Si Virus Noro

16 Des

Ternyata diagnosis dari dokter tentang penyakit kami bertiga adalah Norovirus. Penyakit yang ringan-ringan berat, karena gejalanya biasanya “hanya” muntah-muntah dan buang air. Norovirus adalah RNA virus (sejenis SARS, influenza dan hepatitis), jadi menular sekali. Dan kabarnya virus ini menguasai 90% penyebaran epidemi penyakit perut di seluruh dunia.

Virus ini mudah menyebar pada komunitas kecil, seperti Rumah Sakit, penjara, sekolah dll. Dan jika menyerang anak-anak serta lansia, bisa menyebabkan kematian juga, yang lebih disebabkan karena dehidrasi. Penyebaran virus ini lebih banyak terjadi akibat sentuhan langsung dengan penderita atau makan makanan yang terkontaminasi virus akibat penanganan yang tidak steril. Diperkirakan sumber penyakit dari Kai, yang saya titipkan di Himawari hari Kamis lalu, kemudian menular ke Riku dan Saya. Kabarnya tidak ada obat yang ampuh kecuali istirahat dan minum yang banyak (meskipun dapat obat dari dokter untuk stabilisasi keadaan perut).

Di Jepang sendiri setiap tahun pada musim dingin ternyata sering mengalami wabah Norovirus. Pada tahun 2006, dikabarkan ada 10 juta orang di Jepang menderita Norovirus ini. (Saya juga sering melihat berita mengenai Norovirus di TV, selain berita mengenai bakteri e-coli pada musim panas).

Kami yang di Tokyo menderita Norovirus, sedangkan teman-teman di Indonesia (antara lain Yoga) banyak yang menderita penyakit Typhoid (katanya Thypus adalah nama untuk penyakit yang lain tapi kita sering rancu memakainya), yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi. Memang menjelang akhir tahun, dengan kesibukan yang bertubi-tubi menyebabkan ketahanan badan menjadi berkurang, dan dengan faktor cuaca yang tidak mendukung mudah menjadi sakit. Semoga semua teman-teman blogger yang lain dapat menjaga kesehatan dengan baik dan bisa menyambut Natal, tahun baru dan libur panjang akhir tahun dengan baik.

Salam dari Imelda-Riku-Kai di Nerima (BTW Gen juga sedang flu…jadi sekeluarga sakit deh… tapi… blogging jalan terus heheheh)

==== Kai belajar pakai sumpit ====

STOP! Penyalahgunaan kata AUTIS/Autisme

16 Des

Saya ingin share mengenai suatu fenomena sosial yang memang sudah mengusik hati saya beberapa waktu. Bermula dari penyataan adik saya Andy, bahwa “Mel, gue kan Autis”. Hmmm apakah dia sudah mengerti apa arti kata Autis itu sendiri? Tapi memang ada kemungkinan benar, Karena term AUTIS itu baru dikenal di masyarakat Indonesia. Sedangkan saya bertemu term Autis (ADD (Attention Deficit Disorder) atau Hyperactivity Disorder) langsung sekitar 15 tahun lalu dalam perkuliahan pendidikan di YNU, dan melihat langsung bagaimana anak-anak autis itu berinteraksi. Autis juga ada macam-macam. Ada yang diam saja, ada yang hiper (aktif), ada yang suka membenturkan kepala ke tembok, ada yang berjalan-jalan sekeliling kelas sepanjang pelajaran. Anak Anda mengalami masalah belajar? Mungkin memang perlu diperiksa apakah Autis atau tidak. Mereka butuh pengertian dan bimbingan yang sedikit lebih daripada anak-anak biasa. Tapi sekali lagi Autis bukanlah kata yang bisa dipakai sebagai olok-olok. Sama saja seperti pemakaian kata “Buta loe!” dll yang memakai ketidaksempurnaan manusia sebagai mainan.

Saya menerima himbauan ini dari rekan di Multiply, dan ingin saya sharekan dengan teman-teman semua. Mari kita dukung !

EM

Trend Analogi Kata AUTIS-AUTISME dalam konotasi negatif

Di era tahun 1990-an, kata “Autisme” masih merupakan suatu kata yang belum begitu dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia, kecuali orang tua yang dianugerahi anak penyandang autisme. Karena kurangnya informasi, kebanyakan orang lalu hanya mengira-ngira sendiri, misalnya autisme adalah suatu penyakit menular, mengerikan, atau autisme itu sama dengan down syndrome. Saat itu hanya ada satu Yayasan yang didirikan oleh sekelompok dokter dan orang tua anak penyandang ASD, yaitu Yayasan Autisma Indonesia di Jakarta yang membuat berbagai aktivitas dalam rangka peduli autisme. Media pun tidak banyak meliput dan membahas masalah autisme secara mendalam apalagi tuntas.


Informasi Autisme sebenarnya sudah banyak tersedia di internet dan buku-buku tapi kebanyakan menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itulah kami merasa sangat tergugah untuk menyediakan informasi seputar autisme dan permasalahannya dalam bahasa Indonesia via dunia maya yang bisa mencapai tidak hanya di Jakarta (satu kota) tapi bisa menembus ke seluruh pelosok Indonesia.


Lain tahun 1990-an lain pula era tahun 2000-an. Sejak tahun 2000, era internet pun muncul dan banyak orang tua yang “melek” teknologi dan kemudian mencari informasi via internet. Situs kami mendapat banyak pengunjung yang kemudian bergabung dalam fasilitas mailing list yang kami sediakan. Mulai lah beberapa orang tua baik secara perorangan maupun kelompok mengadakan berbagai kegiatan Autism Awareness dibeberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan beberapa kota lain. Kemudian banyak sekali bermunculan yayasan, pusat terapi dan blog-blog pribadi yang membahas tentang Autisme, baik yang sekedar sharing pengalaman dengan anak sendiri maupun menyediakan informasi lengkap. Media pun mulai tertarik meliput berita seputar Autisme.

