GW -6- Thrilled and Amused

4 Mei

(Masih lanjutan cerita tentang Mother Farm)

Karena hujan mulai turun, selesai kelas membuat keju dan mentega, kami cepat-cepat naik bus “Anjing” (berbentuk anjing dan klaksonnya juga suara salakan anjing) ke pintu masuk di atas bukit. Kami pikir akan sampai di pintu masuk awal waktu kami datang. Eeeee … salahnya bus ini berhenti persis di lahan tempat bermain anak-anak. Ada jetcoaster, kereta, payung udara, melempar bola, membidik senapan gabus dll. Setiap permainan harus bayar lagi minimum 200 yen (Rp 20.000). Namanya juga anak-anak… pastilah anak-anak minta bermain, yang akhirnya kami biarkan dengan batasan karcis sampai 2000 yen berdua.

Lucunya Riku mau coba semua yang “mendebarkan”, seperti jetcoaster, tapi Kai takut. Jadi Riku bergerak sendiri deh. Dia cepat-cepat menuju tempat naik jetcoaster, dan …aku terkejut! Ternyata bukan jetcoaster! Jadi Riku harus naik semacam kendaraan berkayuh seperti sepeda mengelilingi jalur yang kusangka jetcoaster itu. Sambil tertawa aku pikir, ” kesempatan menjadi kurus tuh” hehehe

Aku temani Kai naik balon udara, dan kelihatan sekali Kai itu takut ketinggian 😀 Riku paling suka permainan "sniper" tapi sayangnya tidak ada yang kena

Setelah “jatah” karcis habis, kami menuju pintu keluar…. dan saat itu! Kami mendengar pengumuman bahwa ada seseorang yang akan melompat bungee jump. Memang di sini ada tempat untuk bungee jump setinggi 21 meter. Dan …. bukan, bukan Riku. Riku itu sama seperti aku takut ketinggian (meskipun tidak separah Kai yang benar-benar gemetaran di tempat tinggi). Ya, suamiku INGIN sekali mencoba Bungee Jumping. Daripada musti ke Bali (mahal rek tiket pesawat + hotel + segalanya hehehe), jadi aku perbolehkan dia mencoba di Mother Farm ini. Soalnya biayanya cukup mahal, 2000 yen (Rp 200.000) per orang satu kali.

Kami menunggu di bawah, dengan aku bertugas memotret, sedangkan Riku mengambil video dengan powershot nya. Kami yang di bawah saja deg-degan apalagi yang akan melompat ya?  Kalau dibandingkan dengan Bungee Jumping yang pertama diadakan tahun 1979 setinggi 76 meter, maka 21 meter sih bukan apa-apa. Tapi karena terletak di atas bukit jadi rasanya lebih tinggi lagi tentunya.  Kata Gen sih, memang asyik tapi ngeri karena sebelumnya harus menaiki tangga ke atas. Seandainya ada lift nya mungkin tidak begitu ya? hihihi (Kayaknya sama aja ah… yang pasti aku NO WAY!)

Dan acara kami di Mother Farm ini ditutup dengan memberikan kesempatan bagi Riku dan Kai naik go-cart. (Kai tentu saja diboncengi kakaknya) Tapi go-cart di sini lumayan real, seperti menyetir mobil benaran (di tempat lain banyak yang memakai rel di jalanannya sehingga tidak mungkin keluar jalur, tapi di sini tidak ada relnya). Riku cukup mahir mengendarai mobilnya, sampai aku merasa perlu mengingatkan dia untuk TIDAK mencoba dengan mobil sungguhan 😀

Teman-teman pembaca TE paling suka mainan apa kalau ke Amusement Park seperti ini?

Lihat muka Kai yang cukup tegang duduk di samping Riku hihihi

Dengan tubuh letih tetapi hati puas, kami akhirnya menutup perjalanan, menaiki mobil kembali ke Tokyo.

Golden Week (GW) masih lama, masih sampai tanggal 5 Mei. Karena kami tidak punya rencana pasti untuk melewati GW ini, cukup bingung juga bagaimana menghabiskan waktu kami. Semoga masih ada laporan GW-GW yang lain ya 😀

 

GW -5- Kurus di Mother Farm

3 Mei

(Posting ke dua hari ini)

Memang sih kalau berjalan keliling 250 hektar, semestinya bisa kurus 😀 Tapi itu salah tulis. Yang benar adalah kursus di Mother Farm. Dan kalau selesai kursus, sepertinya bukannya kurus malah gemuk deh hihihi.

