Ini cerita tentang salah satu acara mudikku Agustus kemarin yang kulewatkan di Resto Rempah Wangi.
Memang kepulanganku kali ini waktunya tidak begitu bagus. Selain kena puasa dan lebaran, juga 2 minggu setelah lebaran yang biasanya orang-orang masih belum pada kembali dari mudik, atau asistennya yang belum kembali sehingga sulit untuk berkumpul.
Nah kebetulan ada beberapa blogger yang Kristen (katolik tepatnya), yang tidak mudik dan kebetulan juga tidak punya acara open house sehingga pada lebaran hari ketiga tgl 10 Agustus bisa berkumpul bersama di rumahku. Berawal dari pesan Nana Harmanto di BB: “mbak sibuk ngga sabtu besok?”, wah memang sih aku belum ada rencana apa-apa dan kebetulan adikku sekeluarga sudah kembali dari Solo sehingga rumah bisa ditinggal dan sang prt infal ini bisa keluar rumah 😀
Jadi deh Nana dan BroNeo ke rumahku dengan tujuan makan siang bersama. Mereka sudah pernah ke rumahku waktu mama meninggal sehingga ini merupakan kali ke 2. Pagi harinya Nana sempat menghubungi Krismariana, dan Kris datang bersama suaminya. Kalau Kris memang sudah sering datang ke rumahku (sudah tidak terhitung ya Kris). Dan aku sendiri sempat menghubungi Jumria Rahman. Ria sebetulnya sedang tidak enak badan sekembali dari lebaranan di rumah ibunya, tapi karena toh harus makan siang jadi ikut berkumpul di rumahku. Dan untung saja ada Ria, karena Ria merekomendasikan rumah makan bernama Rempah Wangi di daerah Fatmawati.
Sebelum kami ke sana, kami menelepon dulu meyakinkan bahwa sudah buka. Dan ternyata memang sudah buka dan lengang! (Ya jelas masih suasana lebaran sih). Padahal kalau hari biasa sudah bisa dipastikan penuh dan lebih baik pesan tempat dulu sebelumnya. Jalanan di Fatmawati kan bisa dibayangkan macetnya kalau hari biasa, sedangkan hari itu, lebaran ke 3 ya tentu saja sepiiii.
Rumah makan yang begitu luas dengan beberapa kamar-kamar yang disewakan untuk pertemuan keluarga atau bisnis. Makanannya tentu masakan Indonesia yang memakai banyak rempah. Sayang sekali masih banyak menu yang tidak bisa disediakan karena belum ada bahannya. Sehingga kami memesan ikan patin bakar dan goreng, udang, ayam bekakak, dan sop iga. Secara keseluruhan rasanya enak tapi memang tidak murah. Tidak terlalu mahal juga sih. Tengah-tengah lah. Suasana bagus, rasa bagus. Yang tidak bagus itu lokasinya yang macet 😀
Karena kebetulan kami berenam suka makan dan suka mencoba-coba resto baru, kami namakan kopdar kali ini dengan kopdar kuliner deh. Sayang sampai dengan aku pulang kembali ke Jepang, tidak sempat bertemu dan jalan makan lagi.
Dan sebetulnya setelah dari Rempah Wangi ini, kami merasa sayang waktunya untuk langsung pulang, jadi mau pergi ke Skye di Menara BCA. Tapiiiiii kami tidak boleh masuk karena pakai sandal! 😀 Jadi hati-hati ya kalau mau ke sana pas week-end di atas jam 4 sore, harus berpakaian rapih dan pakai sepatu 😀
Horreee…aku sudah kembali ke rumah di Tokyo! Dan berarti kembali pada kesibukan utamaku sebagai… pembantu dan ojek sepeda 😀 Banyaaaaak sekali cerita yang akan aku tulis, tapi tentu saja tidak bisa sekaligus. Juga kadang aku bingung untuk mulai dari mana. Jadi sabar ya hehehe.
Senin, 8 Januari 2013. Sambil membereskan koper, aku menyiapkan makan malam. Karena siangnya sudah makan rendang, bingung juga malam hendak masak apa. Di kulkas tidak ada bahan yang cukup. Sedangkan Riku maunya makan sushi…. Tapi aku malas keluar rumah karena dingin, apalagi Gen yang sudah kurang tidur karena harus menjemput kami jam 7 pagi di Narita. Jadi aku bongkar koper deh, dan menemukan ini:
Memang aku membeli Indomie rasa baru ini pada hari Minggu, sehari sebelum aku pulang. Tidak seperti biasanya aku belanja cukup sedikit untuk ukuranku. Karena aku tidak mau menambah jumlah koper yang ada, meskipun sebetulnya aku masih bisa sih membawa 1 koper lagi (=23 kg lagi). Belanja secukupnya saja. TAPI aku mengambil 20 bungkus Indomie rasa Cabe Ijo karena si @Pitoist bilang jumlah yang beredar sedikit sehingga agak sulit carinya. Maksudku, aku mau coba dulu sebelum masuk koper, kalau enak masuk semua, tapi kalau tidak enak ya aku tinggal saja di rumah Jakarta 😀 Jadi begitu pulang dari Carrefour aku minta mbak Anna, asisten rumahku itu untuk masak. Dan rasanya not bad lah. Demikian pula kesan Gen waktu semalam aku masakkan satu bungkus. “Pedes yaaaa!” Kata dia. Cuma aku agak ragu dengan warna “ijo” nya si cabe, kok sepertinya tidak wajar ijonya hehehe 😉 . Yah cukuplah untuk kali ini aku hanya membeli rasa yang baru ini saja, padahal biasanya aku beli berbagai macam rasa loh.
