Per-bulu-an

5 Nov

Masih ingat aku pernah membahas tentang bulu kuduk atau bulu tengkuk yang bahasa Jepangnya torihada 鳥肌 di postingan yang berjudul “Dongeng“? Nah, hari ini aku mau bercerita tambahan sedikit mengenai bulu-bulu, apalagi ketika aku membaca komentarnya Henny di posting sebelum ini….. “Duh, kukira K’ Imel mau bahas soal tips make up lho, ternyataaaaa… :p” hehehe

Kemarin aku libur tidak mengajar karena Universitasku sedang mengadakan Festival Universitas Daigakusai 大学祭. Memang sekitar tanggal 3-4-5 November banyak universitas yang melaksanakan festival berkenaan dengan Hari Budaya (3 November). Dan kebetulan kemarin itu ibu-ibu kelasnya Kai di TK kumpul-kumpul untuk mempererat hubungan (konshinkai 懇親会) antar ibu. Mereka sudah 2 kali berkumpul tetap selama ini aku tidak pernah bisa datang, jadi kebetulan kemarin ada acara makan siang bersama, aku datang. Dari 38 murid, yang datang 27 orang. Lumayan banyak.

Tapiiiiiii, jika dibandingkan dengan waktu Riku TK, aku menemukan beberapa “kenyataan”. Yaitu, beda usia aku dengan mereka yang jaraknya cukup besar. Kebanyakan dari mereka anak pertamanya yang bersekolah di TK itu, sehingga bisa dikatakan mereka masih berusia 20-an. Yang sebaya denganku hanya 2 orang saja. Mengenai umur buatku sih tidak jadi masalah, karena aku terbiasa bergaul juga dengan anak-anak muda (ya iyalah, muridku kan semuanya mahasiswa 20-an awal :D).

Kenyataan kedua adalah, ternyata hampir semua ibu-ibu itu dandan abis! Cukup kaget meskipun aku sih tetap pede hihii (Aku cuma berbedak dan berlipstik saja). Waktu Riku dulu kebetulan banyak ibu-ibu yang tomboy, sehingga justru aneh jika kita datang dengan make-up lengkap di sebuah acara makan siang!

Nah kenyataan ketiga inilah yang akan menjurus ke topik pembicaraan “perbuluan”, dan cerita ini lebih banyak ditujukan untuk kaum wanita. Harap maklum. (Tentu saja yang pria tidak dilarang baca supaya bisa mengerti permasalahan ibu-ibu nih :D)

Duh…. aku cukup merasa tersiksa duduk 2,5 jam  (meskipun sambil makan) dan bercakap-cakap dengan ibu-ibu itu, dan topiknya tidak jauh-jauh dari …kosmetik dan kecantikan. Sebut saja ibu K, masih muda dan memang orangnya cukup cerewet. Ibu K ini bermake-up yang paling tebal di antara semua ibu-ibu, sampai ada yang berkata,
“K san, aduh kamu make up seperti mau pesta saja….” dan dijawab,
“Loh gue kan tiap hari memang begini. Gue tidak akan bisa keluar rumah tanpa make-up. Jelek banget muka gue! Masalah gue ya pori-pori gue  itu kan gede (dalam bahasa Jepangnya ke-ana 毛穴 =lubang rambut), jadi musti disumpel foundation banyak-banyak…”
Dan bla bla bla membicarakan soal foundation…. Foundation yang ini muraaah dan bagus loh untuk harian. Maklumlah sebagai ibu-ibu kalau sudah punya anak cerewet banget dengan pengeluaran untuk kosmetik…. bla bla bla sampai 15 menit sendiri.:D

Memang aku banyak mendengar bahwa orang Indonesia pori-pori kulit muka halus sehingga tidak perlu memakai foundation tebal-tebal. (Tentu saja setiap orang berbeda ya). Nah kemudian ada satu ibu di sebelahku yang tanya pada K san,
“Itu kamu pakai bulu mata palsu yang tempel? Ngga susah pasangnya?”
“Jelaslah pakai bulu mata palsu set, aku kan sudah terbiasa pasang jadi cepat. Aku bermake-up ini semua tidak lebih dari 15 menit loh” Hmmm memang dia katanya dulu bekas SPG nya salah satu kosmetik terkenal di Jepang, jadi bisa dibayangkan. Tapi dia berhenti bekerja waktu menikah (kebanyakan orang Jepang memang begitu).
“Kalau aku ini pakai bulu mata palsu yang ditempel satu-satu, kira-kira 60 lembar bulu supaya bisa kelihatan panjang, banyak dan bagus (matsuge extension)”…

