain (ya takut lah kalau nularin anak-anak mereka kan), jadi terpaksa aku mengajak Riku ke kampus.

Kalau dulu dia sudah ke kampus Universitas Waseda (lihat: Jika Anak Libur…), kali ini dia terpaksa aku ajak ke kampus Universitas Senshu. Dari sebelumnya aku sudah wanti-wanti bahwa kampus ini jauh, jadi dia harus bisa menahan diri, jangan ngomel-ngomel. Sempat sih terpikir untuk menyetir mobil sendiri, minta Gen untuk naik bus, dan aku yang pakai mobil. Tapi…. aku sendiri yang tidak berani, karena malam sebelumnya aku kurang tidur. Sibuk menilai test mahasiswa.

Jadilah aku, Riku dan Kai keluar rumah pukul sembilan pagi. Sampai di penitipan, pas tepat mereka bersiap untuk jalan-jalan ke Taman. Kai paling senang jalan-jalan ke taman bersama teman-temannya, sehingga jarang dia menolak untuk pergi ke penitipan. Setelah menyerahkan Kai pada gurunya, aku dan Riku menuju ke stasiun. Tapi Riku berkata bahwa dia lapar… Saking sibuknya mempersiapkan macam-macam, aku tidak bisa menyiapkan sarapan paginya. Jadilah kami mampir ke Mac D dan pesan Happy set (hadiahnya Naruto soalnya, jadi aku juga ambil happy set deh, supaya dapat 2 mainan). Well, aku memang perlu datang ke universitas untuk tanda tangan saja, jadi bisa agak santai.

Riku di universitas Senshu, Ikuta

Setelah ganti kereta 2 kali dan naik bus khusus dosen dan karyawan, akhirnya kami sampai di kampus pukul 11:45. Riku senyum-senyum sendiri, ketika aku bilang bahwa mahasiswa tidak ada yang boleh naik bus ini loh. “Wah aku lebih hebat dari mahasiswa ya Ma?” hihihi…iya karena kamu sama mama jadi tidak apa.

Aku meninggalkan Riku di pelataran gedung 120th, dan menuju ke ruang dosen, untuk menyelesaikan absen. Setelah selesai, aku kembali ke tempat Riku dan mengajak dia pergi ke planetarium yang berada di sebelah kampus universitas.
“Mama sudah selesai kerjanya?”
“Sudah”
“Kok cepat? Bisa dapat uang kalau cepat begitu?”
“Hehehe ya bisa. Begini Riku, di dunia ada dua jenis pekerjaan, yang satu memakai tenaga, biasanya kerjanya lama dan dapat uang sedikit. Tapi yang satunya lagi memakai otak, biasanya kerjanya cepat, dan dapat uang banyak. Tinggal Riku mau yang mana. Kalau mau yang memakai otak, berarti Riku harus belajar yang rajin, menjadi pintar, dan bekerjalah dengan otak. Kalau Riku malas-malasan, tidak mau sekolah, ya siap-siap saja bekerja dengan tenaga, tetapi dapat uang sedikit.”
Dia diam saja, masih belum mengerti.

Karena aku sendiri tidak tahu tepat letak planetarium itu, aku bertanya pada petugas satpam universitas. Untung saja dari tempat universitas kami, jalannya menurun. Tidak begitu jauh, hanya jalan 15 menit, tapi jika sebaliknya harus menanjak, pasti menggeh-menggeh deh.

Planetarium ini terletak dalam satu wilayah yang bernama Ikuta Ryokuchi, Wilayah Hijau Ikuta. Di sini terdapat beberapa bangunan rumah tradisional Jepang, Nihon Minka-en 日本民家園. Yang masing-masing harga masuknya 500 yen. Wahhh lumayan juga jika mau masuk ke sekitar 10 rumah di situ (meskipun untuk anak SD gratis).

Tapi Riku tidak mau mampir-mampir. Tujuannya hanya satu, yaitu Planetarium. OK, karena Riku juga sudah mau menemani aku, jadi sekarang gantian Mamanya temani Riku. Tapi…. begitu kami sampai di planetarium harus menggigit jari. Apa pasal?

Planetariumnya kecillll... hihihi

Kami sampai di tempat itu pukul 12:30. Dan tiket untuk menonton planetarium baru dijual pukul 2:00, baru bisa masuk ke dalamnya jam 2:40, dan pertunjukan mulai jam 3. Waduuuhhh… aku tidak tahu informasi ini. Di website tidak ada informasi ini. Tadinya aku tidak mau mengecewakan Riku, dan kami sempat  menunggu setengah jam. Tadinya memang karena kena matahari terasa hangat, tapi semakin siang, matahari mulai ngumpet di balik awan, mulai terasa dingin. Jadi aku tanya apakah Riku benar-benar mau menunggu selama itu? (Perut mulai lapar juga)

Akhirnya Riku bilang, “Pulang aja yuuk ma”… horeeee itu yang kutunggu hihihi. Jadi kami menuruni planetarium menuju jalan besar. Nah, masalahnya aku tidak tahu berada di mana, dan bagaimana caranya untuk ke stasiun terdekat. Untung di dekat jalan besar itu ada perbaikan jalan,  dan ada seorang ibu yang bekerja mengatur jalan. Kami bertanya pada ibu itu, dan disarankan jalan kaki ke stasiun. Katanya sih tidak begitu jauh, sekitar 10 menit. Hmmm. Tidak ada bus, tidak ada taxi.

Ada lokomotif di depan planetarium, jadi berfoto deh ngabisin waktu

Baru aku selesai bicara dengan si ibu itu, tiba-tiba aku lihat taxi turun dari tanjakan. Langsung deh aku angkat tangan memanggil taxi itu. Si ibu langsung bilang, “Lucky!!”.

