Saat menulis blog ini 3:42 pagi. Aku terbangun sekitar jam 2, karena ada mobil dari TEPCO (Perusahaan Listrik Tokyo) mengumumkan begini :
“Maaf mengganggu tidur Anda, daerah ini akan diadakan pemadaman listrik mulai pukul 6:15 pagi”…. Hmmm ternyata daerahku mendapat giliran pemadaman listrik yang pertama.
Untuk menghindari blackout, PM Kan Naoto meminta agar TEPCO mengadakan pemadaman listrik bergilir. Suatu tindakan yang bijaksana menurutku. Sekaligus juga kita bisa merasakan betapa listrik itu penting. Daerah bencana saja sampai sekarang masih banyak yang belum ada listrik.
Sebelum tidur jam 11 tadi malam, aku sempat mendapat email dari ezweb. Berita dari Ryoko dan Taku, adik iparku yang tinggal di Sendai. Kabarnya, “kami bertiga baik-baik saja dan berada di apartemen, tanpa luka. Listrik baru jalan hari ini , makanan dan minuman ada persediaan. Telepon permanen (rumah), internet dan TV belum bisa, jadi hanya bisa HP saja.”
Puji Tuhan! Sejak aku menerima email darinya setelah gempa yang menyatakan mereka baik-baik saja, aku memang memikirkan bagaimana mereka melewatkan hari dalam gelap di apartemen mereka di lantai 6. Aku terus berdoa semoga mereka, terutama anaknya tidak panik karena masih terus terjadi gempa berskala 7SR di sana. Tuhan memberikan kekuatan bagi mereka.
Sabtu malam, sebelum Gen pulang, Riku menghampiriku. Dia bertanya,
“Mama kenapa sih ada gempa segala?”
Ah, aku tahu anakku sedang mengalami aftershock trauma. Aku memang sering melihat dia menangis tanpa suara, apalagi kalau aku pasang televisi. Well, siapa tidak panik melihat berita tsunami yang begitu dahsyat seperti itu? Jumlah orang meninggal, atau suara tangisan korban yang selamat. Tayangan video dari warga persis sebelum tsunami datang dll. Tapi kami perlu mengetahui perkembangan berita dan informasi dari NHK untuk bersiap-siap sehingga harus memasang televisi terus.
“Mama juga tidak tahu kenapa ada gempa” Aku tahu dia bukan menanyakan proses terjadinya gempa tapi mengapa Tuhan memberikan musibah kepada manusia. Pertanyaan yang penting dan harus dijawab dengan serius. Sambil aku peluk dia aku menjelaskan,
“Kita, manusia tidak bisa tahu apa yang akan terjadi, gempa, tsunami, tanah longsor. Bahkan kita tidak tahu kapan kita mati. Kita tidak tahu apa rencana Tuhan.”
“Kita hidup pun diberikan oleh Tuhan. Tuhan yang Maha Kuasa untuk menentukan Riku lahir dari papa dan mama. Riku adalah hadiah dari Tuhan. Nah untuk itu kita harus bersyukur dan berterima kasih terus pada Tuhan lewat berdoa. ”
“Riku waktu gempa ada di rumah dengan mama dan Kai. Berarti Tuhan melindungi Riku. Bayangkan jika Riku sendiri. Karena itu kita juga harus berdoa untuk memohon perlindungan Tuhan. Caranya ya dengan berdoa”
“Kalau Riku mau sesuatu kan pasti minta ya? Misalnya mama punya coklat, tapi kalau Riku tidak minta, mama mungkin tidak kasih. Dengan Riku minta, mama tahu Riku ingin kan? Karena itu kita juga berdoa untuk minta pada Tuhan untuk melindungi kita. Berdoa itu untuk bersyukur dan memohon.”