What????? Jadi sebulan sekali, dia akan pergi ke ahli bulu mata itu untuk dipasangkan bulu mata palsu. Pasangnya pakai lem khusus, dan makan waktu sekitar 1,5 jam. Kalau sudah dipasang harus berhati-hati waktu membersihkan eye-shadow, tidak boleh pakai minyak pembersih…. kalau bisa berhati-hati begitu maka bulu mata palsu itu akan tahan sampai 1,5 bulan. Tapi namanya palsu, tentu saja bisa copot satu-satu setiap harinya (aku ngebayangin kalau pas semua bulu palsu itu copot seberapa klimisnya ya matanya :D). Resiko dari pemakaian bulu mata palsu semi-permanent ini adalah tidak boleh pakai maskara. Karena aku duduk di sampingnya, jadi aku bisa melihat memang matanya jadi bagus dengan bulu mata yang lentik alami. Biayanya? sekitar 3000 yen (300ribu Rp), seberapapun banyaknya bulu yang dipasang….. Langsung  ibu-ibu yang didekatnya berminat juga deh untuk pasang :D…3000 cukup murah lah.

Nah, kalau tadi sudah bicara bulu muka (pori-pori), lalu bulu mata, sekarang tentang “bulu tidak berguna” sekujur badan. Benar-benar dalam bahasa Jepang dikatakan mudage yang harafiahnya bulu tidak berguna. Padahal kalau belajar di biologi bulu-bulu itu semuanya berguna ya, meskipun ya tergantung orangnya juga. Kumis bagi sebagian orang tidak berguna sehingga dicukur tiap hari, tapi untuk pakdhe Cholik misalnya, kumis kan justru bagian dari identitas diri dan berguna ya (untuk nakut-nakutin? hihihi). Intinya pembicaraan dari ibu K membuatku melongo. Dia cerita bahwa ada salon saudaranya yang mempunyai alat untuk mencabut SEMUA bulu di tubuh. Satu tubuh! Dan dengan cueknya dia juga menunjuk-unjuk bagian-bagian yang bisa membuat merah muka (yang masih punya urat malu sih hihihi). Bagian itu disebut dalam bahasa Jepangnya sankaku (=segitiga…emang sih bentuknya – kalau dibentuk – ya segitiga:D) (ampuuuun deh aku kok nulis begini ya…. tapi mohon maklum yaaaaa bukan bermaksud bicara jorok, tapi kenyataan bahwa masalah seperti ini diurusi oleh ibu-ibu di Jepang 😀). Katanya treatment mencabut semuanya butuh waktu 6 kali dalam kurun 2 bulan, dan setiap kali 8 jam! weks…. bayangin deh sakitnya. Yang paling sakit selain daerah segitiga itu, juga bulu-bulu di punggung. Karena di punggung ada tulang, sehingga sakit waktu dicabut (aku sih tidak mau buktikan hahaha). Biayanya? 500.000 yen! (50 juta Rp!!!!!!) ampuuun deh, seandainya aku ada duit segitu ngga bakal deh aku pakai untuk ngurusin bulu 😀

Aku tahu memang masing-masing orang dianugerahkan Tuhan wajah dan tubuh yang berbeda, ada yang sempurna ada yang tidak kurang sempurna.  Ada yang perlu mencukur alis dan menggambarnya karena alisnya tumbuh tidak teratur, atau ada yang perlu shaving rutin karena bulu-bulu di anggota badannya “lebih subur” dibandingkan orang lain. Tapi dari pembicaraan ibu-ibu Jepang aku bisa mengetahui bahwa kebanyakan mereka tidak puas dengan matanya yang kecil atau kelopaknya sempit, sehingga perlu menambahkan dengan kosmetik atau usaha lain, atau karena kulit mereka putih, bulu-bulu tidak berguna itu akan terlihat lebih jelas daripada kita-kita yang berkulit sawo matang (padahal banyak orang kita yang ingin menjadi putih). Ah… tidak akan ada habisnya ya?