Setelah puas “gangguin” kuda, kami kembali ke bagian tengah Mother Farm, tempat yang paling “padat” dengan manusia, karena di situlah letaknya  toko souvenir, tempat istirahat dan restoran, kelas-kelas praktek masak dan kerajinan, juga tempat show binatang. Kami ingin mengikuti kelas membuat es krim dan keju/mentega, jadi kami harus mendaftar dulu. Setiap kelas kami harus membayar 800 yen (Rp80.000) per orang untuk biaya bahan dan hasilnya tentu saja bisa kami makan sendiri 😀 (Itu yang ditunggu hihihi)

Aku ingin sekali mengajak Riku ikut kelas ini, karena dia pernah bertanya padaku “Mentega terbuat dari apa?” “Susu…” “Keju terbuat dari apa?” “Susu juga…” Dan dia agak bingung. Jadi aku ingin memberitahu dia dan tentu saja lebih afdol kalau pakai praktek :D. Aku sempat bicara pada Gen bahwa pembuatan susu, yoghurt, keju, mentega itu mirip-mirip dengan pembuatan aspal, solar, bensin, avtur 😀 (dasar anak “tukang minyak” a.k.a pertamina). Tapi benar kan? Bahan dasarnya sama, yang berbeda adalah proses pengolahannya 😀

Kelas membuat es krim dimulai pukul 2:00 siang. Kami memasuki kelas, dan karena pesertanya sedikit, Kai dan Gen juga boleh ikut masuk. Sementara bahan-bahan sudah disediakan di atas meja. Aku membiarkan Riku mencoba, meskipun akhirnya aku yang melanjutkan mengocok telur dan gula sampai halus.

Kuning telur + gula dicampur dengan sendok sampai putih. Aku juga beri kesempatan pada Kai untuk mencoba mencampur adonan.

Setelah ditambahkan susu dan full cream, baskom tempat adonan ditaruh di atas baskom yang lebih besar yang berisi es batu + garam yang diaduk dulu sebelumnya. Riku tidak sadar bahwa dia bersedia mencampur es batu dan garam itu waktu ditanya gurunya, siapa yang mengaduk… hihihi. Akibatnya dia kedinginan deh 😀

Aduk terus di atas baskom berisi es batu, sampai membeku!

Tapi begitu mangkuk adonan ditaruh di atas es, maka adonan juga harus diaduk sambil diputar berlawanan terus. Aduk terus deh sampai tangannya pegal 😀 Tapi kami amazed, takjub  melihat adonan lama kelamaan mengental dan mengeras, menjadi es krim seperti yang kami sering beli. Meskipun pegal, cukup lah terobati oleh es krim buatan sendiri dan rasanya lebih enak dari es krim buatan pabrik 😀

yummy.... makan es krim buatan sendiri. Rasanya ingin memasukkan raisin, choco chips, almond... macam-macam deh

Bahan pembuatan es krim untuk 2 orang:
kuning telur 1
gula pasir 20 gr
susu 140 cc
fresh cream 100 cc
vanilla essence 4 tetes
Silakan dicoba. Mudah kok, tapi musti ada es batu yang banyak. Ada juga sih dijual ice cream maker, tapi biasanya sih pengalamanku, begitu punya alat tertentu lalu jarang dipakai deh heheheh

Setelah kelas membuat es krim selesai, ada waktu 30 menit sebelum membuat keju dan mentega. Jadi anak-anak pergi menonton pertandingan lari anak babi. Jadi dari penonton ditanya siapa yang mau ikut race itu. Lalu mereka bertugas “mengusir” anak babi itu ke GOAL. Riku sebetulnya ingin seklai ikut acara ini, tapi waktu kursus membuat keju dan mentega sudah terlanjur tiba, sehingga tidak bisa ikut. Akibatnya awal-awal kursus, dia agak merajuk 😀

Untuk membuat keju kami memakai kompor, karena itu Kai dan Gen tidak bisa ikut masuk ke dapur kursus. Lagipula peserta kursus waktu itu banyak sekali, ada sekitar 24 orang. Rasanya tempat menjadi penuh sekali.

Aku dan Riku masing-masing mendapat satu kompor portable dengan bahan-bahan yang sudah disediakan. Di dalam panci ada fresh cream (dari susu asli bukan campuran/tumbuhan) sedikit. Lalu ada dua gelas yang masing-masing berisi susu segar dan yoghurt.