Sampai di stasiun, makan spaghetti dan pizza dulu baru pulang. Well, kami akhirnya tidak jadi nonton planetarium memang. Tapi setelah sampai di rumah, Riku mengakui bahwa dia juga capek. “Aku ngerti kenapa mama hari Jumat selalu capek. Jauh sekali ya?” ….

Jumat itu aku telah mix kerja dan pleasure. Pleasure menghabiskan satu hari bersama Riku.

Yamashita Park and Pecinan

30 Des

Pagi hari aku sebetulnya menantikan fajar. Tapi ternyata karena kamar kami mengharap ke utara, tidak bisa melihat matahari terbit. Pemandangan yang sama, pada malam hari dan pagi hari, amatlah berbeda.

pelabuhan pukul 7 pagi hari

Karena paket hotel termasuk sarapan, maka kami menuju Restaurant normandie yang berada di lantai 5. Sebetulnya tempat ini bagus sekali kalau malam, tapi harganya juga bagus sekali. Untung saja sarapan disediakan di tempat ini sehingga kami bisa melihat bagian dalamnya seperti apa.

Dan oleh pelayan kami diberi tempat duduk di dekat jendela, yang pemandangannya bagus sekali (kalau malam pasti harus reservasi nih). Breakfast menunya sendiri tidak begitu wah, malahan aku jadi ingin makan bubur ayam hihihi.

Sinar matahari yang menyirami bumi terlihat begitu hangat sehingga kami memutuskan untuk jalan-jalan pagi sebelum check out. Tapi begitu kami sampai di lantai satu, brrrrrr angin menyambut kami, sehingga kami kembali lagi ke kamar mengambil coat.

Banyak orang berjalan kaki, atau jongging di Yamashita Park ini. Atau hanya sekedar duduk sebentar (karena kalau lama-lama meskipun di bawah sinar matahari tetap saja menggigil). Di situ ada kolam dengan patung dan dikelilingi 5  lonceng yang rupanya sebagai tanda kerjasama sister city dengan San Diego.

Kapal Hikawamaru yang ditambatkan juga lain penampilannya dengan waktu malam hari. Aku lebih suka malam hari…. lebih mistis. Tapi aku menemukan sesuatu yang lucu di rantai jangkar kapal. Yaitu deretan burung camar yang berbaris rapih. Sementara yang tidak kebagian tempat terbang atau berenang di perairan di bawahnya, yang lumayan riaknya gara-gara angin.

Karena semakin merasa dingin, aku mengajak Gen kembali ke hotel melewati jalan yang lain. Rupanya di situ juga ada taman bunga mawar yang sedang berbunga. Sementara di sebelah kiri ada lapangan rumput yang luas tempat anak-anak bermain. Ahhhh pemandangan seperti ini selalu membuat hati merasa damai. Sambil merasa iri, mengapa di Indonesia tidak ada tempat yang bersih seperti ini.

Sambil pulang ke kamar, kami juga menyempatkan diri mampir lagi ke lobby gedung utama yang bersejarah dengan interior khasnya, dan taman hotel dengan air mancurnya.

Kami cepat-cepat check out pukul 11, terlambat 5 menit, dan menemui antrian tamu lain yang check out. Antri bo…. dan tidak lama… sama sekali tidak lama. Padahal ada lebih dari 20 tamu yang sedang antri.

Karena kami boleh memakai parkir sampai jam 1, maka kami menaruh barang kami yang tidak perlu, lalu berjalan ke arah China Town. Benar saja pemandangan China Town di siang hari lain sekali dengan waktu malam hari. Tentu saja lebih bagus waktu malam. Tapi, semua toko terbuka, dan kami menemukan “tongcai” . Itu loh sejenis sayuran kering dengan rasa asin-asin untuk bubur ayam. Dijual dalam keramik bundar. Waktu kami lihat wahhh, murah, hanya 250 yen. Jadi beli deh.

Selain itu aku juga melihat kue china yang dulu waktu SD sering kami makan. berbentuk bundar merah. Dulu kami sering bermain “hosti-hosti”an dengan snack ini. Setelah aku bisa baca kanji baru tahu namanya di Jepang adalah Sanjashi さんざし(山楂子) , bahasa Inggrisnya Hawthorn dan ternyata terbuat dari buah yang banyak mengandung vitamin C, dan berguna untuk memperlancar pencernaan. Hmmm musti kasih makan Kai nih, dia suka sembelit soalnya.

Wah memang masuk ke toko cina itu asyik, asal bisa baca hehehe. Ada keringan kuda laut, ada shark fin juga. Waktu Gen bilang, mau beli? Duh aku ngga tau masaknya gimana….

Tujuan kami di Pecinan sebetulnya adalah Kuil Kanteibyo (Kuil Guan Gong). Aku sudah beberapa kali pergi ke China Town Yokohama, tapi belum pernah sampai ke kuil ini. Dan kali ini harus bisa kesampaian.

Begitu sampai di temple ini, wahhh deh. Amat lain dengan kuil-kuil Jepang yang umumnya tidak “berwarna”. Kuil Cina memang jauh lebih meriah, semarak dan berwarna warni. Emas dan Merah sudah pasti. Guan Gong adalah dewa untuk keadilan, keberanian dan kesetiaan. Bagi yang ingin berdoa, diharapkan  untuk membeli batangan dupa yang cukup besar (berbeda dengan Jepang yang pendek dan berwarna hijau), paling sedikit 5 batang untuk dipasang di lima tempat. Karena kami tidak bermaksud berdoa, kami tidak membeli dupa, tapi masih diperbolehkan naik sampai ke depan altarnya. Wah semakin dekat dengan gerbang dan atap, semakin silau mata memandang. Apalagi waktu itu matahari terang benderang, meskipun tidak berarti panas hehehe.

Aku bayangkan kuil ini pasti ramai sekali kalau Tahun Baru Imlek, lengkap dengan barongsai dan musiknya…. Dan aku sambil menuliskan ini berdoa untuk arwah Gus Dur, Presiden Indonesia ke 4 yang berani memperbolehkan Imlek dirayakan di Indonesia.

Begitu turun dari kuil tersebut aku membeli taiyaki, sejenis kue dorayaki tapi berbentuk ikan mas. Tapi taiyakinya berwarna putih dengan isi custard, coklat dan anko (selai kacang merah). Riku ingin sekali makan taiyaki rasa coklat, jadi sekalian beli untuk oleh-oleh Riku.

Taiyaki berwarna putih. Ikan mas sering dipakai sebagai lambang dalam selamatan

Sambil berjalan ke arah hotel, kami menemukan keganjilan, yaitu melihat Sang Merah Putih berkibar di sebuah toko. Langsung deh tergerak nasionalisme kami (uhuuy…lebay amat), dan masuk ke toko itu. Siapa tahu menjual barang-barang Indonesia. Eeeehhh ternyata hanya merupakan kumpulan toko-toko kecil yang menjual macam-macam baju, assecories, buku, hobby dan lain-lain. Kecil memang tapi cukup menyenangkan, dan yang pasti WC nya yang terletak di lantai 3 itu bersih benar! Jadi, ngapain dong pasang Sang Merah Putih? Pasti yang pasang asal milih saja deh, bendera negara mana juga jadi (atau malah dia pikir itu bendera Polandia ya?)

bendera merah putih yang menarik perhatian kami....

Nah terakhir kami akhirnya mampir ke sebuah toko yang menjual segala “panggangan”. Ada ayam, bebek, hati ayam, babi merah (chashu), babi asin (yang asin jarang sekali ada di Jepang) padahal di “Kenanga” Jakarta banyak tuh dan tidak pake sambal khasnya…. Toko ini sebetulnya lebih melayani pembelian untuk dibawa pulang (take away) dijual langsung per gramnya, atau dalam bentuk obento (set dengan nasi). Tapi mereka juga punya kamar makan di atas khusus untuk orang yang sudah pesan. Ada seorang obasan (ibu-ibu) yang menawarkan kami untuk makan di atas saja. Jadilah kami memesan set panggangan untuk lunch , karena malas membawa pulang ke rumah. Harganya 1000 yen, tapi dagingnya banyak euy, jadi puas deh.

kiri: babi panggang merah dan putih; kanan : bebek panggang dan ayam

Akhirnya kami harus berlari-lari ke parkiran hotel karena waktu sudah menunjukkan pukul 1. Padahal aku bilang, biarlah kalau perlu kita membayar tambahan parkir juga tidak apa-apa. Paling cuma untuk setengah jam. Jadi sekitar pukul 1:25 an kami naiki lagi lift mobil dari B4 untuk keluar. Ternyata kami sama sekali tidak usah membayar kelebihannya. Tau gitu kan…. nambah hihihi (ngelunjak itu sih!)

Well, berakhirlah bulan madu ke 4 kami. Pertama ke Raffless Hotel Singapore, ke dua ke Ritz Carlton Bali, ke tiga Makassar Golden Hotel, dan ke empat Hotel New Grand Yokohama. Mungkin ada yang tanya, kok suka nginap di hotel-hotel begituan sih? Well, kebetulan pekerjaan Gen berhubungan dengan hospitality, jadi kami ingin menjadi “Hotel Critics” ceritanya. Tapi karena bayar sendiri, frekuensinya sedikit deh. Nanti kalau anak-anak sudah besar, boleh juga tuh menjadi pekerjaan pokokku hehehe.

New Grand

29 Des

Nama lengkapnya Hotel New Grand, Yokohama. Terletak persis di depan perairan dan Taman Yamashita (Jangan salah, bukan Miyashita loh…sering sekali orang salah menyebutkan nama keluarga kami). Hotel ini yang dipilih oleh Gen, waktu aku mencari-cari kamar hotel yang kosong secara online untuk tanggal 26 Desember. Padahal aku sebetulnya lebih tertarik pada Royal Park Hotel Yokohama, karena waktu 10 tahun yang lalu, kami tidak jadi menginap di situ dan memberikan jatah kamar kami untuk keluarga yang datang dari Jakarta. Kamar di Royal Park Hotel, yang bersebelahan dengan Landmark Tower  ini mempunyai kamar mandi berjendela bulat sehingga seakan-akan berada dalam Kapal dengan pemandangan pantai Yokohama yang spektakuler, karena kamar teratas berada di tingkat 67. Bayangkan saja…pasti bagus kan.

Tapi memang Hotel New Grand ini adalah hotel klasik, hotel yang kuno karena hotel ini mulai dibangun tahun 1926, dan selesai tahun 1927. Tidak kurang dari Jendral Mac Arthur pernah menggunakan ruangan di hotel ini sebagai ruang kerjanya, sehingga ada ruang suite bed room bernama Ruang Mac Arthur. Harga permalamnya? 140.ooo yen aja (14 juta rupiah saja).

Dan Gen berkata bahwa, seandainya dia menginap di hotel, dia ingin menginap di Hotel New Grand. Aku tadinya pikir mungkin karena dia suka sejarahnya, tapi ternyata setelah kami menginap baru dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh sebuah film. Film Amerika yang berjudul Somewhere in Time, yang dibintangi Christopher Reeve & Jane Seymour. Nama hotel yang ada di film itu ternyata GRAND HOTEL, Mackinac Island Michigan.

Kebetulan saja namanya sama…. ada grand nya. Soalnya arsitekturnya agak beda deh. Tapi pas aku cari daftar harganya? well hampir sama ….mahalnya hihihi. Dan Gen bilang, kalau gitu nanti anniversary (10 tahun lagi) usahakan di Michigan yuuuk hihihi. Tapi siapa tahu ada kesempatan ke Amerika, biar kamar yang termurah lumayan juga tuh… (Aku sama sekali ngga ada keinginan untuk ke Amerika sih). Ternyata setelah cari keterangan tentang Grand Hotel ini, diketahui bahwa hotel itu tutup selama bulan November-Januari. Jadi sudah tidak bisa deh ke sana untuk merayakan anniversary…(syukurlah hihihi). Kalau mau pergi harus summer.

Jadi setelah kami selesai mengunjungi Rumah Diplomat dan Bluff No 18, kami menuju ke Yamashita-cho, Hotel New Grand Yokohama. Karena kami menginap, kami bisa memarkir mobil kami di parkiran hotel. Kalau tamu biasa belum tentu, karena hotel hanya mempunyai 140 space untuk mobil. Biaya parkir sehari untuk tamu yang menginap 1500 yen. Dan… kami berdua terkejut sekali waktu petugas mempersilakan kami tetap berada dalam mobil dan memasuki LIFT MOBIL.

Biasanya parkir di Jepang memang bertingkat, tapi yang masuk lift hanya mobilnya saja. Pengemudi dan penumpang turun sebelum mobil memasuki lift. Mobil kemudian akan diputar-putar menempati  space yang kosong dengan mesin-mesin yang ada. Tapi di hotel ini ternyata, kami juga harus nunut dalam mobil dan turun ke lantai 4 bawah tanah. Wuiiih, untung berdua Gen dan bukan aku yang nyetir…. Kalau tidak aku bisa semaput kali. (perlu diketahui aku tidak bisa masuk ke ruangan bawah tanah karena panic syndrome. Jadi kita merasa lift bergerak turun, dan saat itu yang aku pikir, “hiii gini kali kalau masuk liang kubur” hihihihi padahal kalau mati kan ngga ngerasa lagi atuh.

Begitu sampai di lantai 4 basement, kami mengeluarkan mobil dari lift, dan parkir mobil seperti biasa. Jadi saking sempitnya lahan parkir, tidak ada space untuk membuat jalan bertangga untuk mobil, dan lift mobil menjadi solusinya. Selanjutnya seperti parkir mobil biasa saja, dan kami naik lift ke lantai satu, lobby, untuk check in. Salah satu servis mereka yang saya rasa bagus adalah mereka tidak mencetak bill kosong dengan kartu kredit kita dulu sebelumnya. Tindakan seperti ini biasanya dilakukan pihak hotel (terutama di Indonesia) untuk menghindari tamu “lari”. Atau biasanya kita wajib membayar uang muka, atau bahkan membayar biaya penginapan di muka jika hanya menginap satu malam. Tapi Hotel New Grand ini tidak melakukan tindakan preventif seperti itu. Entah kenapa.

Karena waktu memesan kamar aku mengatakan bahwa kami menginap untuk memperingati ulang tahun pernikahan, maka kami mendapat hadiah berupa buah, selain dari champagne yang memang termasuk dalam paket yang aku pilih. Tadinya aku pikir dapat buah satu keranjang, eh ternyata cuma satu orange dan dua kiwi. dihh pelit ya hihihi (kalau di Indonesia buah murah sih, jadi hadiahnya bisa buah satu keranjang deh).

Kami diantar ke kamar “Premier Suite” (belum sanggup yang “Presidential Suite”) yang terletak di lantai 17, gedung baru yang merupakan gedung tambahan (annex) dari hotel utama (Hotel utamanya sendiri hanya berlantai 5).  Kamar seluas 64 meter persegi dibagi dua kamar, yaitu kamar tamu dan kamar tidur. Wah serasa di apartemen yang luas euy. Maklum orang Jepang tidak biasa dengan ruangan yang seluas ini.

Kamar mandi terdiri dari bath tub dan dua bilik, yang satu adalah WC dan satu lagi shower room. Dilengkapi dengan cermin besar dan amenities lengkap. Selain itu bagi wanita diberikan hadiah extra perawatan kulit dari Pola cosmetic.

Tapi yang paling super di kamar ini adalah pemandangannya. Kamar kami langsung menghadap ke Minato Mirai, tempat gedung-gedung tinggi termasuk Landmark Tower dan cosmo world berada.  Memang paket yang aku pilih ini judulnya “night view and champagne to welcome a new year”. Sayangnya tidak bisa keluar ke beranda, karena alasan keamanan. Kecuali waktu emergency tentunya. Jadi terpaksa deh memotret dari dalam kamar dengan cara mematikan semua lampu kamar supaya tidak membayang.

Pukul 6:30 kami keluar kamar menuju lantai di bawah kami, lantai 16 tepat “The Club” berada. Hanya penghuni kamar di lantai 15, 16, dan 17 saja yang bisa masuk ke “The Club” ini, dan penghuni kamar biasa di lantai 14 ke bawah juga tidak bisa “naik”  tanpa ada kunci khusus.  The Club menyediakan cocktail sebagai welcome drink.

Setelah minum satu gelas, kami turun ke bawah, melewati taman tengah hotel dan menuju ke Marine Tower. Kami memang belum merencanakan makan malam di mana, karena kami tidak mau terikat waktu dengan mengadakan booking restoran dan lain-lain. Bahkan kalau perlu kami bisa makan hamburger saja, karena ingin menikmati tujuan sesudah makan malam, yaitu mencoba Bar Sea Guardian dan juga champagne di kamar.