Memang setiap perusahaan yang inovatif biasanya mengeluarkan rasa-rasa baru untuk menarik pembeli lebih banyak lagi. Semakin banyak terjual semakin untung bukan? Tapi kadang kala penuh resiko karena bisa saja bukannya malah laku, tapi merugi karena onglos produksi lebih mahal. Nah, tadi malam aku terbangun pukul 1 malam JST dan lapar. Jadi aku buat sup cangkir yang diberikan ibu mertua. Di kotaknya tertulis Clam Chowder, tapi waktu aku masukkan air panas… loh kok warnanya oranye seperti sup tomat? Mustinya Clam Chowder itu kan putih. Rupanya yang terambil olehku itu adalah extra, tambahan yang dimasukkan dalam kotak dengan rasa sup krim udang. Mungkin perusahaan itu sedang mencoba mempromosikan dengan memberikan sample rasa sup yang baru diproduksi. Rasanya? Hmmm aneh sih, mungkin karena aku tidak begitu getol makan udang ya. Yang pasti, meskipun dijual, aku belum tentu mau membelinya.
Ada banyak rasa baru dalam produk-produk makanan di Jepang (tentunya di Indonesia juga). Aku biasanya membeli untuk mencoba. Kalau enak ya beli lagi, kalau tidak enak ya stop sampai di situ saja. Aku memang suka mencoba rasa-rasa baru, selama masih edible 😀 Dan sering kali rasa-rasa baru itu dijual untuk jangka waktu tertentu saja, limited edition 期間限定 kikan gentei.Edisi terbatas. Atau ada juga yang dikeluarkan oleh daerah-daerah (perfektur di Jepang) tertentu saja, sehingga kalau mau mencoba harus membeli di daerah itu, atau minta tolong orang belikan, atau lewat internet. Di sini disebut sebagai Chiiki Gentei 地域限定. Dan memang orang Jepang itu suka sekali memburu makanan/barang yang terbatas-terbatas seperti ini. (Sepertinya Imelda sudah mulai jadi orang Jepang :D)
Aku sempat membeli beberapa kitkat dengan beraneka rasa lewat internet. Ada yang edisi terbatas musim dan ada yang terbatas daerahnya. Memang perlu modal besar untuk mengumpulkan rasa-rasa ini karena satu kotak berisi 12 mini itu harganya sekitar 100.000 rupiah. Dan aku berikan untuk saudara-saudara kandungku dan sahabat terdekat saja masing-masing satu mini berbagai rasa. Limited person only. Untuk kalangan terbatas deh 😀 Aku sendiri belum coba semuanya, meskipun aku bawa pulang kembali satu set. Waktu aku tanya apa Gen mau coba dia bilang, “Aku lebih suka yang classic!”. Classic = coklat tanpa tambahan rasa-rasa lain alias coklat (bitter sweet) tok! … hmmm untuk coklat memang kami berbeda :D. Mau tahu coklat yang paling aku suka? Marmalade, kulit jeruk yang dilapis coklat bittersweet! (Dan ini mahal harga per ons nya, jadinya jaraaaang sekali aku bisa beli 😀 )
Tapi Gen sangat setuju waktu aku membeli limited edition yang ini. Perangko dan kartu pos khusus peringatan 60 th Anniversary All Nippon Airways (ANA) yang hanya dijual di atas pesawat. Cukup mahal, tapi… kapan lagi kan? Belum tentu tahun ini aku bisa naik ANA lagi. Untuk menambah koleksiku dan mungkin bisa dijual mahal kalau ANA ulang tahun yang ke 100 😀 (kalau aku masih hidup atau aku hibahkan ke Riku saja 😉 )
Bukan nama orang yang bernama Shichigo loh, tapi ini adalah peringatan yang jatuh pada tanggal 15 November setiap tahunnya terutama untuk keluarga yang punya anak-anak, baik anak lelaki maupun anak perempuan.
Sesuai dengan namanya, shichi = 7, go=5, dan san =3. Pada hari ini mereka yang mempunyai anak perempuan berusia 3 dan 7 tahun, serta anak lelaki berusia 5 tahun (di beberapa tempat ada juga yang merayakan untuk anak lelaki berusia 3 tahun, tapi kami tidak), merayakan “kesehatan” dan perkembangan anak-anak mereka dengan berdoa di Jinja atau Kuil (dan sekarang juga banyak yang merayakannya di gereja Jepang). Dan pada usia-usia inilah anak-anak ini pertama kali memakai baju tradisional Jepang, kimono untuk anak perempuan dan hakama 袴 untuk anak laki-laki.
Kebiasaan ini ternyata baru dimulai pada jaman Tokugawa Tsunayoshi tahun 1681, untuk mendoakan kesehatan anaknya. Secara mudahnya, kebiasaan shichigosan ini karena dulu anak-anak berusia dibawah 7 tahun itu banyak yang sakit dan tidak bisa hidup terus. Jadi kita melewati tahun ke 3, ke 5 dan ke 7, orang tua mengucapkan syukur kepada dewa-dewa atas pertolongan melindungi anak-anaknya. Diharapkan setelah usia 7 tahun, anaknya akan tumbuh sehat terus sampai nanti upacara berikutnya pada usia 20 tahun, yaitu hari dewasa Seijin no hi, waktu anak-anak itu dinyatakan sebagai dewasa.
Nah, Kai sudah berulang tahun ke 5, tahun ini. Jadi aku tahu bahwa kami harus mengikuti tradisi shichigosan ini. Waktu Riku aku ingat kami hanya mengambil foto di studio bersama Kai, dan itu aku laksanakan di bulan Mei. Perkiraannya waktu itu karena jika sudah masuk bulan November, maka akan banyak orang yang memakai jasa foto studio. Pada hari H, sekitar tanggal 15 November, kami makan bersama di rumah mertua, dan Riku berkunjung ke kuil dekat rumah Yokohama. Itu tahun 2008.
