Menemui Eiffel

21 Jul

Ini adalah sambungan tulisanku yang, Outdoor Family. Perjalanan ke Hokuto, Yamanashi Prefektur.

Karena jam sudah menunjukkan pukul 4:30 sore dan kami tahu jalan tol pulang pasti macet, kami bergegas pulang. Tapi Gen minta ijin untuk mampir ke suatu tempat. Katanya ada yang ingin dia perlihatkan padaku. “Apa sih?” tanyaku…. “Museum Seni!”…. hmmm sebetulnya aku tidak begitu gandrung museum seni, tapi ok lah.

Kami sampai di depan pintu gerbang “Kiyoharu Geijutsumura 清春芸術村” (Perkampungan Seni Kiyoharu) pukul 4:50. Biasanya museum seni di mana-mana tutup jam 5, jadi musti bergegas. Dan di depan gerbang tertulis: Harga karcis masuk dewasa untuk museum 800 yen, untuk Gedung Cahaya: 500 yen, dan harap beli di loket gedung masing-masing. Sempat cemberut juga sih aku, kalau musti keluarkan uang 1500yen untuk 30 menit hehehe.

eh ternyata tidak bisa juga masuk kok ke museumnya karena kami sampai di situ pukul 16:50

Kami masuk ke dalam gerbang dan melihat ada sebuah gedung bundar. Tapi tidak ada siapa-siapa dan ada papan yang menunjukkan bahwa di situ bukan museumnya, tapi di tempat lain. Jadi aku bergegas ke tempat yang dituju. Ada sebuah kolam di situ dan memang terlihat ada pintu masuk bangunan museum, yang… biasa-biasa saja. Memang bangunan museumnya biasa saja, tapi di sekelilingnya dong… Banyak bangunan dan patung yang menarik!

Patung ibu jari karya pematung perancis César Baldaccini (1 January 1921- 6 December 1998), terletak sebelum naik tangga ke museum seni Kiyosato Shirakaba

Rupanya bangunan bulat yang pertama kami lihat bernama “La Ruche” atau sarang lebah. Ini merupakan duplikat dari sebuah bangunan di Paris yang pernah dipakai sebagai pavilion untuk wine di Paris Expo tahun 1900, yang didesain oleh Gustav Eiffel. Sampai sekarang bangunan yang berada di perkampungan seni Kiyoharu ini dipakai sebagai atelier (studio kerja) dan tempat tinggal seniman.

foto bersama di depan “La Ruche”. Sayang miring-miring 😀

Untung saja aku belum sempat membeli karcis masuk museum, karena Gen datang setelah memarkirkan mobil, dan menunjuk sebuah bangunan kecil di sebelah museum. Aku tidak tahu bahwa boleh masuk ke sana. Jadi Gen yang membukakan pintu untukku. Dan… terkejut begitu masuk karena langsung terlantunkan lagu gereja dari player yang ada. Ah, rupanya ini chapel yang dimaksud Gen.

Rouault Chapel dari luar.

Jadi konon ada artist dari Perancis bernama Rouault, terkenal sebagai seniman beragama katolik dan banyak menghasilkan karya seni bernafaskan katolik. Salah satunya adalah sebuah stained glass yang dibeli oleh seorang Jepang yang kaya. Karena dia mau memamerkan stained glass itu maka dia juga membangun sebuah chapel kecil di perkampungan seni itu dan kapel itu dinamakan Rouault chapel.

Dalam chapel, juga ada salib yang dibuat Rouault sendiri untuk di taruh di dinding altar. Dulu banyak lukisan Rouault dipajang di sini, tapi waktu kami ke sini tidak ada.

Yang lucu, si Kai begitu masuk gereja langsung menghormat dan berdoa 😀 Entah apakah pernah ada orang yang mengadakan misa di situ atau tidak tapi tempatnya lengkap dengan orgel kecil, altar dan salib serta tempat duduk umat yang kira-kira 20 kursi. Tapi suasana, pencahayaan, musik dan semuanya membuat kami merasa bahwa tempat itu benar-benar chapel. Nanti mau tanya ah apa sudah pernah ada yang membuat misa di situ 😀 (Ternyata setelah mencari di websitenya, chapel ini bisa dipakai untuk upacara pernikahan, tentu dengan ijin sebelumnya)

Foto Rouault di depan museum seni. Ini toh yang namanya Rouault. Jadi malu pada Gen yang memberitahukan bahwa Rouault adalah seniman katolik yang terkenal. Jadi belajar deh.

Setelah melihat chapel (yang gratis, tanpa perlu membayar tiket masuk), kami menikmati luasnya halaman di lingkungan “desa seniman” ini. Ada sebuah patung berjudul “Eiffel” dan sebuah rumah pohon yang didesain Fujimori Terunobu dan diberi nama Ruang Teh Tetsu. Aku sebetulnya penasaran kenapa kok patung yang kubilang aneh itu diberi nama Eiffel, dan apa hubungannya dengan Menara Eiffel yang di Perancis itu. Waktu mau menulis ini, aku terpaksa harus mencari literatur yang mendukung, dan mengetahui bahwa itu adalah patung Gustav Eiffel, si perancang Menara Eiffel dan tentu saja bangunan bundar yang menyambut kami di pintu gerbang tadi, La Ruche. Tak salah kan, kalau aku menulis judul Menemui Eiffel 😀 (dan Rouault tentunya)

Patung Eiffel di sebelah tangga kuning dan di kejauhan tree house “Ruang Teh Tetsu”.

Senang rasanya bisa melihat tempat ini. Berada di halamannya saja sudah senang (belum tentu sih tetap senang jika melihat lukisan yang dipajang dalam museum, karena aku “buta” seni lukis). Langit juga biru, khas langit musim panas, tapi karena di sini pegunungan jadi tetap sejuk. Memang cocok daerah ini sebagai daerah bungalow. Jadi perkampungan seni di antara belantara bungalow deh.

mobil caravan seni di depan pintu masuk. sayang sudah tutup waktu kami ke sana.

Mungkin kalau kami ke sini lagi, kami akan masuk ke museumnya. Atau konon sakura di sini juga bagus. Tapi berarti harus bulan April kembali lagi ke sini, padahal rencananya kelompok umat katolik di sini akan datang ke rumah retret di sini bulan September nanti. Yang pasti udara sejuk (dingin) dan segar tetap tersedia sepanjang tahun.

Alamatnya:

〒408-0036

山梨県北杜(ほくと)市長坂町中丸2072

公益財団法人 清春白樺美術館
/光の美術館
TEL. 0551-32-4865 (清春白樺美術館)    0551-32-3737 (光の美術館)

Orang Jepang Suka Pameran

9 Apr

Ya aku setuju dengan pernyataan itu. Bukan MAMER diri sendiri loh, tapi maksudnya pergi melihat pameran di museum-museum atau galeri seni.

Surat kabar The Art Newspaper versi online yang berkantor di London Inggris menyatakan bahwa orang Jepang adalah pecinta pameran sedunia. Mengapa? Dari seluruh pameran yang diadakan di seluruh dunia selama tahun 2009, jika dilihat berdasarkan jumlah pengunjungnya per hari, maka Jepang menduduki 4 ranking teratas di dunia.

Ranking satu  adalah pameran “Warisan Negara patung  ASHURA”  di Tokyo National Museum yang menyerap pengunjung sebanyak 15.960 orang rata-rata satu hari pameran. Yang kedua adalah pameran “Shosoin” di Nara National Museum dengan pengunjung sebanyak 14.965 orang/hari. Pameran “Permata Kekaisaran ” yang juga diadakan di Tokyo National Museum dengan pengunjung sebanyak 9473 orang/hari. Dan rangking kelima adalah pameran “Lukisan Eropa abad 17 dari Mouseum Louvre” yang diadakan di National Museum of Western Art, Tokyo, yang pengunjungnya 9267 orang/hari. Yang kelima di mana? Di Musee du quai Branly,Paris yang menyelenggarakan pameran foto dengan pengunjung per harinya 7868 orang.

Pamflet/poster pameran Ashura di Tokyo National Museum

Dikatakan oleh surat kabar tersebut bahwa kecintaan orang Jepang terhadap seni dan pameran tidak mengenal resesi. Hmmm mungkin benar juga, karena sebetulnya harga karcis masuk melihat pameran-pameran itu cukup mahal (menurut aku sih). Misalnya untuk melihat pameran Ashura itu untuk orang dewasa 1300 yen, mahasiswa 1000 yen, SMA 800 yen (bisa makan bento 2 kali tuh), SD/SMP 600 yen. Tapi mereka mau menyisihkan uang untuk mendatangi pameran itu!

Dulu, waktu masih single, aku kadang pergi ke museum, terutama untuk melihat pameran pelukis-pelukis “Impressionis”, tapi kalau sekarang mungkin pikir-pikir dulu. Kecuali kalau mendapat karcis gratis/potongan harga. Nah, biasanya kami yang berlangganan surat kabar tertentu suka mendapat potongan harga atau malahan karcis gratis pameran kesenian begitu yang disponsori oleh surat kabar tersebut. Sebagai salah satu cara promosi penjualan surat kabar kepada pelanggan, mereka membagikan karcis-karcis pameran kesenian atau pertandingan olahraga. Seperti beberapa waktu yang lalu aku mendapat karcis gratis untuk melihat Art Fair Tokyo yang diselenggarakan awal April  untuk 2 orang dari surat kabar langganan kami. Selain itu kami masih mempunyai (diberikan) beberapa karcis pameran “mamalia” dan potongan harga untuk masuk ke kebun binatang.

Karcis pameran gratis Tokyo Art Fair

Yah, bagi orang Indonesia (baca Jakarta) sekarang mungkin tujuan rekreasi akhir minggu adalah mal, tapi di Jepang? Mal bukanlah tujuan rekreasi. Pameran, Museum, Taman, Pertandingan olahraga, lebih menarik dari pada melihat orang-orang dan barang-barang dalam gedung tertutup. Ada yang memang harus mengeluarkan uang, tapi banyak pula kesempatan untuk mendapatkan karcis masuknya secara gratis, atau pelaksanaan pameran itu sendiri tidak dipungut biaya.

Mungkin kecintaan orang Jepang terhadap seni juga membawa mereka maju seperti sekarang ya? who knows….