Dan Riku berkata, “Mama besok kita pergi ke gereja ya. Papa juga”
“OK. Kita juga harus berterima kasih pada Tuhan karena sudah melindungi Om Taku sekeluarga ya”
Demikianlah hari Minggu, 13 Maret, kami berempat pergi ke Kichijoji. Waktu keluar rumah, Riku sempat berkata, “Kok semuanya biasa saja ya ma? Seakan tidak pernah ada gempa”
Memang waktu hari Sabtu aku sempat melihat ke luar rumah, sedikit sekali orang keluar rumah atau mobil yang lewat. Tapi hari Minggu ini cukup banyak. Tapi waktu kami naik bus, memang penumpangnya sangat sedikit.
Sesampai di gereja, pastor juga mengatakan yang sama, “Kalau kamu bertanya mengapa semua itu terjadi? Saya akan jawab tidak tahu. Tapi semuanya itu mungkin penting ada dalam kehidupan kita untuk bisa BANGKIT kembali. Memulai hidup yang baru, yang mungkin lain dari sebelumnya”
Setelah gereja, aku sempat bertemu dengan Pastor Epen yang akan pindah ke Yogyakarta bulan April nanti. Karena kami belum makan siang, sekitar pukul 2 kami akhirnya mampir ke toko sate Iseya.
Toko ini sudah berdiri lebih dari 80 tahun, tapi bangunan lamanya terbakar beberapa tahun yang lalu sehingga sekarang sudah bersih dan baru. Tadinya? Ya bangunan kayu tua dengan arsitektur Jepang asli. Dulu sebelum Riku lahir, kami sering pergi ke sini. Tapi karena tempat ini adalah tempat minum-minum, sulit untuk membawa anak-anak makan ke sini, sehingga sudah cukup lama kami tidak makan di sini. Rasanya seperti bernostalgia kembali.
Menu di situ sate ala Jepang, dengan tare (saus) kecap manis atau hanya garam saja. Tapi daripada sate, aku malah paling suka siomai dan jagung bakarnya! Duh kalau makan jagung bakar rasanya seperti berada di Puncak/ Puncak Pass. Berasa di rumah :D.
Tapi aku lihat Riku makan sedikit sekali, dia mengantuk sepertinya, sehingga aku peluk dia dan biarkan dia tidur di pelukanku. Badannya sudah besar, sehingga cukup berat juga menahan badannya supaya jangan terjatuh. Akhirnya aku minta Kai cepat-cepat makan supaya kita bisa cepat pulang. Tapi sebelum pulang aku belikan mereka berdua es krim. Ah aku tahu mereka, sedikitnya Riku, stress setelah mengalami gempa kemarin. Riku bahkan terus bertanya, “Kalau di sekolah gempa bagaimana?”
“Wah jangan kemana-mana. Ikuti perintah guru. Nanti mama yang ke sana, karena SD kamu jadi pusat pengungsian. Jangan takut ya Riku”
Sesampai di rumah, Gen dan anak-anak pergi mengambil air di supermarket dekat rumah. Sambil aku minta mereka melihat kondisi toko. Ternyata banyak sekali yang mengantri di kasir, semua membeli bahan makanan. Padahal waktu di Kichijoji, aku sempat membeli daging dan ikan, tidak begitu banyak orang loh. Tapi memang beras, susu dan telur tidak ada. Habis! Tapi kupikir tanpa telur dan susu bisa ah! Jangan cari kalau ngga ada. Semoga persediaan makanan rumahku cukup deh. Berserah pada Tuhan.
Dan malam harinya kami makan sederhana. Nasi dengan lauk sashimi Ikan Terbang Tobiuou + misoshiro. Kebetulan aku lihat di pasar Kichijoji tadi, dan harganya murah hanya 300 yen. Karena murah mereka tidka mau membersihkan dan memotongnya menjadi sashimi. Kupikir aku mau coba potong sendiri deh. Ternyata …. untuk ikan terbang ini dagingnya lembut seperti tenggiri, sehingga sulit untuk dipotong sashimi (tidak bisa rapih). Tapi ah, bentuk tidak penting deh, yang penting bisa makan saja hehehe.
Karena harus hemat listrik, maka hari ini aku tidak bisa bw atau membalas komentar teman-teman. Mohon doanya terus supaya kami, Tokyo, dapat mengatasi masalah-masalah yang sedang timbul dan akan timbul. (selesai 5:33)