Aku katakan itu berulang kali hari Sabtu kemarin. Dan Riku membelaku mengatakan, “Ngga kok, mama tidak bodoh. Kan mama dosen….. Mama pintar!”
Baka! (bodoh!) Aku memang hari itu pengen ngedumel itu terus. Masalahnya karena sebuah telepon yang aku terima Sabtu pagi pukul 10:25. Sebuah telepon dari guru (bakal) TK nya Kai.
“Ibu, kok hari ini tidak datang acara pertemuan pertama orang tua dan guru?”
“LOH? Ada acara apa hari ini? Tertulis di mana?” Karena dalam otakku tak ada input bahwa tgl ini ada acara sekolahan.
“Ada tertulis di kertas kecil, “Tanda Penerimaan Murid” berwarna kuning”
“Wah maaf, saya tidak baca, jadi tidak tahu. Bagaimana ya? ”
“Tidak apa kalau ibu tidak bisa datang. Kan dulu waktu Riku sudah tahu. Nanti ambil saja dokumen dan pengumumannya di TK hari lain”
“OK. Maaf hari ini saya alergi sekali. Muka saya bengkak. Saya ambil hari Senin deh”
“Kami tunggu”
Dan begitu aku tutup teleponnya, aku mengeluarkan sumpah serapah kata-kata itu : Baka! Kok aku bisa teledor begitu tidak membaca. Karena biasanya kalau sudah membaca satu kali aku pasti ingat. Sebeeeel banget deh hari itu. Kesal pada diri sendiri. Tapi Riku menghiburku, bahkan berkata, “Mama, kalau mama mau cepat-cepat pergi ke TK sekarang boleh loh. Nanti aku jaga Kai di rumah”…. oh anakku….
Di rumahku memang tidak boleh mengatakan “baka” pada siapapun.
“Mama, kalau kita bilang bodoh pada orang lain, berarti kita sendiri yang bodoh kan?” Riku belajar bahwa dia tidak boleh mengatakan orang lain bodoh dari tempat penitipannya Himawari. Dan itu menurun juga ke Kai. Sehingga kata “baka” biasanya keluar kalau sudah marah sekali. Atau pada diri sendiri 😀
Tapi biarlah aku bertambah bodoh/pelupa jika memang sudah saatnya (faktur U deh). Karena aku sekarang sedang menikmati perkembangan anak-anakku yang bertambah pintar dan berinisiatif.
Seperti kemarin, aku menyiapkan bekal makan (bento) untuk anak-anak untuk dimakan waktu mereka aku titipkan di rumah keluarga Indonesia selama aku mengajar. Waktu sampai di rumah temanku itu, aku baru ingat bahwa aku tidak menyediakan sendok/sumpit. Tapi ternyata ada sumpit dan sendok. Lho kok?
“Kai kan masukin ke dalam bentonya” kata Kai. Memang aku tahu Kai menutup bento dan memasukkan dalam kantong bento. Tapi aku tidak tahu bahwa dia mengambil sumpit untuk Riku dan sendok/garpu dia dan memasukkannya ke dalam kantong. Waaaah hebat ini anak. Tanpa aku minta dia sudah tahu apa saja yang musti disiapkan.
“Kai erai (pintar)?”
“Ohhh…Kai pintar sekali… Terima kasih yah”, kataku
Demikian juga Riku. Waktu berbelanja berdua, dia memang sering bertanya, “Mama aku boleh beli ini?” Dan aku tidak begitu periksa apa saja yang dia masukkan dalam keranjang belanjaan. Waktu membayarpun tidak ada yang aneh. Nah waktu mengeluarkan belanjaan, kupikir Riku membeli satu kotak karet gelang untuk dia.
”Bukan ini buat mama, kan karet gelang di laci dapur sudah habis, jadi aku beli”
….. Aku termangu bercampur senang karena berarti dia memperhatikan isi rumahnya juga. Di Jepang orang yang “perhatian” seperti itu dinamakan orang yang mempunyai “kikubari“. Dan memang sekarang semakin sedikit anak muda yang mempunyai kikubari ini (contohnya mahasiswaku… ngga ada deh yang punya inisiatif…**curcol**).
Nah kan…. jadinya melantur deh. Udah dulu ah….
(niatnya sih bulan Maret mau posting sehari satu…. bisa ngga ya? hihihi)