Kamon

9 Des

Setiap pagi aku mengambil koran dari selipan pintu apartemen kami. Kalau hujan koran itu pasti dimasukkan plastik. Dan kemarin aku langsung menggunting plastik itu dan mengeluarkan selebaran pamflet-pamflet promosi yang pernah aku tulis di Sepuluh Pagi.  Nah kali ini mataku tertaut pada sebuah selebaran yang menarik menurutku.

Selebaran tentang rumah masa depan.... Laaah rumah masa sekarang saja belum punya 😀

Selebaran itu adalah promosi rumah masa depan! Letaknya cukup dekat apartemenku. Seluas 0,56m persegi harganya CUMA 2.478.000 yen. Itu sudah termasuk ongkos pemakaian abadi, biaya pembangunan, batu nisan dan biaya pahatan tulisan + pajak. Ya…pamflet yang menawarkan kuburan/makam. Harganya bisa semahal itu karena terletak di pusat kota. Kalau mau cari yang murah harus cari di pinggir kota, atau kalau perlu ke daerah sekalian. Dan di tempat ini tertulis shukyou jiyu (agamanya bebas). Memang dulu orang Jepang pasti maunya dimakamkan di kuil Buddha, dan berarti dengan cara Buddha. Tapi orang Jepang modern sudah lebih bebas menentukan agama apa yang dipilih atau tanpa agama sekalian. Karena itu biasanya mereka membeli makam di pemakaman swasta yang tidak mempersoalkan agama. Biasanya yang membeli kuburan sendiri adalah anak ke dua dan ke tiga (dst) karena anak laki-laki pertama (dan keluarganya)  akan dikubur di makam keluarga yang turun temurun.

Nah yang menarik dari selebaran itu bukan promo makamnya tapi halaman belakangnya. Di situ tertulis : “Apakah Anda tahu KAMON keluarga Anda?

gambar-gambar simbol di belakang pamflet yang sama : Kamon

Bukan kemon yang sering diucapkan oleh Riku dari bahasa Inggris Come ON. Tapi Kamon 家紋 dalam bahasa Jepang yang berarti lambang keluarga. Sejak dulu keluarga tertentu memakai Kamon sebagai lambang garis keturunan, garis darah atau hubungan keluarga, bahkan status. Pada jaman Heian (th 794 – 1185), kaum bangsawan memakai lambang keluarga ini pada kegiatan sehari-hari seperti  baju, kuda, surat-menyurat, yang dilanjutkan secara turun temurun, dan ini dapat dikatakan merupakan awal mulanya kamon. Pada jaman setelah itu yaitu jaman Kamakura (1185 – 1333), kaum samurai menyebarkan pemakaian lambang ini untuk memperjelas perbedaan keluarga yang berpihak pada samurai atau yang merupakan musuh.

Pada jaman sekarang, lambang ini bisa dilihat pada kimono hitam di bagian leher belakang, atau pada makam keluarga yang dipahat di batu nisannya. Tapi memang keberadaannya mulai berkurang, bahkan banyak anak muda sekarang yang tidak mengetahui kamon atau simbol keluarganya. Memang kesannya feodal sekali, tapi rasanya kalau kita lebih melihat itu sebagai bentuk budaya, kita bisa terus melestarikan keberadaannya, bukan?

Nah, sambil mengumpulkan bahan untuk tulisan ini, aku langsung menghubungi ibu mertuaku untuk menanyakan lambang keluarga deMiyashita. Karena aku memang pernah melihatnya di kimono yang dipakai ibu mertuaku itu, dalam perayaan perkawinanku. Dan inilah lambang keluarga kami.

Kamon keluarga kami : Migimitsu Tomoe 右三つ巴. Baru sadar bahwa lambang ini sering digambarkan juga di Taiko (gendang Jepang)

Memang Jepang mempunyai banyak lambang-lambang. Aku tidak tahu apakah keluarga bangsawan Indonesia punya lambang-lambang tertentu. Yang aku tahu paling kesultanan Hamengkubuwono dan Pakubuwono punya lambang kerajaannya. Tapi selain itu aku tidak tahu, mungkin teman-teman ada yang tahu?