Tahun ini aku lebih “sigap” jadi aku mengatur supaya papa Gen bisa cuti, Riku dan Kai bolos sekolah dan aku juga tidak ada kerja, lalu menelepon foto studio untuk membuat jadwal. Sampai dengan tanggal 15 November, foto studio yang biasa kami pakai itu menggratiskan penyewaan kimono dan hakama bagi anak yang merayakan 753, serta orangtuanya. Wah, kesempatan bagiku untuk juga ikut memakai kimono, meskipun aku harus membayar untuk makeup dan hair stylistnya. Waktu upacara pernikahan aku memang tidak memakai kimono, dan dalam waktu dekat juga tidak ada keluarga jauh kami yang akan menikah, sehingga kali ini merupakan kesempatan bagiku kecuali aku mau menunggu kedua anakku menikah nanti 😀 Aku juga mengajak orang tua Gen untuk ikut berfoto bersama, apalagi tahun ini mereka merayakan ulang tahun pernikahan ke 45 tahun! Sekalian saja.
Jadi pukul 9:30 pagi kami keluar rumah dan naik bus menuju Kichijouji, tempat foto studio Laquan NY, karena aku akan mulai didandani pukul 10:30. Anak-anak dan Gen sebetulnya bisa datang pukul 11 karena pemotretan sendiri mulai pukul 12. Tapi…. aku tidak yakin membiarkan 3boys jalan sendiri, terutama aku takut kalau Kai berulah. Tapi ternyata kekhawatiranku tidak perlu. Meskipun mereka harus menunggu 30 menit sebelum jadwal mereka ganti baju, mereka dapat mengikuti petunjuk staff studio dengan baik. Bahkan Kai gembira sekali melihat 3 jenis hakama yang aku pilihkan buat dia. Memang sebelumnya aku sudah pilihkan 3 set hakama untuk Kai, dan ternyata dia pilih yang paling unik sendiri. Yaitu pakaian untuk samurai yang bernama Kamishimo裃(かみしも).
Pakai kimono bagaimana rasanya? Hmmm sama saja seperti pakai kebaya deh. Cuma kalau kebaya yang “menyesakkan” biasanya bagian perut dan pinggang karena pakai korset, sedangkan untuk kimono yang menyiksa adalah bagian dada. Percuma punya dada membusung karena pasti ditekan sedemikian rupa supaya rata. Prinsipnya pada kimono, wanita tidak perlu mempunyai body bentuk biola 😀 karena akan memakai obi (ikat pinggang) lebar yang membuat dada, perut dan pinggang menjadi satu garis :D. Jadi siap-siaplah buka bh, dan untung tidak perlu buka cd seperti wanita Jepang jaman dulu. Semua “lembah” disumpal dengan kapas dan kain sehingga menjadi rata, baru dipakaikan kimono. Yang menjadi patokan adalah motif bunga bagian bawah, jadi yang penting bagian bawah dulu, baru kemudian diatur bagian perut dan dada. Yang pasti akan sulit sekali memakai kimono sendiri, perlu belajar dan latihan yang banyak supaya bisa memakai sendiri. Kecuali badannya lurus seperti papan setrikaan kali ya hahaha.
Setelah aku siap kimononya, Gen dan anak-anak siap memakai hakamanya, kami menuju studio foto yang terletak di lantai 3. Fotografernya perempuan cantik dan lincah. Berkat dia, kedua anak lelakiku bisa bergaya dengan baik 😀 Kai sendiri, lalu Kai berdua Riku, lalu kami sekeluarga ber-4 dan ber-6 dengan bapak ibu mertua. Kai juga bergaya sendiri dengan memakai tuxedo (baju eropa). Yang pasti hasil pemotretan keseluruhannya ada 360 lembar!
Setelah selesai ganti baju, kami masih harus memilih dari 360 lembar, berapa yang kami mau cetak. Kami sudah pengalaman dan sudah tahu bahwa di situ cetaknya mahal (ongkos cetak ukuran terkecil seharga 2100 yen (Rp210.000), sehingga benar-benar memilih yang terbagus saja. Dan kami memilih 20 foto dengan 2 berukuran 5R (sisanya berukuran L). Memang mahal tapi kapan lagi bisa begini. Tapi pelayanan studio Laquan memang top. Mereka memberikan service 2 foto berukuran kecil dalam bentuk data untuk HP. Juga memberikan kalender dengan salah satu foto yang kami pilih. Bahkan karena aku cek in di FB, kami mendapatkan satu set kotak coklat dengan bungkus fotonya Kai :D.
Hasil foto baru jadi 2 minggu yang akan datang, tapi aku bisa menampilkan foto yang kami terima sebagai gambar background HP.
Setelah selesai pemesanan dan pembayaran di studio, kami masih punya waktu 2 jam lebih sebelum bisa makan malam bersama di sebuah restoran Perancis masih di dekat-dekat stasiun Kichijouji itu. Aku memesan tempat untuk ber 6 pada pukul 17:30, begitu restoran itu buka untuk dinner. Sebetulnya restoran itu TIDAK menerima tamu di bawah 6 tahun, karena sudah bisa dipastikan anak berusia di bawah 6 tahun itu ribut dan bisa mengganggu tamu lainnya. Tapi waktu aku tanyakan apakah kami bisa merayakan Shichigosan di sana,kami diterima. Katanya ada kekecualian untuk event-event khusus. Untunglah.
Aku memilih restoran ini karena pernah diusulkan oleh teman ibu mertua. Katanya masakannya lebih enak daripada restoran Perancis yang sering kami datangi yang bernama Kaisen Shokudo. Dan restoran ini bernama Mariage, sehingga kurasa cocok untuk merayakan ulang tahun pernikahan bapak ibu mertua. Mariage tentu saja berarti pernikahan.
Restoran ini tidak besar, tapi berada dalam sebuah rumah yang cantik, jadi seperti memasuki rumah bergaya Eropa. Karena malam dan dingin, kami tidak mau duduk di teras yang juga terlihat menyenangkan. Untuk makan siang pasti menyenangkan deh.
