Eco di Kampus

14 Nov

“Eco” adalah kata trend di Jepang. Bukan mas Eko dari Jawa meskipun mirip. Tapi Eco singkatan dari Ecology. Maksudnya jika suatu barang bisa “memamerkan” eco nya, pasti dapat diterima di masyarakat Jepang. Meskipun hampir mirip dengan tulisan Yoga di greenwashing, Eco disini tidak bermaksud menutupi kegiatan yang salah yang terkait dengan lingkungan hidup. Malah suatu kegiatan berlomba untuk memperhatikan lingkungan hidup kita. Mobil yang Eco, AC Eco, Mesin cuci Eco….semua produsen alat listrik perumahan di Jepang berlomba-lomba menciptakan barang yang ramah lingkungan (hemat energi).

Kali ini saya ingin menengahkan Eco di kampus. Saya sudah 9 tahun mengajar bahasa Indonesia di Universitas Waseda, di kampus pusat di Takadanobaba, Shinjuku. Dan sejak saya pertama mengajar di sana, saya selalu mendengar berbagai himbauan dalam kampus untuk aktif melakukan kegiatan “eco”. Dibanding dengan kampus universitas lain, kampus Waseda ini memang terlihat lain. Di setiap sudut ada paling sedikit 5 tempat sampah, dengan tulisan penuntun, apa saja yang boleh dibuang di situ. Kertas, plastik, botol plastik, kaleng, sampah terbakar. Semua sampah harus dipilah. Bekas kartu fotocopy dikumpulkan setelah selesai dipakai. Dan yang saya perhatikan juga tidak disediakan tisue lap tangan atau mesin “angin” untuk mengeringkan tangan di wastafel WC.

Tapi minggu lalu saya menemukan satu lagi usaha untuk mencapai “Eco campus”. Biasanya kalau membeli makanan di mana saja di Jepang, pasti dimasukkan dalam kotak plastik. Tapi ada makanan kotak (nasi kotak) yang dijual dalam kampus memakai kemasan dari kertas tebal yang dilapis plastik. Jadi setelah makan diharapkan kita melepaskan plastiknya untuk kemudian menaruh di tempat sampah khusus daur-ulang (recycle) kertas. Tergantung lagi kita si konsumer mau menjalankannya atau tidak. Tapi karena ini sangat praktis, saya rasa mahasiswa sanggup dan mau melakukannya. Dan meskipun ini baru sedikit jumlahnya (saya tidak tahu persis, tapi baru ada di dalam kampus dengan jumlah tertentu) benar-benar merupakan usaha yang patut dicontoh.

Lalu sambil makan saya berpikir bagaimana nasi kotak di Indonesia sekarang yang sering dimasukkan dalam wadah styrofoam(?) yang pastinya sulit untuk dibakar/daur ulang …kecuali hanya bisa di reuse (Tapi kalau bekas nasi padang yang berminyak begitu, siapa yang mau re-use lagi?). Hmmmm sampah lagi. Lalu teringat jaman dulu yang nasi kotaknya masih berupa nasi bungkus pakai kertas yang relatif lebih bisa dibakar. (Bahkan kalau mau lebih jadul lagi yang pakai daun pisang. ) Betapa kemajuan jaman semakin membuat sampah-sampah itu lebih sulit dikelola. (Paling bagus sih membuat bento atau bekal makanan di kotak bekal yang permanen seperti yang saya buat setiap pagi untuk Riku. Sehat isinya hemat kemasannya. Ramah lingkungan dan ramah dompet)

Setting temperatur AC dan heater yang sesuai

Satu lagi yang bisa saya perkenalkan tentang usaha “hemat energy” di kampus ini adalah “Peringatan” untuk menyetel setting temperatur yang sesuai musim sehingga tidak membuang energy berlebihan. Pada musim panas, setelan AC hanya boleh 28 derajat. Panas dong? Ya memang, misalnya di luar suhu udara 36 derajat maka dengan setting 28 derajat saja sebetulnya sudah cukup terasa dingin. Jangan seperti di Indonesia yang kadang hampir semua menyetel lebih dingin dari 22 derajat. Selain boros listrik, tidak baik untuk kesehatan badan. Menimbulkan penyakit modern akibat AC yang dalam bahasa Jepang disebut “Reibobyou” (penyakit AC).

Demikian pula dalam musim dingin. Misalkan di luar suhu udara di luar 13 derajat, maka setting 20derajat cukup sudah. Jangan kita set menjadi 28 derajat. Perbedaan suhu luar dan dalam yang terlalu besar akan menimbulkan penyakit, selain boros energi.

Hai mas-mas jawa yang bernama Eko (nama pasaran kayaknya yah). Jangan ge-er karena nama Anda sering disebut di Jepang sebagai himbauan untuk lebih memperhatikan environment.

