Berpisau

4 Mar

Dahiku sempat bekernyut membaca penggalan sebuah kalimat yang konon diucapkan seorang wakil rakyat, “Wajar saja jika setrika menempel di tubuh pembantu(TKW)”. Wahhh apa wajarnya ya?

Aku jadi teringat pada sebuah episode waktu aku mengajar murid Jepang mengenai kata kerja ber+kata benda. Biasanya dipakai kata berdasi, berkacamata, bertopi dsb, jadi yang menempel di badan. Nah, saat itu ada seorang muridku yang berprofesi sebagai koki.

“Sensei, jadi saya boleh pakai berpisau dong ya?”
“Loh, emang kamu bawa pisau kemana-mana terus?”
“Iya, saya pasti bawa pisau ke mana-mana untuk masak”
“Emangnya kamu tempel di badan?”
Doooh susah sekali kasih mengerti orang ini. Akhirnya aku bilang, “Ya boleh saja untuk kasus kamu, tapi biasanya yang berpisau adalah penjahat dan pembunuh…..”
Diam deh dia hahaha telak!

Ya bagi muridku yang koki ini, pisau mungkin adalah hartanya yang paling berharga. Pisau adalah nyawanya. Mungkin bagi Maknyo Dea, Spatulanya yang merupakan nyawanya, karena Maknyo pembuat kue. Tapi memang aku melihat bahwa koki di Jepang menganggap pisau sebagai nyawa mereka. Sebegitu pentingnya pisau, dan mungkin hubungan manusia dan benda yang begitu erat, jarang kita dapati di Indonesia. Mungkin.

Seperti waktu aku mau membuat sashimi di postingan ini, aku katakan aku punya pisau yang memadai. Memang sejak aku menikah dan terus terang sejak mulai memikirkan bahwa untuk memasak yang enak pisau amat menentukan, aku mulai memperhatikan pisau dapurku.

Riku belajar menguliti dan memotong apel

Sampai waktu aku pergi ke Jerman tahun 2002, aku sempatkan membeli satu set pisau Zwilling Henckels yang cukup mahal. Bawa berat-berat dalam koper, untung jaman itu belum ada heboh-heboh teror. Well, aku anggap itu assetku. Pisau-pisau itu menemaniku memasak di dapur.

Set pisau aku sih tidak segini banyak, cuma 6 jenis saja. Gambar diambil dari website Zwilling

Pisau yang tajam sangat menentukan kerapihan pemotongan bahan masakan. Untuk bisa membuat irisan daging yang tipis, perlu memakai pisau yang tajam dan agak bergerigi karena biasanya potongan dagingnya adalah potongan daging beku. Aku ingat aku pernah membawakan beberapa pisau ke Jakarta khusus karena pisau di dapur rumah ibuku dooooh benar-benar bikin jengkel waktu dipakai memotong.

Padahal pisau itu ada bermacam-macam bentuk dan besarnya, yang dikhususkan untuk tujuan pemotongan benda tertentu. Pisau untuk daging, berbeda dengan pisau untuk ikan atau buah/sayur-sayuran. Kalau mau melihat website tentang macam-macam pisau dapur, bisa dilihat pembedaan juga dari ujungnya. Apakah persegi (seperti pisau dapur china) atau membulat atau lancip.

Macam-macam jenis pisau

Tapi kalau mau dipikir memang Jepang memang negara spesialis. Ada pisau khusus untuk menguliti buah/sayur, pisau khusus untuk membuang sisik ikan, pisau khusus untuk memotong tomat/telur, pisau khusus untuk tomat dan lain-lain. Kadang aku merasa spesialisasi itu sebenarnya tidak perlu, hanya akan menambah isi laci/lemari, padahal belum tentu sering dipakai. Tapi selain pisau dapur 2-3 jenis yang memang perlu, aku merasa pisau untuk menguliti buah/sayur atau peeler itu penting ada di dapur. Menguliti kentang, ubi dan wortel jauh lebih cepat daripada pisau biasa. Meskipun bukan berarti tidak bisa pakai pisau biasa.

Kai mau coba pakai pisau, jadi aku ajarkan pakai peeler ini saja dan berlatih mengupas ubi

Ada satu lagi yang ingin aku tulis di sini yaitu bahwa cara mengupas orang Indonesia dan orang luar negeri itu lain. Aku tahu pertamanya dari tanteku, kok dia mengupas buah-buahan aneh sekali. Lain dari cara yang aku tahu dari ibuku. Apakah pernah lihat?

Orang China memakai satu pisau seperti ini untuk macam-macam bahan, tidak seperti Jepang yang pakai pisau spesial untuk jenis bahan tertentu.

Bagian tajam pisau ada di bagian terdekat dengan badan kita, sehingga kalau menguliti apa saja, arahnya ke bagian dalam. Sedangkan kalau biasanya orang Indonesia (bukan aku saja kan yah? kok jadi ragu nih ) bagian tajamnya di sebelah luar, sehingga memakai pisaunya ke arah luar. Nah, waktu aku mengajar pemuda-pemudi (ada ibu-ibunya juga sih)  dalam program lintas budaya, aku memberikan demo masak soto ayam. Dan waktu itu aku mengupas dengan cara Indonesia. Langsung ibu-ibu yang melihat demo aku itu langsung berkata, “Abunai… (bahaya)”. Langsung aku putar pisaunya dan dengan kagok melanjutkan menguliti. Huh.

Kiri: cara Indonesia ke arah luar, Kanan: cara LN ke arah dalam

Dan memang ini juga menjadi pemikiranku waktu itu, kenapa cara memakai pisau kita berbeda. Waktu ibu-ibu itu berkata bahaya, aku langsung sadar, memang pemakaian pisau ala Indonesia itu membahayakan orang di sekitarnya. Sedangkan kalau memakai ke arah dalam, paling-paling yang kena pisau itu kita sendiri. Nah, apakah ini bukan penggambaran yang jelas dari sifat manusia? Manusia (Indonesia) hanya memikirkan keselamatan diri sendiri, masa bodoh dengan keselamatan orang lain, sedangkan kalau di Jepang (atau LN lain) menjaga supaya keselamatan orang lain tidak terganggu. Ah, mungkin pemikiranku ini terlalu kasar, tapi sepertinya kok cocok dengan apa yang kita lihat sehari-hari di Indonesia. Apalagi ada isilah masabodoh, atau EGP.

Nah kan, dari pisau malah melantur ke sifat manusia Indonesia. Tapi sedikitnya bisa menjadi bahan pemikiran. Memang cara-cara itu turun temurun dan merupakan kebiasaan saja. Tapi kebiasaan seharusnya juga bisa dirubah kan?

Kalau muridku itu menganggap pisau (berpisau) sebagai nyawanya, bagaimana dengan pembaca TE? Ada barang yang mutlak harus ada? HP, internet? Laptop? Sampai kemana saja dibawa (bahkan sampai ke WC?) hehehe.