Musik oh musik

7 Des

Well, aku suka musik. Saya aku menyanyi, tapi tidak bermain musik. (Alat) Musik lebih enak untuk didengar, daripada dimainkan oleh AKU hehehe. Meskipun waktu SD pernah menjadi anggota  grup Angklung, dan sering “manggung” juga, tapi alat musik selain angklung sepertinya ogah berkawan denganku. Tapi itu juga karena tidak ada “pemaksaan” di SD ku waktu itu untuk bisa menguasai alat musik, minimal suling/pianika (yang setelah angkatan adikku sepertinya menjadi wajib, tapi ngga tau juga kalau sekarang).

SD di Jepang biasanya mewajibkan muridnya untuk bisa bermain alat musik, minimal pianika. Namanya di sini adalah Kenban Harmonika. Dan sekolah Riku meskipun negeri, sangat menitikberatkan pelajaran musik di sekolahnya. Menurut desas desus, daripada pertandingan olahraga, pihak sekolah lebih mementingkan pertunjukan musik, yang biasanya dijadwal pada akhir November/awal Desember dalam kalender kegiatan SD.

Riku kelihatannya tidak berbakat memainkan alat musik (abis bapak-ibunya juga kagak bisa hihihi), sampai terpaksa aku minta pelatih khusus, adikku Tina, datang untuk melatih. Itu juga cuma sebentar. Dan perlu satu kali aku menggembleng dia satu lagu yang akan dimainkan di pertunjukan. Terus terang aku memang tidak bisa membaca not balok, tapi soal ketukan, satu setengah atau seperempat ya bisa dong. Jadilah Imelda guru pianika ketukan sambil nyanyikan lagunya supaya Riku menangkap lagu yang dia mainkan.

Hasilnya, Sabtu tanggal 5 kemarin, seluruh kelas dari kelas 1 sampai 6 SDnya Riku mengadakan pertunjukan musik, Ongakukai 音楽会。 Semestinya minggu lalu, tapi karena ada kelas yang diliburkan karena influenza, jadi ditunda seminggu. Mulai jam 9:15 pagi, dan aku terpaksa tidak ikut menonton karena aku sakit kepala berat. Daripada aku kena atau menyebarkan flu, lebih baik aku di rumah dengan Kai. Dan memang semua penonton diwajibkan memakasi masker untuk mencegah penularan penyakit.

Kelas satu tampil pertama, dan dengan bangganya (mustinya) si Gen mengambil foto anak sulungnya bermain pianika. Ada juga videonya, dan kalau aku lihat sih, Riku selalu terlmat satu ketukan hahaha (tapi mungkin juga akibat pengambilan video yang biasa duluan suara daripada gerakan). Anyhow, Riku sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Dan papanya juga pulang ke rumah membawa foto dan video Riku dengan bangga. Dan …. katanya pertunjukan kelas 5 dan 6 sangat bagus. Katanya, “Mungkin kita harus memasukkan Riku ke Yamaha, atau kelas musik supaya tidak ketinggalan”. Hmmmm… To tell the truth aku malas menyuruh anak-anak les ini itu, karena aku dulu waktu kecil tidak pernah juga dipaksa les ini itu oleh orangtuaku. Kecuali Riku memang mau, lain persoalan.

Rendezvous

31 Okt

Aku pertama kali berkenalan dengan kata bahasa Perancis ini dari papa. Dia mengajak kami yang waktu itu masih kecil, pergi ke sebuah ice cream parlor di bilangan Blok M yang bernama “Rendez Vous” (kabarnya sekarang pindah ke Pondok Indah). Aku ingat pertama kali makan es krim potong Tutty Fruity di  situ, dan rasanya … hmm heaven (padahal belum pernah pergi ke heaven hihihi). Meskipun sekarang aku tidak bisa recall rasanya seperti apa, karena sudah makan berbagai jenis eskrim yang enak-enak. Masa itu  cuma ada Es krim Diamond, Peters, Swensens dan yang sedikit berkelas ya “Rendez Vous” itu.

Hari Rabu lalu, aku rendezvous alias kencan dengan adikku Tina, yang sudah lama juga tidak bertemu. Dia mau memperpanjang paspornya, karena masa berlakunya hampir habis.  Sebetulnya masa berlakunya habis sama-sama, tapi karena summer lalu aku ke Indonesia, aku perpanjang duluan, sebelum pergi ke Indonesia. Akibatnya tinggal dia sendiri yang harus memperpanjang paspor (lebih tepat disebut mengganti paspor, karena kita menerima paspor baru). Sebelumnya dia sudah email aku, “Mel, temenin gue dong…males nih… ntar gue traktir lunch deh”.

Gara-gara dijanjiin lunch itu ….. eh ngga kok Tin bukan itu alasannya hehehe, kebetulan hari Selasa kosong, jadi aku bisa pergi temani dia. Kami janjian bertemu di stasiun Meguro jam 10.00, sesudah aku antar Kai ke penitipan. Kemudian bersama-sama pergi ke Photo Studio yang bernama Niimiya-kan, untung membuat pas foto. Aku ngotot menyuruh dia membuat foto di situ, karena tidak mau mengulang kegagalanku, membuat foto dengan mesin otomatis yang ada di depan bidang Imigrasi KBRI Tokyo… hasilnya jelek banget (awas kalau ada yang bilang “dari sononya” hahaha). Di situ memang ada mesin otomatis, dengan harga yang relatif murah, hanya 800 yen… Tapiiiiiii hasilnya jelek banget (rugi dong cantik-cantik di foto jadi jelek…berlaku 5 tahun lagi…lama kan?).

Niimiya- Kan 新宮館 03-3441-3923 setiap hari kec minggu dan hari libur dari 9:30 AM-
Niimiya- Kan 新宮館 03-3441-3923 setiap hari kec minggu dan hari libur dari 9:30 AM-

Photo Studio Niimiya-kan ini adalah satu-satunya photo studio di Jepang yang menyediakan background berwarna merah, sebagai syarat foto paspor Republik kita tercinta. Jika tanya Photo Studio lain, pasti akan mendapat jawaban, “Merah??? Negara mana tuh? Di sini cuma ada putih dan biru muda”. Hihihi. Atau bisa juga mengambil foto biasa, kemudian diedit dengan komputer. Tapi hasilnya pasti kurang bagus juga. Karena kita tidak bisa menentukan merah yang mana.

Syarat pas photo yang lain adalah memakai baju putih berkerah. Jadi sebelumnya aku sudah wanti-wanti Tina jangan lupa memakai baju putih. Yang sulit dulu aku selalu pergi mengganti paspor pada musim dingin, sehingga tidak bisa memakai baju putih berkerah tanpa kedinginan. Sedangkan “turtle neck”, baju dengan kerah sampai menutup leher tidak diperbolehkan. Sengsara bener deh.

Kalau kepepet ya apa boleh buat, box foto di depan Imigrasi KBRI Tokyo, 800 yen
Kalau kepepet ya apa boleh buat, box foto di depan Imigrasi KBRI Tokyo, 800 yen

Setelah selesai dipotret, membayar biaya 1700 yen, kami menunggu 3 menit. Setelah itu mulai berjalan ke arah Gotanda Stasion, ke arah  KBRI.  Sembari jalan banyak juga bertemu orang Indonesia, atau orang-orang berwajah Indonesia. Dan memang daerah Meguro ini sering disebut dengan Kampung Melayu, saking banyaknya orang Indonesia dan Malaysia yang bermukim di sini.

Meskipun data lengkap, mengisi formulir juga cukup lama loh!
Meskipun data lengkap, mengisi formulir juga cukup lama loh!

Di pos penjagaan KBRI, kami menyerahkan ID card, berupa kartu asuransi atau SIM. KTP Jepang tidak bisa kami serahkan karena itu akan dipakai waktu mengisi formulir. Kemudian kami masuk ke Bidang Imigrasi KBRI, bertemu dengan Pak Darussalam, petugas bidang paspor. Pak Darus ini sudah lama sekali aku kenal, mungkin termasuk local staff yang terlama yang kukenal. Kami diberi formulir untuk di isi, dan untung aku sudah bilang pada Tina, untuk mencatat RT/RW tempat tinggal di Jakarta, karena dikatakan sedapat mungkin yang lengkap. Bagi yang tinggal di Jakarta, yang tinggal di daerah elit Menteng bukan di gang-gang  misalnya…. apa tahu RT/RW tempat tinggalnya ya? Kok aku ragu hihihi.

bukan...bukan di ITB, tapi depan Imigrasi KBRI Tokyo
bukan...bukan di ITB, tapi depan Imigrasi KBRI Tokyo. Dan berbatik (scarf) loh!!

Sambil Tina mengisi formulir, mulai deh aku iseng foto sana sini…. Dasar narsis! hihihi.

Setelah membayar 2500 yen, sebagai biaya paspor 48 halaman, kami meninggalkan KBRI. Kami harus mengambil paspor itu hari Kamis. Wah pokoknya pelayanan Imigrasi di KBRI Tokyo sekarang sudah lancar deh. Dalam waktu 3 hari paspor baru bisa selesai. Dulu? Musti tunggu minimal seminggu.

Resto Indonesia yang sudah cukup lama berdiri, Sederhana... kalau saya sih mikir dulu untuk masuk ke situ
Resto Indonesia yang sudah cukup lama berdiri, "Sederhana"... kalau saya sih mikir dulu untuk masuk ke situ

Jadilah aku dan Tina makan siang di Meguro, di sebuah restoran Yakiniku bernama Suien, tempat banyak orang Indonesia bertandang untuk makan siang. Dulu menu Lunchnya banyak dan murah. Sekarang tidak begitu banyak, yang murah hanya satu set, seharga 900 yen. Kami bernostalgia di restoran ini, karena dulu sering sekali ke sini dengan teman-teman satu gereja. Salah satunya Pak Nanang T. Puspito, ahli Gempa, temannya Pak Oemar Bakri. Sekarang semua sudah pulang ke Indonesia, atau pergi ke negara lain, tercerai berai. Tinggal kami berdua saja yang tinggal di Tokyo. Merasa sedih juga.

(set yakiniku seharga 900 yen. kanan lidah sapi, 1 piring 500 yen)

Satu yang paling aku suka dari restoran ini adalah…. tidak bau asap.  Biasanya retoran Yakiniku, tidak bisa tidak berasap. Sehingga kita harus siap untuk pulang berbau daging panggang. Tapi di restoran itu memakai sistem pengisapan asap yang terpasang di tempat panggangan. Cara untuk membuktikannya dengan merokok ke arah panggangan. Pasti asap akan lari, diisap ke dalam pangganggan.

Setelah makan siang, Tina ikut aku pulang ke rumah. Ini adalah permintaanku khusus, karena aku mau minta dia mengajarkan Riku bermain pianika. Ya, dari kami empat bersaudara, cuma Tina yang berbakat seni musik. Dia bisa bermain gitar dan piano (selain musik tentu saja bakat olahraga). Jadi ceritanya, pagi hari sebelum Riku berangkat ke SD, dia menangis tidak mau pergi. Katanya, “Aku tidak suka pelajaran musik. Aku tidak bisa bermain pianika (di Jepang namanya kenban harmonika). Apalagi kalau lagunya cepat.” Aku dan Gen berpandangan, karena kami tahu, kami juga benci pelajaran musik (kami berdua tidak bisa bermain musik). Tapi kami terpaksa menasehati, “Riku, semua harus dipelajari. Tidak suka tidak apa-apa. Tapi harus coba pelajari semua. Tidak usah jadi pandai. Mama tidak suruh kamu jadi nomor satu di bidang musik. Setiap orang kan punya bakatnya masing-masing, Mama ngertiiiiii sekali kalau kamu tidak suka musik. Mama juga tidak bisa baca not balok, tidak bisa bermain pianika. Tapi jangan hanya karena tidak bisa, semua pelajaran lain jadi korban kan?”

“Kalau gitu aku pulang saja ya waktu jam pelajaran musik?”
“Wahhh jangan, tidak bisa dan tidak boleh. Tidak bisa, karena Mama hari ini ada janji dengan Tante Titin. Tidak boleh, karena kamu harus ikut semua pelajaran. Gini aja, mama tulis di buku penghubung, minta pada sensei supaya Riku boleh duduk mendengar saja waktu pelajaran musik ya. Pasti sensei bisa mengerti”. Jadi deh aku menulis permasalahannya Riku, yang dia akui, bahwa kalau lagu yang lambat dia bisa memainkan pianika, tapi untuk lagu berirama cepat dia tidak bisa “mengejar”nya. Masalahnya hanya kurang latihan sebetulnya. Tapi aku tidak bisa melatih pianika…wong aku ngga bisa. Jadi aku tulis di buku itu, bahwa nanti setelah pulang sekolah, Riku supaya membawa pulang pianikanya dan berlatih dengan tantenya.

Dengan amanah” itulah Tina ikut pulang ke rumahku, menunggu Riku pulang sekolah, dan mengajarkan dia pianika. Padahal menurut cerita Riku, waktu jam pelajaran musik dia ikut bermain pianika, karena lagunya lagu baru (Yang akhirnya aku berkesimpulan gurunya sengaja mengganti dengan lagu baru, yang semua murid belum bisa, sehingga Riku tidak merasa ketinggalan. Memang karena Riku pernah tidak masuk selama seminggu selama sakit, jadi ketinggalan di pelajaran musik.  Duuuuh Chiaki sensei… I love you deh dong sih.

Untung saja Tina mengajarkan pianika. Ternyata ada juga peraturan cara memakai jari tangan yang benar bagaimana. Kalau aku pasti ajar asal-asalan, yang penting bunyi! hihihi.

berfoto dengan Riku yang sedang ngambek, di depan pintu penitipannya Kai
berfoto dengan Riku yang sedang ngambek, di depan pintu penitipannya Kai

Akhirnya jam 4:30 kami, Aku, Tina dan Riku bersama-sama naik bus, menjemput Kai di penitipan. Senang juga karena Kai masih mengingat Tina, dan panggil “Titin….”. Karena kami jarang bertemu, setelah itu kami “rendezvous” makan takoyaki dan es krim di gedung stasiun deh.

memperhatikan pembuatan takoyaki (octopus ball)
memperhatikan pembuatan takoyaki (octopus ball)

Terima kasih ya Titin…sudah mau mengajar anakku bermain pianika. Untuk yang satu ini aku memang angkat tangan.