13 Replies to “Eco di Kampus

  1. Tak syak lagi toh: makin praktis hidup, makin instan prosesnya, makin besar pula resikonya. Makin jauh kita dari alam.

    iya benar itu Danny
    EM

  2. Soal stereofoam aku setuju banget tuh.
    Ah jadi inget nasi angkringan di Jogja yang masih setia menggunakan selembar daun pisang serta sedikit kertas saja.

    Tapi tau nggak sih terkadang ketika kita bicara soal macam-macam penyelamatan lingkungan, yang tersisa adalah perasaan “useless” karena pada saatnya alam dan tabiat kita juga akan selalu berubah yang sayangnya menunjukkan trend.. memburuk.

    Iya memang capek rasanya mmbicarakan macam-macam soal penyelamatan lingkungan. Tapi kalau buka kita siapa lagi? So ngga papa lah kita buang energi sedikit atau beristirahat untuk kemudian aktif kembali.
    EM

  3. Benul EM, kemaren di JI Expo juga hampir semua booth menampilkan teknologi yang Eko eh Eco (kalau malam Eci… 😛 ). Ada rumah Eco, dindingnya terbuat dari kayu daur ulang apa gitu, lampunya pake OLED yang hemat energi tapi terang, ada kincir anginnya, ada solar cellnya. Hebring lah..!

    Whalah ternyata lagi nge-trend toh di Japan. Saloot…!

    OOoh bagus kalau itu bisa dipamerkan. Ya di sini sedang trend semua yang ECO dan Barrier Free. Soal barrier Free aku juga berminat banget, nanti aku tulis deh …kumpulin data-data dulu tapi
    Ngga boleh foto di dalam pameran?
    EM

  4. Yup, sama! Dibanding pakai kotak kertas atau styrofoam, aku lebih suka pakai kotak makanan yang lebih tahan lama.

    Apa pula Reibobyou mbak? Mungkin bisa posting khusus…

    Penyakit yang disebabkan AC, seperti masuk angin/flu
    EM

  5. Bagi negara maju karena tingkat pendidikan dan kesadaran penduduk cukup baik mungkin sedikit tertolong dalam mengajak masyarakat untuk melakukan gerakan eco. Di negara berkembang sampah teknologi yang sudah afkiran negara maju malah jadi pujaan berlomba-lomba untuk menggunakannya. Kadang demi kepraktisan akal sehat kita tidak jalan.
    Di kantor tempat saya kerja ada gerakan go green dan menggalakkan efisiensi. Saat ini yang sudah jalan adalah kegiatan bicycle to work sekali seminggu yang diikuti pimpinan dan karyawan untuk mengurangi polusi, pemakaian kertas photocopy bolak-balik, pemisahan sampah kertas & plastik dan penanaman pohon. Memang perlu kesadaran kita untuk gerakan hijau ini.

    Iya…harus dimulai dari diri sendiri dulu
    EM

  6. He..he..
    jadi inget AC di kampus disetel lebih dari 22 C
    btw..ada, ya, penyakit AC ? apa tuh gejalanya, mbak ?

    Pilek, pegal bagian leher/bahu, ya seperti flu/masuk angin
    EM

  7. Sebaiknya negara Jepang belajar dari Indonesia yang lebih ramah lingkungan.
    Ada banyak yang bisa dijadikan contoh yang baik.

    Karena Indonesia belum modern/maju. Mau maju ya konsekwensinya begitu. Perlu energi besar.
    EM

  8. Memang yang alami lebih enak. Nasi yang dibungkus daun pisang, ehm…harumnya nempel terus. Apalagi kalau ada kuah gulainya…
    Masalahnya, supply daun pisang semakin berkurang karena tanahnya habis untuk dibangun pabrik…

    Iya bang, bau daunnya itu loh.
    Di sini ada daun pisang, harganya itu loh yang jauuuh lebih mahal dari isinya hehehhe
    EM

  9. keren, patut dicontoh, memang bener2 mesti dari diri sendiri, harus pinter2 pilih produk biar sampahnya ga’ makin parah

    Iya. Dan biasanya produk ECO itu lebih mahal sedikit dari yang bukan Eco. Tapi kalau pikir jangka panjang, tidka akan rugi kok
    EM

