Hampir dalam waktu yang bersamaan aku memulai 5 kelas Bahasa Indonesia, 3 Kelas Dasar dan 2 kelas Menengah. Dan di kelas Dasar seperti biasanya aku awali dengan pengucapan alfabet bahasa Indonesia, salam dan perkenalan.
Kenalkan,
Nama saya Imelda Coutrier Miyashita.
Saya tinggal di Nerima.
Saya datang dari Jakarta.
Saya guru bahasa Indonesia.
Dan biasanya tanpa menjelaskan dan memberikan artinya terlebih dahulu, aku meminta murid-murid memperkenalkan diri sendiri memakai pola yang sama, serta menghafalkannya. Tapi sebelumnya aku meminta mereka menuliskannya dalam lembar kertas ujian, sebagai ganti daftar hadir. Maklum registrasi mahasiswa masih belum selesai sehingga kami para dosen belum menerima daftar absensi.
Kalau kelas di Universitas S sudah pasti mahasiswa tingkat satu, sehingga tidak ada yang istimewa. Kecuali bahwa setiap tahun aku menemukan mahasiswa yang berasal dari Tochigi dan pulang-pergi ke kampus dari Tochigi. Bisa dibayangkan jauhnya (one way 2,5 jam) dan aku biasanya mengajak mahasiswa yang lain untuk rajin seperti dia. Kelas yang cukup besar karena tahun ini ada kurang-lebih 40 mahasiswa yang mengambil pelajaran bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib bahasa asing ke dua.
Yang menarik adalah kelas Dasar di kelas Universitas W karena pesertanya beragam, dari berbagai tingkat dan fakultas. Ada mahasiswa Pasca Sarjana S2 dan S3 juga! Tahun ini juga aneh menurutku, karena cukup banyak yang mengambil kelas bahasa Indonesia. Ada sekitar 25 mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pilihan. Tapi mungkin juga tidak aneh, karena memang dulunya aku hanya mengajar semester genap, bukan dari semester ganjil. Karena dosen yang biasa mengajar di semester ganjil sudah pensiun, maka aku yang menggantikannya. Dan pada waktu kelas awal minggu lalu itu, aku terkejut mendapatkan 2 orang Singapura dan 1 orang Korea di kelasku. Memang Universitas ini mempunyai fakultas internasional yang banyak diikuti mahasiswa asing. Sambil berkelakar aku mengatakan pada mahasiswa Singapura itu bahwa seharusnya mereka ambil kelas Menengah, bukan kelas Dasar. Dan lucunya mereka memakai bahasa Inggris kepadaku 😀 (padahal dalam kuliah bahasa pengantar adalah bahasa Jepang)
Selain di dua universitas ini, aku juga mempunyai satu kelas Dasar lagi di malam hari. Sebuah kursus yang diadakan oleh Kedutaan Besar RI yang bekerjasama dengan Japan Indonesia Association (Japinda) bernama KOI (Kursus Orientasi Bahasa Indonesia). Kursus ini diikuti oleh masyarakat Jepang umum, sehingga beragam profesi dan tujuan mereka untuk belajar. Ada yang akan bekerja di Indonesia, ada juga mahasiswa, ada ibu rumah tangga, ada karyawan/karyawati, dan ada yang berterus terang punya pacar di Bali 😀 Unik memang.
Tapi ada satu kejadian yang membuatku termenung hari Jumat kemarin, waktu aku mengajar di Universitas S. Kuliah hari itu adalah kuliah yang ketiga kalinya. Di awal kuliah seorang mahasiswi datang padaku dan mengatakan bahwa dia sudah mendaftar ke Biro Akademik, dan boleh mengikuti kuliahku. Aku ingat mahasiswi ini memang datang sejak kuliah pertama, tapi aku menyuruh dia untuk menyelesaikan urusan administrasi meskipun tanpa mendaftarpun dia boleh mengikuti kuliahku. Tapi aku tidak mau disalahkan jika nanti namanya tidak tercantum, atau kelak ada masalah waktu penilaian dsb. Mahasiswi yang manis, sayang dia kelihatan selalu gemetar, alias tidak percaya diri.
Jadi setelah berbicara padaku, dia duduk dan mengikuti test kecil yang kuadakan setiap kuliah. Waktu aku mengumpulkan kertas test dari mahasiswa-mahasiswa itulah aku melihat dia menyodorkan juga kertas kecil berisi kalimat perkenalan dia. Rupanya waktu kuliah pertama dia tidak mengumpulkan karena dia belum mendaftar. Dan waktu membaca perkenalannya itu aku kaget 🙁
Dia berasal dari Kesenuma, daerah yang parah terkena musibah tsunami tanggal 11 Maret yang lalu. Ah, aku langsung menjadi sedih dan ingin menanyakan kabar keluarganya tapi aku tahan sampai kuliah selesai. Begitu selesai aku menghampiri dia dan bertanya bagaimana dengan rumahnya dan keluarganya. Dia bercerita bahwa rumahnya hancur sebagian tapi masih bisa ditinggali. Keluarganya tidak tinggal di pengungsian tapi di rumah mereka yang rusak bersama dengan keluarga kakek, nenek dan saudara lain yang rumahnya hanyut karena tsunami. Rumahnya menjadi “pangkalan” keluarga besarnya. Dia tinggal sendiri kost di dekat kampus. Aku tidak bisa menemukan kata penghiburan yang lain kecuali minta dia untuk bercerita jika ada masalah dalam pelajaran dan semoga dikuatkan. Dalam hati aku berpikir, suatu waktu kalau dia mau aku ingin mengajak dia makan bento (bekal makanan) bersama sebelum kuliah dimulai.
Luka itu masih ada dan pasti akan selalu ada. Tapi semoga dia bisa menghadapi masa depannya dengan tabah dan bersemangat.