Gempa dan Pendidikan

26 Mar

Sore tadi saya sempat berbicara di telepon dengan teman di Jakarta. Sama seperti bu Enny, dia mengkhawatirkan kondisi Riku dan Kai waktu gempa terjadi. Karena memang banyak yang tahu bahwa biasanya hari Jumat aku pergi mengajar, Kai dititipkan ke penitipan dan Riku ke sekolah. Tapi waktu gempa tanggal 11 Maret itu terjadi, aku sedang libur musim semi sehingga berada di rumah, Kai “bolos” penitipan dan Riku sudah pulang dari sekolah. Selain kondisi menguntungkan seperti itu yang memungkinan aku dan anak-anak bersama menghadapi gempa, aku memang berterima kasih sekali bahwa kedua anakku sudah tahu bahwa jika terjadi gempa mereka harus masuk ke bawah meja. Ini adalah usaha yang harus dilakukan pertama kali jika merasakan gempa. Find a shelter!

Semua penitipan, TK, SD pasti mengadakan latihan penyelamatan diri jika terjadi gempa bumi atau kebakaran paling sedikit sebulan sekali. Bayangkan saja anak-anak bayi, balita s/d usia 5 tahun yang berada di penitipan (Play Group) ini berlatih penyelamatan/pengungsian hinan kunren 避難訓練. Yang pasti mereka dilatih untuk “mendengar” gurunya. Waktu kemarin aku memesan foto-foto Kai di penitipannya, aku baru tahu juga bahwa anak-anak balita ini juga mendapat “pertunjukan” pemadaman api oleh pegawai pemadam kebakaran. Superb!

Dan latihan penyelamatan ini terpakai waktu terjadi gempa Tohoku, 2 minggu yang lalu. Dalam berita TV aku mengetahui bahwa di daerah yang kena tsunami, siswa-siswa  SMP menggandeng murid-murid SD bersama-sama berlari ke tempat yang lebih tinggi yang ditentukan pada waktu latihan. Tapi waktu sampai di tempat itu, murid-murid SMP melihat bahwa tempat itu tidak layak dipakai sebagai tempat mengungsi, jadi mereka pergi lagi ke tempat lain yang lebih tinggi. Dan…. persis mereka meninggalkan tempat itu, tsunami sudah sampai ke tempat yang ditunjuk itu. Seandainya mereka tetap mengikuti manual, dan mengungsi ke tempat itu tanpa lari ke tempat yang lebih tinggi, maka sudah bisa dipastikan nyawa mereka tak tertolong. Ah senangnya kakak-kakak SMP itu bisa mengambil inisiatif sendiri. Miracle.

Namun, meskipun demikian, banyak juga korban murid SD/SMP yang tidak sempat menyelamatkan diri, karena memang waktu itu pas waktu pulang sekolah. Mereka terbawa tsunami ketika berjalan pulang ke rumah.  Menurut Harian Asahi, korban jiwa pelajar/anak sekolah di 3 Prefektur(Iwate, Miyagi, Fukushima) sudah tercatat sebanyak 184 orang, dan 885 orang masih tidak jelas nasibnya. Sementara jumlah korban jiwa guru di ketiga prefektur tsb, tercatat 14 orang, ditambah 56 orang yg masih hilang. Menyedihkan sekali melihat upacara kelulusan sekolah-sekolah itu di pengungsian. Ada anak yang hilang, sehingga ayahnya mewakili. Dan ada anak yang tidak ada seorangpun bisa mewakili (karena satu keluarga hanyut) dan diwakili oleh foto saja. So sad!

Tapi sekolah juga merupakan tempat “pertemuan” bagi mereka yang tercerai berai. Keluarga yang kehilangan sanak keluarganya bisa mencari keberadaan sanak keluarganya di SD/SMP yang dipakai sebagai tempat pengungsian. Seandainya kami  harus mengungsi dari apartemenku, kami sudah tahu harus berkumpul di SD terdekat, yaitu SD nya Riku yang sekarang. Seperti yang pernah kutulis, di gudang SD itu menyimpan barang keperluan dalam pengungsian, termasuk WC darurat. Bisa baca di Supaya Korban Berkurang. Pada hari kelulusan itu juga pertama kali para murid bertemu beberapa temannya yang mengungsi ke tempat lain. Pertemuan mereka yang ditayangkan di TV bisa membuat kami yang menonton merasa lega. Relief!

Jumlah sekolah yg rusak akibat gempa/tsunami di 3 Prefektur tercapai sampai 1,722. Jika ditambah kerusakan sekolah akibat gempa bumi di Prefektur Nagano, dan Prefektur Shizuoka, jumlah total di 24 prefektur konon tercapai sampai 6,253. Sementara sebanyak 436 sekolah masih dipergunakan sebagai tempat pengungsian di 8 prefektur.

Pendidikan pasca gempa tetap dilaksanakan terus. Riku memang sejak tanggal 25 Maret lalu memasuki libur musim semi. Tahun ajaran baru akan dimulai tanggal 6 April untuk SD, dan untuk TK tanggal 8 April. Seharusnya aku juga mulai mengajar di universitas Waseda tanggal 7 April, tapi akhir minggu lalu, aku mendapat email pemberitahuan bahwa kuliah semester genap di dua universitas tempat aku mengajar diundur sampai akhir April (kira-kira undur 1 bulan). Alasannya? Pemadaman listrik bergilir yang berimbas pada transportasi, juga akan berimbas ke masalah internal seperti penyediaan kelas dan lain-lain. Gen yang juga bekerja di universitas mengatakan, “Di universitas kami yang paling mengganggu jika terjadi pemadaman listrik adalah pemakaian WC. Ada beberapa WC yang memakai sensor untuk flush, dan itu berarti butuh listrik. Belum lagi pompa distribusi air juga memakai listrik. Jadi jika listrik mati, payah deh….”

Well, Jepang memang sudah begitu modern, sehingga jika ada satu yang tidak bisa terpenuhi, semua akan tertatih-tatih untuk menyesuaikan lagi. Untuk hal ini mungkin Indonesia lebih canggih. Lebih canggih karena tidak modern 😀 Yang pasti Indonesia tidak perlu listrik untuk buang hajat di kakus hehehe….

oh ya…. posting ini adalah posting yang ke 900!!! yipppieee….