Sebelum memasuki restoran ini, aku sudah wanti-wanti Kai untuk behave! Tidak boleh ini itu, dan harus dengar-dengaran. Tapi tentu saja sulit bagi anak seusia 5 tahun untuk bersikap dewasa apalagi menguasai table manner. Sekaligus kesempatan ini kami pakai untuk mengajarkan table manner pada Kai. Kalau Riku sudah 9 tahun, sehingga sudah bisa mengikuti tata cara makan ala eropa. Kalau dipikir debut Riku di restoran Perancis memang jauh lebih muda daripada Kai. Usia 6 bulan saja dia sudah makan foie gras :D
Kami memesan makanan course menu, tapi masing-masing memilih main course beda-beda. Ibu mertua dan Riku memilih masakan udang besar, Gen dan papanya memilih steak daging sapi, Kai memilih roast chicken, sedangkan aku memilih steak menjangan. Rasanya? tentu semua enak (dan mahal). Tapi kami bisa memperingati sekaligus shichigosan dan ulang tahun pernikahan, dan mungkin untuk tahun ini adalah perayaan yang terakhir karena kami tidak merayakan pergantian tahun (tahun baru) karena dalam suasana duka mochu 喪中 (mama meninggal bulan Februari).
Ini judul-judulan yang aku pakai untuk fotoku yang ini:
Tapi sebetulnya aku mau bercerita pengalaman kami hari Selasa kemarin. Ceritanya 4 ibu Indonesia di Tokyo yang tergabung dalam grup “Pemerhati Kuliner” (baru saja sih dibuat namanya heheheh), ingin berkumpul kembali dan wisata kuliner dari negara lain. Kami sudah pernah mencoba makanan Perancis dan Sweden bersama, dan kali ini ingin mencoba masakan Rusia.
Hari itu hujan seharian. Waktu berangkat hujannya cukup deras sehingga aku menjadi khawatir pada Nesta, karena dia membawa bayinya. Tapi hebat ah dia kemana-mana gendong bayinya dan tetap mau “bermain” di luar rumah. Aku dulu kalau tidak terpaksa sekali, malas keluar rumah bawa bayi. Karena aku juga sama seperti Nesta, selalu gendong bayi dan tidak pakai baby car. Baby car itu amat sangat mengganggu dan menambah beban jika kita naik bus dan kereta.
Jadi deh kami berempat tambah baby Hiro makan di restoran Rusia di Takadanobaba yang bernama Chaika. Aku tidak menyangka restorannya tidak begitu besar tapi penuh orang! Bahkan waktu kami keluar dari situ pukul 1 siang, masih ada orang yang antri tunggu kursi kosong. Untung kami masuk sebelum pukul 12 siang, jadi bisa langsung duduk. Waktu aku telepon pihak resto untuk pesan tempat, dia bilang tidak perlu reserve asal datang jam 11:30 tepat waktu restoran buka. Karena jika reserve, kami harus memesan course menu minimum 2000 yen, padahal aku tidak tahu apakah teman-teman yang lain suka atau tidak pilihan menunya.
Aku memang sedang tidak bisa makan banyak jadi aku memesan menu yang berisi : sup yang bernama Borscht, sup berwarna merah ini biasanya terbuat dari bit merah, tapi rasanya yang kemarin ini dari tomat. Ada irisan dagingnya dicampur juga sourcream. Kupikir asam, tapi rasanya enak juga kok, seperti sup minestrone biasa. Roti basonya Russia namanya PIROZHKI, isinya daging giling dengan soun. Cuma menurutku rasanya kurang nendang (terlalu mengharapkan bumbu Indonesia sih). Lalu ada sup cream jamur yang ditutup lapisan roti. Memang biasanya ditutup pie, tapi resto ini pakai roti, kurang terasa pienya. Kurasa sup jenis ini sudah banyak di Indonesia dengan nama Zuppa sup. Tapi isi supnya sendiri enak, kental. Sudah itu saja menunya yang kami pesan. Kalau untuk laki-laki pasti kurang karena tidak ada nasi dan rotinya sedikit. Tapi buatku waktu itu cukup (mumpung lambungnya sudah terbiasa sedikit nih hehehe).
Kalau Whita dan Lisa memesan menu lain, yang diberikan juga salada dan daging bakar seperti kebab. Sebagai penutup memang tidak ada dessertnya, tapi kami semua mendapat chai, yaitu teh Russia. Apa bedanya teh Russia dengan teh lain? Sama saja sih cuma teh panas yang diberi selai strawberry. Kami berempat sepakat bahwa kami bisa saja setiap hari minum teh Russia yaitu dengan memasukkan selai macam-macam ke dalam teh kami, sebagai pengganti gula.
Dan sebetulnya aku juga sering merasa aneh. Aku pernah membeli Teh Yuzu (semacam lemon). Kupikir ada kandungan tehnya, ternyata tidak. Hanya selai yuzu dilarutkan air panas saja. Rupanya di Jepang segala selai buah yang dilarutkan air panas diberi nama Cha (Teh) meskipun sama sekali tidak mengandung daun teh yang kita kenal.
Secara keseluruhan masakan Russia ini lumayan, dalam arti cocok untuk lidah orang Indonesia. Selain itu karena siang hari, harganya terjangkau. Dengan membayar 2000 yen sudah bisa makan lengkap (menu yang kupilih seharga 1150 yen. Harga yang reasonable untuk mencoba jenis masakan baru. Cuma memang kami kurang bisa santai di sini, karena waktu makan siang ternyata restoran ini terkenal, sehingga jam 1 lewat kamu sudah beranjak meninggalkan restoran, Tentu saja karena Hiro, anaknya Nesta juga mulai rewel karena kepanasan.
Tapiiii, kami belum puas ngobrol dan berfoto. Kami sengaja menentukan dress code berbaju hitam dengan scarf batik. Dan di resto Chaika itu ruangannya kurang terang, selain juga tidka bisa santai mengambil foto karena sudah ada yang antri. Juga sulit mengambil foto berempat. Selain itu baru pukul 1 lewat, masih pagi 😀 Jadi kami sepakat untuk mencari karaoke di sekitar stasiun Takadanobaba. Dan kami pergi ke karaoke Big-Echo, chainstore karaoke box yang terkenal di Jepang. Kebetulan aku punya kartu anggotanya, sehingga kami bisa mendapat harga khusus anggota.
Karena kami membawa bayi, oleh petugasnya kami diberikan ruang nomor 19. Loh ternyata itu adalah Kids Room. Maksudnya di dalam ruangan ada pojok khusus yang terbuat dari busa sebagai tempat bermain anak-anak. Perfect! Aku baru tahu bahwa Big Echo mempunyai ruang seperti ini. Ada ruang yang bisa untuk recording, ada juga ruang yang bisa untuk makan yang diberi nama Restaurant Room. Maklum aku juga sudah lama tidak keluyuran berkaraoke dengan teman-teman. Terakhir ke Big Echo itu waktu pergi dengan mertua sambil menunggu restoran Zauo (pemancingan) Shinjuku dibuka. Waktu itulah aku membuat kartu anggota 😀
Setelah menidurkan Hiro di pojok khusus anak-anak, kami memesan satu minum dan sambil mencari lagu yang hendak dinyanyikan. Dan karena interior Kids Room ini dominan warna kuning kontras sekali dengan baju kami yang berwarna hitam. Jadi deh kami memuaskan kenarsisan kami di sini, tentu saja dengan mengandalkan timer kameraku. Meskipun hanya dua jam, juga aku menyanyikan lagunya itu-itu saja, tapi terasa bahwa memang aku butuh waktu-waktu seperti begini. Me Time. Bermain dengan teman-teman.
Sekitar jam 3:30 kami keluar tempat karaoke itu dan kembali ke rumah masing-masing. Untung saja hujan sudah berhenti waktu itu. Dan aku masih punya banyak waktu untuk menjemput Kai di TK jam 5, sehingga masih sempat juga untuk berbelanja.
So, next mau mencoba masakan apa lagi ya? Aku sedang mencari informasi lagi nih restoran negara asing yang buka siang hari, yang tidak jauh dan tidak mahal 😀 Pernah diberitahu murid ada masakan Persia yang enak, tapi ternyata setelah aku cari informasinya resto itu tidak buka pada siang hari. Ada usul? hehehehe (Aku tetap masih ingin coba masakan daging buaya loh, konon ada di daerah lingkaran Yamanote line Tokyo hehehe)
Kamu suka wiskul juga?
Restoran Chaika (Russian Dishes)
1-26-5 Takadanobaba Shinjuku, Tokyo 169-0075, Japan
tel: 03-3208-9551
Tentu saja semua tahu batik ! Gimana sih mama…. (gayanya Kai). Tapi maksudku benar-benar TAHU ,makanan yang terbuat dari kedelai bukan ‘tau’. Nah lebih aneh lagi ya, kok ada Tahu bermotif Batik? hehehe. Ya paling di Jepang ada tahu seperti ini,
yang disebut dengan Yakidofu, tahu bakar, tahu jenis momentofu yang seratnya lebih kasar daripada tahu sutra (kebanyakan tahu di Indonesia termasuk jenis momen, tahu yang dibungkus dengan kain katun) tapi bagian atasnya dibakar, sehingga kalau dari jauh ya bisa saja kelihatan seperti batik hehehe. Yakidofu ini biasanya dipakai untuk memasak Sukiyaki. Nanti bisa juga mungkin dibakarnya dengan cap batik, sehingga bisa benar-benar terlihat seperti tahu yang bermotif batik 😀
Tanggal 2 Oktober sudah ditetapkan menjadi Hari Batik Nasional, di Indonesia. Dan tentu saja aku mau dong berpartisipasi, jadi memang berniat untuk pakai baju batik untuk keluar rumah. Kebetulan kemarin itu aku ada janji bertemu dengan dua pastor dan seorang tante anggota gereja di Kichijouji. Sayangnya aku lupa mengingatkan ke 3 orang Indonesia itu untuk memakai baju batik…. terlambat deh. Kami janjian untuk lunch bersama kuliner rendah kalori yang bernuasa tradisional Jepang, karena ruangannya memang ruangan Jepang. Sayangnya kamar yang kami dapatkan adalah KUTANI 2 tidak begitu sesuai dengan bayangan aku. Aku inginnya Imari atau Arita yang pernah aku datangi sekian tahun yang lalu bersama mama. Ya restoran tahu “Ume no Hana” ini menamakan kamar-kamar privatnya dengan nama daerah penghasil keramik. Aku suka keramik, jadi sedikit sedikit aku mulai mengingat motif-motif khas suatu daerah. Memang aku paling suka dengan Arita(yaki) yang kerap memakai warna biru dan merah dalam hasil bakarannya.
Pertemuan itu sebetulnya untuk merayakan ulang tahun Tante Kristin yang jatuh tanggal 28 September, Pastor Ardy yang jatuh tanggal 30 September dan kedatangan pastor Denny dari Kumamoto ke Tokyo. Aku kenal dengan pastor Denny melalui multiply, waktu beliau masih di Italia dan sedang mempersiapkan kedatangan ke Jepang. Sayangnya beliau ditempatkan jauuuh dari Tokyo, di Kumamoto. Setelah ‘kenal’ di dumay (dunia maya)selama bertahun-tahun, baru tahun ini sempat bertemu. Jadilah hampir 3 jam kita bercakap-cakap sambil makan sajian course yang dibawakan bertubi-tubi. Hampir semua terbuat dari tahu, dan kami dilayani seorang pelayan pria yang memakai hakama (kimono untuk lelaki)… cakep juga loh, sayang kok aku tidak kepikiran untuk berfoto bersama dia ya? hahahaha… mungkin karena ‘jaim’ pergi dengan pastor hehehe. (Jadi ngga mau pecicilan gitu). Tapi dari dia kami mendapat info bagus tentang SkyTree 🙂
Sebanyak 15 piring jenis makanan diantarkan dan ditutup dengan nasi, sup kembang tahu dan desert. Meskipun semua jenisnya kecil-kecil kenyang juga euy. Dan waktu aku memesan tempat ini memang ditanyakan apakah ada yang berulang tahun? Karena jika ya, mereka akan memberikan hadiah berupa sumpit kepada yang berulang tahun dan memberikan foto bersama kepada yang hadir. Bagus juga jadi kami ada foto bersama tanpa harus mengeluarkan tripod.
