Puzzle

27 Sep

Aku berterima kasih pada pembuat puzzle peta Jepang, terutama bagian utara Jepang, Tohoku, karena berkat puzzle itu Kai mau ditinggal di penitipan hari Jumat yang lalu (Baca juga posting sebelum ini “Oh Baby“). Di depan senseinya di depan pintu masuk penitipan Himawari, aku bujuk dia untuk cerita pada senseinya bahwa dia sudah bisa membuat puzzle peta Jepang, dan sendirian tanpa bantuan! Wah harus lihat mukanya yang senyum-senyum bangga gitu, sambil berkata “Iya aku bisa buat puzzle sendiri”, dan untungnya senseinya langsung follow, “Kalau gitu kan di sini juga ada puzzle, coba kasih lihat sensei…..” Dan masuklah dia ke dalam ruangan. Cepet-cepet aku dan Gen melambaikan tangan, dan pergi kerja. Save!

Sehari sebelumnya kami melewatkan hari libur (Kamis tanggal 23 September 2010) di rumah, karena hujan terus akibat taifu (Badai) No 12, atau nama Asianya Malakas, dengan kecepatan 50 km/h. Menurut pak Nanang ITB kecepatan segitu sih lambat, dan memang tidak menyebabkan pembatalan penerbangan di Jepang. Badai ini juga yang dibaca pemberitahuannya oleh mas trainer waktu berada di Hongkong di postingan “Three Signs“.

Malas sekali mau keluar rumah. Tadinya berpikir mau ke museum/ pameran mengenai binatang mamalia atau ke akuarium…. tapi becek ya? hihihi (bilang aja males). Sehingga kami berempat melewatkan waktu libur Hari Equinox* di dalam rumah. Aku dengan komputerku, Gen di depan komputernya sama-sama bermain game. Riku dengan Nintendo DSnya, dan Kai… nonton TV. Semua di dalam satu ruangan. Hmmm kapan lagi bisa santai begini ya? Sampai mamanya juga santai hanya panasin nasi goreng yang di freezer saja untuk makan siang. Malesssss.

Capek menghadapi barang elektronik, kami kemudian bersama-sama bermain puzzle peta Jepang. Gen membeli puzzle ini seharga 1050 yen, selain karena dia ingin bernostalgia mengingat masa kecilnya, dia juga ingin mengenalkan puzzle ini kepada Riku. Puzzle ini sangat bagus untuk membantu menghafal geografi Jepang.

Satu set terdiri dari  4 lembar. Jepang yang secara keseluruhan terdiri dari 47 prefektur (semacam propinsi)  dibagi 4 yaitu wilayah selatan, wilayah Kanto, wilayah Tohoku dan Hokkaido. Satu potong puzzle satu prefektur, kecuali untuk pulau-pulau di Okinawa dan daerah kecil-kecil di Hokkaido. Untuk Riku sebetulnya cukup mudah karena ada tulisannya, jadi dia bisa baca. Bisa tahu bentuknya hanya dengan menentukan tulisan itu terbalik atau tidak. Tapi untuk Kai, dia belum bisa baca, sehingga hanya melihat bentuk cetakan yang tertera pada lembaran. Hanya mencocokkan bentuk. Dan dia memang hanya mengerjakan peta wilayah Tohoku yang hanya 6 prefektur jadi cukup mudah. Tapi untuk anak usia 3 tahun lumayan cepat!

Kai dengan puzzle wilayah Tokohku

Dan yang menarik, meskipun peta ini dibagi menjadi 4 lembaran, jika dicopot dari lembarannya, peta ini bisa menjadi satu peta lengkap. Jika memikirkan bahwa perusahaan ini sudah membuat produk ini sama persis waktu Gen kecil, sekitar 30 tahun lalu, aku merasa hebat sekali. Dan Gen bertanya padaku apakah Indonesia mempunyai peta puzzle seperti ini. Kalau ada dia mau beli. Tapi setahuku sih aku tidak pernah melihat barang bagus gini deh di Jakarta. Siapa tahu Uda Vizon dengan mainan bocahnya bisa membuatnya, atau mungkin ada teman yang tahu ada atau tidak puzzle peta Indonesia?

Riku dengan puzzle peta keseluruhan

Karena kami harus makan malam sedangkan mama Imelda malas masak, jadi kami pergi makan di luar malam itu. Kami pergi makan di resto yakiniku “Gyukaku”. Sebetulnya aku yang minta Gen untuk pergi ke situ. Karena sebetulnya kami belum pernah makan di Gyukaku, dan waktu aku pergi ke Pasific Place, ada restoran Gyukaku ini. Kesannya dari luar itu resto mahal… ngeri mau masuk, apalagi waktu itu aku memang sendirian. Meskipun itu siang hari, aku agak sungkan juga. Kalau kejadiannya di Jepang sih masa bodoh, aku pasti akan masuk biarpun sendirian hehehe.

Lagipula hari itu adalah hari peringatan kami. Persis tanggal 23 September 1992, 18 tahun lalu aku menginjakkan negara matahari terbit ini. Potongan kertas imigrasinya masih tertempel di paspor aku. Dan tgl 23 September 1999 aku dan Gen mencatatkan perkawinan di catatan sipil Jepang.  Officialy sudah 11 tahun kami menikah meskipun bagi kami “anniversary” aslinya adalah waktu diberkati di gereja, pada bulan Desembernya. Jadi adalah alasan untuk makan di luar.

(Ada teman yang nyeletuk dalam bahasa Jepang, “Asyik setelah 18 th, dapat Riku dan Kai” hmmm kok aku agak tersinggung ya? Karena memang sih dengan pernikahan, aku mendapatkan dua anak. Tapi bagiku semua kehidupan selama 18 tahun itu merupakan “hadiah” yang aku dapatkan. Termasuk kemudahan ngeblog, juga merupakan output tinggalnya aku di Jepang selama 18 tahun. Jika aku tinggal di Indonesia, belum tentu aku bisa punya blog, atau bahkan bisa menuliskan pengalaman selama di sini. Well, tentu saja aku bersyukur atas semua yang telah kudapat selamat ini, tiada hari tanpa rasa syukur)

* Hari Equinox atau Higan, merupakan hari pergantian dari musim panas ke musim gugur. Higan ada 2 kali, yang satunya lagi pergantian musim dingin ke musim semi yang biasanya jatuh pada tanggal 23 Maret. Ada peribahasa yang mengatakan “atsusa mo  samusa mo higan made 暑さも寒さも彼岸まで” , yang berarti panas dan dingin cuma sampai Higan. Setelah itu panas dan dingin tidak akan kembali. Pada hari ini panjangnya siang dan malam sama. Yang di musim panas malam menjadi gelap setelah pukul 7-8 malam, kembali normal menjadi jam 6, dan lama-lama seiring dengan menurunnya suhu akan bergeser lebih cepat gelapnya. Puncaknya bisa sampai pukul 4 sudah gelap. Pada hari Higan ini juga biasanya orang Jepang pergi nyekar ke makam leluhur.

Rendezvous

31 Okt

Aku pertama kali berkenalan dengan kata bahasa Perancis ini dari papa. Dia mengajak kami yang waktu itu masih kecil, pergi ke sebuah ice cream parlor di bilangan Blok M yang bernama “Rendez Vous” (kabarnya sekarang pindah ke Pondok Indah). Aku ingat pertama kali makan es krim potong Tutty Fruity di  situ, dan rasanya … hmm heaven (padahal belum pernah pergi ke heaven hihihi). Meskipun sekarang aku tidak bisa recall rasanya seperti apa, karena sudah makan berbagai jenis eskrim yang enak-enak. Masa itu  cuma ada Es krim Diamond, Peters, Swensens dan yang sedikit berkelas ya “Rendez Vous” itu.

Hari Rabu lalu, aku rendezvous alias kencan dengan adikku Tina, yang sudah lama juga tidak bertemu. Dia mau memperpanjang paspornya, karena masa berlakunya hampir habis.  Sebetulnya masa berlakunya habis sama-sama, tapi karena summer lalu aku ke Indonesia, aku perpanjang duluan, sebelum pergi ke Indonesia. Akibatnya tinggal dia sendiri yang harus memperpanjang paspor (lebih tepat disebut mengganti paspor, karena kita menerima paspor baru). Sebelumnya dia sudah email aku, “Mel, temenin gue dong…males nih… ntar gue traktir lunch deh”.

Gara-gara dijanjiin lunch itu ….. eh ngga kok Tin bukan itu alasannya hehehe, kebetulan hari Selasa kosong, jadi aku bisa pergi temani dia. Kami janjian bertemu di stasiun Meguro jam 10.00, sesudah aku antar Kai ke penitipan. Kemudian bersama-sama pergi ke Photo Studio yang bernama Niimiya-kan, untung membuat pas foto. Aku ngotot menyuruh dia membuat foto di situ, karena tidak mau mengulang kegagalanku, membuat foto dengan mesin otomatis yang ada di depan bidang Imigrasi KBRI Tokyo… hasilnya jelek banget (awas kalau ada yang bilang “dari sononya” hahaha). Di situ memang ada mesin otomatis, dengan harga yang relatif murah, hanya 800 yen… Tapiiiiiii hasilnya jelek banget (rugi dong cantik-cantik di foto jadi jelek…berlaku 5 tahun lagi…lama kan?).

Niimiya- Kan 新宮館 03-3441-3923 setiap hari kec minggu dan hari libur dari 9:30 AM-
Niimiya- Kan 新宮館 03-3441-3923 setiap hari kec minggu dan hari libur dari 9:30 AM-

Photo Studio Niimiya-kan ini adalah satu-satunya photo studio di Jepang yang menyediakan background berwarna merah, sebagai syarat foto paspor Republik kita tercinta. Jika tanya Photo Studio lain, pasti akan mendapat jawaban, “Merah??? Negara mana tuh? Di sini cuma ada putih dan biru muda”. Hihihi. Atau bisa juga mengambil foto biasa, kemudian diedit dengan komputer. Tapi hasilnya pasti kurang bagus juga. Karena kita tidak bisa menentukan merah yang mana.

Syarat pas photo yang lain adalah memakai baju putih berkerah. Jadi sebelumnya aku sudah wanti-wanti Tina jangan lupa memakai baju putih. Yang sulit dulu aku selalu pergi mengganti paspor pada musim dingin, sehingga tidak bisa memakai baju putih berkerah tanpa kedinginan. Sedangkan “turtle neck”, baju dengan kerah sampai menutup leher tidak diperbolehkan. Sengsara bener deh.

Kalau kepepet ya apa boleh buat, box foto di depan Imigrasi KBRI Tokyo, 800 yen
Kalau kepepet ya apa boleh buat, box foto di depan Imigrasi KBRI Tokyo, 800 yen

Setelah selesai dipotret, membayar biaya 1700 yen, kami menunggu 3 menit. Setelah itu mulai berjalan ke arah Gotanda Stasion, ke arah  KBRI.  Sembari jalan banyak juga bertemu orang Indonesia, atau orang-orang berwajah Indonesia. Dan memang daerah Meguro ini sering disebut dengan Kampung Melayu, saking banyaknya orang Indonesia dan Malaysia yang bermukim di sini.

Meskipun data lengkap, mengisi formulir juga cukup lama loh!
Meskipun data lengkap, mengisi formulir juga cukup lama loh!

Di pos penjagaan KBRI, kami menyerahkan ID card, berupa kartu asuransi atau SIM. KTP Jepang tidak bisa kami serahkan karena itu akan dipakai waktu mengisi formulir. Kemudian kami masuk ke Bidang Imigrasi KBRI, bertemu dengan Pak Darussalam, petugas bidang paspor. Pak Darus ini sudah lama sekali aku kenal, mungkin termasuk local staff yang terlama yang kukenal. Kami diberi formulir untuk di isi, dan untung aku sudah bilang pada Tina, untuk mencatat RT/RW tempat tinggal di Jakarta, karena dikatakan sedapat mungkin yang lengkap. Bagi yang tinggal di Jakarta, yang tinggal di daerah elit Menteng bukan di gang-gang  misalnya…. apa tahu RT/RW tempat tinggalnya ya? Kok aku ragu hihihi.

bukan...bukan di ITB, tapi depan Imigrasi KBRI Tokyo
bukan...bukan di ITB, tapi depan Imigrasi KBRI Tokyo. Dan berbatik (scarf) loh!!

Sambil Tina mengisi formulir, mulai deh aku iseng foto sana sini…. Dasar narsis! hihihi.

Setelah membayar 2500 yen, sebagai biaya paspor 48 halaman, kami meninggalkan KBRI. Kami harus mengambil paspor itu hari Kamis. Wah pokoknya pelayanan Imigrasi di KBRI Tokyo sekarang sudah lancar deh. Dalam waktu 3 hari paspor baru bisa selesai. Dulu? Musti tunggu minimal seminggu.

Resto Indonesia yang sudah cukup lama berdiri, Sederhana... kalau saya sih mikir dulu untuk masuk ke situ
Resto Indonesia yang sudah cukup lama berdiri, "Sederhana"... kalau saya sih mikir dulu untuk masuk ke situ

Jadilah aku dan Tina makan siang di Meguro, di sebuah restoran Yakiniku bernama Suien, tempat banyak orang Indonesia bertandang untuk makan siang. Dulu menu Lunchnya banyak dan murah. Sekarang tidak begitu banyak, yang murah hanya satu set, seharga 900 yen. Kami bernostalgia di restoran ini, karena dulu sering sekali ke sini dengan teman-teman satu gereja. Salah satunya Pak Nanang T. Puspito, ahli Gempa, temannya Pak Oemar Bakri. Sekarang semua sudah pulang ke Indonesia, atau pergi ke negara lain, tercerai berai. Tinggal kami berdua saja yang tinggal di Tokyo. Merasa sedih juga.

(set yakiniku seharga 900 yen. kanan lidah sapi, 1 piring 500 yen)

Satu yang paling aku suka dari restoran ini adalah…. tidak bau asap.  Biasanya retoran Yakiniku, tidak bisa tidak berasap. Sehingga kita harus siap untuk pulang berbau daging panggang. Tapi di restoran itu memakai sistem pengisapan asap yang terpasang di tempat panggangan. Cara untuk membuktikannya dengan merokok ke arah panggangan. Pasti asap akan lari, diisap ke dalam pangganggan.

Setelah makan siang, Tina ikut aku pulang ke rumah. Ini adalah permintaanku khusus, karena aku mau minta dia mengajarkan Riku bermain pianika. Ya, dari kami empat bersaudara, cuma Tina yang berbakat seni musik. Dia bisa bermain gitar dan piano (selain musik tentu saja bakat olahraga). Jadi ceritanya, pagi hari sebelum Riku berangkat ke SD, dia menangis tidak mau pergi. Katanya, “Aku tidak suka pelajaran musik. Aku tidak bisa bermain pianika (di Jepang namanya kenban harmonika). Apalagi kalau lagunya cepat.” Aku dan Gen berpandangan, karena kami tahu, kami juga benci pelajaran musik (kami berdua tidak bisa bermain musik). Tapi kami terpaksa menasehati, “Riku, semua harus dipelajari. Tidak suka tidak apa-apa. Tapi harus coba pelajari semua. Tidak usah jadi pandai. Mama tidak suruh kamu jadi nomor satu di bidang musik. Setiap orang kan punya bakatnya masing-masing, Mama ngertiiiiii sekali kalau kamu tidak suka musik. Mama juga tidak bisa baca not balok, tidak bisa bermain pianika. Tapi jangan hanya karena tidak bisa, semua pelajaran lain jadi korban kan?”

“Kalau gitu aku pulang saja ya waktu jam pelajaran musik?”
“Wahhh jangan, tidak bisa dan tidak boleh. Tidak bisa, karena Mama hari ini ada janji dengan Tante Titin. Tidak boleh, karena kamu harus ikut semua pelajaran. Gini aja, mama tulis di buku penghubung, minta pada sensei supaya Riku boleh duduk mendengar saja waktu pelajaran musik ya. Pasti sensei bisa mengerti”. Jadi deh aku menulis permasalahannya Riku, yang dia akui, bahwa kalau lagu yang lambat dia bisa memainkan pianika, tapi untuk lagu berirama cepat dia tidak bisa “mengejar”nya. Masalahnya hanya kurang latihan sebetulnya. Tapi aku tidak bisa melatih pianika…wong aku ngga bisa. Jadi aku tulis di buku itu, bahwa nanti setelah pulang sekolah, Riku supaya membawa pulang pianikanya dan berlatih dengan tantenya.

Dengan amanah” itulah Tina ikut pulang ke rumahku, menunggu Riku pulang sekolah, dan mengajarkan dia pianika. Padahal menurut cerita Riku, waktu jam pelajaran musik dia ikut bermain pianika, karena lagunya lagu baru (Yang akhirnya aku berkesimpulan gurunya sengaja mengganti dengan lagu baru, yang semua murid belum bisa, sehingga Riku tidak merasa ketinggalan. Memang karena Riku pernah tidak masuk selama seminggu selama sakit, jadi ketinggalan di pelajaran musik.  Duuuuh Chiaki sensei… I love you deh dong sih.

Untung saja Tina mengajarkan pianika. Ternyata ada juga peraturan cara memakai jari tangan yang benar bagaimana. Kalau aku pasti ajar asal-asalan, yang penting bunyi! hihihi.

berfoto dengan Riku yang sedang ngambek, di depan pintu penitipannya Kai
berfoto dengan Riku yang sedang ngambek, di depan pintu penitipannya Kai

Akhirnya jam 4:30 kami, Aku, Tina dan Riku bersama-sama naik bus, menjemput Kai di penitipan. Senang juga karena Kai masih mengingat Tina, dan panggil “Titin….”. Karena kami jarang bertemu, setelah itu kami “rendezvous” makan takoyaki dan es krim di gedung stasiun deh.

memperhatikan pembuatan takoyaki (octopus ball)
memperhatikan pembuatan takoyaki (octopus ball)

Terima kasih ya Titin…sudah mau mengajar anakku bermain pianika. Untuk yang satu ini aku memang angkat tangan.