Akhirnya kami makan malam di sebuah restoran masakan italia “The Bund” di bawah Marine Tower. Spaghetti clasic, peperoncino dan crab cream spaghetti. Waktu spaghetti datang, kami sempat tertawa karena porsinya kecil sekali. Coba saja lihat perbandingan dengan rokoknya Gen. Tapi untung deh kami tidak pesan tambahan makanan, karena sebetulnya rasanya biasa-biasa saja.

Setelah dari restoran ini, kami jalan-jalan ke China Town yang berjarak hanya 200 meter dari hotel kami. Siapa tahu kami menjadi lapar dan bisa nyemil mie di sana hihihi. Tapi di China Town ini kami akhirnya hanya membeli oleh-oleh kue bulan untuk ibunya Gen, dan CAKWE! Duh seneng sekali mendapat cakwe di sini, karena sudah lama aku tidak membuat bubur ayam. Langsung Gen minta dibuatkan bubur ayam begitu sempat.

Pemandangan China Town di malam hari memang menarik. Lampu-lampu dan lampion, serta hiasan khas cina berwarna merah, emas dan kunis, mengkilau diterpa sinar lampu. Sayang sekali sudah cukup banyak toko yang menjual bahan makanan sudah tutup, sehingga kami memutuskan untuk  kembali ke hotel.

The night sill young….  Baru jam 9 malam. Jadi kami bukannya kembali ke hotel malah berjalan terus ke arah laut. Yamashita Park. Persis di posisi depan hotel, dilabuhkan kapal Hikawamaru, yang merupakan kapal pelatih. Kapal ini dihiasi lampu di sepanjang badannya sehingga menggoda untuk difoto.

Karena angin laut semakin dingin, kami akhirnya kembali ke hotel, dan menuju ke Bar Sea Guardian. Ternyata penuh sehingga kami diminta untuk menunggu saja di kamar, untuk kemudian ditelepon jika sudah ada kursi kosong. Dan sementara kami menunggu telepon, kami menikmati champagne di kamar, sambil memandang pemandangan malam hari lewat jendela.

Setelah mendapat telepon, kami pergi ke Bar Sea Guardian. Kami pikir harga-harga minuman di Bar Sea Guardian itu mahal, ternyata tidak seberapa juga, dan memang kami tidak memesan lebih dari satu jenis minuman masing-masing, karena masih ada tiga perempat  botol champagne yang musti dihabiskan.

Ada satu penemuanku di Bar ini, yaitu cream cheese. Ternyata enak euy. Biasanya kami makan Camembert atau Blue cheese, sehingga kebanyakan keju yang umum sudah kami ketahui rasanya. Justru cream cheese yang sebetulnya biasa (karena biasanya dipakai sebagai bahan pembuat cheese cake) menjadi istimewa karena rasanya lain daripada yang lain.

Well memang sesuatu yang istimewa bisa jadi biasa saja, atau malah kebalikan sesuatu yang biasa bisa menjadi sangat istimewa, tergantung kita menyikapinya. Itulah hidup….. (duh filosofis sekali yah hihihi)

Dan setelah tanggal berganti menjadi 27 Desember, kami kembali ke kamar dan menikmati night view…. di luar dan di dalam 😉

foto lengkap hotel bisa dilihat di :

http://www.facebook.com/

Pilih Kenangan daripada Barang

28 Des

Bahasa Jepangnya, Mono yori omoide  ものより思い出 merupakan catch-copy atau slogan dari iklan mobil Nissan Serena. Bahwa kebersamaan dengan keluarga itu penting (dan silakan naik mobil Serena ke mana-mana…). Dan aku setuju dengan slogan ini, dan sedapat mungkin menimbun kenangan untuk anak-anakku dan diri-sendiri.

Oleh karena itu, waktu merencanakan peringatan pernikahan kami yang ke 10, saya tidak memilih “sweet ten diamond”  (lagi-lagi korban iklan bahwa peringatan pernikahan 10 th di Jepang  “wajib” dirayakan dengan membelikan berlian/diamond). Tapi memang aku agak bingung sedikit setelah sampai pada pilihan camera DSLR atau menginap di sebuah hotel di Yokohama. Camera tentu saja bisa mengabadikan kenangan-kenangan yang akan datang, tapi kesempatan untuk berduaan saja menikmati satu hari penuh? Hmmm sebuah kemewahan yang mungkin perlu kami laksanakan. Apalagi ibu mertuaku sudah bersedia untuk menjaga anak-anak selama kami pergi. Kami masih punya camera yang cukup memadai, tapi “waktu” adalah sesuatu yang tidak bisa terbeli tanpa ada dukungan berbagai pihak.

Kami berangkat dari rumah sudah cukup sore, yaitu pukul 1:30. Langsung ke rumah mertua di Yokohama dan menitipkan Kai dan Riku. Sebelumnya Riku sudah kami beritahu dan minta bantuan dia menghibur Kai seandainya menangis. Menurunkan bawaan dan sekitar jam 3 kami siap untuk berangkat lagi. Kai menangis sebentar, tapi dia juga sayang sekali pada omanya, sehingga diam saja waktu kami melambaikan tangan padanya. Kami siap untuk berangkat.

Rencananya kami akan meninggalkan mobil di rumah mertua, dan jalan kaki/naik bus/naik kereta untuk melakukan tapak tilas tempat-tempat kami pergi “pacaran” dulu. Tapi, pikir punya pikir, dengan naik kendaraan umum kami belum tentu bisa pergi ke semua tempat. Akhirnya kami tetap naik mobil untuk menuju tempat yang justru belum pernah kami kunjungi bersama. Tujuan pertama adalah Taman Italia di daerah Yamate, tempat perbukitan di depan laut.