Setelah selesai makan, kami berjalan menuju gereja Kichijouji dan berfoto bersama di depan gereja, juga melihat sepeda lipatnya pastor Denny yang dibawa dari Kumamoto. Jadi selama di Tokyo beliau bersepeda kemana-mana, bahkan malam harinya akan pergi ke Nagano untuk bertemu seorang suster Jepang di sana…. Buatnya jarak 17 km dari Shibuya sampai Kichijouji itu DEKAT! hihihi. (Aku aja dari rumahku bisa juga sih naik sepeda ke Kichijouji, mungkin makan waktu 50 menit… padahal kalau naik bus cukup 20 menit. Hmmm belum berani coba sih). Cukup tergoda juga sebenarnya, karena pastor Denny itu bisa turun berat badannya 20 kg selama 6 bulan hanya dengan mengubah pola makan dan bersepeda. huhuhuhu pengeeen 😀
Lalu kenapa aku menuliskan judul Tahu Batik? Ya, selain kemarin itu hari Batik di Indonesia, di Jepang adalah hari TAHU, karena 10/2 (2 Oktober) dibaca TOFU. Jadi cocok sekali kan kalau makan Tahu sambil pakai baju batik?
(Eh ternyata aku juga baru tahu bahwa tanggal 1 Oktober, selain hari Tokyo, juga hari KOPI … duh ada-ada saja nih orang Jepang. Tapi mungkin yang lebih ada-ada lagi waktu aku melihat iklan di TV pagi tadi tentang teh yang terbuat dari biji kopi yang dikeluarkan oleh Nescafe…. gimana ya bilangnya? Teh kopi? bingung heheheh)
Melanjutkan seri tentang makanan atau rasa-rasa jadul yang tetap bisa dirasakan pada saat ini, maka pada hari ini aku ingin menulis sedikit tentang sebuah makanan yang terbuat dari telur.
Kalau di tulisan dulu, aku mencoba masak Oliebollen, roti goreng karena dulu mama sering buat, kali ini aku mencoba membuat “Telur Isi” yang namanya “Deviled Egg”. Secara tidak sengaja aku menemukan masakan kesukaanku itu, waktu ibu S. Mara Gd menulis tips masakan di FB nya. Waaah aku langsung girang, karena memang sudah lama aku mencari-cari namanya. Deviled Egg ini dalam bahasa Belanda disebut gevuld ei , dan dulu pernah mama buat waktu aku masih SD. Begitu enaknya sampai sekarangpun aku masih ingat rasanya. Tapi setelah saat itu, mama tidak pernah buat lagi. Mungkin karena merepotkan harus merebus dan menghias telur itu satu per satu. Apalagi kalau ada pesta di rumah kami, jumlah tamunya tidak tanggung-tanggung sih hehehe.
Kali ini aku hanya mencoba buat dengan 4 butir telur saja. Rebus telur sampai matang. Supaya kulit telur mudah dikupas, langsung masukkan telur rebus panas ke dalam air dingin. Pasti deh mudah dikupas. Setelah dikupas, potong menjadi dua dan ambil kuning telurnya saja. Kalau ada waktu putih telur yang sudah kosong itu bisa dibuat zigzag dengan pisau.
Kuning telur kemudian dicampur dengan mayoneise, mustard sedikit dan keju parut. Dulu mama memasukkan peterseli, tapi karena tidak ada, aku pakai basil dressing sedikit. Menurut ibu Mara, bisa juga dimasukkan irisan ketimun kecil atau apasaja untuk menimbulkan rasa “krenyes-krenyes”. Tapi setahuku dulu mama tidak memasukkan acar-acaran. Adonan kuning telur yang sudah dicampur itu kemudian dimasukkan kembali ke dalam putih telur. Dan sudah, selesai. Begitu saja 😀
Deviled Egg ini cocok untuk appetizer atau teman minum wine/bir juga, menemani bermacam crakers yang dihias dengan keju, caviar, tomat, olive dll. Tidak susah dibuat, hanya sedikit merepotkan hehehe. Tapi yang pasti rasanya enak! (Cuma hati-hati kolesterolnya naik loh hihihi).
Akhir-akhir ini aku sering membeli stroberi, karena kebetulan toko sayur – yaoya 八百屋 tempat aku biasa membeli sayuran menjual stroberi dengan harga murah. Tahun-tahun lalu aku “pelit” sekali dalam soal membeli buah-buahan karena mahal, tapi tahun ini aku cukup royal. Satu kotak plastik bisa berisi sekitar 24 biji stroberi berukuran sedang seharga 200-250 yen (20rb-25rb rupiah). Dan kemarin toko sayur itu mengatakan bahwa setelah GW tidak akan menjual stroberi lagi karena musimnya sudah selesai.
Untuk tomat, terus terang aku juga jarang membeli. Apa sebab? Aku kurang suka tomat Jepang. TIDAK MANIS! Perasaan dulu waktu di Indonesia, aku sering makan tomat dan manis rasanya. Oleh ibuku sering dibuat sebagai “snack” tomat yang dipotong dadu lalu diberi gula pasir. Jadi buatku tomat adalah buah 😀 karena manis. Sedangkan tomat Jepang tidak ada rasanya. Biasanya dimakan untuk salad, setelah didinginkan di lemari es. Sedangkan kalau aku akhir-akhir ini sering membuat appetizer tomat dengan mozzarella chesse dan bumbunya lada, garam dan olive oil (Kalau suka basil bisa diberi basil, tapi aku ngga suka sih :D).
Kok aku menulis Tomat dan Stroberi untuk judul? Sebetulnya aku ingin bertanya menurut teman-teman Tomat dan Stroberi itu termasuk kategori “sayur 野菜” atau “buah 果物” ?