Bahan pembuatan keju (Natural cheese)

Bahan dasar susu dan yoghurt yang dipanaskan sampai terbentuk pengerasan adonan sehingga bisa menjadi keju “natural cheese” (padahal menurutku mirip cottage cheese). Sedangkan pembuatan mentega lebih mudah lagi. Sebotol bekas selai  berisi susu full cream sapi dikocok-kocok sampai terjadi pemisahan antara keju dan cairan. Keju dan mentega yang sudah jadi belum mengandung garam, sehingga kami tambahkan garam sendiri sebelum dimakan. Saat itu kami disuruh minum cairan hasil buangan keju dan mentega, katanya bergizi tapi… tidak enak hihihi.

Di dalam wadah plastik adalah keju, dan di dalam tutup botol selai adalah mentega

Setiap orang mendapat satu bungkus cracker untuk mencoba keju dan menteganya. Karena guru kelasnya sudah mengetahui kami, dia memanggil Gen dan Kai di luar untuk masuk dan mencoba keju dan mentega buatan kami. Sayang aku tidak bisa menulis resep keju dan mentega, karena menurutku agak sulit dibuat di Indonesia. Lebih baik beli jadi deh 😀

Yang membuatku senang adalah Riku gembira bisa mengikuti kelas es krim dan kelas keju/mentega ini. Bahkan dia mau praktek di rumah juga. Tentu saja es krim dengan berbagai campuran yang manis-manis itu 😀 Dan saat itu aku pikir, mungkin bisa juga buat es krim bersama sepupu-sepupunya nanti di Jakarta waktu mudik. Asyiiik.

 

 

 

GW -4- Kuda dan Sapi di Mother Farm

3 Mei

Hari Sabtu, 30 April  kami di rumah terus, sambil menghilangkan kepenatan seminggu. Tapi “the three musketters” sempat pergi sebentar ke pemandian umum Sento di dekat rumahku. Heran sekali deh, si Riku memang suka sekali berendam di bak panas, sekitar 42 derajat. Meskipun Kai juga suka berendam, rupanya 42 derajat terlalu panas untuk dia. (Lucu deh melihat mereka pulang dengan pipi meraaaaah sekali)

Nah, karena sudah istirahat 1 hari penuh kami berencana untuk pergi ke Chiba hari Minggunya. Tapi waktu aku bangun jam 6 pagi, wahhh cuacanya seperti akan turun hujan. Mendung, meskipun belum segera akan turun hujan. Karena tempat yang kami tuju adalah “Mother FARM”  sebuah peternakan wisata yang luas, kalau hujan pasti sulit berteduh dan …. tidak bisa melihat apa-apa.

Setelah bimbang pergi atau tidak, akhirnya kami keluar rumah pukul 9 pagi, dengan pertimbangan, kalau hujan sebelum sampai ke Mother Farm (perjalanan sekitar 1,5 jam) maka kami akan mencari alternatif tempat lain yang berada dalam gedung.

Untuk pergi ke Chiba dari tempat kami, jalan yang paling cepat adalah melewati AQUALINE, perpaduan terowongan bawah laut dan jembatan yang menghubungkan prefektur Kanagawa dan Chiba. (Yang ingin mengetahui tentang Aqualine ini bisa baca di “From the bottom of the sea“) Padahal aku sempat berpikir, waktu gempa bumi jalur ini bagaimana ya? Tentu saja tidak rusak karena buktinya kami bisa melintasinya hari Minggu kemarin 😀 (Ssst aku sengaja tidur supaya tidak panik. Susah kan kalau aku tiba-tiba panik waktu berada di dalam laut 😀 )

Kemarin itu benar-benar aneh. Hari Minggu, lagipula Golden Week, tapi jalanan lancar car car…. orang Tokyo pada liburan ke mana ya? Biasanya di tahun-tahun lalu sudah bisa dipastikan jalan tol akan macet. Heran yah, waktu lancar begini masih bertanya, “Kok tidak macet?” hehehe.

Tapi memang mengerikan menyetir hari itu, setelah keluar dari dasar laut kami harus menyusuri jembatan di atas laut. Tepat sebelum kami keluar terowongan bawah laut, kami memang sudah diperingatkan bahwa hari itu angin bertiup kencang 15 m, sehingga disarankan kecepatan mobil max 40 km/jam. Untung kami berempat satu mobil sehingga dorongan angin tidak begitu terasa. Seandainya menyetir sendiri pasti rasanya seperti akan diterbangkan angin deh.

Gerbang masuk yang di atas bukit. Beli karcis 1500 yen (Rp 150rb) utk Dewasa. 800 yen untuk anak usia 4 th- SD, jadi Kai gratis karena belum 4 th.

Kami sampai di depan pintu gerbang masuk Mother Farm di atas bukit pukul 11:12 siang. Belum hujan tapi masih mendung, dan berangin. Tapi karena angin selatan, tidak dingin. Sungguh senang melihat perbukitan yang penuh dengan daun berwarna hijau muda serta bunga-bunga. Meskipun di beberapa tempat ada bangunan-bangunan rasa luas itu terasa menyegarkan kami yang biasa tinggal di kota, yang sempit. Dan sebagai tambahan… pengunjungnya sedikit dibandingkan luas arealnya.

Memang cukup jauh harus berjalan kaki, tapi sambil melihat pemandangan, capek tidak terasa

 

 

Riku bertanya padaku “Mengapa namanya Mother Farm”… mother kan artinya IBU ya mama? Ternyata saya menemukan sejarahnya seperti ini:

Mother Farm dibangun oleh Hisakichi Maeda, pendiri Surat Kabar Sankei dan Tokyo Tower. Waktu kecil, beliau tinggal di Osaka dan keluarganya amat miskin. Ibunya sering mengatakan, “Seandainya kita punya 1 sapi saja, kehidupan kita akan lebih mudah”. Perkataan ibunya melekat terus di hatinya, dan Pak Maeda ini merasa bahwa industri peternakan diperlukan untuk kelangsungan Jepang. Karenanya dia memberi nama peternakan seluas 250 hektar ini dengan “Mother Farm” sebagai peringatan untuk ibunya.

 

Sebuah pojok dengan gazebo kecil berwarna merah dikelilingi taman bunga. Duh ingin duduk berlama-lama di sini sambil membaca buku atau melukis.

 

 

Ada berbagai acara yang disajikan yang bisa diikuti dengan gratis atau bayar. Sambil melihat jadwal, kami memutuskan pertama kali untuk menunggang kuda, karena Riku dan Kai ingin naik kuda. Sekali putaran harus membayar 500 yen (Rp50.000) per orang, tapi ya cukup memuaskan lah. Kuda yang dipakai memang kuda benaran (masa ada kuda boongan sih mel hihihi), kuda dewasa gitu, bukan Pony seperti waktu di Kebun Binatang Chikouzan Kouen. Lagipula ada kejadian lucu waktu Riku sedang menunggang begitu, kudanya berhenti dan….. pipis wuaaahhhh hihihi.

Kalau Riku memang suka naik kuda, tapi Kai awal-awalnya dia ketakutan sekali.

 

 

Setelah dari kandang kuda, kami cepat-cepat pergi ke kandang sapi yang butuh waktu sekitar 20 menit jalan kaki menuruni bukit. Pokoknya luas deh tempatnya, sehingga harus siap jalan kaki banyak (jangan pakai sepatu hak tinggi yah 😀 ). Aku sendiri memang pakai sneaker tapi harus menggendong ransel yang berisi kamera, dan pakaian ganti anak-anak yang cukup berat.

Kesempatan memerah susu (pertama kali untuk Riku dan Kai)

 

 

Kenapa kami buru-buru ke kandang sapi? Soalnya pukul 11:30 ada kesempatan “memerah sapi”. Wah, ini pengalaman berharga sekali untuk anak kota jadi harus pergi :D. Sayangnya karena banyak peminat, kami hanya bisa memerah dengan satu tangan (di satu kantung susu).  Dua sapi untuk 4 baris. Lucu melihat Kai yang geli memegang si sapi. Tapi Kai sudah mengetahui cara memerah kambing  dari film HEIDI yang dia tonton sekitar 2 minggu yang lalu.

Mencoba produk susu dari Mother Farm

 

 

Di daerah kandang sapi itu ada toko yang menjual susu, soft cream dan ice cream. Jadi kami istirahat di situ sambil mencoba susu, soft cream dan ice creamnya. Tentu saja beli satu-satu dan dimakan bersama :D. Cuma aku sendiri yang tidak minum susu, karena aku paling tidak bisa minum susu segar murni, tanpa campuran coklat/kopi/stroberi (kecuali kalau terpaksa, tapi harus dingin!).