Di Yokohama ada yang disebut sebagai kumpulan rumah-rumah arsitektur asing di Jepang. Yokohama sebagai pelabuhan pertama yang dibuka 150 tahun yang lalu memang merupakan pusat orang asing yang datang ke Jepang. Lampu gas pertama kali dipasang di Bashamichi, Yokohama. Begitu pula dengan es krim… pertama kali di jual di Yokohama. Pengaruh budaya asing bisa dijumpai di kota pelabuhan ini, yang juga mempunyai sudut khusus bagi pendatang dari China, dengan China Townnya. Yokohama adalah tempat berpadunya berbagai budaya. Dan aku cinta Yokohama (Makanya pilih universitas Yokohama hehehe)

Tekstur kota Yokohama yang unik, pelabuhan tapi berbukit-bukit, dengan tanjakan di mana-mana, membuat orang tidak kuat untuk bersepeda di sini. Sebagai sarana transportasi yang mudah adalah bus atau mobil sendiri.  Waktu mencari informasi tentang rumah-rumah diplomat itu di internet, aku sudah mikir… kuat ngga ya aku manjat bukit sebanyak ini? Jadi lega banget karena kekhawatiran itu terhapus dari daftar.

Dan memang Yokohama adalah salah satu kota yang banyak kita temui rochu, parkir di pinggir jalan (ilegal). Tadinya kami sudah akan mencari tempat parkir yang ada dan jalan sedikit, tapi waktu melihat banyak orang yang rochu di depan Gaikoukan no ie 外交官の家 dan Taman Italia, akhirnya kami juga parkir di situ. Untung tidak tertangkap polisi, kalau tidak 15.000 yen (1.500.000 rupiah) melayang.

Gaikoukan no ie 外交官の家 sebenarnya adalah rumah pribadi dari diplomat Jepang yang bernama Uchida Sadatsuchi. Beliau pernah menjadi diplomat si Shanghai, Seoul, New York, Brazil, Argentin, Denmark,  dan Turki. Rumah ini sebetulnya merupakan pembangunan kembali dari rumah sebenarnya yang ada di Shibuya, Tokyo. Arsiteknya bernama James McDonald Gardiner, dan bangunannya dikatakan sebagai gaya American Victorian. Gardiner sendiri adalah seorang arsitek yang pernah menjadi Sekolah Rikkyo, cikal bakal Universitas Rikkyo sekarang. Gardiner banyak membangun gereja-gerja akan tetapi dari sekian banyak karyanya, hanya beberapa yang masih tinggal utuh, termasuk Rumah Diplomat ini. Yang lainnya terbakar pada waktu Gempa Bumi Besar Kanto. Memang bangunan kayu berlantai dua ini megah dan konon mengejutkan masyarakat Jepang, karena bangunan ini dimiliki oleh seorang Jepang awam (bukan pemerintah atau diplomat asing).

Kami bisa memasuki bangunan ini, tanpa dipungut biaya. Masuk melalu pintu samping, karena konon, pintu utamanya tidak pernah dibuka.  Begitu masuk kami bisa melihat ruang makan, ruang tamu dan serambi depan, termasuk kamar kecil untuk tamu menunggu.

Dari lantai satu kami menaiki tangga menuju lantai dua tempat ruang tidur utama, kamar mandi dan ruang belajar berada. Mungkin karena warna kayu coklat tua, bangunan ini memang meninggalkan kesan kuno yang sacred (suci). Aku seperti berada dalam kapel gereja tua, dan yang paling jelas ada di kepala adalah kapel “Kultur Heim”, yang berada di dalam lingkungan Universitas Sophia, Tokyo.

Dalam kamar utama juga terdapat satu ruangan bulat yang hanya berisi meja tulis satu. Hmmm mungkin kalau tidak bisa tidur, sang diplomat duduk membaca di situ ya? Yang juga menarik adalah bak mandi, bath tub dengan model duduk (tidak tertanam). Keran pemutar dari keramik yang masih mengkilap.

Setelah keluar dari rumah itu kami langsung ke bagian belakang rumah yang merupakan taman Italia. Ternyata dari situ tampak belakang rumah (ngga ngerti juga sebetulnya yang mana yang depan yang mana yang belakang) terlihat begitu megah. Apalagi ada deretan cemara di samping kirinya. Sayang bulan hanya setengah, coba kalau bulan purnama…cocok deh jadi rumah berhantu hihihihi.

Persis di sebelah Rumah Diplomat yang dibatasi dengan air mancur dan kolam kecil, di bagian agak ke bawah terdapat rumah orang asing yang bernama Bluff No 18. Sampai dengan 20 tahun yang lalu, rumah ini dipakai sebagai kantor pastor paroki Gereja Yamate, kemudian seperti Rumah Diplomat, disumbangkan kepada Pemda Yokohama. Rumah ini meskipun bergaya eropa, tetap memberikan kesan sederhana. Kusen berwarna hijau entah mengapa mengingatkanku pada rumah-rumah tua bangunan Belanda yang dipakai sebagai bungalow.

Sama seperti Rumah Diplomat, kami bisa memasuki rumah ini dengan gratis. Ruang tamunya biasa saja, tapi….. ruang makannya berkesan mewah karena piring-piring keramik yang tertata rapi, seperti siap mengundang kita dinner bersama. Aku memang suka gelas dan keramik, sehingga sempat terpaku di kamar makan memperhatikan piring itu. “Sayang aku ngga berani pegang…padahal ingin tahu buatan mana, mungkin Royal Copenhagen)

Karena khawatir dengan mobil yang diparkir cukup lama, kami cepat-cepat naik ke lantai dua dan melihat ruang kerja dan perpustakaan di atas.  Ada juga pajangan boneka di dalam salah satu ruang kerja, tapi aku ngga liat ada boneka dari Indonesia tuh….