Sebagai hasilnya sedikit demi sedikit masyarakat mulai menyadari kehadiran anak autistik yang “berbeda” dengan anak-anak lain. Kata”Autis/Autisme” pun mulai bermunculan di Media cetak maupun elektronik.

Tapi sayang sekali, yang kami amati, kata “Autis/Autisme” kemudian mulai dipakai oleh berbagai pihak baik oleh para aktivis, akademisi maupun artis televisi dalam konotasi yang negatif. Beberapa artis mulai menggunakan kalimat “dasar autis loe…..” sebagai bahan lelucon di berbagai tayangan di televisi. Beberapa aktivis dan akademisi juga mulai menggunakan kata Autisme untuk menganalogikan ketidakberesan pemerintah dan partai politik.


Tulisan-tulisan tersebut tentu saja membuat kaget dan sedih komunitas Autisme khususnya komunitas Puterakembara. Beberapa rekan milis termasuk saya sudah menyampaikan kesedihan kami pada penulis langsung, dan sangat menghimbau agar di masa yang akan datang beliau-beliau bisa mengganti kata Autisme dengan kata lain yang mungkin tidak akan menyinggung perasaan komunitas manapun.


Para penulis biasanya mengerti dan bereaksi positif, meminta maaf sambiltentunya membela diri sedikit 🙂 dan mengajukan beberapa alibi kenapa mereka menggunakan kata Autisme sebagai analogi. Intinya menurut pengakuan mereka, tidak bermaksud menghina ataupun merendahkan anak penyandang autis maupun komunitas autisme. Biasanya, dengan lapang dada dan keikhlasan komunitas kami menerima pernyataan maaf tersebut.


Sebenarnya, kami menyadari sepenuhnya bahwa kata Autisme bukanlah milik kami. Kami mengerti bahwa peminjaman istilah, konsep atau gejala (analogi dan metafor) dari satu bidang ke bidang lain, dalam hal ini dari medis atau psikologis ke sosial politik adalah hal yang biasa dalam berbahasa.


Yang membuat komunitas kami “keberatan” atas pemakaian analogi tersebut, bukan karena masalah biasa atau tidak biasa, wajar atau tidak wajar, bukan juga masalah sensitivitas perasaan kami sebagai orang tua, tapi lebih ke arah pemikiran akan “dampak negatif” yang akan timbul di masyarakat untuk masa mendatang terutama bagi kehidupan masa depan anak-anak kami.


Sebagai moderator mailing list selama bertahun-tahun, saya tahu benar bahwa selama ini orang tua berjuang habis-habisan demi membantu anak-anak kami berkembang menjadi pribadi yang mandiri, punya empati, sekaligus tahu norma dan aturan.


Komunitas kami juga berjuang melakukan kegiatan Kampanye Peduli Autisme dengan harapan agar anak/individu autistik dapat diterima oleh masyarakat sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat umumnya. Kami bersusah payah melakukan usaha sosialisasi untuk menyadarkan masyarakat agar dapat menerima anak/individu autistik apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dan tidak menjadikan kondisi Autisme sebagai bahan olok-olok.


Di bawah ini adalah beberapa kasus tulisan:


1. Tanggal 2 Mei 2003, Prof. Mohamad Soerjani, staff Institute for Environmental Education and Development, di Harian Sinar Harapan.
Tulisan berjudul “Autisme Sosial: “Penyakit” Ketidakpedulian di Kalangan
Masyarakat”.


2. Tanggal 22 April 2005, Bapak Dedi Haryadi, aktifis LSM Bandung Institute of Governance Studies/BIGS, di Harian Pikiran Rakyat. Tulisan berjudul “Parpol dan Parlemen yang Autis”.


3. Tanggal 21 April 2008, Bapak Bima Arya Sugiarto, Direktur Eksekutif The Lead Institute Universitas Paramadina di Harian Kompas. Tulisan berjudul “Parpol Idap Autisme Sosial”.


4. Tanggal 18 Agustus 2008, Bapak Hisyam Haikal, di Surat Pembaca Detik.com. Tulisan berjudul “Autisme melanda seluruh negeri”.


Harapan kami, dengan himbauan ini mudah-mudahan tidak akan ada lagi yang menggunakan kata atau kondisi Autisme sebagai analogi dalam konotasi negatif untuk konsumsi publik di Media manapun. Dan kami akan terus konsisten melakukan surat himbauan semacam ini pada siapapun yang menggunakan kata “Autisme” sebagai analogi dalam konotasi negatif.


Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, kami selalu berpendapat bahwa masing-masing individu pasti mempunyai sisi kelemahan sekaligus kelebihan, begitu juga anak/individu penyandang autistik ataupun anak berkebutuhan khusus lainnya, dan itu semua patut kita terima sekaligus hargai.


Semoga Tuhan selalu memberi kekuatan pada orang tua yang dianugerahi anak penyandang spektrum Autisme.


Terima kasih atas perhatian Anda.


Salam Penuh Empati,

Atas nama Komunitas Autisme Puterakembara
Leny Marijani

ARTIKEL ASLI DI SINI

MASIH ADAKAH SIMPATI KITA UNTUK ANAK-ANAK YANG TERLUKA ITU?