Sweet and Fun

30 Mar

Dalam posting “Magnolia“, aku menulis bahwa aku sudah mulai stress, dan langsung ditanggapi teman gerejaku, Lisa, katanya, “Mel jgn stress yuk bikin acara ngumpul di park pas anak2 lg liburan nih… Atur waktu biar nesta ama inge bs ikutan sekalian:) aku tunggu ya…”. Dan kupikir memang benar, aku harus keluar dan bertemu teman-teman. Setahan-tahannya aku dengan segala “cobaan” untuk panik, ada batasnya juga. Dan karena aku harus mengajar hari Senin, maka aku set hari Selasa tanggal 29. Tadinya ingin mengunjungi NHK Park di shibuya, tapi waktu aku cari di website bisa tahu bahwa NHK Park itu tutup s/d bulan September. Jadi?

Akhirnya aku menentukan tempat pergi kali ini adalah resto sweet and cake all you can eat yang bernama “Sweet Paradise”. Terakhir aku pergi ke resto ini tgl 26 Juni th 2008, hampir 3 tahun yang lalu!

Karena takut tidak dapat tempat sekaligus tanya apakah mereka buka seperti biasanya sesudah gempa, sebelumnya aku sudah telepon dulu. Ternyata buka, dan aku reserve untuk 7 orang jam 11:30.

Jadi jam 11 kami berkumpul di Hachiko, Shibuya, sebuah tempat orang-orang Jepang janjian untuk bertemu dengan patung anjing Hachiko yang terkenal itu. Riku dan Kai juga sudah senang sekali mendengar aku ajak mereka untuk ke restoran bertemu orang Indonesia (ntah kenapa kedua anakku suka sekali kalau bertemu tante-tante hihihi), apalagi waktu kubilang bahwa ada satu tante (Lisa) membawa 2 anak laki-laki juga. “Mama, dia akan bawa DS ngga ya? aku mau tanding dengan dia”…duuuh kemana-mana mainnya game aja.

Hebat deh teman-temanku ini, Lisa dan Riku, teng jam 11 sudah ada di Hachiko! Good…sudah menjadi orang Jepang hihihi. Tadinya masih tunggu Whita akan join atau tidak, tapi ternyata suaminya sakit cukup parah sehingga perlu diinfus. Jadi Whita batal ikut makan-makan kali ini.

Kami berjalan ke arah Resto Sweet Paradise ini yang terletak di Spainzaka, sebuah daerah bagian tengah yang cukup padat dengan toko dan resto. Untung saja bisa pakai GPS nya sehingga tidak kesasar, dan bisa langsung ketemu. Meskipun kami datang lebih pagi dari jam pesan, kami dipersilahkan masuk. Oh ya di sini sistemnya pakai sistem bayar duluan di vending machine (mesin tiket). Dewasa 1480 yen dan anak-anak dari 4 tahun 840 yen. Yipiiii, Kai tidak usah bayar karena masih 3 tahun (Orang Jepang jarang berbohong dengan umur anak. Dan pegawai toko juga tidak minta surat keterangan yang menunjukkan umur anak tersebut).

Kami diantar ke meja, dan persis deh anak-anak satu meja, ibu-ibu satu meja. Memang awalnya Kai maunya duduk dengan aku, tapi akhirnya dia bisa akrab dengan Ruben, sulunya Lisa. Layaknya di restoran all you can eat di Indonesia, seperti Hanamasa atau American Grill, di sini kita tingga ambil apa yang kita mau. Dan meskipun dikatakan Cake and Sweet, di sini disediakan juga spaghetti berbagai jenis, nasi, kare, udon dan sandwich. Juga ada salad, sup, bermacam agar-agar, es krim, minuman dan… 10 jenis lebih kue.

cakes and chocolate

Kecuali Kai, anak-anak sudah cukup besar untuk ambil makanan sendiri, apa yang mereka mau. Sedangkan Kai yang memang penyuka spaghetti lebih asyik bermain sambil aku suapi. Selain jenis makanan yang aku sebutkan tadi, ada juga fountain coklat cair (aku jadi ingat Narpen… Narp kalau ke Tokyo kita makan di sini yuuk, di Kichijoji dekat rumah juga ada kok). Dan ada pop corn…. lucu sekali melihat Kai bolak balik ambil pop corn terus. Benar-benar terlihat bedanya kedua anakku ini. Riku suka manis, Kai suka asin 😀

Sambil makan 90 menit (memang cuma bisa 90 menit…tapi itu cukup lama), aku, Lisa dan Nesta ngobrol soal gempa dan kepanikan orang-orang yang terlalu “lebay”. Lihat saja di mana-mana sudah penuh orang jalan-jalan mencari hiburan, tanpa ada yang pakai masker (kecuali sakit) dan tanpa was-was. Enjoy aja tuh. Memang sih kalau tinggal di rumah terus, lalu menonton berita terus, apalagi isinya tentang kehidupan pengungsi yang sedih, bawaannya tentu suram terus. Yah sama dengan aku setelah 2 minggu tanpa hiburan bertemu teman, rasanya mulai tertular panik. Padahal semua BIASA-BIASA saja. Di dekat rumahku memang tissue dan air mineral tidak ada, tapi di dekat rumah Lisa dan Nesta masih banyak kok. Wilayahnya lain kebutuhannya memang lain. Wilayahku memang banyak perumahan dengan keluarga-keluarga yang minimum 4 orang (ayah-ibu-2 anak) sehingga kebutuhan pokok cepat habis.