Kuda ini ramah sekali, selalu mau mendekati kami. (Jangan-jangan ada yang bau ya? hehehe)

 

 

Setelah menyapa penghuni kandang 😀 kami berjalan menuju kandang kuda yang ada di sebelah kandang sapi. Wah serasa nonton film Bonanza deh melihat suasana di sekitar situ hehehe (Pada ngga tau kan film Bonanza? Itu tuh pelem jaman kuda gigit besi hihihi). Tapi…. aku suka sekali pemandangan seperti ini.

Mengingatkan pada Bonanza atau Little House on the Prairie

 

 

Dan senangnya ada seekor kuda yang mau mendekati kami, dan dibelai-belai, sehingga kami bisa banyak membuat foto dengan si Kuda. Lihatlah si Riku bergaya dengan si Kuda.

Riku bergaya... coba kamu kurusan nak...mama masukin kamu ke PH deh 😀 Sekarang cukup masuk HP a.k.a Home Page aja 😀

Tentu saja banyak binatang lain di sini, termasuk ada pula acara perlombaan anak babi lari cepat :D. Tapi memang yang menjadi tujuan kami kali ini adalah Kuda dan Sapi, jadi senang karena keinginan kami bisa terkabul padahal udara mendung mengkhawatirkan.

GW -3- Wiskul dan Kenalan Lama

1 Mei

Tulisan ini masih tentang de Miyashita melewati hari Jumat, 29 April, sebagai awal Golden Week.

Setelah kunjungan ke rumah tradisional dan praktek membuat kain celupan indigo, Gen, Riku dan Kai kembali ke lapangan parkir universitas untuk menjemputku pukul 14:30. Waktu aku keluar gedung menuju mobil, hujan rintik mulai turun, tapi untung tidak bertambah besar.

Aku ada janji bertemu dengan adikku Tina setelah selesai mengajar. Tina baru pindah rumah di dekat universitas Senshu, hanya beda 1 stasiun saja. Tadinya aku tidak menyangka akan ditunggui Gen dan anak-anak sampai selesai mengajar, jadi berjanji untuk bertemu di restoran di stasiun saja. Karena dengan mobil, akhirnya kami menjemput Tina di stasiun, lalu ke apartemen barunya. Hmmm….  emang enak ya single itu, apartemennya yang memang masih baru itu bisa terus bersih dan sederhana. Kalau ada anak mana bisa seperti begitu terus, kecuali aku jadi “Mama Monster” yang marah-marah terus kalau anak-anak tidak menjaga kerapihan 😀 (Tapi ada loh temanku yang mamanya sampai memakai tusuk gigi untuk memeriksa lemari apakah ada debu atau tidak. Saking bersihnya… Dan kasihan si ibu itu akhirnya terkena alzheimer dan jadi manusia tumbuhan di RS terus 🙁 )

Mengintip apartemen adikku

Setelah mengintip apartemennya Tina, kami mau mencari makan sore bersama. Pilihannya jatuh ke restoran sushi “Bikkuri Sushi” di Senta Kita, Yokohama. Sudah lama kami tidak ke situ. Tapi aku tidak begitu suka di situkarena … lebih mahal dari resto sushi yang dekat rumahku, padahal rasanya tidak beda. Tapi memang setiap ke resto itu, aku teringat waktu opa dan oma datang ke Jepang, kami  sering makan di situ. Nostalgia.

Mungkin pembicaraan kami tentang Monkey Forest itu dimulai sejak pelayan salah membawa pesanan kami. Kami tidak pesan cumi-cumi kecil kok.... Kai suka diberi permen lolipop berbentuk sushi. Gemas juga sih lihatnya..... begitu real bentuknya kan?

Yang lucu, waktu kami sudah dua kali pesan sushi, kami membahas soal restoran Indonesia, Monkey Forest, yang sering didatangi Tina di daerah Shibuya. Sebetulnya aku sempat berpikir untuk ke sana, tapi karena jauh dan aku lihat Gen mulai mengantuk, jadi aku tidak usulkan. Padahal Gen begitu mendengar kata “Monkey Forest” dan ditantangi Tina untuk ke situ, jadi “segar” deh. Dari Yokohama ke Shibuya kalau cepat sih memang cuma 1 jam, tapi kalau macet dan masih musti cari-cari pasti lebih dari satu setengah jam. Lagipula hari itu Jumat, banyak orang pergi ke restoran. Tina langsung reserve tempat duduk untuk kami jam 6:30.

So…. bayangkan … selesai makan sushi (yah memang sushi tidak begitu mengenyangkan – tergantung berapa potong yang kamu makan), kami langsung menuju restoran ke dua di Shibuya. Aduh…. apa kabar diet ya?