Setelah makan malam beberapa hari yang lalu, aku mengeluarkan dessert stroberi, hanya dicuci begitu saja. Biasanya Riku dan Kai akan “mencolek” stroberi itu pada susu kental manis (kalau ada) atau gula pasir. Sedangkan papa Gen selalu makan begitu saja. Nah saat itu, tiba-tiba Kai bertanya padaku,
“Mama, mama tahu stroberi itu apa? sayur atau buah?”
“eh? Buah kan?”
“BUKAN! Stroberi itu sayur loh!”
“Masa sih? Kok bisa?”
“Iya, kan nih liat masih ada rantingnya”
Lalu Riku menimpali, “Iya betul. Stroberi sama dengan tomat dan semangka, juga waluh termasuk sayur loh. Cuma karena manis aja maka ditaruh di tempat buah.”
Nah loh… aku langsung googling dengan bahasa Jepang イチゴは野菜?くだもの? dan ternyata memang (menurut orang Jepang) stroberi itu termasuk sayur. Karena pohonnya tidak tinggi (alasannya kurang jelas sih dan memang masih merupakan polemik). Jadi memang di Jepang Stroberi dan Tomat itu termasuk kategori “sayur”.
Tapi jika cari dengan bahasa Inggris akan bertemu jawaban lagi yaitu stroberi itu bukan termasuk buah, karena dia adalah pseudofruit (bijinya di luar). Polemik “sayur” atau “buah” itu muncul karena ada perbedaan pendapat antara “kuliner” dan “botanis”, atau antara yang membuat tumbuhan itu dan pemakai tumbuhan itu. Persepsinya berbeda.
Apapun kategorinya, stroberi itu memang enak yah hehehe.
Kembali lagi ke Kai dan Riku yang memberitahukan aku bahwa Stroberi adalah sayuran. Setelah aku googling, lalu aku berkata pada Kai dan Riku….
“Eh bener loh ternyata stroberi itu sayur! Terima kasih ya sudah kasih tahu mama. Mulai sekarang bukan hanya mama yang ‘mengajar’ Kai dan Riku tapi sebaliknya mulai sekarang kalian juga “mengajar” mama yah”
Dan, persis sehari setelah itu aku menemukan dua buah pepatah bahasa Jepang yang diperkenalkan dalam acara NHK kids, yaitu:
聞くは一時の恥、聞かぬは一生の恥
Kiku wa ittoki no haji, kikanu wa isshou no haji
Waktu bertanya itu mengalami rasa malu saat itu, tapi kalau tidak bertanya maka akan malu seumur hidup. (Ya mungkin hampir sama dengan Malu bertanya sesat di jalan, tapi penekanannya berbeda. Di pepatah bahasa Jepang yang ditekannya rasa malunya. Ah memang orang Jepang berbudaya malu. Malu kalau tidal bisa! Malu kalau tidak berhasil sesuatu dsb dsb)
稽古とは 一より習ひ 十を知り 十よりかへる もとのその一 (千利休)
Keiko to wa ichi yori manabi ju wo shiri ju yori kaeru motono sono ichi (Sen no Rikyu)
Latihan itu belajar dari urutan pertama, sampai mengetahui urutan ke sepuluh, kemudian dari urutan ke sepuluh kembali lagi ke urutan pertama. (Maksudnya jika kita berlatih dari awal sampai pada tingkat penguasaan maksimal, kemudian kembali ke awal, kondisi kita berbeda dengan waktu pertama kali sekali kita berlatih. Jika manusia merasa sudah menguasai dan merasa cukup, maka manusia itu berhenti sampai di situ saja. Tidak benar-benar menguasai ilmu tersebut. Jadi sampai kapanpun harus terus belajar dan berlatih)
Sebetulnya aku ingin menuliskan tentang pepatah ini kemarin, pas hari Pendidikan Indonesia, tanggal 2 Mei, tapi biasa deh tertunda sampai sekarang. Silakan menghubungkan sendiri cerita Tomat dan Stroberi serta kedua pepatah di atas. Intinya tentu saja BELAJAR TERUS ya.
Gurume adalah pengucapan bahasa Jepang untuk bahasa Perancis ‘Gourmet‘, atau yang mungkin lebih akrab di telinga teman-teman Indonesia adalah wisata kuliner. Namun di Jepang Gurume lebih ke menikmati masakan dengan bahan segar terpilih yang didukung oleh keindahan penyajian hidangan dan suasana sekitarnya. Nah biasanya restoran yang menjadi tujuan Gurume seperti itu tentu mahal. Ada rupa ada harga! Restoran yang seperti ini di Jepang disebut sebagai Gurume Kelas A. Sedangkan untuk restoran dengan masakan yang terjangkau oleh masyarakat biasa (baca: murah) tapi enak disebut dengan Gurume Kelas B.
Untuk pembagian apakah suatu restoran itu Gurume A atau B memang sulit, tapi biasanya kalau di Jepang rata-rata makan siang 1000-1500 masuk ke Gurume B, yang lebih mahal dari itu ya Gurume A. Perlu diketahui bahwa biasanya harga Lunch dan Dinner di restoran di Jepang (kecuali family restaurant dan chain restaurant) berbeda. Jika budget lunch minimum 1000 yen (100.000), maka untuk dinner biasanya 4000 yen. Kecuali jika Anda peminum minuman keras pasti budgetnya akan lebih mahal. Harga minuman memang mahal, tapi biasanya setiap tamu mendapat air minum (bukan air mineral – di Jepang biasanya tidak tercantum air mineral dalam daftar minuman). Tidak seperti di Indonesia yang untuk minumpun harus membeli air mineral.
Waktu pergi ke Sendaipun kami berwisata kuliner ke restoran yang memang khas Sendai. Dan yang terkenal di Sendai adalah Lidah Sapi Date (date no gyutan). Satu set lidah bakar lengkap dengan nasi dan sup nya sekitar 1900 yen. Dan memang namanya juga lidah, untuk yang bermasalah dengan gigi, lebih baik memesan Semur Lidahnya daripada Lidah Bakar. Selain masakan dari Lidah Sapi, restoran ini juga menyediakan sake dari daerah Tohoku. Yang aku heran waktu pergi ke restoran ini, Kai yang biasanya malas makan, makan dengan lahapnya. Akupun menikmati dinner di malam pertama kami di Sendai.