Tentu saja semua wanita ingin tampil cantik, tapi inner beauty pasti akan membuat diri kita lebih “mengkilau” kan? Tapi ya memang ada juga orang yang justru untuk menggosok inner beautynya perlu kepercayaan diri dulu dengan memakai make-up. Tiap orang beda. Asal jangan bangkrut karena pakai uang begitu banyak untuk “bulu-bulu” ya 😀

 

Dousoukai a.k.a Re-Uni

13 Jun

Dousoukai adalah kegiatan reuni, pertemuan kembali dari mantan murid di sekolah yang sama. Ditulis dalam kanjinya : 同窓会 dou = sama, sou=jendela dan kai = pertemuan. Yang aku heran tidak memakai kata sekolah, tapi jendela. Melihat melalui jendela yang sama. Dousoukai dalam arti besar bisa Reuni Akbar, yang biasanya di sini dinamakan Home-coming day suatu sekolah/universitas. Tapi bisa juga berupa Kurasu-kai, reuni kelas dalam lingkup yang lebih kecil.

Nah hari Sabtu kemarin, anakku si Riku mengikuti Dousoukai pertamanya. Haduh…. reuni masa TK ceritanya hihihi. Aku ngebayanginya aja lucu banget. Pasti sih yang merencanakan itu orang tua murid/bekas gurunya. Sekitar 3 minggu sebelumnya aku mendapat telepon dari salah seorang orang tua murid. Masih pakai cara phone tree seperti yang pernah aku tulis di Hubungan dari hantu ke hantu. Dia menyebutkan hari dan tanggal, Sabtu 12 Juni 2010. Jam 1 sampai 3 siang. Membawa makanan kecil secukupnya + minuman dalam thermos, dan tidak lupa untuk membawa uwabaki (sepatu dalam ruangan). Boleh datang naik sepeda.

uwabaki paling sederhana dan paling murah. Riku punya di bagian depannya (karet) berwarna biru, dia yang minta...mau modis katanya hahaha. Dulu waktu TK sih putih semua, persis seperti ini.

Begitu selesai dia menyampaikan pesannya, aku langsung minta maaf. Aku lupa siapa sesudahku dalam daftar phone tree jaman TK nya Riku. Wah itu daftar udah ngga tau ke mana deh. Mana kutahu bahwa masih akan dipakai setelah lulus TK? Untung dia bilang, ngga papa kok Miyashita san yang terakhir, semua sudah tahu (senengnya kalau begini, orang asing dikasih tugas sedikit hihihi). Ok aku bilang, Riku akan datang.

Jadi Sabtu pagi Riku sudah seperti cacing kepanasan. Dia juga ingin sekali bertemu dengan teman-teman lamanya. Karena dia belum ada makanan kecil, aku suruh dia membeli sendiri sekaligus membeli roti dan susu untuk kami makan pagi. Enak sekarang bisa meminta dia membelikan sesuatu. Dia juga sudah pintar berhitung soalnya. Menjelang jam 11 aku baru sadar bahwa uwabakinya cuma ada sebelah! Loh… kemana yang satunya? Mungkin jatuh atau mungkin ketinggalan di sekolah. Jadi Gen pergi dengan Riku untuk membeli uwabaki baru di toko sepatu. Huh ada-ada saja. Untung aku cepat sadar sehingga masih sempat membeli.

Dan… Riku pulang jam 3 dengan keringat. Rupanya sebagai pengisi acara, mereka bermain dochi ball. Dodge Ball, adalah permainan paling umum yang bisa dimainkan siapa saja, asalkan ada bola (volley). Aku tidak tahu apakah permainan ini ada di Indonesia atau tidak, tapi rasanya pantas deh diperkenalkan atau dimainkan di Indonesia. Salah satu permainan yang bisa dipakai untuk meramaikan acara-acara pertemuan. Sambil dia juga bercerita bahwa ada temannya yang sudah pindah ke Saitama dan khusus datang untuk bertemu mereka. So sweet… (Sayang anak-anak tidak boleh membawa kamera, jadi aku tidak bisa membayangkan acara mereka seperti apa)

Sekitar jam 6:30 giliran aku yang siap-siap dan pergi ke acara konshinkai 懇親会, pertemuan ramah-tamah dengan mantan seksi kegiatan anak PTA di sekolah Riku. Kalau seperti ini tidak bisa dikatakan reuni sih… Acaranya dekat stasiun rumahku, sehingga aku pergi naik sepeda. Anak-anak sama papanya jaga rumah.

cheese spreadnya dicampur mentai (telur ikan). lembut dan enak!

Aku baru pertama kali ke restoran/ tempat minum di Tsuboya ini. Tempatnya cukup nyaman dan …murah. Makanannya lumayan enak dengan paket all you can drink yang relatif murah dibandingkan restoran lainnya. Sambil makan-makan dan minum-minum, kami bercakap-cakap tentang macam-macam. Dan yang paling aku “pasang telinga” soal ijime atau bullying di sekolah, dan bagaimana mengatasinya. Ternyata yang cukup banyak menjadi masalah justru di kalangan anak perempuan, karena sejak dari kecil mereka sudah mempunyai “geng-geng”… entahlah… apa mungkin kebetulan saja orang tua murid yang datang kebanyakan anaknya perempuan. Kami berdelapan menikmati konshinkai ini sampai pukul 9:30, dan setelah 3 orang pulang, dan kami berlima melanjutkan ke tempat minum yang lain. Hashigo! (arti sebenarnya adalah tangga, tapi istilah ini dipakai untuk acara makan (minum) dengan berganti restoran/tempat minum … mungkin seperti clubbing deh — aku belum pernah clubbing jadi ngga tau juga hehehe). Dan….kami berlima pulang jam 1 pagi! Karena ada satu yang berjalan kaki, akhirnya kami menuntun sepeda dan berjalan bersama pulang (arah pulangnya sama semua). Duuuh ibu-ibu pulang pagi! (Jadi inget masa muda …tsah hihihi)

Di dalam resto yang kedua "Ron" ada penjual oden... hari ini dietku gatot deh...gagal total!

Ramah Tamah

19 Jun

Dalam bahasa Jepang ada beberapa kata yang merefer ke pertemuan ramah-tamah yang bertujuan untuk lebih mengakrabkan anggota suatu organisasi atau perkumpulan. Yang biasa dipakai adalah Konshinkai, こんしんかい  懇親会. Misal sesudah acara formal seminar atau diskusi, diberi alokasi waktu untuk minum kopi dan bercakap-cakap, atau lebih khusus lagi dengan membuat acara jamuan makan malam. Kata ini sering aku pakai dalam kegiatan menjadi MC di Kedutaan atau di Universitas.

Tapi sejak Riku masuk TK, aku baru bertemu dengan kata Shinbokukai しんぼくかい 親睦会. Rupanya meskipun artinya sama, kata konshinkai yang di atas masih berkesan “kaku” dan untuk suatu struktur organisasi yang sudah jelas. Sedangkan shinbokukai itu lebih “merakyat” dan bisa dipakai untuk pertemuan-pertemuan yang “lebih akrab” tidak formal  seperti keluarga besar misalnya. Dan hari Rabu tgl 17 Juni yang lalu, aku mengikuti Shinbokukai dari kelas 1-2, kelasnya Riku.

Rabu pagi, aku terlambat pergi ke sekolahnya Riku, untuk acara pertemuan murid shinbokukai. Sebetulnya mau dibilang terlambat juga tidak, karena acara mulai jam 9:30. Tapi karena aku pengurus, seharusnya datang 30 menit lebih cepat, yaitu jam 9. Dan aku terlambat 10 menit gara-gara tidak menemukan “Kartu pass masuk ke dalam sekolah”. Setiap orangtua murid yang masuk ke dalam lingkungan sekolah, harus memakai kartu pass masuk demi keamanan sekolah. Nah, selasanya  aku masih pakai kartu itu untuk rapat PTA dan melanjutkan membuat ebi (origami) dan magnet dari nendo sampai jam 2 siang. Tapi lupa setelah pulang taruh di mana. Karena begitu sampai rumah, aku terkapar di tempat tidur! Benar-benar capek.

Akhirnya daripada terlambat banyak aku sambar saja kartu pass milik Gen, dan … aku pakai terbalik  supaya tidak terbaca namanya, tapi dari jauh tetap terlihat pakai kartu pass…. hihihi (jangan ditiru). Dan dengan terpaksa aku mendorong sepeda masuk ke dalam lingkungan sekolah (sebetulnya dilarang datang dengan sepeda kalau tidak terpaksa banget). Abis, aku bawa banyak barang, yaitu kue konsumsi untuk 30 orang, dan peralatan lainnya.

Hari Rabu itu adalah hari pertemuan orangtua murid kelasnya Riku yang bertajuk shinbokukai, “ramah tamah”. Dan di dalam ramah-tamah itu, aku dan dua pengurus PTA yang menjadi pemimpin dalam kelas. Kami menyampaikan pesan-pesan dari sekolah, dan menampung keluhan atau pertanyaan dari teman-teman orang tua murid yang lain. Selain itu kami juga sebetulnya yang menjadi penentu untuk “keakraban antar orangtua”. Jika akrab, maka nanti-nantinya akan mudah untuk menggerakkan orang tua, minta tolong ini-itu, dan tentu saja mudah mendapatkan macam-macam informasi tentang pembelajaran anak-anak kita sendiri di sekolah. (Selain tentunya gosip ini-itu hehhehe, maklum lah wanita suka gosip kan?)

Nah, seperti biasa aku tidak pernah memakai “bahasa sopan” dalam pertemuan seperti ini. Boleh dibilang, aku menghindari “pembuatan jarak” dengan pemilihan pemakaian bahasa. Bukan karena aku tidak bisa bahasa sopan, tapi dengan menunjukkan “kebodohan berbahasa” (mumpung orang asing)  aku berharap mereka dapat menerima dan membiasakan untuk saling akrab. Toh ini bukan forum resmi. (Tentu saja untuk penyampaian informasi yang formal, aku masih memakai bahasa sopan. Karena seperti bahasa Jawa, bahasa Jepang mempunyai 3 tingkatan bahasa, sopan, biasa dan kasar)

Dan akhirnya semua mulai akrab dengan memperkenalkan diri dan menyebutkan hobi masing-masing, serta menggunakan waktu free time untuk saling beramah tamah. Dan karena kegiatan seperti ini hanya disetting satu kali saja (tidak ada kelanjutannya, kecuali kami bertiga yang membuat) , maka pada akhir acara, dengan tidak sengaja aku mengatakan,”Lunch…..” dan langsung disambut…”Mau, mau….” . Loh…. maksudku, nanti kita buat acara lunch bareng deh, tapi bukan hari ini. Eeee beberapa orang antusias sekali untuk makan siang bersama hari itu juga. Wow… kesempatan bagus untuk lebih mengakrabkan diri. Dan karena aku yang mengatakan “Lunch”, berarti aku harus ikut pergi bersama dong. Soliderrrrr. Sedangkan dua pengurus yang lain tidak bisa ikut karena mereka ada kerjaan lain.

Kami pergi ke restoran dekat rumah yang bernama Royal Host, sebuah family restaurant satu-satunya yang terdekat dengan SDnya Riku. Kira-kira  setengah dari yang hadir hari itu (12 orang dari 24 orang) memenuhi restoran yang selalu penuh pada jam makan siang. Tapi kami mendapat tempat khusus, karena rupanya ada salah satu ibu yang bekerja part time di restoran itu. Jadi dia langsung menghubungi temannya untuk membuatkan tempat bagi kami. Tapi sayangnya dia harus bekerja melayani kami, sehingga tidak bisa ikut duduk dan makan bersama.

(Kadang aku merasa aneh dengan keadaan ini, seorang teman melayani kita di suatu restoran/toko, tanpa rasa malu. Aku belum pernah menemukan kasus seperti ini di Indonesia, jadi agak risih pertamanya. Tapi di sini semua orang bekerja! apa saja! bahkan menyapu tokonya, dan tidak malu dilihat temannya. Bangga akan pekerjaannya. Aku rasa, semestinya banyak orang Indonesia harus melihat dan mencontoh “semangat” ini. Jangan malu bekerja apa saja, bahkan di depan teman dan keluarga)

Karena kami hanya punya waktu satu jam 15 menit sebelum anak-anak pulang sekolah, maka kami cepat-cepat memesan makanan dan mempergunakan waktu sebaik-baiknya dengan saling memberitahukan email Handphone (di Jepang bukan sistem SMS, sehingga harus menuliskan alamat email HP yang panjang itu, untuk kemudian di save). Dan rupanya semua ibu-ibu punya rasa ingin tahu yang besar “tentang Imelda”, kapan datang ke Jepang, kenapa bisa bahasa Jepang dsb dsb, sehingga aku jadi seperti diinterogasi deh hehehe. Tapi yang pasti aku merasa senang sekali karena dengan adanya acara shinbokukai dan dilanjutkan dengan lunch bersama ini, rasanya aku menambah teman sebanyak 12 orang lagi. Teman-teman dengan latar belakang yang sama, yaitu ibu dari seorang murid SD. Semoga saja keakraban ini bisa berlanjut dan sama-sama bisa melewati masa penting dalam mendidik anak.