Kuil dan Kuliner

4 Jul

sambungan tulisan Kota Tua Bersama Teman Lama.

Setelah dari patung Buddha Besar, Daibutsu, kami berjalan kembali ke mobil dan mencoba mampir ke Kuil Shinto Tsurugaoka Hachimangu. Ternyata Kuil Shinto tersebut masih buka, dan waktu tanya-tanya, katanya kuil ini buka sampai jam 9 malam.

deMiyashita sudah pernah ke Kuil ini sebelumnya yaitu bulan September 2009, dan pernah aku tulis di “Pohon Keramat“. Sebuah pohon berusia 1000 tahun, setinggi 30 meter, dan diameter 7 meter ini menjadi saksi pembuhan Shogun ketiga pada jaman Kamakura, Minamoto no Sanetomo,1219 yang dibunuh oleh keponakannya sendiri yang bernama Kugyo. Sumber dari sini. Sayangnya pohon keramat ini tumbang pada tanggal 18 Maret 2010. Nah, karena itu pula Gen sudah lama ingin mampir ke sini melihat bagaimana kuil itu tanpa pohon keramat. Jadi setelah jalan-jalan dari Daibutsu bersama Ira Wibowo dan Katon Bagaskara ini, kami melongok ke sana.

Kuil Tsugaoka Hachimangu th 2011 kiri, dan waktu pohon keramat masih ada 2009

Kami melewati Dan Kazura dari Gerbang kedua (gerbang pertamanya di laut) dan menikmati perjalanan menuju kuil dengan jalan setapak Dan Kazura yang terlihat mengecil sehingga membuat pejalan kaki tidak mengetahui seberapa jauh jarak yang ditempuh (terasa jauh).

Berpose di depan daftar sumbangan sake dari perusahaan sake kepada kuil

Ada beberapa foto yang aku ambil sebelum kami naik ke kuil pusat tempat altarnya berasa, tapi terasa kurang sreg. Tapi ada satu foto Katon dan Ira berdua yang justru aku ambil dengan kamera digital biasa (bukan DSLR).

 

aku lupa, aku yang ambil foto ini atau Radya. Kamera Nikonku memang selalu berputar, ntah aku, Riku atau Radya yang pegang.

Kalau dulu aku tidak naik ke atas, kali ini aku beranikan naik ke atas. Sesampai di atas, kita bisa melihat pemandangan kota Kamakura, dan samar-samar terlihat gerbang pertama jauh di laut sana.

Sekali lagi deMiyashita diambil foto oleh mas Katon Bagaskara

 

 

Setelah bersantai-santai di kuil ini beberapa saat, kami pergi ke sebuah restoran di dekat Hayama Marina yang bernama Hikage Jaya. Dulu sewaktu Riku masih kecil dan Kai belum lahir, kami sempat makan ke sini bersama buyutnya Riku. Sebuah restoran ala Jepang yang menyajikan masakan kaiseki (course).  Kami mendapat kamar tatami dan dilayani oleh seorang berpakaian kimono. Karena Ira tidak suka ikan, kami minta kaisekinya berupa bento saja, sehingga Ira bisa makan apa yang dia suka saja.Maaf ya Ira, makanan Jepang memang kebanyakan ikan sih hehehe.

Dari sini kami pulang ke arah Shinjuku, tapi melewati Taman Yamashita di Yokohama dan melihat gerbang China Town dari sebelah  barat. Karena terlalu gelap kami tidak bisa memotret apa-apa. Tapi Katon sempat mengajari Radya dan Riku cara untuk memotret mobil yang bergerak. Mau lihat hasilnya?

Diambil Riku menggunakan DSLR nya Katon (tumben dikasih pinjam kata Ira hehehe). Di depan gerbang China Town sekitar pukul 11 malam

 

 

Malam itu kami sampai di hotel sudah pukul 12 malam. Padahal mereka harus siap-siap packing untuk check out keesokan hari ini. Karena itu kami berjanji untuk bertemu lagi pukul 1 siang untuk bermain bersama lagi sebelum mengantar ke Haneda malamnya.

bersambung

Nikon D80 by Riku

 

 

 

Pohon Keramat

31 Mar

Beberapa waktu yang lalu ada sebuah peristiwa yang membuat aku berpikir bahwa orang Jepang memang mempunyai  “sense of belonging” yang tebal. Peristiwanya begini:

Dua buah jalur kereta, Hokuriku (kereta malam) dan Noto. Jalur ini ditutup, dan pagi ini di siaran berita diperlihatkan fans kereta api berkumpul. Ada yang di peron, dan ada yang menaiki kereta terakhir itu. Yang di peron meneriakan “Arigatouuuuuu” kepada KERETA. dan melambaikan tangan…. Aku sampai ikut terharu. Perasaan memiliki (terutama untuk barang-barang milik umum/bukan milik pribadi) ini yang jarang aku temukan di indonesia…atau aku saja yang tidak tahu?
Kereta itu telah mengantar mereka bekerja/bermain/bersekolah atau pulang kampung, selama bertahun-tahun. Untuk perbaikan jalur, kereta itu masuk museum (pasti dijual ke negaraku juga sih karena masih berfungsi)…. Sense of belonging orang Jepang memang hebat! Coba negaraku juga memiliki rasa itu, rasa berterima kasih pada suatu barang atau orang, semestinya bisa lebih maju. Menyayangi barang dan memakai sampai saat terakhir, daijini suru…. menjaga dan memeliharanya….. (TT 13 maret 2010)

Kereta yang adalah hasil buah pikiran manusia saja dicintai sedemikian rupa. Apalagi alam? Tanggal 18 Maret lalu, aku membaca bahwa batang pohon Ginkyo raksasa yang tumbang di Kuil Tsuruoka Hachimangu 10 hari sebelumnya  ditanam kembali batangnya. Tujuannya untuk melindungi anak-anak pohon yang mungkin tumbuh dari tempat yang sama.  Ya, tumbangnya pohon raksasa ini menjadi berita besar, karena sebetulnya pohon ini pohon “keramat”. Yang selalu menjadi bahan cerita turun temurun.

(foto dari mass media Jepang)

Pohon ini berusia sekitar 1000 tahun, setinggi 30 meter dan diameter 7 meter tumbang akibat badai. Pohon yang ditetapkan menjadi warisan daerah Kanagawa ini menyimpan sejarah karena di dekatnya Shogun ketiga pada jaman Kamakura, Minamoto no Sanetomo,1219 dibunuh oleh keponakannya sendiri yang bernama Kugyo. Sumber dari sini.

Kalau di Indonesia mungkin setiap malam Jumat sudah dipenuhi orang yang minta wangsit yah hehehe

Kami merasa beruntung masih sempat melihat pohon ini bulan September tahun lalu. Memang aku belum sempat membuat catatan perjalanan ke Kamakura ini saking banyaknya yang mau diceritakan. Kebetulan waktu itu ada Silver Week, libur beruntun sehingga kami berempat bisa jalan-jalan naik kereta ke Shibuya, dan Yokohama, yang sudah aku tulis postingannya. Dan sebetulnya setelah dari Yokohama itu, kami menginap di rumah mertua, dan keesokan harinya kamu pergi ke Kamakura. Aku ingin memperlihatkan The Great Buddha yang terkenal di Kamakura kepada Riku. Jadi hari itu kami pergi ke Great Buddha dan ke Tsuruoka Hachimangu tempat si pohon “keramat” ini berada. (Posting mengenai The Great Buddhanya kapan-kapan yah hihii)

Kamakura memang kota tua dan pernah menjadi pusat pemerintahan Jepang pada jaman yang disebut dengan jaman Kamakura,  yaitu dari tahun 1183 sampai 1333.  Letaknya tidak jauh dari Yokohama, karena satu prefektur dengan Yokohama yaitu prefektur Kanagawa. Kami naik JR dari stasiun Yokohama dan turun di Kita Kamakura. Memang untuk ke Kuil Tsuruoka Hachimangu ini perlu banyak jalan kaki, tapi pertokoan di sepanjang jalan juga menarik untuk dilihat.