Untuk lunch pada hari kedua, kami pergi ke sebuah restoran sushi di Ishinomaki. Kami memang sengaja makan (dan mengeluarkan uang untuk membeli bermacam oleh-oleh) dengan maksud membantu perekonomian lokal. Apalagi Ishinomaki terkenal dengan hasil lautnya. (Tapi aku merasa sushi di sini mahal!) Kami memesan set sushi yang dipilihkan oleh itamae (chef/pembuat sushi), kecuali untuk Kai kami memesan Ikura Gunkan (jenis sushi dengan telur ikan ikura di atasnya) kesukaan Kai.
Setelah dari restoran sushi, kami membeli oleh-oleh dan souvenir di pusat penjualan di stasiun Ishinomaki. Di sini kami menemukan es krim rasa bir, rasa sake, rasa beras dan yang kami beli untuk coba adalah es krim rasa Lidah bakar! hehehe…rasanya aneh! Di tempat yang lain kami juga melihat es krim shijimi (kerang kecil), tapi malas ah untuk mencoba.
Malam hari kedua kami diajak makan ke sebuah nomiya (tempat minum-minum khas Jepang) yang makanannya juga enak. Di sini kami disuguhi berbagai jenis sashimi dan udang (tentu saja mentah semua), tempura 3 jenis ikan, dan penutup 2 buah sushi. Makanan ini saja sebetulnya tidak mengenyangkan, tapi kami minum sake khas Tohoku 4 jenis yang berbeda. Nomikurabe (membandingkan yang mana yang enak), dan menurutku sake bernama Miya no Kanbai yang terenak (dan semua Miyashita Family menyetujuinya hehehe). Kadang-kadang aku terpikir untuk menjadi Sommelière (pencicip anggur) tapi khusus sake Jepang. Karena sake Jepang terbuat dari beras, rasanya perut juga tercukupi.
Wisata kuliner kami yang terakhir tidak dilaksanakan di restoran tapi di dalam Shinkansen. Aku dan Riku membeli bento (bekal makanan) berupa Lidah Bakar di stasiun Sendai, sedangkan Gen membeli nasi dengan lauk ikan, dan Kai Hayabusa Bento. Hayabusa adalah nama kereta shinkansen terbaru berwarna hijau. Dalamnya nasi dengan berbagai lauk yang disukai anak-anak. Rata-rata bento-bento ini harganya 1000-1200 yen.
Nah, biasanya bento dalam keadaan dingin, tidak panas. Dan itu sudah diketahui orang Jepang, bahwa bento itu dingin. Tapi yang menariknya, bento yang aku beli memakai alat pemanas khusus. Sebelum makan kami harus menarik tali yang ada, sehingga tiba-tiba bagian bawah bento itu memanas. Bagaikan tercurah air panas 80 derajat. Setelah 5-6 menit, baru dibuka, dan…. voila… makanan kami hangat! Sistemnya seperti kairo pemanas buatan. Untuk mengetahui cara kerja pemanas itu aku sampai membawa pulang bagian dasar dari bekal makanan kami.
Ah, memang makan makanan yang hangat jauh lebih enak dari makanan dingin. Teman-teman biasanya memilih makan yang mana? Masakan panas, hangat atau dingin? Orang Indonesia di Jepang dikenal sebagai nekojita (lidah kucing) tidak bisa makan yang panas-panas :D. Dulu aku memang nekojita, tapi sekarang sudah menjadi orang Jepang 😀
Sedikit intermezo di pagi hari yang mendung di Tokyo, setelah kemarin turun salju. Dinginnya masih menusuk sampai ke tulang, sehingga malas untuk pergi ke luar rumah. Lebih menyenangkan tinggal dalam rumah yang hangat sambil makan yang panas-panas.
Nah kebetulan aku ada satu wadah berisi nasi kering. Ya karena di sini dingin, sering kalau lupa dibiarkan di luar, nasi cepat sekali menjadi kering. Belum lagi sisa-sisa nasi anak-anak yang tidak termakan. Biasanya nasi yang masih bersih aku kumpulkan dalam satu wadah tupperware dalam lemari es. Kebetulan pagi ini, waktu aku memeriksa lemari es, masih ada bayam, mitsuba (daun seperti kemangi di Jepang, bisa juga pakai mizuna) waluh, singkong dan jagung kaleng (kalau musim dingin tidak ada jagung segar). Jadi deh nasi keringku menjadi bubur manado (bubur tinutuan) . Bumbunya bubur tinutuan itu sebenarnya apa sih? Kalau aku paling suka yang gampang yaitu hanya garam dan…. daun kunyit. Ternyata daun kunyit itu yang menentukan bau bubur itu harum dan rasanya enak. Kalau pakai daun sereh terlalu pedas. Karena itu aku selalu ada persediaan daun kunyit dalam freezer.
Tapi bubur manado itu belum lengkap kalau tidak ada sambal dan ikan asin! Untuk ikan asin aku lebih suka ikan jambal roti atau ikan gabus. Padahal orang manado asli mungkin pakai ikan roa ya. So, yang suka makan bubur manado, masak sendiri aja! (Menjawab reply nya Nique di postingnya “Kerupuk Getas“.
Selain bayam yang harganya melangit di musim dingin, waluh dan ubi banyak dan murah. Kecuali sawi putih yang memang banyak dipanen, semua sayur yang berdaun memang naik harganya di musim dingin. Jadi biasanya untuk mengatasi kekurangan hasil panen sayur, orang Jepang banyak memakai acar dan sayur yang dikeringkan. Aku sendiri baru tahu di sini bahwa sayur kering tongcai 冬菜yang biasa dipakai untuk bubur ayam terbuat dari sawi putih yang diacar sampai warnanya berubah…dan asin sekali.