Beberapa waktu yang lalu ada sebuah peristiwa yang membuat aku berpikir bahwa orang Jepang memang mempunyai “sense of belonging” yang tebal. Peristiwanya begini:
Dua buah jalur kereta, Hokuriku (kereta malam) dan Noto. Jalur ini ditutup, dan pagi ini di siaran berita diperlihatkan fans kereta api berkumpul. Ada yang di peron, dan ada yang menaiki kereta terakhir itu. Yang di peron meneriakan “Arigatouuuuuu” kepada KERETA. dan melambaikan tangan…. Aku sampai ikut terharu. Perasaan memiliki (terutama untuk barang-barang milik umum/bukan milik pribadi) ini yang jarang aku temukan di indonesia…atau aku saja yang tidak tahu?
Kereta itu telah mengantar mereka bekerja/bermain/bersekolah atau pulang kampung, selama bertahun-tahun. Untuk perbaikan jalur, kereta itu masuk museum (pasti dijual ke negaraku juga sih karena masih berfungsi)…. Sense of belonging orang Jepang memang hebat! Coba negaraku juga memiliki rasa itu, rasa berterima kasih pada suatu barang atau orang, semestinya bisa lebih maju. Menyayangi barang dan memakai sampai saat terakhir, daijini suru…. menjaga dan memeliharanya….. (TT 13 maret 2010)
Kereta yang adalah hasil buah pikiran manusia saja dicintai sedemikian rupa. Apalagi alam? Tanggal 18 Maret lalu, aku membaca bahwa batang pohon Ginkyo raksasa yang tumbang di Kuil Tsuruoka Hachimangu 10 hari sebelumnya ditanam kembali batangnya. Tujuannya untuk melindungi anak-anak pohon yang mungkin tumbuh dari tempat yang sama. Ya, tumbangnya pohon raksasa ini menjadi berita besar, karena sebetulnya pohon ini pohon “keramat”. Yang selalu menjadi bahan cerita turun temurun.
(foto dari mass media Jepang)
Pohon ini berusia sekitar 1000 tahun, setinggi 30 meter dan diameter 7 meter tumbang akibat badai. Pohon yang ditetapkan menjadi warisan daerah Kanagawa ini menyimpan sejarah karena di dekatnya Shogun ketiga pada jaman Kamakura, Minamoto no Sanetomo,1219 dibunuh oleh keponakannya sendiri yang bernama Kugyo. Sumber dari sini.
Kami merasa beruntung masih sempat melihat pohon ini bulan September tahun lalu. Memang aku belum sempat membuat catatan perjalanan ke Kamakura ini saking banyaknya yang mau diceritakan. Kebetulan waktu itu ada Silver Week, libur beruntun sehingga kami berempat bisa jalan-jalan naik kereta ke Shibuya, dan Yokohama, yang sudah aku tulis postingannya. Dan sebetulnya setelah dari Yokohama itu, kami menginap di rumah mertua, dan keesokan harinya kamu pergi ke Kamakura. Aku ingin memperlihatkan The Great Buddha yang terkenal di Kamakura kepada Riku. Jadi hari itu kami pergi ke Great Buddha dan ke Tsuruoka Hachimangu tempat si pohon “keramat” ini berada. (Posting mengenai The Great Buddhanya kapan-kapan yah hihii)
Kamakura memang kota tua dan pernah menjadi pusat pemerintahan Jepang pada jaman yang disebut dengan jaman Kamakura, yaitu dari tahun 1183 sampai 1333. Letaknya tidak jauh dari Yokohama, karena satu prefektur dengan Yokohama yaitu prefektur Kanagawa. Kami naik JR dari stasiun Yokohama dan turun di Kita Kamakura. Memang untuk ke Kuil Tsuruoka Hachimangu ini perlu banyak jalan kaki, tapi pertokoan di sepanjang jalan juga menarik untuk dilihat.
Tentu saja kita juga bisa naik Jinrikisha, becak yang ditarik pemuda berpakaian hitam, sampai ke Kuil, tapi aku rasa cukup mahal deh. Kecuali untuk lansia yang memang tidak kuat berjalan jauh, atau ingin mencoba menaiki becak Jepang ini (biasanya sih wisatawan domestik, soalnya wisatawan asing biasanya pelit… mahal sih hihihi).Di sepanjang jalan setapak yang diapit jalan mobil ini banyak terlihat bunga berwarna merah berasal dari Cina bernama Higanbana (Lycoris) yang memang sedang musimnya mekar pada bulan September.
Yang menarik justru jika kita menyusuri jalan yang akan menghantar kita ke arah Kuil. Jalan itu terlihat mengecil sehingga membuat pejalan kaki tidak mengetahui seberapa jauh jarak yang ditempuh (terasa jauh). Pengelabuan mata seperti ini disebut dan kazura.
Begitu kami sampai di depan kuil, terdapat sebuah torii, pintu gerbang kuil (yang ketiga) yang khas berwarna merah. Juga ada jembatan lengkung berwarna merah dengan parit kecil di bawahnya. Jika Anda perhatikan, di setiap kolam, atau wadah yang berisi air, kecuali air “wudhu” air yang dipakai untuk membersihkan tangan dan mulut sebelum masuk kuil, pasti ada koin-koin satu yen di atas/dalamnya. Perhatikan deh di setiap tempat wisata yang dikunjungi orang Jepang pasti ada koinnya, bahkan sampai di Roma, di Fontana di Trevi aku bisa melihat banyak terdapat koin di dalamnya (dan menyadari kenyataan bahwa orang Jepang sudah merajai dunia… coba lihat kolam-kolam di Bali …hiks)
Di parit di bawah jembatan inipun demikian, bahkan mereka melemparkan uang koin di atas daun! Dari pintu gerbang ini untuk mencapai kuil masih harus berjalan cukup jauh. Tapi memang lahan kuil ini sangat luas dan dikelilingi pepohonan yang rimbun. Dan di bawah lapangan luas terdapat sebuah panggung, yang katanya dulu merupakan tempat menari. Dari pelataran itu kami harus menaikin tangga yang cukup terjal untuk bisa sampai ke kuilnya.Memang kuil Shinto itu selalu terletak di tempat yang tinggi, dengan pemahaman bahwa dewa selalu berada di atas. Karena Kai waktu itu sedang tidur di kereta bayinya, akhirnya aku tinggal di bawah sementara Riku dan Gen naik ke atas. Well, orang Jepang perlu berdoa kepada nenek moyangnya untuk keselamatan dirinya.
Aku menunggu di bawah pohon “keramat” itu. Memang besar dan …adem. Dari tempat aku duduk bisa melihat gentong-gentong sake persembahan dari pabrik pembuatan sake kepada kuil . Sake memakai beras, dan beras adalah pemberian dewa, sehingga perlu disyukuri dengan memberikan persembahan. Wah membaca tulisan di gentong-gentong sake itu, aku jadi menghitung sudah berapa jenis sake yang aku pernah minum ya hihihi. Salah satu cita-citaku adalah menjadi pencicip sake Jepang, yang kalau di Perancis pencicip wine diberi nama Sommelière. Kalau di Jepang namanya Kikizakeshi きき酒師(ききざけし)。 Aku sudah cukup mahir membedakan sake yang diproduksi tanpa campuran bahan kimia dengan yang memakai campuran kimia, junmai 純米 ginjou 吟醸 jouzou 醸造.
Pada perjalanan pulang menuju stasiun kami sempat melihat awan yang cukup aneh, yang katanya disebut sebagai hitsujigumo awan domba, karena bentuknya seperti bulu domba. Awan memang obyek yang menarik untuk difoto ya…..