(Posting ke dua hari ini)
Nah, yang menarik dari acara berkunjung ke rumah-rumah tradisional kemarin adalah kesempatan membuat “jumputan”, dyeing, membuat pewarnaan kain indigo dengan cara tradisional. Warnanya memang khas yaitu biru indigo, dan aku punya satu baju berwarna dan bermotif seperti itu. “Batik”nya Jepang tapi motifnya “jumputan” … Nah bingung kan hehehe. Terus terang aku baru tadi malam teringat kata “Jumputan”…selama ini lupa euy.
Riku paling suka bereksperimen begitu, jadi dia ikut acara mencelup warna yang dimulai pukul 1 siang. Kabarnya sih mereka makan soba di sekitar daerah itu sambil menunggu waktu praktek itu. Biaya membuat satu helai kain untuk “bandana” (ikat kepala) sebesar 60×60 cm ini seharga 800 yen.
Pertama dia disuruh memilih bahan-bahan yang dipakai untuk membuat bentuk dalam kain. Riku memilih kelereng, tube plastik bekas film dan jepitan jemuran sebagai benda bantuan pembentuk hiasan. Tentu saja masih ada barang-barang lain yang bisa dipakai untuk menghasilkan motif tertentu tapi bagi anak-anak kelereng dan tabung bekas film itu yang paling mudah.
Kain diberi kelereng dan diikat dengan karet gelang, atau diberi tabung plastik bekas film dan ditutup dengan penutupnya. Kemudian bersama gurunya memasukkan kain yang sudah “dijumput-jumput” ini ke dalam warna pertama. Proses pewarnaan diulang 3 kali.
Setelah kain kering dibukalah ikatan-ikatan pada kelereng dan tabung bekas film, dan jadilah bandana biru bermotif seperti ini:
Menurut gurunya, biasanya anak-anak yang baru pertama kali mencoba, tidak akan bisa membuat warna dengan begitu rapih seperti Riku. Seandainya saja rumahnya dekat bisa ikut kegiatan pada musim panas untuk membuat t-shirt dan lain-lain. Sayang rumah kami memang jauh sekali, lagi pula liburan musim panas kami biasanya tidak ada di Jepang, jadi tidak mungkin.
Tapi yang pasti Riku senang dan bangga sekali bisa membuat bandana “made in Riku” sendiri. Aku yang memang suka warna biru, juga mau kalau Riku memang suka dan bisa membuat taplak meja makan untukku ….. pasti bisa bangga membanggakan juga ya…
Dulu aku suka kain Jumputan Palembang yang beraneka warna. Sayang karena warnanya meriah dengan motif kecil-kecil, agak sulit untuk membuat model baju untukku. Kalau satu warna seperti kain indigo ini akan lebih mudah tentunya untuk membuat baju untuk “size” ku :D. Lain halnya jika dibuat rok.
Sekarang Kain Jumputan masih populer tidak ya di Indonesia (Jakarta)?
Kai nggak pengen ikutan buat juga?
cakep dan rapi ya bandananya Kai
Oh jelas dong mbak Monda. Kai selalu mau ikut kakaknya.
Ikut-ikut milih dan melihat-lihat (soalnya bayarnya cuma buat 1 orang hehehe)
EM
kalau di Palembang jelas masih populer mbak…
sayangnya saya malah tak pernah beli jumputan
kalo ditempatku namanya sasirangan cuma ngga diikat dengan karet gelang tapi dijelujur pake benang.
hasil sendiri adalah suatu kebanggaan.. kreatif juga anaknya ya?
bener tuh mba,
coba klo deket rumah, bisa tersalurkan hasrat ‘mbatik’nya Riku 😀
jumputan di sini kayaknya masih ada sih,
tapi engga se-booming batik yang beberapa tahun terakhir begitu diminati.
Yang paling itama, Riku pasti bangga banget dengan hasil karyanya itu. Jadi keinget waktu saya pertama kali mencelup kek gini, hasilnya kacau balau!
wah seru ya…
disana kayaknya banyak tempat2 edukatif gini ya mbak…
Bu Em kok masih ingat istilah “jumputan”… 😀
Hasil eksperimennya Riku oke juga, biru cerah.
————————————–
Usul:
Mbok kalau ada harga bentuk yen itu dikasih kurs saat ini, biar saya bisa ngira-ira kalau dirupiahkan itu berapa…
masih cukup populer kok mbak..
saya dan suami punya sarimbit berwarna biru juga 🙂
hampir sama dengan hasil karya Riku …
Wah, kelereng. Sudah lama sekali tidak lihat kelereng.
Kain jumputan, yak? Dijadiin penutup atau kerudung gitu bisa kali yak?
..
kok mirip kain pantai yang dijual di kuat Bali ya..
kainnya tipis menerawang..hehehe..
..
Mba Imeeeeeel…
maapkanlah blogger sesat inih karena baru mampir lagiiiiiii…hihihi…
Inet nya error kemaren tuh mba…
ckckck…
sungguh banyak banget tempat edukatif yang bermanpaat disonoh ya mba…
variatif gitu lho tempatnya…
Jadi kalo mau jalan2 gak cuman ke mall doang yang pada akhirnya bikin bangkrut emak nya…hihihi…
Wowww…
Bagus sekai. Ahhhh seandainya di Indonesia ada kegiatan seperti itu. Lumayan mengisi waktu luang anak dengan kegiatan bermanfaat.
Wah, hasil karya Riku keren. Sudah seperti ‘penjumput’ profesional lho dik..
Hm….sepertinya mbak imelda punya telepati nih bisa membaca pikiranku.
Minggu kemaren mau praktek bikin jumputan bareng anak-anak di rumah…ternyata, nggak jadi karena ada undangan ultah teman Rahma.
Ternyata Riku juga bikin jumputan.
Mbak…boleh berbagi sejarah jumputannya nggak?
aku nemunya cuman dibilang, jumputan ini ditemukan 3000 tahun SM…terus di jepang disebut shibori???
makasih ya mbak….seneng banget baca aktivitas Riku…
Jumputan ?
Setau saya … saya agak jarang melihatnya di Jakarta
Namun yang jelas … ini semacam prakarya wajib anak-anak SD tingkat akhir dan juga SMP …
biasanya ada tugas untuk membuat Jumputan …
Salam saya EM
Oh sekarang jadi tugas prakarya ya? Jamanku dulu ngga ada sih
EM
Kayanya motif sasirangan, batik khas Banjar juga dibuat dengan cara jumput2 begini.. tapi hasilnya tetep beda juga.. mungkin menjumputnya lain teknik kali ya Mba 🙂
Wajah Riku Indonesia banget yaah… 🙂
Riku hebat ya….dan berbakat pula
Dan Kai? Ia berhasil membuat bandana juga? Ia tampak asyik sendiri di foto 😀
kai? ngga lah, satu bandana 800 yen, sedangkan dia kan belum bisa 😀 Tapi soal asyik, memang Kai asyik sendiri…selalu
EM
Dari atas ‘jumputan junmputan’, saya ga ngerti
Ooo ternyata teknik mewarnai kain dengan merekatnya barang2 di dalamnya toh..
Ya, pernah denger, lihat, dan coba kelhiatannya. Ga yakin
Riku rapi
& kreatif
Suka bereksperimen
Tidak takut mencoba
Hebat
Pede juga ya
~LiOnA~