Gerbang (Torii) awal jalan ke Tsurugaoka Hachimangu, ternyata gerbang ini bukan gerbang pertama, tapi gerbang kedua. Gerbang pertama ada di pantai. Lihat jalan yang mengecil (dan kazura)

Tentu saja kita juga bisa naik Jinrikisha, becak yang ditarik pemuda berpakaian hitam, sampai ke Kuil, tapi aku rasa cukup mahal deh. Kecuali untuk lansia yang memang tidak kuat berjalan jauh, atau ingin mencoba menaiki becak Jepang ini (biasanya sih wisatawan domestik, soalnya wisatawan asing biasanya pelit… mahal sih hihihi).Di sepanjang jalan setapak yang diapit jalan mobil ini banyak terlihat bunga berwarna merah berasal dari Cina bernama Higanbana (Lycoris) yang memang sedang musimnya mekar pada bulan September.

Yang menarik justru jika kita menyusuri jalan yang akan menghantar kita ke arah Kuil. Jalan itu terlihat mengecil sehingga membuat pejalan kaki tidak mengetahui seberapa jauh jarak yang ditempuh (terasa jauh). Pengelabuan mata seperti ini disebut dan kazura.

Begitu kami sampai di depan kuil, terdapat sebuah torii, pintu gerbang kuil (yang ketiga) yang khas berwarna merah. Juga ada jembatan lengkung berwarna merah dengan parit kecil di bawahnya. Jika Anda perhatikan, di setiap kolam, atau wadah yang berisi air, kecuali air “wudhu” air yang dipakai untuk membersihkan tangan dan mulut sebelum masuk kuil, pasti ada koin-koin satu yen di atas/dalamnya. Perhatikan deh di setiap tempat wisata yang dikunjungi orang Jepang pasti ada koinnya, bahkan sampai di Roma, di Fontana di Trevi aku bisa melihat banyak terdapat koin di dalamnya (dan menyadari kenyataan bahwa orang Jepang sudah merajai dunia… coba lihat kolam-kolam di Bali …hiks)

Di parit di bawah jembatan inipun demikian, bahkan mereka melemparkan uang koin di atas daun! Dari pintu gerbang ini untuk mencapai kuil masih harus berjalan cukup jauh. Tapi memang lahan kuil ini sangat luas dan dikelilingi pepohonan yang rimbun. Dan di bawah lapangan luas terdapat sebuah panggung, yang katanya dulu merupakan tempat menari. Dari pelataran itu kami harus menaikin tangga yang cukup terjal untuk bisa sampai ke kuilnya.Memang kuil Shinto itu selalu terletak di tempat yang tinggi, dengan pemahaman bahwa dewa selalu berada di atas. Karena Kai waktu itu sedang tidur di kereta bayinya, akhirnya aku tinggal di bawah sementara Riku dan Gen naik ke atas. Well, orang Jepang perlu berdoa kepada nenek moyangnya untuk keselamatan dirinya.

Aku menunggu di bawah pohon “keramat” itu. Memang besar dan …adem. Dari tempat aku duduk bisa melihat gentong-gentong sake persembahan dari pabrik pembuatan sake kepada kuil . Sake memakai beras, dan beras adalah pemberian dewa, sehingga perlu disyukuri dengan memberikan persembahan. Wah membaca tulisan di gentong-gentong sake itu, aku jadi menghitung sudah berapa jenis sake yang aku pernah minum ya hihihi. Salah satu cita-citaku adalah menjadi pencicip sake Jepang, yang kalau di Perancis pencicip wine diberi nama Sommelière. Kalau di Jepang namanya Kikizakeshi きき酒師(ききざけし)。  Aku sudah cukup mahir membedakan sake yang diproduksi tanpa campuran bahan kimia dengan yang memakai campuran kimia, junmai 純米 ginjou 吟醸 jouzou 醸造.

Gentong Sake persembahan perusahaan bagi kuil Shinto

Pada perjalanan pulang menuju stasiun kami sempat melihat awan yang cukup aneh, yang katanya disebut sebagai hitsujigumo awan domba, karena bentuknya seperti bulu domba. Awan memang obyek yang menarik untuk difoto ya…..