Keluar dari Bluff No 18 ini, kami sempat mampir ke gereja Katolik Yamate, dan masuk ke dalam gereja. Lagi-lagi aku membayangkan gereja katedral di Bogor, meskipun yang di Bogor jauh lebih kecil. Yang lucu di dalam gereja ini tidak disediakan air suci, yang biasanya ada di samping kiri kanan pintu masuk, dan terdapat pemberitahuan bahwa tidak disediakan air suci untuk mencegah penyebaran penyakit H1N1….. (Kayaknya di gereja lain semua masih pakai air suci deh. Apa karena daerah yamate ini banyak orang asingnya sehingga kemungkinan berjangkit sangat tinggi? Entahlah)

Hari sudah gelap waktu kami keluar dari gereja, padahal waktu menunjukkan pukul 5:15. Tapi karena kami berjanji untuk check in di hotel antara jam 5 dan 6 sore, jadi kami naik mobil menuju tujuan berikut. Hotel New Grand Yokohama.

bersambung…..

Tips

26 Agu

Semua orang pasti tahu apa itu tips. Meskipun banyak sebetulnya artinya, bisa berarti ujung, bisa berarti kiat/nasehat/info, tapi juga bisa berarti uang persenan/uang rokok/uang jajan.

Nah, sebelum saya menulis tentang tips di Jepang, baca dulu sebuah ilustrasi yang cukup “kena” di hati saya waktu saya membacanya.

Satu sore di sebuah mal, seorang anak berusia sekitar 8 tahun berlari kecil. Dengan baju agak ketinggalan mode, sandal jepit berlumur tanah, berbinar-binar senyumnya saat dia masuk ke sebuah counter es krim ternama.

Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia harus berjinjit di depan lemari kaca penyimpan es krim. Penampilannya yang agak lusuh jelas kontras dibanding lingkungan mal yg megah, mewah, indah dan harum.

“Mbak, Sunday cream berapa?” si bocah bertanya, sambil tetap berjinjit agar pramusaji dapat melihat sedikit kepalanya, yang rambutnya sudah lepek basah karena keringatnya berlari tadi.
“Sepuluh ribu!” yang ditanya menjawab.

Si bocah turun dari jinjitannya, lantas merogoh kantong celananya, menghitung recehan dan beberapa lembar ribuan lusuh miliknya.

Kemudian sigap cepat si bocah menjinjit lagi. “Mbak, kalo Plain cream yang itu berapa?”

Pramusaji mulai agak ketus, maklum di belakang pelanggan yang ingusan ini, masih banyak pelanggan “berduit” lain yang mengantri. “Sama aja, sepuluh ribu!” jawabnya.

Si bocah mulai menatap tangannya di atas kantong, seolah menebak berapa recehan dan ribuan yang tadi dimilikinya.
“Kalau banana split berapa, Mbak?”
“Delapan ribu!” ujar pramusaji itu sedikit menghardik tanpa senyum.

Berkembang kembali senyum si bocah, kali ini dengan binar mata bulatnya yang terlihat senang, “ya, itu aja Mbak, tolong 1 piring”. Kemudian si bocah menghitung kembali uangnya dan memberikan kepada pramusaji yang sepertinya sudah tak sabar itu.

Tidak lama kemudian sepiring banana split diberikan pada si bocah itu, dan pramusaji tidak lagi memikirkannya. Antrian pelanggan yang tampak lebih rapi dan berdandan trendi banyak sekali mengantri.

Detik berlalu menit, dan menit berlalu. Si bocah tak terlihat lagi dimejanya, Cuma bekas piringnya saja. Pramusaji tadi bergegas membersihkan sisa pelanggan lain. Termasuk piring bekas banana split bekas bocah tadi.

Bibirnya sedikit terbuka, matanya sedikit terbebalak. Ketika diangkatnya piring banana split bocah tadi, di baliknya ditemukan 2 recehan 500 rupiah dibungkus selembar seribuan.

Apakah ini?
Tips?
Terbungkus rapi sekali… rapi !

Terduduk si pramusaji tadi, di kursi bekas si bocah menghabiskan Banana splitnya. Ia tersadar, sebenarnya sang bocah tadi bisa saja Menikmati Plain Cream atau Sunday chocolate, tapi bocah itu mengorbankan keinginan pribadinya dengan maksud supaya bisa memberi tips kepada dirinya. Sisa penyesalan tersumbat di kerongkongannya. Disapu seluruh lantai dasar mall itu dengan matanya, tapi bocah itu tak tampak lagi.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2009/06/18/418/Di.Balik.Sepiring.Banana.Split

Menyentuh bukan? Mengingatkan kita, yang bekerja di bidang jasa/pelayanan agar tidak memandang penampilan pembeli dengan apa yang terlihat saja.

Saya tidak tahu siapa sih yang memulai kebiasaan memberikan tips atau persenan kepada pelayan/petugas yang telah melayani kita. Memang tips merupakan salah satu penghargaan si “pelanggan” terhadap “service” yang diterimanya. Tapi tidak semua dapat diekspresikan dengan uang, bukan? Kata terima kasih dan pujian yang tulus, sebetulnya sudah cukup karena toh sebetulnya pembeli sudah membayar apa yang sudah dibelinya.