  10. memang lagi ngetrend si mas eco ini ya mba? kalo di bidang desain disebutnya sustainable desain, heboh sekali sekarang merespon perubahan iklim yang pesat. kalo saya sendiri sebenernya mengurangi penggunaan ac di kantor, tapi desain bangunan yang menghadap timur tanpa kanopi membuat teman2 lain kepanasan dan set ac ke suhu terrendah, ck ck ck… memang serba salah sih, jadinya. salam -japs-

    sustainable desain ya…hmmm nanti aku mau diskusi sama kamu japs
    EM

  11. kampusipun panjenengan niku populer lan gadah asma lho, mbak! (kampus anda itu terkenal dan memiliki nama(yang saya dengar))

    tante Emma seemed a strict & does care about this crazy issue
    proud of u of sharing so much information about it

    hebat hebat hebat
    I’m gonna suggest this ‘eco’ upon my mom’s company so that we may reduce the spending for electricity bill
    tp, dsr Indonesia blm ad ksadaran & kbiasaan, g jls jg shrsnya dmulai dr mn & dr sp yg nyontohin, diri sndr pun g ckp kuat kl pemerintahnya ttp GOBLOK, kl pun mw pisah2in sampah RT, akhirnya jg nyampur lg, bqn BT & g pgn partisipasi rasanya!!!

    ~LiOnA~

    aduuuuh Liona kamu itu bisa berapa bahasa sih? Yang hebat tuh kamu loh bukan aku. Ya waseda memang terkenal, aku juga senang bisa ngajar di universitas yang terkenal begini, biarpun cuma ngajar bahasa Indonesia saja. Dan aku juga ikut bangga bahwa kampus ini sangat memperhatikan lingkungan. Kadang kalau kita jalan dalam kampus, kita tidak sadar bahwa kita ada di dalam kota Tokyo. Kecuali memang lahan kampusnya tidak seluas yang di luar kota ya.
    Iya memang kalau menunggu pemerintah ya susah lah. Coba dari lingkungan sendiri saja, terutama sampah organik
    salam saya dan GBU
    EM

  12. low low low… basa krama mawon nggih niku… ;P
    I was born in Java, I was grown up in Java, the majority of my mom’s staffs is Javanese, my parents & grandparents do speak fluent Javanese, I have the interest to learn, how could I not speaking Javanese…

    T A N T E H E B A T T I T I K

    nyatanya, bs d trm jd dosen d univ. d Jpn, Waseda pula! keren gile!

    yo i, tante! diri sndr hrs ksh contoh yg baik k masyrakat sktr dl sblm ngumbar bcr

    ~LiOnA~

    Hahahah Liona, you can’t speak javanese…so why don’t you try to learn JAPANESE instead. 🙂
    Waaaah sampe di”titik”in, ngga boleh diganti koma tuh ya? hehehe
    EM

  13. Judul Buku: Ekotoksikologi Teknosfer
    Penulis: Prof. Dr. Ir. Sarwoko Mangkoedihardjo
    Tahun Terbit: 2010
    Harga: Rp. 62.500,-

    Bahan berbahaya dan beracun terdapat di alam sejak terbentuknya bumi. Namun makhluk hidup produsen primer (tumbuhan), konsumen (hewan dan manusia) dan pengurai (mikroba) dapat hidup di bumi bahkan tumbuh berkembang. Bahkan perkembangan manusia meningkatkan keragaman bahan berbahaya dan beracun dan meskipun ada makhluk hidup yang punah namun secara umum kehidupan terus berlanjut. Mengapa makhluk hidup dapat hidup berkelanjutan meskipun lingkungannya terdapat bahan beracun dan berbahaya?.

    Cukup banyak referensi ilmiah memberikan jawabnya melalui berbagai dasar teori dan prakteknya. Namun, buku ini memberikan jawab melalui kajian paparan kinetika zat di lingkungan dan dinamika zat dalam makhluk hidup disertai contoh kuantitatif yang langka. Dengan sengaja, indikator makhluk hidup didestruksi dengan zat berbahaya dan beracun untuk memperoleh batasan takaran zat yang tidak memberikan efek negatif bagi makhluk hidup. Metode destruksi makhluk hidup berikut interpretasi hasil uji toksisitas zat disajikan cukup memadai untuk tujuan tersebut, yang tidak mudah diperoleh dalam satu atau beberapa referensi.

    DAFTAR ISI:

    • Pendahuluan • Landasan Ekotoksikologi • Kerangka Kajian Ekotoksikologi • Kinetika Zat Dalam Ekosistem • Dinamika Zat Dalam Makhluk Hidup • Metode Uji Toksisitas Zat • Metode Analisis Hasil Uji Toksisitas • Batasan Mutu • Teknosfer Industri: Kajian Stimulan Biotoksikologi Produk Campuran Zat • Teknosfer Air Minum: Kajian Stimulan Mikrotoksikologi • Teknosfer Air Limbah: Kajian Stimulan Mesokosmos dan Fitotoksikologi • Teknosfer Sampah: Kajian Stimulan Biotoksikologi Campuran Lindi dan Kompos • Pengelolaan Ekosistem: Kajian Stimulan Ekotoksikologi Laut • Road Map Ekotoksikologi Teknosfer • Tanya Jawa
    .-= fajarwerdana´s last blog ..Ekotoksikologi Teknosfer =-.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *