Pohon Keramat

31 Mar

Beberapa waktu yang lalu ada sebuah peristiwa yang membuat aku berpikir bahwa orang Jepang memang mempunyai  “sense of belonging” yang tebal. Peristiwanya begini:

Dua buah jalur kereta, Hokuriku (kereta malam) dan Noto. Jalur ini ditutup, dan pagi ini di siaran berita diperlihatkan fans kereta api berkumpul. Ada yang di peron, dan ada yang menaiki kereta terakhir itu. Yang di peron meneriakan “Arigatouuuuuu” kepada KERETA. dan melambaikan tangan…. Aku sampai ikut terharu. Perasaan memiliki (terutama untuk barang-barang milik umum/bukan milik pribadi) ini yang jarang aku temukan di indonesia…atau aku saja yang tidak tahu?
Kereta itu telah mengantar mereka bekerja/bermain/bersekolah atau pulang kampung, selama bertahun-tahun. Untuk perbaikan jalur, kereta itu masuk museum (pasti dijual ke negaraku juga sih karena masih berfungsi)…. Sense of belonging orang Jepang memang hebat! Coba negaraku juga memiliki rasa itu, rasa berterima kasih pada suatu barang atau orang, semestinya bisa lebih maju. Menyayangi barang dan memakai sampai saat terakhir, daijini suru…. menjaga dan memeliharanya….. (TT 13 maret 2010)

Kereta yang adalah hasil buah pikiran manusia saja dicintai sedemikian rupa. Apalagi alam? Tanggal 18 Maret lalu, aku membaca bahwa batang pohon Ginkyo raksasa yang tumbang di Kuil Tsuruoka Hachimangu 10 hari sebelumnya  ditanam kembali batangnya. Tujuannya untuk melindungi anak-anak pohon yang mungkin tumbuh dari tempat yang sama.  Ya, tumbangnya pohon raksasa ini menjadi berita besar, karena sebetulnya pohon ini pohon “keramat”. Yang selalu menjadi bahan cerita turun temurun.

(foto dari mass media Jepang)

Pohon ini berusia sekitar 1000 tahun, setinggi 30 meter dan diameter 7 meter tumbang akibat badai. Pohon yang ditetapkan menjadi warisan daerah Kanagawa ini menyimpan sejarah karena di dekatnya Shogun ketiga pada jaman Kamakura, Minamoto no Sanetomo,1219 dibunuh oleh keponakannya sendiri yang bernama Kugyo. Sumber dari sini.

Kalau di Indonesia mungkin setiap malam Jumat sudah dipenuhi orang yang minta wangsit yah hehehe

Kami merasa beruntung masih sempat melihat pohon ini bulan September tahun lalu. Memang aku belum sempat membuat catatan perjalanan ke Kamakura ini saking banyaknya yang mau diceritakan. Kebetulan waktu itu ada Silver Week, libur beruntun sehingga kami berempat bisa jalan-jalan naik kereta ke Shibuya, dan Yokohama, yang sudah aku tulis postingannya. Dan sebetulnya setelah dari Yokohama itu, kami menginap di rumah mertua, dan keesokan harinya kamu pergi ke Kamakura. Aku ingin memperlihatkan The Great Buddha yang terkenal di Kamakura kepada Riku. Jadi hari itu kami pergi ke Great Buddha dan ke Tsuruoka Hachimangu tempat si pohon “keramat” ini berada. (Posting mengenai The Great Buddhanya kapan-kapan yah hihii)

Kamakura memang kota tua dan pernah menjadi pusat pemerintahan Jepang pada jaman yang disebut dengan jaman Kamakura,  yaitu dari tahun 1183 sampai 1333.  Letaknya tidak jauh dari Yokohama, karena satu prefektur dengan Yokohama yaitu prefektur Kanagawa. Kami naik JR dari stasiun Yokohama dan turun di Kita Kamakura. Memang untuk ke Kuil Tsuruoka Hachimangu ini perlu banyak jalan kaki, tapi pertokoan di sepanjang jalan juga menarik untuk dilihat.

Gerbang (Torii) awal jalan ke Tsurugaoka Hachimangu, ternyata gerbang ini bukan gerbang pertama, tapi gerbang kedua. Gerbang pertama ada di pantai. Lihat jalan yang mengecil (dan kazura)

Tentu saja kita juga bisa naik Jinrikisha, becak yang ditarik pemuda berpakaian hitam, sampai ke Kuil, tapi aku rasa cukup mahal deh. Kecuali untuk lansia yang memang tidak kuat berjalan jauh, atau ingin mencoba menaiki becak Jepang ini (biasanya sih wisatawan domestik, soalnya wisatawan asing biasanya pelit… mahal sih hihihi).Di sepanjang jalan setapak yang diapit jalan mobil ini banyak terlihat bunga berwarna merah berasal dari Cina bernama Higanbana (Lycoris) yang memang sedang musimnya mekar pada bulan September.

Yang menarik justru jika kita menyusuri jalan yang akan menghantar kita ke arah Kuil. Jalan itu terlihat mengecil sehingga membuat pejalan kaki tidak mengetahui seberapa jauh jarak yang ditempuh (terasa jauh). Pengelabuan mata seperti ini disebut dan kazura.

Begitu kami sampai di depan kuil, terdapat sebuah torii, pintu gerbang kuil (yang ketiga) yang khas berwarna merah. Juga ada jembatan lengkung berwarna merah dengan parit kecil di bawahnya. Jika Anda perhatikan, di setiap kolam, atau wadah yang berisi air, kecuali air “wudhu” air yang dipakai untuk membersihkan tangan dan mulut sebelum masuk kuil, pasti ada koin-koin satu yen di atas/dalamnya. Perhatikan deh di setiap tempat wisata yang dikunjungi orang Jepang pasti ada koinnya, bahkan sampai di Roma, di Fontana di Trevi aku bisa melihat banyak terdapat koin di dalamnya (dan menyadari kenyataan bahwa orang Jepang sudah merajai dunia… coba lihat kolam-kolam di Bali …hiks)

Di parit di bawah jembatan inipun demikian, bahkan mereka melemparkan uang koin di atas daun! Dari pintu gerbang ini untuk mencapai kuil masih harus berjalan cukup jauh. Tapi memang lahan kuil ini sangat luas dan dikelilingi pepohonan yang rimbun. Dan di bawah lapangan luas terdapat sebuah panggung, yang katanya dulu merupakan tempat menari. Dari pelataran itu kami harus menaikin tangga yang cukup terjal untuk bisa sampai ke kuilnya.Memang kuil Shinto itu selalu terletak di tempat yang tinggi, dengan pemahaman bahwa dewa selalu berada di atas. Karena Kai waktu itu sedang tidur di kereta bayinya, akhirnya aku tinggal di bawah sementara Riku dan Gen naik ke atas. Well, orang Jepang perlu berdoa kepada nenek moyangnya untuk keselamatan dirinya.

Aku menunggu di bawah pohon “keramat” itu. Memang besar dan …adem. Dari tempat aku duduk bisa melihat gentong-gentong sake persembahan dari pabrik pembuatan sake kepada kuil . Sake memakai beras, dan beras adalah pemberian dewa, sehingga perlu disyukuri dengan memberikan persembahan. Wah membaca tulisan di gentong-gentong sake itu, aku jadi menghitung sudah berapa jenis sake yang aku pernah minum ya hihihi. Salah satu cita-citaku adalah menjadi pencicip sake Jepang, yang kalau di Perancis pencicip wine diberi nama Sommelière. Kalau di Jepang namanya Kikizakeshi きき酒師(ききざけし)。  Aku sudah cukup mahir membedakan sake yang diproduksi tanpa campuran bahan kimia dengan yang memakai campuran kimia, junmai 純米 ginjou 吟醸 jouzou 醸造.

Gentong Sake persembahan perusahaan bagi kuil Shinto

Pada perjalanan pulang menuju stasiun kami sempat melihat awan yang cukup aneh, yang katanya disebut sebagai hitsujigumo awan domba, karena bentuknya seperti bulu domba. Awan memang obyek yang menarik untuk difoto ya…..

 

 

Berkorban

7 Sep

Betapa sering kita dengar kata itu ya? Berkorban untuk orang yang disayang, untuk bangsa, negara dan tanah air, berkorban sebagai umat Tuhan untuk sesama dan lain-lain. Kalau sekarang saya masih pakai kata “mengalah” kepada Riku, tapi sebetulnya intinya sama juga kan? “Riku, kasih aja itu sama Kai. Kamu kan kakak, harus mengalah….” Sampai pada suatu waktu aku bilang, “Riku, mama juga waktu kecil begitu loh… bahkan mama harus mengalah untuk 3 adik loh… Riku masih mengalah untuk Kai saja….” Ah aku sebetulnya tidak mau pakai contoh itu tapi biarlah supaya dia lebih mengerti.

Postingan kali ini bukan mau menggurui, tapi ada hubungannya dengan judul di atas (ya kalau ngga matching buat apa pilih judul itu ya hihihi)

Selama kami ke Jakarta liburan musim panas lalu, Gen manyun tinggal di Tokyo. Makanya begitu kami pulang dari Jakarta, langsung pergi bermain ke pantai Kannonzaki. Tapi tidak menginap. Nah kebetulan mulai tanggal 19 September nanti, Gen bisa libur seminggu penuh. Begitu kami tahu jadwal ini, langsung berangan-angan… pergi ke HAWAII! Itu cita-citanya Gen. Kalau saya? Tentu tahu kan?….daripada ke Hawaii, mending ke Jakarta hahaha. Lagipula meskipun kami  bisa mendapatkan tiket murah (yang sudah pasti tidak mungkin) , Saya butuh VISA US…. karena saya bukan pemegang paspor Jepang (yang bisa melengang-kakung tanpa visa di hampir seluruh dunia). Saya masih harus mengurus VISA, dan sudah pasti…tidak cukup waktu (dan belum tentu dapat karena saya orang Indonesia hihihi).

Jadi hari Kamis lalu, saya mulai browsing di situs wisata domestik (dalam negeri Jepang) di jalan.net untuk mencari tempat pemandian air panas/penginapan ala Jepang. Ada beberapa calon tempat yang menurut saya lumayan, jadi saya bookmark saja.

Waktu makan malam, saya melaporkan penemuan saya itu. Eeeee, tiba-tiba Gen berkata, “Sebetulnya aku mau perginya hari Sabtu ini!”
“What?….. masih ada hotel/penginapan ngga? Lalu daerahnya mana?”
Kusatsu. Di sana ada sumber air panas yang terkenal. Dan banyak hotel kok”
Akhirnya setelah anak-anak tidur, kami berdua browsing mencari hotel yang masih kosong… voila! Kami bisa memesan satu kamar di sebuah hotel, yang bernama Kusatsu Hotel.  Memang praktik ya internet itu!

Jadi hari Sabtu, tgl 5 September jam 6 pagi kami sudah naik mobil dengan segala bawaan, dan Riku serta Kai yang “terbangun” dengan gembira. Padahal tadinya kami rencana berangkat jam 7 tuh, tapi karena Gen takut terjebak macet, jadi berangkat lebih cepat. Memang kemacetan tidak bisa diprediksi, karena sejak pemerintah Jepang mmeberlakukan biaya toll “pukul rata” 1000 yen ke mana saja di Jepang khusus week end, maka highway di mana-mana padat/macet.

Naik tol menuju Kusatsu di prefektur Gunma, ternyata jalannya lancar-lancar saja. Sebelum jam 10 pagi kami sudah sampai di desa Agatsuma. Mampir di toko konbini dulu untuk membeli minuman dan ke WC, lalu kami melanjutkan perjalanan. Yang lucu di tengah jalan kami menemukan sebuah TORII, gerbang masuk sebuah kuil yang menghadang. Untung saja kami pakai car-navigation sehingga tidak menyeruduk masuk ke kuil dengan mobil kami.

bisa gitu di tengah jalan ada pintu gerbang masuk ke kuil....
bisa gitu di tengah jalan ada pintu gerbang masuk ke kuil....

Nah begitu belok, dan menyusuri jalan yang berkelok-kelok, kami menemukan pembangunan jembatan yang sedang berlangsung. Gile bener, setinggi itu, ada tiga tiang yang akan disambung menjadi jalan di atas. Lalu tiba-tiba Gen berseru…”Oh ini dia yang namanya Yanba Dam“. Dan kebetulan terlihat ada sebuah bangunan seperti tempat istirahat dengan lapangan parkir yang luas di sebelah kanan. Jadi kami masuk ke situ. Ternyata bangunan itu adalah semacam hall untuk menyediakan informasi mengenai Yanba Dam yang sedang dibangun itu.

pembangunan 3 tiang penyangga jalan untuk dam
pembangunan 3 tiang penyangga jalan untuk dam

Kenapa Dam itu dibangun, lalu seberapa luas dam tsb, semua disajikan dengan informatif berupa video, maket, dan yang menarik ada semacam kotak loker yang berisi keterangan yang mudah dimengerti anak-anak. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku, Gen dan Riku membuka semua lemari yang ada.

buka pintu loker dan dapatkan info di situ
buka pintu loker dan dapatkan info di situ

Di situ diberi informasi misalnya satu orang satu harinya rata-rata menggunakan 500 liter air, atau 250 botol air mineral yang ukuran 2 liter. Satu kali flush (mengalirkan air) di WC menghabiskan 20 liter. Berendam di bak mandi ala orang Jepang 200 liter. Kalau shower selama 10 menit menghabiskan air 120 liter. Sehari segitu banyak air yang kita pakai.

Nah, padahal waktu terjadi hujan lebat dan badai, air juga yang membuat bencana banjir dan tanah longsor. Nah supaya tidak terjadi banjir (di daerah bawah tentunya. Baca :  Tokyo) diperlukan adanya dam yang bisa mengatur jalannya air. Dam itu akan setinggi kira-kira 1/3 Tokyo Tower (333 meter).

Puas main-main sambil belajar itu, kami keluar ke lapangan parkir. Di sebelah kanan lapangan parkir itu ada semacam tenda yang menjual sayur-sayuran yang dihasilkan warga sekitar daerah tersebut. Jadi deh mama Imelda, dengan muka berseri belanja sayuran!

Dan baru pertama kali aku lihat bentuknya Jalapeno, cabenya meksiko yang pedes banget itu. Rupanya seperti paprika tapi kurusan. Selain itu di situ juga menjual jagung. Lima buah jagung seharga 500 yen… tidak bisa beli dengan harga segitu di Tokyo. Tapi yang membuatnya istimewa yaitu… bisa dimakan mentah, dan MANIS sekali…. Sama sekali tidak menyangka bahwa itu mentah. Hmmm seperti jagung manis rebus!

Tomat dan ketimun yang didinginkan dengan air sungai. Air itu juga bisa langsung diminum.
Tomat dan ketimun yang didinginkan dengan air sungai. Air itu juga bisa langsung diminum.

Wah pokoknya hasil ladang di daerah situ manis dan segar…. tentu saja karena air sungainya juga bersih dan bisa diminum langsung. Di situ juga dijual ketimun dan tomat yang didinginkan dengan air sungai situ. Dingin! Dan kami sempat mencoba minum air itu. Segar sekali!

Hasil panen yang begitu berlimpah…. alam dengan pemandangan yang indah. Juga tempat kami berdiri di hall informasi ini semua, nantinya akan terbenam air, menjadi dasar Yanba Dam yang sedang dibangun ini.

kupu-kupu ini juga akan kehilangan tempat tinggal!
kupu-kupu ini juga akan kehilangan tempat tinggal!

Bayangkan orang-orang yang mempunyai rumah dan kampung halaman di sini. Memang mereka akan mendapat ganti rugi, tapi kenangan? Mereka hanya bisa menatap air dan mengatakan di sinilah DULU kampung halaman kami. Mereka sudah berkorban untuk kepentingan kota yang lebih besar, Tokyo dan sekitarnya. Egois rasanya ya? tapi…. memang harus berkorban? Entahlah…aku tak bisa menjawabnya.

tempat saya berdiri sekarang juga akan menjadi dasar Yanba Dam (setinggi 586 m)
tempat saya berdiri sekarang juga akan menjadi dasar Yanba Dam (dam itu akan berada di ketinggian 586 m dari permukaan laut)

Pembangunan ini masih berlangsung, dan dengan perubahan pemerintahan akibat pemilu yang lalu, akan berdampak juga pada pembangunan dam ini. Partai yang memenangkan pemilu tidak menyetujui pembangunan dam ini. Akan terhentikah? Kita lihat saja nanti.

NB: Tulisan ini merupakan awal perjalanan weekend kami…tunggu lanjutannya ya….