Tulisan ini masih tentang de Miyashita melewati hari Jumat, 29 April, sebagai awal Golden Week.
Setelah kunjungan ke rumah tradisional dan praktek membuat kain celupan indigo, Gen, Riku dan Kai kembali ke lapangan parkir universitas untuk menjemputku pukul 14:30. Waktu aku keluar gedung menuju mobil, hujan rintik mulai turun, tapi untung tidak bertambah besar.
Aku ada janji bertemu dengan adikku Tina setelah selesai mengajar. Tina baru pindah rumah di dekat universitas Senshu, hanya beda 1 stasiun saja. Tadinya aku tidak menyangka akan ditunggui Gen dan anak-anak sampai selesai mengajar, jadi berjanji untuk bertemu di restoran di stasiun saja. Karena dengan mobil, akhirnya kami menjemput Tina di stasiun, lalu ke apartemen barunya. Hmmm…. emang enak ya single itu, apartemennya yang memang masih baru itu bisa terus bersih dan sederhana. Kalau ada anak mana bisa seperti begitu terus, kecuali aku jadi “Mama Monster” yang marah-marah terus kalau anak-anak tidak menjaga kerapihan 😀 (Tapi ada loh temanku yang mamanya sampai memakai tusuk gigi untuk memeriksa lemari apakah ada debu atau tidak. Saking bersihnya… Dan kasihan si ibu itu akhirnya terkena alzheimer dan jadi manusia tumbuhan di RS terus 🙁 )
Setelah mengintip apartemennya Tina, kami mau mencari makan sore bersama. Pilihannya jatuh ke restoran sushi “Bikkuri Sushi” di Senta Kita, Yokohama. Sudah lama kami tidak ke situ. Tapi aku tidak begitu suka di situkarena … lebih mahal dari resto sushi yang dekat rumahku, padahal rasanya tidak beda. Tapi memang setiap ke resto itu, aku teringat waktu opa dan oma datang ke Jepang, kami sering makan di situ. Nostalgia.
Yang lucu, waktu kami sudah dua kali pesan sushi, kami membahas soal restoran Indonesia, Monkey Forest, yang sering didatangi Tina di daerah Shibuya. Sebetulnya aku sempat berpikir untuk ke sana, tapi karena jauh dan aku lihat Gen mulai mengantuk, jadi aku tidak usulkan. Padahal Gen begitu mendengar kata “Monkey Forest” dan ditantangi Tina untuk ke situ, jadi “segar” deh. Dari Yokohama ke Shibuya kalau cepat sih memang cuma 1 jam, tapi kalau macet dan masih musti cari-cari pasti lebih dari satu setengah jam. Lagipula hari itu Jumat, banyak orang pergi ke restoran. Tina langsung reserve tempat duduk untuk kami jam 6:30.
So…. bayangkan … selesai makan sushi (yah memang sushi tidak begitu mengenyangkan – tergantung berapa potong yang kamu makan), kami langsung menuju restoran ke dua di Shibuya. Aduh…. apa kabar diet ya?
Benar juga kami sempat tersesat di belantara Daikanyama-Shibuya mencari restonya. Meskipun sudah pakai GPS, hasil pencarian memakai nomor telepon memang sering salah. Jadi kami memasukkan data alamat yang tepat, baru bisa sampai.
Suasana restoran Monkey Forest ini memang sangat mBali banget! Di depan pintu masuknya ada patung kodok kecil mengeluarkan air mancur. Kai langsung senang memandangi dan tentu saja bermain air di situ.
Tapi satu hal yang sangat mengejutkanku adalah waktu aku melihat wajah pemilik Restoran itu. Aku memang sering mendengar cerita Tina, bahwa dia sering diantar pulang oleh suami istri pemilik restoran sampai rumah, karena tempat tinggalnya dekat. Tapi memang selama ini aku tidak menanyakan namanya. Dan begitu Sang Pemilik Resto itu keluar resto dan membantu kami memarkirkan mobil, baru aku mengenalinya. Aku sudah kenal bapak Nagahama Yoshinori ini sejak aku pertama kali datang ke Jepang. Sejak beliau mendirikan restoran “Jembatan Merah” di sudut terjauh stasiun Shibuya, 18 tahun yang lalu. Dan terakhir aku bertemu dengannya di awal-awal pernikahan kami 10 tahun yang lalu! Setelah itu memang aku jarang pergi ke restoran Indonesia di daerah Shibuya/Shinjuku, daerah ramai dan di luar jangkauan tempat kerjaku. Memang kalau sudah menjadi ibu, hubungan “rekreasional” seperti ini akan berkurang.
Pak Nagahama sendiri juga kaget melihat mukaku, tidak menyangka bahwa aku adalah kakaknya si Tina. Ah, memang dunia itu kecil ya. Kalau berbuat baik mungkin akan teringat sedikit/samar-samar di dunia yang kecil ini. Tapi kalau berbuat buruk biasanya akan bergaung terus. Makanya aku juga jarang mau berkumpul dengan “dunia Indonesia” di Tokyo, karena tidak mau ikut bergosip tentang orang-orang yang itu-itu saja.
Rupanya ada masalah yang timbul sehingga dia harus melepaskan restoran Jembatan Merah di Akasaka dan Shinjuku, dan 5 tahun lalu memulai restoran baru di daerah yang jauh dari stasiun Shibuya dengan nuansa Bali Cafe ini. Memang pak Nagahama ini memang hobinya membuka restoran Indonesia, sehingga kurasa tak ada orang Indonesia yang tidak kenal pak Nagahama. Kalau tidak ada pak Nagahama, mana mungkin ada restoran Indonesia di daerah terpencil seperti Nagano. Rupanya restoran “Surabaya” yang berada di Yokohama dan Odaiba juga punya beliau. Hebring ah…
Jadi begitulah, sambil sesekali kami bercakap-cakap, kami (kecuali Tina – katanya sudah kenyang sushi) menikmati masakan Indonesia yaitu Soto Ayam, Sop Buntut, Cah Kangkung, Rendang dan Bihun Goreng. Sebenarnya masih mau coba yang lain juga, tapi kami sudah kekenyangan. Itu saja tidak habis, dan kami minta bungkus (karena sudah kenal jadi berani minta bungkus hehehe)
Restoran itu belum pukul 7 malam saja sudah dipenuhi tamu-tamu yang kebanyakan gadis-gadis muda. Ada satu meja dikelilingi gadis dan pemuda, sepertinya mereka sedang Goukon 合コン (kegiatan mengadakan pertemuan para jombloers untuk mencari jodoh, jadi biasanya jumlah laki-laki dan perempuannya sama).
Karena kami sudah keluar rumah sejak pukul 8:30 pagi, maka sebelum pukul 8 malam, kami pulang ke rumah. Suasana restoran waktu itu sedang ramai-ramainya, tapi pak Nagahama mengantar kami sampai di depan resto dan kami sempat berfoto bersama. Sungguh hari ini (Jumat 29 April) banyak sekali pengalaman yang mencengangkan untuk deMiyashita.