Sayang sekali Whita tidak bisa hadir

Senang sekali bertukar cerita begini, dan kami semakin yakin bahwa orang Jepang itu memang hebat! Menurutku itu semua karena masyarakat Jepang adalah masyarakat Tate shakai atau vertikal (jadi ingat kuliahnya Ibu Jenny Simulya “Sistem Masyarakat Jepang” )  yang menuruti perintah atasan. Jadi kalau atasan berkata “OK, tenang saja” atau “tidak apa-apa”, ya mereka percaya saja.

Begitu mendekati waktu 90 menit habis, kami bersiap-siap pulang. Karena memang berbenturan dengan makan siang jadi antriannya panjang banget di luar. Restoran juga kebanyakan penuh oleh remaja-remaja putri, jadi…rame deh hihihi

Berjalan ke arah pulang, bingung juga mau ke mana. Kalau ke departemen store sudah pasti anak-anak bosan. Susah deh kalau pergi dengan anak-anak, tapi memang rasanya kami belum mau berpisah saat itu. Wong baru jam 1 siang….. Jadi akhirnya kami mampir deh ke karaoke. Dan sebetulnya aku sudah lama sekali tidak pergi karaoke. Terakhir kapan ya?

Ini kesempatan pertama karaoke untuk Kai, tapi juga pertama kali untuk Riku setelah dia bisa baca hiragana sendiri. Riku cukup banyak tahu lagu-lagu anime dan acara TV, sehingga bisa menyanyi. Senang juga mendengar anakku menyanyi. Musti sering-sering pergi nih. Karena si Kai juga kelihatannya suka menyanyi. Yang pasti dia tidak mau melepaskan mike dari genggamannya 😀

Tidka mau melepaskan mike dari genggaman 😀

Yang tadinya hanya mau 1 jam karaokean, menjadi 2 jam. Dan akhirnya kami berpisah di depan patung Hachiko kembali, untuk berjanji bertemu lagi jika ada kesempatan. Minggu depan sakura mulai mekar di Tokyo, jadi kalau bisa kami akan pergi ke taman bersama anak-anak.

Terasa sekali secara mental aku bisa recharge dengan pertemuan ini. Sampai-sampai kemarin aku malas posting hehehe. Hari ini pun aku paksakan posting supaya jangan sampai menjadi malas. Bahaya loh begitu “libur” posting, biasanya akan keenakan, keterusan libur, dan menjadi hiatus. Jadi …. jangan sampai libur lama-lama deh (ini pengalaman pribadi loh)

4 boys di depan patung Hachiko

 

SEBUAH CERITA TENTANG KESETIAAN

28 Nov

Di Shibuya, Tokyo, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor anjing. Dibuat oleh Ando Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.

Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.

Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.

Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasiun Shibuya bersama Hachiko. Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.

Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.

Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”

” Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.

Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.

Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.

Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.

Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.

Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.

Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.

Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.

Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.

Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.

Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.

Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiko pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.

Sungguh kisah yg menggugah hati….tak habis2nya saya meneteskan air mata membaca cerita hidup Hachiko….

Film ttg kisah hachiko dibuat d jepang tahun 1987 dgn judul “Hachiko Monagatari”. Film ini byk memperoleh penghargaan. ..
Dan saat ini versi hollywoodnya sedang dibuat dgn judul “Hachiko : A Dog’s Story” (Starring and Co-Producted by Richard Gere)….

Hachiko: A Dog’s Story,[9] to be released in 2008, is an American movie starring actor Richard Gere, directed by Lasse Hallström, about Hachikō and his relationship with the professor. The movie is being filmed in Rhode Island, and will also feature actresses Joan Allen and Sarah Roemer.[10]

(sumber dari milis IKAJA UI)

depan patung hachiko Shibuya,  sebagai meeting point
Depan patung Hachiko Shibuya, yang terkenal sebagai meeting point

NB: Saya heran kok Richard Gere lagi, soalnya sebuah film Jepang yang terkenal di sini “Shall We Dance” versi bahasa Inggris juga diperankan oleh Richard Gere. Saya pernah posting tentang film Shall We Dansu/Dance versi bahasa Jepang di sini