Kebetulan atau takdir?

28 Nov

Well, kemarin malam aku gembira karena menemukan sebuah komentar dari adikku atas posting saya waktu ulang tahunnya. Tinggal bapak saya saja yang belum komentar, meskipun katanya beliau sudah pernah baca weblog saya (berharap mode.on). Dengan senyum, saya tidur di sebelah Kai yang agak kurang sehat, sambil tak lupa memasang alarm pukul 4 pagi. Niatnya saya mau beres-beres rumah dan siap-siap kerja mulai jam segitu. (Padahal tidurnya sudah jam 1 sih)

Jam 4 pagi, bangun, saya nyalakan komputer dan sambil beberes sesekali membaca komentar di blog saya (maaf belum sempat balas komentar teman-teman semua). Nah sekitar jam 4:30, handphone saya berdering menyatakan ada email masuk. Ternyata dari ibu mertua saya. Dia hanya menuliskan pendek: Om sakit, detilnya saya kasih tahu nanti kalau ke sana. Ibu mertua selalu datang ke rumah saya hari Jumat untuk menjaga Kai di rumah sementara saya pergi mengajar. Sebetulnya waktu membaca email itu, saya tidak yakin dengan kanji yang dituliskannya, karena memang jarang dipakai. Pokoknya asumsi saya Om sakit. Dan karena ibu mertua tidak membatalkan rencana, mungkin sakitnya tidak parah (salahnya saya juga tidak cek di kamus).

Nah waktu pagi hari Gen bangun, saya menyampaikan tentang kanji yang saya baca, apa artinya? Sakit? Dan karena dia tidak mengerti penjelasan kanji yang seperti apa, saya kasih lihat email HP saya itu. Dan …. kamu pernah lihat wajah orang berganti menjadi putih? pucat? Pertama kali saya lihat perubahan itu. Ya, wajah Gen menjadi putih sekali dan bilang…Om kesayangannya meninggal! HAH….. how come?

Om ini adalah adik ibu mertua (mereka hanya berdua). Dia dan istrinya baru saja pindah ke luar kota, yang tadinya rumahnya di Yokohama. Merupakan impiannya untuk pindah ke desa dan berladang di desa sesudah pensiun dua tahun yang lalu. Dan itu terwujud bulan Agustus lalu. Tapi yang saya mau tulis di sini bukan soal cita-citanya atau kehidupannya di desa. Tapi soal peristiwa yang terjadi kemarin.

Kemarin pagi, tanpa ada tujuan mampir, ayah dan ibu mertua saya melewati rumah om yang di Yokohama. Tapi tiba-tiba mereka melihat bahwa ada om dan istrinya di situ. Rupanya mereka sebulan sekali, turun desa, mampir ke rumah yang di Yokohama untuk melihat perkembangan pembangunan apartemen di tanah mereka. Tanpa janjian, kebetulan saja bapak dan ibu mertua lewat situ dan melihat om dan istrinya. Sepertinya memang sudah harus lewat jalan itu…. Waktu ditanya apa rencana untuk hari itu, om mengatakan bahwa dia berniat nyekar ke makam ibunya lalu pulang jam 1 dari stasiun Ueno untuk pulang ke desa. Jadilah bapak dan ibu mertua saya mengantar om dan istrinya sekaligus nyekar bersama dan antar ke stasiun. Bercakap-cakap, bertukar berita dan ibu mertua saya senang bahwa adiknya berbahagia tinggal di desa.

Tapi siapa sangka, itu adalah pertemuan terakhir mereka… sebuah pertemuan yang kebetulan terjadi. Karena pagi tadi jam 4, tiba-tiba ada telepon dari istri om yang memberitahukan bahwa om tiba-tiba terbatuk dan kelihatan parah. Langsung telepon ambulans dan dinyatakan jantungnya berhenti.

Ibu mertua berkata,”Kemarin itu apa ya? kok kami bisa bertemu kebetulan tanpa rencana, dan tahu-tahu hari ini dia sudah tidak ada”. Saya katakan, “Mungkin itu bukan kebetulan, tapi sudah diatur Tuhan. Apapun namanya itu, kebetulan atau takdir, saya rasa kematian Om itu indah. Karena dia sempat berpamitan dengan kakaknya, sempat melihat rumah tempat tinggalnya dari kecil, sempat nyekar ke makam ibunya, dan hanya dalam waktu singkat menghembuskan nafas terakhir”.

Saya teringat, baru saja kemarin membaca posting tentang kebetulan yang ditulis Daniel Mahendra. Kebetulan Daniel adalah kebetulan yang menyenangkan. Bertemu dengan teman-teman lama, bersenang-senang. Tapi kebetulan yang terjadi pada ibu mertua saya kemarin itu? Apakah itu juga bisa disebut kebetulan? ataukah takdir? Kami umat Kristen tidak percaya takdir atau nasib. Tapi kami percaya bahwa Tuhan itu yang mengatur segala kehidupan kita, kadang dengan cara-cara yang tidak dimengerti manusia. Well, apapun namanya entah kebetulan, takdir, nasib, sekali lagi saya diingatkan bahwa manusia itu kecil, tidak berdaya yang sewaktu-waktu bisa dipanggil menghadapNya. Siapkah kita? Siapkah saya?

Besok malam akan diadakan malam perpisahan, yang diberi nama otsuya 通夜. Dan Minggu pagi akan diadakan upacara kremasi yang disebut Kokubetsushiki 告別式. Karena itu saya (mungkin) akan istirahat posting dulu. Semoga saya bisa menulis sesuatu hari Senin yang akan datang.

If tomorrow never comes
So tell that someone that you love
Just what you’re thinking off
If tomorrow never comes

(If Tomorrow Never Comes was released in 1989 by Garth Brooks ~~my favorite country music singer~~. It was written by Garth Brooks and Kent Blazy.)

SEBUAH CERITA TENTANG KESETIAAN

28 Nov

Di Shibuya, Tokyo, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor anjing. Dibuat oleh Ando Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.

Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.

Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.

Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasiun Shibuya bersama Hachiko. Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.

Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.

Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”

” Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.

Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.

Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.

Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.

Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.

Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.

Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.

Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.

Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.

Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.

Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.

Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiko pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.

Sungguh kisah yg menggugah hati….tak habis2nya saya meneteskan air mata membaca cerita hidup Hachiko….

Film ttg kisah hachiko dibuat d jepang tahun 1987 dgn judul “Hachiko Monagatari”. Film ini byk memperoleh penghargaan. ..
Dan saat ini versi hollywoodnya sedang dibuat dgn judul “Hachiko : A Dog’s Story” (Starring and Co-Producted by Richard Gere)….

Hachiko: A Dog’s Story,[9] to be released in 2008, is an American movie starring actor Richard Gere, directed by Lasse Hallström, about Hachikō and his relationship with the professor. The movie is being filmed in Rhode Island, and will also feature actresses Joan Allen and Sarah Roemer.[10]

(sumber dari milis IKAJA UI)

depan patung hachiko Shibuya,  sebagai meeting point
Depan patung Hachiko Shibuya, yang terkenal sebagai meeting point

NB: Saya heran kok Richard Gere lagi, soalnya sebuah film Jepang yang terkenal di sini “Shall We Dance” versi bahasa Inggris juga diperankan oleh Richard Gere. Saya pernah posting tentang film Shall We Dansu/Dance versi bahasa Jepang di sini