Persoalan memberikan tips ini juga sering membuat saya pusing. Berapa sih sepantasnya saya memberikan tips kepada pelayan, yang jangan sampai dia tersinggung karena terlalu sedikit misalnya. Karena sejak kecil saya memperhatikan waktu bapak saya membayar, saya melihat berapa yang dia berikan untuk tips pelayan sebuah restoran misalnya. Besarnya tergantung pula pada “level” restoran itu, apakah hanya ber”level” rumah makan, atau restoran mahal yang eksklusif. Yang paling sering saya lihat memang, meninggalkan kembalian dari jumlah yang dibayarkan. (Dari segi kepraktisan memang malas rasanya menerima kembalian, apalagi kalau banyak koin nya)

Karena bapak saya juga sering ke luar negeri, saya juga tahu bahwa di Amerika atau negara Eropa, ada kebiasaan memberikan tips sebesar 10% dari apa yang sudah kita bayarkan. Hitungan ini yang kemudian saya pakai jika pergi ke luar negeri. Tapi ternyata, setiap negara punya hitungan dan kebiasaannya sendiri.

Misalnya waktu saya pergi ke Melbourne, saya sempat dimarahi adik saya yang tinggal d situ waktu itu, karena memberikan tips 10% dari yang saya harus bayarkan di sebuah restoran Vietnam. Katanya, “kamu merusak tatanan perburuhan di sini”. Jadi? saya harus membayar tips berapa? Katanya cukup 2-3 dolar saja. Hmmm….

sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche
sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche

Yang menarik juga pengalaman waktu menyewa mobil di Munchen sekitar akhir tahun 2001. Sudah sejak dari Jepang saya menghubungi Mr some-german-name lewat internet. Minta dijemput di bandara Munchen, untuk menuju Hersching, rumah kediaman adik saya waktu itu. Saya memakai jasa Mr itu selama 3 hari karena dia bisa berbahasa Inggris, dan mempunyai mobil besar yang bisa mengangkut 7 orang + koper.

Nah, yang menarik waktu saya akan membayar dengan credit card. Di situ tertera juga kolom “tips” selain dari harga yang saya harus bayarkan. Saya tinggal menuliskan berapa yang saya mau beri, lalu jumlahkan dan tanda tangan. Ow, praktis sekali. Jadi saya tidak usah menyediakan uang kecil terpisah.

Tapi, untung juga saya sempat menanyakan di bagian informasi airport Changi, waktu saya mendarat di Singapore dan akan bermalam di hotel di sana. Saya tanyakan berapa saya harus bayar tips untuk supir taxi, dan berapa untuk petugas hotel. Kemudian kembali saya ditanya, “Madam, kamu akan menginap di hotel mana?”
“Raffles”
“THE Raffles??? (hei… I ‘m on honeymoon you know! jangan pasang muka aneh gitu dong) well, kamu tidak usah memberikan tips pada petugas di sana, karena semua service dia sudah termasuk dalam bill hotel. ”
“Untuk bell boy juga?”
“Ya, tidak usah….” uhhh gini deh kalo katrok.
Jadi memang akhirnya saya tidak memberikan apa-apa kepada petugas hotel yang bersorban dan gagah-gagah itu. Tapi tetap saja rasanya tidak “nyaman” jika tidak memberikan tips.

Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban
Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban

Memang saya perhatikan juga kebanyakan restoran besar di Jakarta sekarang sudah menambahkan sekian persen (5% rasanya) di dalam tagihan makanan khusus untuk service. Nah, kalau saya sudah melihat tulisan itu, enak deh, tidak usah memberikan tips lagi.

Tapi memang paling enak menjadi turis di Jepang. Semua restoran, hotel, pelayanan jasa … SEMUA TIDAK MENERIMA TIPS. Jangan sekali-kali mencoba memberikan tips kepada supir taxi, pelayan toko/restoran di Jepang, karena biasanya kamu akan malu sendiri. Mereka akan kembalikan, dan menjawab, service sudah termasuk dalam barang/jasa yang dibayarkan. Tidak usah bersusah payah menghitung-hitung berapa tips yang patut diberikan. Bayar sesuai tagihan saja. (Oh ya, kebanyakan restoran di Jepang kita yang harus membawa tagihan bill ke kasir dan membayar sebelum keluar restoran. Sedikit sekali yang mau menerima bayaran di meja. Kecuali hotel internasional)

Lalu apakah orang Jepang memang sama sekali tidak memberikan tips? Kata beberapa murid saya, tentu saja ada yang memberikan tips jika menginap di hotel ala jepang “ryokan” yang pelayanannya memang bagus sekali (dan biasanya memang mahal). Diberikannya langsung pada pemilik ryokan tersebut. Atau pelanggan pria yang menggunakan jasa “pub/snack” memberikan pada host “Mama-san” (pemilik night club). Dan biasanya tips itu juga cukup besar jumlahnya. Tapi untuk kita yang “turis biasa-biasa” tidak perlu memikirkan tips di Jepang.

Nah, karena di Jepang tidak ada kebiasaan memberikan tips, biasanya orang Jepang yang ke Indonesia juga terbawa kebiasaan itu, tidak memberikan tips pada pelayanan yang diterima di tempat wisata/restoran di Indonesia. Sehingga terkenallah, “Orang Jepang Pelit!”. Meskipun bagi orang Jepang yang sudah sering ke luar negeri, mereka tahu kebiasaan memberikan tips ini. Dan biasanya mereka menaruh uang tips itu di atas bantal. Namanya saja Makurazeni 枕銭 まくらぜに (Makura = bantal, zeni = uang). Katanya itu untuk petugas yang membersihkan kamar. Hmmm memang orang Jepang jarang ada yang bisa memberikan langsung tips ala “salam tempel”.

Well, berapa pun yang kita berikan untuk tips pada jasa yang kita terima tentu saja akan diterima, asalkan kita juga memberinya dari hati bukan? Seperti si anak yang membeli Banana Split pada cerita di atas. Bagaimanapun Pelayan juga manusia!