Benar juga kami sempat tersesat di belantara Daikanyama-Shibuya mencari restonya. Meskipun sudah pakai GPS, hasil pencarian memakai nomor telepon memang sering salah. Jadi kami memasukkan data alamat yang tepat, baru bisa sampai.

Suasana restoran Monkey Forest ini memang sangat mBali banget! Di depan pintu masuknya ada patung kodok kecil mengeluarkan air mancur. Kai langsung senang memandangi dan tentu saja bermain air di situ.

Kodok penyambut di depan pintu dan Riku di pojok bar

Tapi satu hal yang sangat mengejutkanku adalah waktu aku melihat wajah pemilik Restoran itu. Aku memang sering mendengar cerita Tina, bahwa dia sering diantar pulang oleh suami istri pemilik restoran sampai rumah, karena tempat tinggalnya dekat. Tapi memang selama ini aku tidak menanyakan namanya. Dan begitu Sang Pemilik Resto itu keluar resto dan membantu kami memarkirkan mobil, baru aku mengenalinya. Aku sudah kenal bapak Nagahama Yoshinori ini sejak aku pertama kali datang ke Jepang. Sejak beliau mendirikan restoran “Jembatan Merah” di sudut terjauh stasiun Shibuya, 18 tahun yang lalu. Dan terakhir aku bertemu dengannya di awal-awal pernikahan kami 10 tahun yang lalu! Setelah itu memang aku jarang pergi ke restoran Indonesia di daerah Shibuya/Shinjuku, daerah ramai dan di luar jangkauan tempat kerjaku. Memang kalau sudah menjadi ibu, hubungan “rekreasional” seperti ini akan berkurang.

Pak Nagahama sendiri juga kaget melihat mukaku, tidak menyangka bahwa aku adalah kakaknya si Tina. Ah, memang dunia itu kecil ya. Kalau berbuat baik mungkin akan teringat sedikit/samar-samar di dunia yang kecil ini. Tapi kalau berbuat buruk biasanya akan bergaung terus. Makanya aku juga jarang mau berkumpul dengan “dunia Indonesia” di Tokyo, karena tidak mau ikut bergosip tentang orang-orang yang itu-itu saja.

Rupanya ada masalah yang timbul sehingga dia harus melepaskan restoran Jembatan Merah di Akasaka dan Shinjuku, dan 5 tahun lalu memulai restoran baru di daerah yang jauh dari stasiun Shibuya dengan nuansa Bali Cafe ini. Memang pak Nagahama ini memang hobinya membuka restoran Indonesia, sehingga kurasa tak ada orang Indonesia yang tidak kenal pak Nagahama. Kalau tidak ada pak Nagahama, mana mungkin ada restoran Indonesia di daerah terpencil seperti Nagano. Rupanya restoran “Surabaya” yang berada di Yokohama dan Odaiba juga punya beliau. Hebring ah…

Jadi begitulah, sambil sesekali kami bercakap-cakap, kami (kecuali Tina – katanya sudah kenyang sushi) menikmati masakan Indonesia yaitu Soto Ayam, Sop Buntut, Cah Kangkung, Rendang dan Bihun Goreng. Sebenarnya masih mau coba yang lain juga, tapi kami sudah kekenyangan. Itu saja tidak habis, dan kami minta bungkus (karena sudah kenal jadi berani minta bungkus hehehe)

Makanan yang dipesan. Dessertnya disukai anak-anak, Pisang Goreng + Es Puter.... padahal aku sering buat pisang goreng. Memang tanpa Es Puternya 😀

Restoran itu belum pukul 7 malam saja sudah dipenuhi tamu-tamu yang kebanyakan gadis-gadis muda. Ada satu meja dikelilingi gadis dan pemuda, sepertinya mereka sedang Goukon 合コン (kegiatan mengadakan pertemuan para jombloers untuk mencari jodoh, jadi biasanya jumlah laki-laki dan perempuannya sama).

Karena kami sudah keluar rumah sejak pukul 8:30 pagi, maka sebelum pukul 8 malam, kami pulang ke rumah. Suasana restoran waktu itu sedang ramai-ramainya, tapi pak Nagahama mengantar kami sampai di depan resto dan kami sempat berfoto bersama. Sungguh hari ini (Jumat 29 April) banyak sekali pengalaman yang mencengangkan untuk deMiyashita.

Bersama pak Nagahama di depan restoran