Jumat kemarin aku menggantikan teman mengajarku di KOI (Kursus Orientasi Bahasa Indonesia) untuk kelas Atas, karena dia ada urusan lain. Jadi seperti setiap hari Senin aku berangkat dari rumah pukul 4:30 bersama anak-anak, menitipkan mereka di rumah keluarga Indonesia di dekat SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo), lalu ke sekolah Indonesia itu.
Memang aku sudah mendapatkan bahan mengajar dari temanku itu jadi hanya tinggal setor muka, dan menerangkan tema hari itu. Sebetulnya lebih tepat memeriksa pekerjaan mereka, karena mereka sudah diberikan soal-soal sebelumnya. Temanya tentang “lho”,” kok”, “dong”,” deh”, “sih”!
Yihaaaaa sedangkan orang Indonesia saja tidak tahu definisi persis dari pemakaian kata-kata ini. Pakai perasaan! Bagaimana mereka bisa mengerti kapan pakai kata dong atau deh untuk kalimat yang tepat? Harus mengerti perasaan orang Indonesia? Pastinya 🙂 ….
Tapi bahasa bisa ditarik kecenderungan pemakaian seperti “dong” pasti lebih kuat dari “deh” yang datar. Sedangkan “kok” mengandung pertanyaan “kenapa?”. Dan di antara ke 5 kata itu yang bisa bersanding bersama hanya “lho kok”.
Nah, mulailah pelajaran dengan membahas soal-soal. Karena hanya 4 orang muridnya, giliran terasa cepat berputar dan ayo coba isi latihan ini ya?
1. Jangan marah ……………….. , kan aku hanya bercanda saja.
2. Aku ………. mau-mau saja pergi asal kamu jemput ke rumahku.
3. ……………, …………. ngga jadi pergi?
4. Gimana ……… kok belum jadi? Janjinya kan jadi hari ini?
5. Kamu hebat ……….. kalau bisa mengalahkan dia main pingpong.
Bisa jawab dong ya? No 1. sudah pasti jawab “dong”. No 2. “sih” dan nomor 3. “lho, kok” (satu-satunya yang bisa dijadikan satu). Nah yang no 4 ini menjebak, karena ada koknya, maka disangka pasangan kok yang harus diisi, sehingga banyak yang menulis lho. Padahal seharusnya sih, yang menempel pada kata Gimana. Gimana sih! Siapa sih! Apa sih! Riku sering sekali berkata, “APA SIH!!!!” dengan nada marah kalau Kai mengganggunya waktu dia main game. Itu salah satu bahasa Indonesianya yang paling lancar 😀
Yang lucu juga ada contoh kalimat seperti ini, “Enak kan masakannya? Siapa dulu …….. yang memasak.” Jawabnya pasti “dong” deh. Dong sering dipakai untuk jiman (sombong) pada diri sendiri. Ingat saja kalimat ” Riku pintar ya…. Siapa dulu dong ibunya” 😀 hihihi.
Untuk kalimat “Kamu hebat …………… kalau bisa mengalahkan dia main pingpong” Bisa saja diisi “deh” atau “loh”, tergantung penekanannya bagaimana. Ada beberapa kalimat yang memang mempunyai kemungkinan lebih dari satu, tergantung latar belakang situasinya. Harus ada keterangan ilustrasi yang mendukung.
Lalu apa hubungannya cerita tentang jalannya pelajaran Bahasa Indonesia kemarin itu dengan judul?
Waktu aku masuk ke dalam kelas 10 menit sebelum jam mulai (6:30 sore), ada 3 murid yang sudah hadir. Dua di antaranya aku kenal karena mereka ikut kelas dasar di tempatku setahun sebelumnya. Nah, murid ke empat yang masuk ke kelas persis waktu jam mulai itu yang membuatku terkejut. Namanya K. san dan merupakan mantan muridku sudah lama. “Loh K san sudah lama kan belajar bahasa Indonesia. Saya ingat sekali kamu adalah guru Sejarah di SMA kan? ”
“Tentu saja, saya sudah lama belajar bahasa Indonesia. Meskipun tidak pandai-pandai. Saya pertama belajar di KOI ini tahun 1994, dan menurut saya waktu itu Imelda san juga pertama kali mengajar di KOI. Jadi sudah…. 17 tahun!” demikian kata K san.
“Whaaat…. sudah 17 tahun ya?” Dan aku terharu karena ada saksi sejarah lamanya aku mengajar di KOI yaitu K san ini. Ternyata aku sudah mengajar TUJUH BELAS TAHUN (dikurangi sekitar 4 tahun untuk melahirkan 2 anak), dan aku masih berdiri di sini untuk mengajar. Berarti KOI satu-satunya tempat mengajarku yang terlama.
“Waktu itu taihendeshita ne (Susah ya). Karena kita belajar 3 kali seminggu setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Senseinya taihen, muridnya lebih taihen kalau ada PR :D. Kelasnya juga di lobby bawah, karena muridnya 40 orang. hahaha.”
Meskipun awalnya 40 orang itu memang banyak yang tumbang di tengah semester dan tinggal separuhnya di akhir term pertama. Salah satu dua yang tinggal bertahan adalah K san dan Watanabe san yang kuceritakan pada “Belajar Sampai Mati” di TE. Itu menunjukkan juga betapa besar minat orang Jepang untuk belajar bahasa Indonesia kala itu. Sekarang? Kelas diisi 8 orang saja sudah berterima kasih, karena seringnya harus dimulai dengan susunan 5 orang. Banyak kursus bahasa Indonesia yang tidak bisa membuka kelas karena peminatnya sedikit. (Imelda juga jadi nganggur nih hihihi)
Well, aku memang sudah berumur, ibaratnya mangga ranum hampir busuk hahaha 😀 😀 😀 . Dan boleh (sedikit) berbangga, aku mengajar Bahasa Indonesia sudah 17 tahun DONG! (atau “17 tahun deh”, atau “17 tahun loh” pilih tergantung situasinya). 😀