Aku sedang ingin menulis tentang “Berkat”, berkat-berkat yang kurasakan selama hampir sebulan ini, terutama akhir-akhir ini, yang kurasa amat banyak. Tapi khusus untuk kali ini aku memakai kata Anugerah dulu sebagai judul tulisan.
Aku ingin menceritakan tentang om-ku, Philip Karel Intama yang meninggal tanggal 4 Agustus yang lalu. Pagi itu persis waktu aku sedang mempersiapkan kunjungan ke Rumah Dunia. Kami menerima kabar tentang kematian om Kale, demikian sapaan kami kepadanya. Tepatnya aku mendengar suara terisak papa yang menerima telepon pemberitahuan dari keluarganya. Dan aku mengerti bahwa Tuhan telah memanggil om kami ini.
Om Kale adalah suami dari adik papa, jadi adik iparnya papa. Saat meninggal usianya 80 tahun, usia yang cukup banyak bagi kebanyakan orang Indonesia, yang rata-rata life expectancy (angka harapan hidup 寿命)nya 69,32 tahun data th 2011 ( urutan ke 118, menurut WHO).
Sebab meninggalnya karena sakit yang memang tidak bisa disembuhkan lagi. Tapi ada satu hal yang membuatku tak hentinya meneteskan air mata waktu mengikuti kebaktian penghiburan di rumahnya. Yaitu bahwa om Kale sudah 4 tahun berusaha mengurus surat pengakuan dari pemerintah Indonesia bahwa beliau adalah pejuang Trikora, di Manado saat itu. Konon tanda “bagde” pejuang trikora sudah diterima, tapi surat pengakuan itu yang belum diterima. Jadi selama masa “penantian” surat pengakuan itu, beliau ber-nazar (janji pada diri sendiri hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai; kaul: – KBBI Daring) dengan tidak mencukur jenggotnya.
Om jenggot putih itu juga yang menjadi trade mark bagi anak-anakku untuk mengenali dibanding namanya, Om Kale. Kai selalu bermain dan menarik-narik jenggot om Kale setiap bertemu jika aku mudik. Tapi waktu kuajak anak-anak melayat, mereka tidak menemukan “Om Jenggot Putih” di dalam peti mati. Ah wajah om Kale memang cerah dan bersih dari kumis dan jenggot. Dan dari kotbah kebaktian itu lah aku mendengar cerita tentang nazar pengakuan pemerintah atas keikutsertaannya dalam memperjuangkan Trikora.
Adalah tgl 29 Juli, persis hari ulang tahun papaku, pukul 8 pagi putri om Kale mendatangi rumahku. Rupanya dia sudah janjian dengan papa untuk pergi ke Kemenham guna menanyakan surat pengakuan pejuang Trikora. Kebetulan papa ada chanel dengan orang “dalam” untuk bisa menanyakan posisi surat tersebut. Papa pun hari itu tidak menyangka bahwa kepergian papa dan sang putri dapat menghasilkan sesuatu yang positif. Dalam waktu 2 jam, surat pengakuan yang rupanya sudah ditanda-tangani tanggal 15 Juli itu berhasil diterima sang putri. Yang kemudian surat pengakuan itu dibawa langsung ke RS untuk diberikan pada om Kale yang sedang terbaring tapi masih sadar. Tangis pecah mengiring kebahagiaan atas perjuangan selama 4 tahun yang membawa hasil positif. Ya, Om Kale dinyatakan sebagai pejuang Trikora di Manado. Pengakuan yang ditunggu-tunggu itu memberikan kebahagiaan pada Om Kale, dan dengan hati ringan bisa menghadapi panggilan Tuhan untuk kembali ke rumah Bapa.
Banyak yang telah dilakukan om Kale dalam pelayanan di 3 gereja GPIB yang terbukti dari banyaknya kebaktian dan doa yang dikumandangkan untuknya. Sehingga genaplah doa yang sering diucapkan orang Indonesia ketika seorang bayi lahir, yaitu “Agar berguna bagi keluarga, gereja dan bangsa”. Bagi om Kale tentu sudah banyak anugerah Tuhan yang beliau terima. Dan terakhir dilengkapi dengan peng-anugerah-an surat keputusan pemerintah yang menyatakan om Kale adalah Veteran Pembela Kemerdekaan RI.
Dan bagi kami, om Kale juga anugerah Tuhan, karena doa-doanya selalu menyertai kehidupan kami sejak kami kecil.
Rest in Peace oom. Doa kami menyertai oom dan segenap penghuni surga. Titip salam juga pada mamaku ya.
NB: Om Kale dimakamkan di San Diego Hills tepat tanggal 8 Agustus, saat umat Islam di Indonesia merayakan Idul Fitri. Saya juga mau mengucapkan selamat Idul Fitri kepada semua keluarga dan teman yang beragama Islam. Semoga kita dapat memulai kehidupan baru setelah saling memaafkan kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
“Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah”